Senin, 24 Desember 2007

EVALUASO KERUSAKAN KAWASAN MANGROVE DI JAWA BARAT

EVALUASI KERUSAKAN KAWASAN MANGROVE DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA DI JAWA BARAT DAN BANTEN
Onrizal
Fakultas Pertanian
Program Ilmu Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang peranan yang cukup penting, baik di dalam memelihara produktivitas perairan pesisir maupun di dalam menunjang kehidupan penduduk di wilayah tersebut. Bagi wilayah pesisir, keberadaan hutan mangrove, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangatlah penting untuik suplai kayu bakar, nener/ikan dan udang serta mempertahankan kualitas ekosistem pertanian, perikanan dan permukiman yang berada di belakangnya dari gangguan abrasi, instrusi dan angin laut yang kencang.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto, 1984). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia (FAO, 1982). Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Kusmana (1995) melaporkan bahwa pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Kekawatiran terus manurunnya kondisi hutan mangrove juga terjadi pada hutan mangrove di daerah pesisir pantai Pulau Jawa, termasuk di pesisir pantai Jawa Barat dan Banten. Fenomena ini, jelas akan mengakibatkan kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaaya ekosistem pesisir, di mana hutan mangrove itu berada serta menurunnya, bahkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi dan manfaat hutan mangrove yang rusak harus dilakukan kegiatan rehabilitasi dengan terlebih dahulu mengetahui kondisi kerusakannya.
Dalam rangka untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, pada bulan Mei 1997 telah dilakukan kegiatan identifikasi dan inventarisasi kerusakan kawasan mangrove di pesisir Jawa Barat dan Banten.
2002 digitized by USU digital library 1
II. METODE PENELITIAN
2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Survey lapangan dalam rangka inventarisasi dan identifikasi flora dan kondisi habitat hutan mangrove di Jawa Barat dan Banten dilakukan pada bulan April 1997. Data yang dikumpulkan dalam survey lapangan meliputi struktur dan komposisi jenis, lebar jalur hijau, abrasi, kondisi tanah, kualitas air dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove.
Mengingat cukup luasnya areal yang akan diteliti, maka pengamatan dan pengukuran di lapangan dilakukan pada lokasi terpilih (training area). Pemilihan training area dilakukan dengan mengkombinasikan informasi kesesuain lahan dari Peta Sistem Lahan (Land System Map) yang dikeluarkan oleh Bakorsultanal dan informasi penutupan lahan dari Peta Landsat TM. Setelah dikombinasikan, diketahui bahwa hutan mangrove Jawa Barat dan Banten tumbuh pada sistem lahan PRT, KJP, KHY, PTG, UPG dan MKS. Penentuan posisi training area di lapangan dilakukan dengan menggunakan GPS. Posisi masing-masing training area pada sistem lahan disajikan pada Lampiran 1.
2.2. Komposisi dan Struktur Vegetasi
Pencuplikan data flora dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu inventarisasi flora dan melalui teknik analisis vegetasi. Inventarisasi flora dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum keadaan vegetasi di daerah penelitian, sedang teknik analisis vegetasi ditujukan untuk melihat struktur dan komposisi jenis. Teknik analisis vegetasi yang digunakan adalah metoda petak dengan unit contoh berupa jalur (transek) berukuran 10 m x 100 m sebanyak 10 jalur. Di dalam setiap unit contoh (jalur) secara nested sampling dibuat sub-sub unit contoh untuk permudaan, yakni 2 m x 2 m untuk tingkat semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang dan 10 m x 10 m untuk pohon. Kriteria tingkat permudaan yang digunakan adalah: (a) semai adalah anakan pohon mulai kecambah sampai tingginya ≤ 1,5 m, (b) pancang adalah anakan pohon dengan diamater <> 1,5 m, dan (c) pohon adalah pohon muda dan dewasa yang memiliki diameter ≥ 10 cm. Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis dengan metode seperti Greig-Smith (1964).
2.3. Tanah
Contoh tanah akan diambil dari masing-masing training area. Analisis contoh tanah akan dilakukan terhadap sifat fisik dan kimianya seperti tercantum pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Jenis-jenis parameter tanah yang dianalisis
No.
Karakteristik Tanah
Lapangan
Laboratorium
A.
1.
Fisik Tanah
Tekstur Tanah


2.
Kedalaman tanah

3.
Keadaan batu/kerikil

4.
Lereng/fisiografi

5.
Kedalaman genangan air dan dalamnya air tanah

B.
1.
Kimia Tanah
Kandungan potensi pirit dan kedalamannya


2.
pH (H2O), dan pH (H2O2)

3.
DHL

2002 digitized by USU digital library 2
2.4. Air
Pengambilan contoh air akan dilakukan pada beberapa lokasi yang bersifat mewakili kondisi perairan daerah yang disurvey. Adapun parameter-parameter sifat air yang akan diukur dan dianalisis adalah parameter sifat air yang menjadi persyaratan baku mutu bagi kehidupan biota laut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2.5. Lebar jalur hijau mangrove
Pengukuran lebar jalur hijau dilakukan mulai dari pinggir pantai atau sungai yang bervegetasi secara kontinyu ke arah darat sampai batas daerah yang tidak bervegetasi. Sehingga kemudian didapatkan lebar jalur hijau terlebar dan tersempit.
2.6. Abrasi
Prakiraan besarnya laju abrasi di suatu lokasi ditentukan berdasarkan hasil wawancara penduduk asli setempat tentang riwayat kondisi pantai dan perubahannya sampai saat penelitian. Dari data yang didapatkan kemudian dibuat rata-rata laju abrasi per tahun dengan cara membagi perubahan lebar pantai dengan tahun selama perubahan tersebut. Jika lebar pantai semakin bertambah, maka yang terjadi adalah sedimentasi. Sedangkan dikatakan abrasi manakala lebar pantai semakin berkurang.
2.7. Kondisi sosial-ekonomi
Data untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan didapatkan melalui wawancara dan pengumpulan data sekunder. Pemilihan responden untuk wawancara dilakukan secara random dengan menggunakan media questionaire.
2.8. Penentuan tingkat kerusakan hutan mangrove
Penentuan tingkat kerusakan kawasan berpotensi mangrove ditentukan melalui formulasi yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan tahun 1997 (Dirjen RRL, 1997), seperti terlihat pada Lampiran 2. Sedangkan penghitungan luas masing-masing kawasan dilakukan melalui Peta Tingkat Kerusakan Kawasan Mangrove di Jawa Barat (dan Banten) yang dikeluarkan oleh Dirjen RRL tahun 1997.
2002 digitized by USU digital library 3
III. KONDISI BIOFISIK DAN SOSIAL EKONOMI
Tumbuhan mangrove secara ekologi akan tumbuh pada daerah pesisir yang terpengaruh oleh pasang surut air laut. Berdasarkan Peta Land System dan pengamatan di lapangan, tanah-tanah pada land system PRT, KJP, KHY, PTG, UPG dan MKS di Jawa Barat dan Banten dapat ditumbuhi vegetasi mangrove, karena dipengaruhi oleh pasang air laut.
Hasil pengamatan dan pengukuran kondisi biofisik kawasan mangrove serta hasil wawancara dan pengumpulan data sekunder tentang sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove di Jawa Barat dan Banten dijabarkan sebagai berikut:
3.1. Kondisi Biofisik
a. Land System PRT
a.1. Vegetasi
Vegetasi mangrove yang terdapat di land system ini umumnya merupakan peralihan antara ekosistem mangrove dengan ekosistem hutan pantai. Dari hasil pengamatan dijumpai 14 jenis vegetasi yang tersebar baik pada tingkat semai, pancang, maupun tingkat pohon yaitu api-api (Avicennia marina), butun (Barringtonia asiatica), bogem (Sonneratia caseolaris), buta-buta (Excoecaria agallocha), tingi (Ceriops tagal), dungun (Heritiera littoralis), ketapang (Terminalia catappa), malapari (Pongamia pinnata), bintoro (Cerbera manghas), nyamplung (Calophyllum inophyllum), nyiri (Xylocarpus moluccense), tancang (Bruguiera cylindrica), duduk (Lumnitzera littorea), waru (Hibiscus tiliaceus), dan kipanggang (Ficus microcarpa).
Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jenis-jenis yang dominan pada tingkat pohon adalah E. agallocha (INP = 101.51%), H. tiliaceus (INP = 67,5%) dan A. marina dengan nilai INP sekitar 40.5%. Total kerapatan individu seluruh jenis sekitar ± 90 ind/ha.
Sedangkan untuk tingkat pancang jenis-jenis yang dominan antara lain E. agallocha (INP = 70.97%), H. tiliaceus (INP = 35.33%) dan P. pinnata (INP = 23.88%). Total kerapatan individu seluruh jenis sekitar 272 ind/ha.
Untuk tingkat semai jenis-jenis yang dominan adalah E. agallocha (INP = 72.75%), H. tiliaceus (INP = 50.20%) dan A. marina dengan nilai INP sekitar 12.55%. Total kerapatan individu seluruh jenis sekitar 750 ind/ha.
Vegetasi bawah yang dominan di land system ini antara lain jerujon (Acanthus ilicifolius), paku laut (Acrosticum aureum), bluntas (Pluchea indica), Lantana camara, Pandanus sp. dan selanak wowo (Flagellaria indica) serta katang-katang (Ipomoea pes-caprae).
a.2. Jalur Hijau Mangrove
Pada land system PRT, jalur hijau mangrove hanya dijumpai di kiri kanan sempadan sungai saja dengan lebar rata-rata kurang dari 30 m dan panjang 100 - 1000 m. Rusaknya vegetasi mangrove di daerah ini disebabkan oleh pemanfaatan kayu mangrove secara intensif untuk kayu bakar dan bahan bangunan oleh penduduk setempat yang dimulai sejak tahun 1980-an.
2002 digitized by USU digital library 4
a.3. Tanah
Jenis tanah yang dijumpai pada land system ini adalah Tropopsamments dengan bahan induk tanah berasal dari endapan marin muda yang berupa pasir dan gravel. Tanah Tropopsamments ini bertekstur lempung liat berpasir dengan konsistensi agak lekat pada setiap lapisan. Drainase tanah tergolong agak buruk. Warna tanah umumnya coklat dengan chroma 4. pH tanah berkisar antara 6,0 sampai 7,0 dan tidak dijumpai potensi pirit pada kedalaman < 100 cm .
a.4. Air
Berdasarkan hasil pengukuran ditemukan bahwa parameter kimia air pada land system PRT yang berada di atas baku mutu untuk biota laut adalah COD (117.25 mg/l) dan Hg (0.004 mg/l). Sedangkan nilai parameter kualitas air lainnya berada di bawah ambang batas baku mutu lingkungan. Kondisi kualitas air pada land system PRT ini secara lengkap disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Kualitas air pada land system PRT, Jawa Barat dan Banten
Parameter
Satuan
Nilai Mutu
Baku Mutu
Fisika :
1. Suhu
2. Kecerahan
oC
cm
30
18
alami
≥ 5
Kimia :
1. pH
2. DO
3. Salinitas
4. COD
5. NH3 -N
6. Detergen
7. Mercury (Hg)
8. Kadmium (Cd)
mg/l
o/oo
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
6.5
5.4
10
117.25
0.134
0.135
0.004
0.005
6 - 9
> 4
alam
≤ 80
≤ 1
≤ 1
≤ 0.003
≤ 0.01
b. Land System KHY
b.1. Vegetasi
Pada land system KHY ini dijumpai 6 (enam) jenis tumbuhan mangrove tingkat pohon, yakni A. marina, S. caseolaris, E. agallocha,C. tagal, X. moluccensis dan B. cylindrica, dengan jenis yang dominan adalah A. marina (INP = 151.7%) dengan kerapatan 23 ind/ha, sedangkan total seluruh individu tingkat pohon adalah 48 ind/ha.
Selain jenis-jenis tingkat pohon di atas, pada tingkat pancang dijumpai juga jenis R. stylosa dan Lumnitzera littorea. Jenis yang dominan juga A. marina (INP = 69.8%) dengan kerapatan 104 ind/ha, sedang total seluruh individu tingkat pancang adalah 324 ind/ha.
Pada tingkat semai hanya 5 (lima) jenis tumbuhan yang dijumpai, yaitu A. marina, E. agallocha, C. tagal, L. littorea dan R. stylosa, dengan jenis yang dominan adalah C. tagal (INP = 156.4%) dengan kerapatan 4000 ind/ha. Total kerapatan seluruh individu tingkat semai sekitar 4.875 ind/ha.
Vegetasi bawah yang terdapat di land system ini antara lain jerujon (Acanthus ilicifolius), paku laut (Acrostichum aureum), dan gadelan (Entada sp.).
2002 digitized by USU digital library 5
b.2. Jalur Hijau Mangrove
Jalur hijau mangrove di land system KHY ini, kondisinya terpencar-pencar dengan lebar bervariasi antara 5 - 130 m dan panjang antara 10 - 100 m. Rusaknya jalur hijau mangrove di land system ini disebabkan karena pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi areal perkebunan kelapa (Cocos nucifera) dan pertambakan oleh masyarakat setempat yang dimulai sejak tahun 1984.
b.3. Tanah
Jenis tanah yang dijumpai adalah Tropohemists dengan bahan induk tanah berasal dari bahan gambut yang memiliki tingkat kematangan tanah sedang. Pada lahan tidak bervegetasi, tanah tersebut memiliki tekstur lempung liat berdebu sampai liat dengan konsistensi agak lekat sampai sangat lekat. Drainase tanah termasuk buruk dan warna tanah umumnya abu-abu dengan chroma 2 atau kurang. pH tanah berkisar antara 7,0 sampai 8,0. Potensi pirit terdapat pada kedalaman 70 - 100 cm dan 100 - 120 cm dengan kandungan pirit pada masing-masing kedalaman tersebut adalah 0,19 % dan 0,86 %.
Pada kondisi tingkat kerapatan vegetasi mangrove jarang, tanah Tropohemists pada land system ini memiliki tekstur lempung liat berdebu sampai liat dengan konsistensi agak lekat sampai sangat lekat. Drainase tanah tergolong buruk dengan warna tanah umumnya abu-abu dan chroma 2 atau kurang. pH tanah umumnya tinggi, yaitu berkisar 7,0 sampai 8,0. Potensi pirit dijumpai pada kedalaman 20 - 30 cm , 40 - 60 cm dan 70 - 100 cm, dengan kandungan pirit pada masing-masing kedalaman tanah tersebut adalah 0,23 %, 0,75 %, dan 0,41 %.
b.4. Air
Kadar salinitas di land system KHY adalah 9 o/oo dengan suhu 30 oC dan kecerahan 18 cm serta pH air sebesar 6.5. Kondisi tersebut tergolong normal dan tidak melampaui baku mutu. Umumnya nilai parameter air, kecuali COD, berada dibawah ambang batas baku mutu lingkungan. Kondisi fisik - kimia air di land system KHY, selengkapnya disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Kualitas air pada land system KHY, Jawa Barat dan Banten
Parameter
Satuan
Nilai Mutu
Baku Mutu
Fisika :
1. Suhu
2. Kecerahan
oC
cm
30
18.5
alami
≥ 5
Kimia :
1. pH
2. DO
3. Salinitas
4. COD
5. NH3 -N
6. Detergen
7. Mercury (Hg)
8. Kadmium (Cd)
mg/l
o/oo
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
6.5
6.25
9
63.25
0.216
0.110
0.002
0.008
6 - 9
> 4
alam
≤ 80
≤ 1
≤ 1
≤ 0.003
≤ 0.01
2002 digitized by USU digital library 6
c. Land System PTG
c.1. Vegetasi
Land system PTG di Jawa Barat dan Banten ini secara umum ditumbuhi oleh vegetasi pantai seperti kelapa (Cocos nucifera), ketapang (Terminalia cattapa), waru (Hibiscus tiliaceus), malapari (Pongamia pinnata) dan bidara laut (Ximenia americana).
