BANDUNG -- Warga di sekitar pembangunan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage Kota Bandung, akan melakukan upaya hukum terhadap Pemkot Bandung. Langkah ini dilakukan menyusul dilakukannya pengukuran dan pematokan lahan PLTSa di sekitar permukiman warga oleh petugas Dinas Tata Kota (DTK) Pemkot Bandung, Rabu (28/11).
Informasi yang diperoleh, petugas DTK datang ke lokasi sekitar pukul 10.00 WIB dengan dikawal sejumlah warga yang pro pembangunan PLTSa. Tindakan tersebut tidak diduga oleh sebagian warga yang menolak. Padahal sebelumnya, pemkot membatalkan pengukuran lahan di sekitar permukiman warga.
''Kami merasa kecolongan dengan langkah pengukuran oleh petugas DTK,'' kata Muhammad Tabroni, perwakilan warga Cempaka Arum yang juga Koordinator Aksi Aliansi Rakyat Tolak Pembangunan Pabrik Sampah di Permukiman (ARTP2SP), kepada Republika.
Menurut Tabroni, warga yang terlambat mengetahui pengukuran tersebut, sempat bersitegang dengan petugas DTK. Namun, lanjut dia, warga yang berjumlah puluhan orang tidak berhasil menggagalkan pengukuran tersebut. Atas sikap pemkot, kata dia, sebagian warga akan menempuh jalur hukum.
Kepala Dinas Tata Kota (DTK) Kota Bandung, Ir Juniarso Ridwan, mengatakan, pematokan yang dilakukan petugas baru sebatas untuk kepentingan pembangunan jalan menuju PLTSa. ''Bukan untuk PLTSa-nya. Yang diukur dan dipatok itu tanah pengembang, bukan tanah warga yang menolak,''kata dia.
Sedangkan upaya hukum yang akan dilakukan warga, Juniarso menilai hal tersebut tak jadi masalah.''Silakan saja tempuh jalur hukum. Kami siap menghadapinya karena apa yang kami lakukan bukan hanya untuk kepentingan sekelompok warga saja. Tapi untuk kepentingan jutaan warga Kota Bandung,'' ujar dia kepada Republika.
Sementara itu Sekretaris Komisi C DPRD Kota Bandung, Muchsin Al Fikri, mengatakan, penolakan warga lebih disebabkan masih rendahnya sosialisasi pembangunan PLTSa kepada warga sekitar. ''Pemkot harus memberikan sosialiasasi secara instensif kepada warga, tidak hanya sebatas mengeluarkan kebijakan,''tutur dia.
Sementara itu, keberadaan TPA Pasir Ucing di Kecamatan Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, diduga telah mencemari air di Waduk Cirata. Hal ini memperparah kondisi Waduk Cirata yang telah dangkal akibat tingginya sedimentasi. ''Air dari TPA Pasir Ucing itu mengalir mencemari Cirata,'' kata Supervisor Pemeliharaan Bendungan Waduk dan Power House Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata, Ahmad Solihin, Rabu (18/11).
Menurut Ahmad, TPA Pasir Ucing mulai dioperasikan sejak dua tahun lalu, pascalongsor sampah di TPA Leuwigajah. Meski dinilai bisa mengatasi persoalan timbunan sampah di Kota Bandung, ia menilai keberadaan TPA itu justru malah mencemari Waduk Cirata. Padahal, kata Ahmad, kondisi air di Cirata juga sudah tercemar oleh banyaknya sampah rumah tangga, sampah agrobisnis, dan sampah agrikultur yang mengalir melalui beberapa anak sungai, yaitu Cigundul, Cisokan, Cibalagum, dan Cimeta. rig/rfa
Sendimentasi Waduk Cirata Tinggi
PURWAKART -- Tingginya sedimentasi mengancam berkurangnya masa layanan bendungan di Waduk Cirata. Padahal, desain bendungan Waduk Cirata dibuat untuk masa layanan lebih dari 100 tahun. Menurut Supervisor Pemeliharaan Bendungan Waduk dan Power House Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata, Ahmad Solihin, bendungan PLTA Cirata dibangun pada 1982.
Bendungan itu didesain dengan mampu menahan sedimentasi hingga 5,66 juta meter kubik per tahun. Kalau sampai terjadi sedimentasi di atas desain 5,66 juta meter kubik per tahun, Ahmad menjelaskan, usia masa layanan bendungan akan berkurang.
Dari hasil beberapa kali survei yang dilakukan oleh tim independen sejak 1992-2002, kata Ahmad, diketahui bahwa sedimentasi di bendungan PLTA Cirata sudah mencapai 71,920 juta meter kubik. Kalau dirata-ratakan maka tingkat sedimentasi per tahun di bendungan Waduk Cirata mencapai 4,79 meter kubik.
Sebenarnya, lanjut Ahmad, angka sedimentasi ini masih di bawah desain yang dibuat. Tapi kalau dilihat tingkat sedimentasi yang terjadi memang cukup tinggi. n rfa
( )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar