Senin, 24 Desember 2007

Ancaman Logam Maut dari Jalanan

Ancaman Logam Maut dari Jalanan

RIBUAN mobil baru yang tiap tahun diluncurkan bisa jadi cuma memberi kenyamanan
semu bagi orang berduit. Di dalam kabin nan sejuk, mereka memang bisa tiduran
nyaman sambil menikmati musik di tengah kemacetan lalu lintas. Tapi, apakah
mereka peduli kalau asap dari knalpot mobilnya menebar racun ke udara, menyusup
ke paru-paru seluruh warga kota, dan menabung efek buruk jangka panjang yang
mengerikan?

Karbon dioksida (CO2) dan karbon monoksida (CO) yang dihasilkan mesin kendaraan
diketahui sebagai gas beracun yang bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan,
bahkan dapat membunuh seketika. Gas-gas itu juga jadi masalah global karena
meningkatkan efek rumah kaca dengan dampak meningkatnya suhu bumi. Unsur lain
dari buangan asap kendaraan yang tak kalah berbahaya adalah timbal, alias timah
hitam, alias plumbum (Pb).

Timbal kini dianggap sebagai ancaman serius karena diketahui telah menyusup ke
dalam darah warga kota, termasuk anak-anak. Logam pencemar dari kendaraan
dengan bahan bakar bensin bertimbal itu bisa terakumulasi dalam tubuh,
menyerang organ-organ penting, bahkan merusak kualitas keturunan. Sejumlah
hasil penelitian menunjukkan bahwa timbal bisa menurunkan tingkat inteligensia.

Berbagai seminar digelar untuk mengingatkan ihwal bahaya timbal seraya mencari
solusinya. Terakhir, seminar bertema "Jejak Langkah Menuju Bensin Tanpa Timbal
2005" yang digelar Komite Penghapusan Bensin Bertimbal dan ASEAN Clean Fuel
Association, di Jakarta, Desember lalu.

Para peneliti timbal dari sejumlah perguruan tinggi, seperti Puji Lestari, Budi
Haryanto, Asrom Hamonangan, dan Darmadi Goenarso, mendesak pemerintah agar
menghapus bensin bertimbal. Tentu saja, sistem transportasi kota harus pula
dibenahi, untuk mengatasi kemacetan yang kian parah.

Budi Haryanto mengatakan, anak-anak --terutama yang berusia kurang dari enam
tahun-- adalah kelompok paling rentan tercemar timbal. "Anak-anak lebih mudah
menyerap timbal karena sistem penolakan tubuhnya terhadap bahan asing belum
sempurna," kata Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia (UI), itu.

Doktor Puji Lestari dari Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung
(ITB) memaparkan hasil penelitiannya yang mencemaskan. "Unsur timbal sudah
masuk darah anak-anak sekolah di Bandung," ujar doktor bidang polusi udara
lulusan Illinois Institute of Technology, Chicago, Amerika Serikat, itu.

Puji melakukan penelitian yang disponsori SIDA (Swedish International
Development and Cooperation Agency) di Bandung sepanjang 1994-2004. Ia
memeriksa kondisi udara dan mengambil sampel darah anak-anak, polisi lalu
lintas, tukang parkir, pedagang kaki lima, dan sopir angkutan umum.

Hasilnya menunjukkan, dari sampel darah 62 anak, 21 di antaranya mengandung
timbal di atas ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ambang batas WHO untuk timbal pada darah anak-anak adalah 10
mikrogram/desiliter (ug/dl), dan pada darah orang dewasa 25 ug/dl.

Pencemaran udara di daerah padat lalu lintas di Bandung, seperti di Alun-alun,
Jalan Braga, Merdeka, Asia Afrika, dan Pasteur, pun sudah melampaui ambang
batas. Di Alun-alun, konsentrasi timbal di udaranya 0,6 - 2,4 ug/m3. Sedangkan
di Jalan Merdeka dan Jalan Ganesha 1.57 ug/m3 dan 0.97 ug/m3. Ambang batas
timbal di udara yang ditetapkan WHO adalah 0,5 ug/m3. "Udara Bandung terjebak
dan sudah teracuni," kata Puji.

Hasil yang lebih mengkhawatirkan diperoleh Survei Ekologi Kesehatan di Bandung
pada 2001 yang dilakukan Profesor Dr. Otto Soemarwoto, guru besar ilmu
lingkungan Universitas Padjadjaran. Pada sampel darah rata-rata anggota polisi
lalu lintas ditemukan timbal 30,66 ug/dl, dan pada sampel darah sopir angkutan
kota 25,23 ug/dl. Sedangkan pada darah warga biasa 12,28 ug/dl.