Ekosistem mangrove hanya dijumpai di sekitar muara-muara sungai saja dengan luas dan kerapatan individu perhektarnya tidak terlalu besar. Jenis-jenis mangrove yang dijumpai di land system ini adalah A. marina, S. alba, B. cylindrica, E. agallocha dan C. tagal.
Pada tingkat pohon hanya dijumpai dua jenis tumbuhan saja, yaitu A. marina dengan kerapatan sekitar 14 ind/ha dan diameter batang berkisar antara 10 - 15 cm dan S. alba yang mempunyai kerapatan sekitar 1 ind/ha. Total kerapatan untuk tingkat pohon sekitar 15 ind/ha.
Untuk tingkat pancang jenis-jenis yang dijumpai adalah A. marina dengan kerapatan sekitar 30 ind/ha, C. tagal sekitar 6 ind/ha, B. cylindrica dan E. agallocha dengan kerapatan masing-masing sekitar 2 ind/ha. Sedangkan untuk tingkat semai jenis-jenis yang dijumpai adalah C. tagal dengan kerapatan sekitar 24 ind/ha dan E. agallocha dengan kerapatan sekitar 7 ind/ha. Total kerapatan untuk tingkat pancang adalah 40 ind/ha dan untuk semai 31 ind/ha.
Vegetasi bawah yang dijumpai di land system ini adalah jerujon (Acanthus ilicifolius), paku laut (Acrostichum aureum), seruni (Widelia biflora), teki laut (Cyperus maritima), dan katang-katang (Ipomoea pes-caprae)
Berdasarkan informasi dari penduduk setempat, disamping jenis mangrove yang ada saat ini, dahulunya land system ini ditumbuhi juga oleh jenis R. mucronata dan A. marina.
c.2. Jalur Hijau Mangrove
Jalur hijau mangrove hanya dijumpai di muara-muara sungai atau di sempadan sungai secara diskontinyu dengan lebar kurang dari 20 m dan panjang berkisar antara 10 sampai 50 m. Rusaknya vegetasi mangrove ini disebabkan oleh pengkonversian lahan ini menjadi persawahan yang dimulai sejak tahun 1980, yang saat ini berubah menjadi tegalan.
c.3. Tanah
Tanah yang dijumpai adalah Tropaquents dengan bahan induk tanah berasal dari sedimen aluvium dan pasir pantai marine muda. Tanah Tropaquents ini bertekstur liat dengan konsistensi agak lekat sampai lekat. Drainase tanah buruk dengan warna tanah abu-abu dan chroma 2 atau kurang. pH tanah berkisar antara 5,0 sampai 8,0. Potensi pirit dijumpai pada kedalaman 30 - 50 cm dan 50 - 90 cm, dengan kandungan pirit pada masing-masing kedalaman tersebut adalah 1,39% dan 1,90%.
c.4. Air
Hasil pengukuran paramater fisik kimia air sungai pada land system PTG menunjukkan bahwa suhu air sebesar 30o C dengan tingkat kecerahan 15 cm. Air sungai bersifat basa (pH = 7,5) dengan nilai salinitas sebesar 10 - 12 o/oo. Kandungan oksigen terlarut pada land system PTG ini menunjukkan nilai 6,4 mg/l. Sedangkan kandungan COD sebesar 119,33 mg/l. Kandungan Amonium (NH3-N) menunjukan nilai 0,025 mg/l, sedangkan kandungan diterjen sebesar 0,105 mg/l. Logam berat yang dikandung perairan ini sebesar < 0,001 mg/l untuk merkuri dan 0,006 mg/l untuk Kadmium.
2002 digitized by USU digital library 7
Hampir semua parameter baik fisik maupun kimia di perairan ini masih memenuhi baku mutu lingkungan. Khusus nilai COD di perairan ini telah melampui ambang batas.
d. Land System KJP
d.1. Vegetasi
Mangrove yang terdapat di land system ini umumnya sudah mengalami kerusakan yang cukup parah. Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh kerapatan jenis A. marina untuk tingkat pohon adalah 14 ind/ha dengan selang diameter batang antara 10 - 15 cm, dan E. agallocha dengan kerapatan pohon sekitar 2 ind/ha. Total kerapatan vegetasi tingkat pohon sekitar 16 ind/ha. Untuk tingkat pancang didominasi oleh jenis A. marina dengan kerapatan sekitar 260 ind/ha. Sedangkan untuk tingkat semai jenis yang dominan adalah A. marina dengan kerapatan 900 ind/ha, dan E. agallocha dengan kerapatan sekitar 75 ind/ha. Total kerapatan semai adalah 975 ind/ha.
Vegetasi bawah yang dijumpai di lokasi ini adalah bluntas (Pluchea indica), seruni (Widelia biflora) dan teki laut (Cyperus maritima).
d.2. Jalur Hijau Mangrove
Jalur hijau mangrove di land system KJP Jawa Barat dan Banten dijumpai di sepanjang pesisir pantai dengan lebar bervariasi antara 10 - 20 m. Kerusakan mangrove ini disebabkan oleh pengkonversian lahan menjadi pertambakan yang dimulai sejak tahun 1978.
d.3. Tanah
Tanah yang dijumpai adalah Hydraquents dengan bahan induk tanah berasal dari campuran estuarine dan marine yang masih muda dengan tekstur halus. Pada kondisi mangrove jarang, tanah Hydraquents bertekstur lempung berpasir sampai liat dengan konsistensi agak lekat sampai sangat lekat. Drainase tanah umumnya sangat buruk dengan warna tanah abu-abu dan chroma 2 atau kurang. pH tanah berkisar antara 6,0 sampai 7,0 dan tidak dijumpai adanya potensi pirit pada kedalaman < 100 cm.
Sedangkan pada mangrove agak rapat, tanah Hydraquents yang dijumpai bertekstur lempung berpasir sampai lempung liat berdebu dengan konsistensi tidak lekat sampai lekat. Drainase tanah sangat buruk dengan warna tanah abu-abu gelap dan chroma 2 atau kurang. pH tanah berkisar antara 6,0 sampai 6,5 dan tidak dijumpai potensi pirit pada kedalaman < 100 cm.
d.4. Air
Kualitas air di land system KJP, propinsi Jawa Barat dan Banten, baik untuk parameter fisik maupun kimia umumnya masih berada di bawah baku mutu lingkungan untuk biota laut. Kondisi air di land system KJP selengkapnya disajikan pada Tabel 3.3.
2002 digitized by USU digital library 8
Tabel 3.3. Kualitas air pada land system KJP, Jawa Barat dan Banten
Parameter
Satuan
Nilai Mutu
Baku Mutu
Fisika :
1. Suhu
2. Kecerahan
oC
cm
29.0
16.5
alami
≥ 5
Kimia :
1. pH
2. DO
3. Salinitas
4. COD
5. NH3 -N
6. Detergen
7. Mercury (Hg)
8. Kadmium (Cd)
mg/l
o/oo
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
7.5
4.7
30.0
77.28
1.043
0.085
0.006
0.008
6 - 9
> 4
± 10 % alami
≤ 80
≤ 1
≤ 1
≤ 0.003
≤ 0.01
e. Land System MKS
e.1. Vegetasi
Sebagian besar kawasan mangrove di land system MKS sudah beralih fungsi menjadi lahan tambak dan persawahan. Vegetasi mangrove yang dijumpai umumnya tumbuh secara soliter dan terpecah-pecah dengan luasan dan kerapatan yang rendah sekali.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, di land system ini dahulunya dijumpai Avicennia marina, Ceriops tagal, Rhizophora spp., dan Sonneratia spp.. Sedangkan vegetasi bawah yang dijumpai saat ini antara lain Cyperus maritima, Fimbristylus globulosa, Nypa fruticans, dan Widelia biflora.
e.2. Jalur Hijau Mangrove
Umumnya jalur hijau di land system MKS di Jawa Barat dan Banten sudah tidak dijumpai lagi. Hal ini disebabkan karena adanya pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi areal pertambakan dan persawahan.
e.3. Tanah
Tanah yang dijumpai adalah Fluvaquents dengan bahan induk tanah berasal dari endapan aluvium marine muda. Tanah Fluvaquents ini bertekstur liat berlempung dengan konsistensi agak lekat sampai sangat lekat. Drainase tanah buruk dengan warna tanah abu-abu dan chroma 2 atau kurang. pH tanah berkisar antara 7,0 sampai 8,0. Potensi pirit dijumpai pada kedalaman 30 - 50 cm, 50 - 70 cm dan 70 - 100 cm, dengan kandungan pirit pada masing-masing kedalaman tanah tersebut adalah 0,03 %, 0,06 %, dan 0,05 %.
e.4. Air
Perairan di land system MKS memiliki sifat fisik yang masih sesuai dengan baku mutu lingkungan dengan hasil pengukuran sebagai berikut : suhu (29 oC), dan kecerahan (14 cm).
Pada umumnya parameter kimia di perairan ini masih sesuai dengan baku mutu, kecuali nilai COD sebesar 122,82 mg/l, yang melebihi baku mutu. Parameter
2002 digitized by USU digital library 9
kimia lainnya adalah sebagai berikut : pH (7), DO (5,6), Amonium (0,018 mg/l), diterjen (< 0.001 mg/l), Hg (0.001 mg/l) dan Cd (0.005 mg/l) dan salinitas (10%).
f. Land System UPG
f.1. Vegetasi
Ekosistem mangrove di land system UPG Jawa Barat dan Banten tidak dijumpai lagi. Vegetasi yang dijumpai di land system ini merupakan vegetasi pantai seperti cemara (Casuarina equisetifolia), ketapang (Terminalia catappa), waru (Hibiscus tiliaceus), kelapa (Cocos nucifera) dan dadap laut (Erythrina orientalis) yang tumbuh secara terpencar-pencar dengan kerapatan yang sangat rendah (20 pohon/ha). Sedangkan vegetasi bawah yang dijumpai antara lain bluntas (Pluchea indica), seruni (Widelia biflora), katang-katang (Ipomoea pes-caprae), dan teki laut (Cyperus maritima).
Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, dahulu di land system ini tumbuh Avicennia spp. dan Sonneratia spp.
f.2. Jalur Hijau Mangrove
Jalur hijau mangrove di land system UPG Jawa Barat dan Banten tidak dijumpai lagi. Hilangnya vegetasi mangrove di land system ini disebabkan oleh matinya jenis-jenis mangrove tersebut oleh faktor penyebab yang tidak diketahui sejak tahun 1980-an.
f.3. Tanah
Tanah yang dijumpai adalah Dystropepts dengan bahan induk tanah berasal dari bahan-bahan aluvium dan pasir pantai marine muda. Tanah Dystropepts ini bertekstur lempung liat berdebu sampai liat dengan konsistensi lekat sampai sangat lekat. Drainase tanah buruk dengan warna tanah umumnya abu-abu kecoklatan dan chroma 2 sampai 4. pH tanahnya berkisar antara 5,5 - 6,0 dan tidak dijumpai adanya potensi pirit pada kedalaman < 100 cm.
f.4. Air
Hasil pengukuran parameter fisik - kimia air pada land system UPG menunjukkan bahwa untuk parameter suhu (28 oC), pH (6,5), Amonium (0,021 mg/l), diterjen (0,065 mg/l), merkuri (0,002 mg/l), salinitas (1 o/oo) dan Kadmium (0.005 mg/l) telah memenuhi baku mutu lingkungan. Sedangkan untuk parameter kecerahan ( 15,5 cm), DO (3,45 mg/l) dan COD (128,48 mg/l) tidak memenuhi baku mutu lingkungan hidup.
3.2. Abrasi
Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat perkiraan abrasi pada setiap land system di Jawa Barat dan Banten, disajikan pada Tabel 3.4. Daerah pesisir pantai yang mengalami abrasi cukup tinggi terjadi pada land system PTG (4,0 m/th) dan UPG (3,2 m/th).
Pada land system KHY, sesungguhnya garis yang mengalami abrasi hampir relatif stabil keberadaannya, karena endapan lumpur yang terbawa oleh aliran air sungai.
2002 digitized by USU digital library 10
Tabel 3.4. Perkiraan garis pantai dan abrasi pada beberapa land system di Jawa Barat
Land System
Perkiraan Garis Pantai dari Garis Pantai Sekarang (m)
Abrasi (m/th)**
PRT
KHY
PTG
KJP
MKS
UPG
7,5 (1992)
1 (1995)
120 (1967)
12 (1987)
1 (1995)
40 (1989)
1,5
0,5
4,0
1,2
0,5
3,2
** = dihitung pada tahun 1997
Tanda dalam tanda kurung menyatakan tahun
3.3. Kondisi Sosial Ekonomi
a. Kependudukan
a.1. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk pada land system PRT, PTG, dan KHY mencapai 339 jiwa/Km2. Pada land system KJP, PTG dan MKS kepadatan penduduknya tercatat 817 jiwa/Km2. Sedangkan pada land system UPG kepadatan penduduknya mencapai 758 jiwa/Km2.
Jumlah penduduk yang relatif padat pada setiap land system akan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan, sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam dan lahan kosong di masa yang akan datang akan semakin berat.
a.2. Angkatan Kerja
Pada land system PRT dan KHY, jumlah penduduk yang bekerja dan berada pada angkatan kerja sebesar 42,46 % dengan tingkat ketergantungannya mencapai 111,96%. Untuk land system KJP dan MKS jumlah penduduk yang bekerja dan berada pada angkatan kerja mencapai 40,27 %, dengan angka ketergantungannya sebesar 123,49%. Sedangkan pada land system UPG, jumlah penduduk yang bekerja dan berada pada angkatan kerja mencapai 44,17 % dengan tingkat ketergantungannya mencapai 103,76 %.
Melihat prosentase penduduk yang berada pada angkatan kerja yang cukup tinggi dibarengi dengan tingkat ketergantungannya yang tinggi pula, kemungkinan di masa yang akan datang masih dibutuhkan lapangan pekerjaan.
a.3. Tingkat Pendidikan
Dari keseluruhan jumlah penduduk, pada land system PRT dan KHY, penduduk yang berada pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar mencapai 18,05 %. Untuk land system KJP dan MKS, penduduk yang berada pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar mencapai 17,91 %. Sedangkan pada land system UPG, 13,04 % merupakan penduduk yang berada pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar.
2002 digitized by USU digital library 11
Prosentase tersebut diatas merupakan nilai tertinggi untuk jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan. Lebih lanjut lagi bahwa jumlah penduduk yang hanya lulus Sekolah Dasar untuk setiap land system cukup tinggi pula. Pada masa yang akan datang, mungkin mereka akan memanfaatkan lahan kosong dan sumberdaya alam lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
a.4. Mata Pencaharian
Sebagian terbesar penduduk untuk setiap land system, memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pada land system PRT dan KHY, 63,25 % penduduk merupakan petani. Pada land system KJP dan MKS, 52,83 % penduduk merupakan petani. Sedangkan pada land system UPG, 38,08 % penduduk adalah petani.
Prosentase diatas menunjukkan bahwa kepentingan penduduk terhadap lahan cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Pemilikan dan Penguasaan Lahan
Pada land system PRT dan KHY, penggunaan tanah berupa sawah mencapai 34,62 %, dan tambak 0,82 %. Untuk land system KJP dan MKS, 36,36 % merupakan tanah sawah dan 4,46 % berupa tambak. Sedangkan pada land system UPG 78,68 % merupakan tanah sawah dan 3,45 % berupa tambak.
Khusus bagi lahan tambak yang pada umumnya berhubungan langsung dengan pesisir pantai, dimungkinkan akan terjadi benturan kepentingan pemanfaatan dan pemilikan lahan.
IV. EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN KAWASAN MANGROVE
4.1. Tingkat Kerusakan Kawasan Mangrove
Penentuan tingkat kerusakan mangrove didasarkan pada pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1997) dengan parameter, bobot dan Skor tingkat kerusakan ekosistem mangrove, seperti tertera pada Lampiran 2.
Dari keenam land system di Jawa Barat dan Banten yang dilakukan penilaian terhadap tingkat kerusakan mangrovenya, 4 land system, yaitu PRT, PTG, KJP, dan UPG dikatagorikan rusak berat, dan 2 land system, yakni KHY dan MKS dikatagorikan rusak sedang, seperti terlihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Daftar penilaian kerusakan kawasan mangrove
Land System
N
Np
L
A
P
C
TNS
Tingkat Kerusakan
PRT
30
20
15
60
50
40
215
Rusak Sedang
KHY
30
80
30
75
50
50
315
Tidak Rusak
PTG
30
20
15
30
50
50
195
Rusak Berat
KJP
30
20
15
60
50
20
195
Rusak Berat
MKS
30
20
15
75
50
50
240
Rusak Sedang
UPG
30
20
15
30
50
50
195
Rusak Berat*)
Ket.: N (kerapatan pohon/ha), Np (kerapatan permudaan/ha), L (lebar jalur hijau mangrove), A (tingkat abrasi), P (kandungan dan kedalaman pirit), C (pencemaran air), TNS (total nilai skoring)
*) Saat pengamatan di lapangan, kawasan ini telah berubah menjadi kawasan non-mangrove
2002 digitized by USU digital library 12
Berdasarkan Tabel 4.1. di atas terlihat bahwa kondisi mangrove dari keseluruhan land system di Jawa Barat dan Banten, umumnya mempunyai kerapatan yang rendah, baik pada tingkat pohon maupun pada tingkat permudaan alamnya. Kerapatan vegetasi tingkat pohon kurang dari 1.000 ind/ha, sedangkan untuk permudaan alamnya, kerapatannya kurang dari 2.000 ind/ha (kecuali di land system KHY, permudaan alamnya mempunyai kerapatan berkisar antara 4.000 – 5.000 ind/ha).
Jalur hijau mangrove dari keseluruhan land system di Jawa Barat dan Banten, umumnya mengalami kerusakan yang parah dan dijumpai diskontinyu di sepanjang pesisisr pantainya. Rata-rata jalur hijau mangrove yang ada sekarang kurang dari 60% dari standar lebar jalur hijau yang seharusnya (Keppres No 32 tahun 1990), atau kurang dari 120 m.
Rendahnya kerapatan vegetasi dan rusaknya jalur hijau mangrove, seperti diuraikan di atas, berdampak pada semakin tingginya tingkat abrasi yang terjadi. Land system PTG dan UPG di Jawa Barat dan Banten merupakan land system yang paling rawan terkena abrasi. Berdasarkan hasil evaluasi, abrasi yang terjadi di kedua land system tersebut berkisar antara 3 – 5 m/th. Sedangkan land system PRT, KHY, KJP dan MKS, walaupun vegetasinya memiliki kerapatan yang rendah, namun karena kondisi vegetasi pantai masih bagus (PRT), adanya sedimentasi (KJP), atau karena letaknya berada di belakang land system lain (KHY dan MKS), menyebabkan land system tersebut mempunya tingkat abrasi yang relatif rendah, yaitu berkisar antara 0 – 2 m/th.
4.2. Perkiraan Luas Kawasan Mangrove yang Rusak
Perkiraan luas kawasan mangrove yang rusak didasrkan pada Peta Tingkat Kerusakan Kawasan Mangrove (Dirjen RRL, 1997) dengan uraian sebagai berikut:
Luas total kawasan yang berpotensi mangrove di Jawa Barat dan Banten kurang lebih sekitar 128.297,26 ha, di mana sebagian besar (73,92% atau 94.843,55 ha) terletak di luar kawasan hutan dan sisanya (26,08 % atau 33,453,71 ha) terletak di dalam kawasan hutan. Kawasan berpotensi mangrove tersebut tersebar di 8 (delapan) kabupaten/kota, yaitu Karawang (31.855,83 ha), Cirebon (20.902,15 ha), Indramayu (17,782,06 ha), Subang (15.426,96 ha), Serang (13.679,94 ha), Bekasi (13.191,81 ha), Tangerang (9.704,56 ha) dan Pandeglang (5.753,95 ha).