Otto menyimpulkan, semua warga Bandung sudah tercemari timbal. "Darah gubernur,
wali kota, dan ketua DPRD pun pasti mengandung timbal di atas ambang batas,"
katanya. Otto sendiri mengatakan bahwa darahnya mengandung timbal dengan kadar
34 ug/dl. "Bandung terletak dalam cekungan, sehingga pencemaran udara dengan
tingkat yang sama dengan kota-kota besar lainnya berdampak lebih buruk," kata
Otto Soemarwoto.

Bagaimana dengan Jakarta? Sama, mencemaskan. Lihat saja hasil penelitian Center
for Desease Control and Prevention, bekerja sama dengan UI, pada 2001. Dari
sampel darah 397 anak usia 6-12 tahun, 62% mengandung timbal di atas ambang
batas WHO. Rinciannya: 35% sampel mengandung timbal berkadar 11 ug/dl, 25%
sampel berkadar timbal 14 ug/dl, dan 2,4% lainnya mengandung timbal lebih dari
20 ug/dl.

Hasil penelitian Kantor Pengendalian dan Pemantauan Lingkungan Hidup serta
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI pada 1997 menunjukkan, kualitas udara Jakarta
memang payah. Kawasan perempatan Cawang, misalnya, memiliki kadar rata-rata
timbal dalam debu udara lebih dari 30 ug/m3. Udara Tomang dicemari timbal
dengan kadar 25/m3, Lebak Bulus sekitar 23 ug/m3, Kampung Rambutan 21 ug/m3,
Senen 3 ug/m3, dan Pulogadung 1 ug/m3.

Bersyukur, pada 2001 pemerintah mencanangkan program bebas timbal di Jakarta.
Bensin yang dijual di seluruh pompa bensin di Ibu Kota sudah tidak mengandung
timbal. Hasilnya mulai terlihat pada penelitian yang dilakukan Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI sejak awal Januari lalu.

Budi Haryanto, koordinator penelitian itu, mengatakan bahwa timnya sudah
mengambil 160 dari target 200 sampel darah anak sekolah dasar di beberapa
kawasan di Jakarta dan sekitarnya. Hasil sementara menunjukkan, kadar timbal
pada darah anak-anak sudah menurun dibandingkan dengan hasil penelitian pada
2001.

Dari semua sampel darah yang sudah diperiksa, hanya 25% yang mengandung timbal
di atas ambang batas WHO. Rata-rata kadar timbal pada tiap sampel darah "cuma"
4,6 ug/dl. Bandingkan dengan rata-rata kadar timbal hasil penelitian 2001 yang
mencapai 8,6 ug/dl.

"Program bebas timbal di Jakarta hasilnya signifikan," kata Budi Haryanto, yang
menyempatkan datang ke Gedung Gatra, Selasa lalu, untuk menjelaskan hasil
sementara penelitiannya. Kandidat doktor bidang epidemilogi itu mendesak
pemerintah agar menghapuskan bensin bertimbal di seluruh wilayah Indonesia.

Kampanye itulah yang sekarang terus digeber Komite Penghapusan Bensin Bertimbal
(KPBB). "Kita sudah ketinggalan oleh negara-negara lain, bahkan oleh para
tetangga," kata Ahmad Safrudin, Koordinator KPBB. Safrudin memaparkan bahwa
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sudah menghapuskan timbal pada bensin
sejak awal 1980-an. Singapura dan Malaysia sudah menghilangkan timbal pada
1990, serta Thailand dan Filipina menyusul setahun kemudian.

Menurut Safrudin, penghapusan bensin bertimbal di Jakarta tak berpengaruh
banyak dalam mengurangi pencemaran. "Siapa yang menjamin semua mobil yang
beredar di Jakarta membeli bensinnya di Jakarta?" katanya. Padahal, pompa-pompa
bensin di luar Jakarta masih menjual bensin bertimbal. Dan, sebagian besar
mobil yang berseliweran di Jakarta berasal dari wilayah Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi.

Muhamad Rudi Wahyono dari Pusat Informasi Timbal Indonesia (Indonesia Lead
Information Center) mengatakan, 70% polutan timbal di Jakarta diperkirakan
berasal dari asap kendaraan. Saat ini, jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota
mencapai 4.150.000 unit. Tingkat pertumbuhannya rata-rata di atas 5% per tahun.

"Kondisi itu diperparah dengan upaya perawatan kendaraan yang tidak memadai,"
ujar Rudi. Pemeriksaan emisi kendaraan yang dilakukan Kementerian Lingkungan
Hidup di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi membuktikan, sekitar 60%
kendaraan yang diperiksa tidak memenuhi ambang batas emisi gas buang.