Berdasarkan tingkat kerusakannya, kawasan berpotensi mangrove di Jawa Barat dan Banten umumnya tergolong rusak berat dan rusak sedang dengan luas masing-masing secara berurutan adalah 66.873,44 ha (52,12%) dan 61.346,79 ha (47,82%). Sedangkan yang tergolong tidak rusak hanya sekitar 77,03 ha (0,06%). Kawasan berpotensi mangrove yang terletak di dalam kawasan hutan sebagian besar (87,41% atau sekitar 29.242,81 ha) tergolong rusak sedang dan sisanya (12,59% atau sekitar 4.210,90 ha) tergolong rusak berat, sedangkan yang terletak di luar kawasan hutan sekitar 60,24% (57.135,89 ha) tergolong rusak berat, 39,68% (37.630,63 ha) tergolong rusak sedang dan sisanya, yaitu sekitar 0,08% (77,03 ha) tergolong tidak rusak. Tingginya luas tingkat kerusakan di luar kawasan hutan ini karena selain kawasannya yang luas juga disebabkan oleh tingginya tingkat penggunaan lahan oleh masyrakat sekitar. Namun demikian, kondisi kawasan berpotensi mangrove yang tidak rusak terdapat di luar kawasan hutan, walaupun dalam jumlah luasannya yang cukup kecil, yakni sekitar 77,03 ha. Fakta ini perlu dikaji lebih lanjut, sehingga didapatkan jawaban mengapa hutan dengan luasanya tersebut masih dalam kondisi yang baik di antara sekian besar yang rusak, baik rusak berat maupun rusak sedang.
Pada tingkat kabupaten, kawasan berpotensi mangrove di dalam kawasan hutan yang tergolong rusak berat terluas terletak di Kabupaten Indramayu dengan luas
2002 digitized by USU digital library 13
sebesar 9.191,36 ha dan yang tergolong rusak sedang terluas berada di Kabupaten Bekasi dengan luas sebesar 2.054,57 ha, sedangkan yang tergolong tidak rusak tidak ada. Untuk di luar kawasan hutan, tingkat kerusakan terluas yang tergolong rusak berat dan rusak sedang terdapat di Kabupaten Karawang dengan luas masing-masing secara berurutan sebesar 13.217,36 ha dan 16.697,38 ha, sedang kan yang tergolong yang tidak rusak hanya berada di Kabupaten Pandeglang dengan luas sekitar 77,03 ha.
V. FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN KAWASAN MANGROVE
Penyebab rusaknya ekosistem mangrove di Jawa Barat dan Banten, jika dilihat dari hasil penilaian (Tabel 4.1) umumnya bukan disebabkan oleh pencemaran air dan tanah di habitat mangrove. Hal ini dapat dilihat dari kualitas air maupun kandungan dan kedalaman pirit yang relatif baik bagi ekosistem amngrove. Kerusakannya yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, permukiman, dan raklamasi pantai untuk kawasan wisata.
VI. ALTERNATIF RAHABILITASI KAWASAN MANGROVE
Secara garis besar alternatif rehabilitasi kawasan mangrove untuk propinsi Jawa Barat dan Banten terbagi ke dalam dua lokasi sasaran, yakni (1) rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove dan (2) rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove. Bentuk dan teknik rehabilitasi pada setiap daerah sasaran didasarkan kepada fungsi kawasan, kondisi biofisik sumberdaya mangrove dan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove.
6.1. Keseuaian jenis Pohon dengan Habitatnya (Species-Site Matching)
Kegiatan species-site matching sangat berguna untuk menunjang keberhasilan penanaman suatu lahan, karena dengan kegiatan ini akan diketahui kesesuaian suatu jenis tumbuhan dengan lingkungannya.
Khusus untuk mangrove, faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk melakukan species-site matching adalah salinitas, frekuensi penggenangan, tekstur tanah (kandungan pasir dan liat/lumpur), dan kekuatan ombak dan angin. Untuk lebih jelasnya keseuaian beberapa jenis mangrove dengan faktor lingkungannya dapat dilihat pada Tabel 6.1.
2002 digitized by USU digital library 14
Tabel 6.1. Kesesuaian Beberapa Jenis Mangrove dengan Faktor-faktor Lingkungan (Kusmana, et al., 1997, Kusmana dan Onrizal, 1998)
No.
Jenis
Salinitas (o/oo)
Toleransi terhadap Kekuatan Ombak dan Angin
Toleransi terhadap Kandungan Pasir
Toleransi terhadap Lumpur
Frekuensi Penggenan gan
1.
Rhizophora mucronata
10 -30
ST
MD
ST
20 hari/bln
2.
R. sylosa
10 -30
MD
ST
ST
20 hari/bln
3.
R. apiculata
10 -30
MD
MD
ST
20 hari/bln
4.
Bruguiera parviflora
10 -30
SV
MD
ST
10-19 hari/bln
5.
B. sexangula
10 -30
SV
MD
ST
10-19 hari/bln
6.
B. gymnorrhiza
10 -30
SV
SV
MD
10-19 hari/bln
7.
Sonneratia alba
10 -30
MD
ST
ST
20 hari/bln
8.
S. caseolaris
10 -30
MD
MD
MD
20 hari/bln
9.
Xylocarpus granatum
10 -30
SV
MD
MD
9 hari/bln
10.
Heritiera littoralis
10 -30
VS
MD
MD
9 hari/bln
11.
Lumnitzera racemosa
10 -30
VS
ST
MD
Bbrp kali/thn
12.
Cerbera manghas
0 - 10
VS
MD
MD
Tergenang musiman
13.
Nypa fruticans
0 - 10
VS
SV
ST
Tergenang musiman
14.
Avicennia spp.
10 -30
MD
ST
ST
20 hari/bln
Keterangan : ST = Sesuai, MD = Moderat, SV = Kurang Sesuai, VS = Tidak Sesuai
Sebagai arahan lebih lanjut bagi upaya pemilihan jenis mangrove yang akan ditanam, maka pada Tabel 6.2. disajikan beberapa jenis pohon mangrove yang direkomendasikan ditanam disetiap land