Menteri Lingkungan Hidup telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 141 Tahun
2003 tentang Baku Mutu Emisi Kendaraan Tipe Baru. Dalam keputusan itu
dinyatakan, mulai Januari 2005 setiap kendaraan dengan tipe baru wajib mematuhi
standar emisi EURO 2. Sedangkan tipe lama yang sudah terjual diberi kesempatan
melakukan penyesuaian hingga 2007. Dengan demikian, mulai 2007 setiap kendaraan
yang dijual di Indonesia harus memenuhi standar EURO 2.

Standar baru itu menetapkan ambang batas emisi gas buang yang disemprotkan
kendaraan bermotor. Untuk emisi karbon monoksida (CO), misalnya, ditetapkan
maksimal 2,2 gram per kilometer, diukur selama kendaraan beroperasi di jalan.
Patokan ini lebih rendah dibandingkan dengan standar Euro 1 yang 2,72 gram per
kilometer untuk gas yang sama.

Regulasi ramah lingkungan untuk menekan bahan pencemar udara itu disepakati
negara-negara Eropa sejak 1991, dengan kesepakatan EURO 1. Selanjutnya, pada
1996, mereka melangkah ke kesepakatan EURO 2 dengan menekan emisi gas buang
kendaraan bermotor hingga 30%.

Ahmad Safrudin mengingatkan, Indonesia akan semakin tertinggal jika tidak
segera melaksanakan ketetapan EURO 2. Sebab negara lain sudah melangkah ke
ketetapan EURO 3 yang dibuat tahun 2000, dengan pengurangan emisi partikel debu
sampai di bawah 20%. Berikutnya, mereka akan menyongsong ketetapan EURO 4,
dengan target emisi partikel menjadi di bawah 10%.

Ketetapan EURO dilaksanakan dengan melakukan perbaikan mutu bahan bakar dan
teknologi mesin kendaraan. Di negara-negara yang sudah menghapus bensin
bertimbal, mesin kendaraan dilengkapi peranti bernama catalitic coverter. Alat
ini berfungsi menyaring gas-gas pencemar hasil pembakaran, sehingga asap yang
keluar dari knalpot sudah ramah lingkungan.

Tapi alat itu akan rusak jika digunakan pada kendaraan yang masih menggunakan
bensin bertimbal. Keruan saja, asap yang disemburkan mesin-mesin kendaraan di
kota-kota besar Indonesia akan kian mengganas seiring kondisi lalu lintas yang
makin macet.

Pemecahan masalah pencemaran udara terutama oleh timbal sudah saatnya
dipikirkan bersama. Timbal kini diketahui sebagai bahan pencemar yang dapat
menyebabkan tragedi sosial akibat penurunan kecerdasan anak-anak. Kemampuan
akademis mereka bisa menurun, dan secara nasional bisa menjatuhkan kualitas
bangsa di masa datang. Itu berarti sebuah kehilangan generasi penerus.

Pencemaran udara memberi akibat kerugian berantai. Laporan studi Mitra Emisi
Bersih yang dilansir Oktober 2004 menyebutkan, masyarakat Jakarta harus
menanggung sekitar US$ 180 juta tiap tahun akibat polusi udara. Diprediksi,
biaya itu akan naik dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan.

Biaya itu sebagian besar dibayarkan untuk berobat, akibat berjangkitnya
berbagai penyakit. Bahan polutan yang mencemari udara memang secara langsung
menggerogoti daya tahan tubuh dan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan.

Kerugian lainnya adalah hilangannya pendapatan karena warga kota tidak dapat
bekerja gara-gara sakit. Menurut studi Mitra Emisi Bersih, gangguan polusi
udara menyebabkan rata-rata warga kota kehilangan 24 hari kerja pada 2004.
Kasus kematian akibat polusi tercatat mencapai 6.400 di kota-kota besar seluruh
Indonesia.

Paul Butarbutar, Senior Program Officer Clean Air Project Swisscontact Jakarta,
mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk serius menangani persoalan
lingkungan. Menurut dia, ada empat hal yang harus menjadi fokus perhatian
pemerintah. Pertama, penerapan standar emisi kendaraan yang lebih ketat. Kedua,
meningkatkan kualitas bahan bakar yang ramah lingkungan. Ketiga, peningkatan
upaya perawatan kendaraan, dan keempat penataan transportasi.

Upaya mengatasi ancaman polusi udara jangan sampai menunggu dampaknya yang
lebih gawat. Kata orang bijak, lebih baik mencegah daripada mengobati.

Endang Sukendar, dan Ida Farida (Bandung)
[Lingkungan, Gatra Nomor 16 Beredar Senin, 28 Februari 2005]

Tidak ada komentar: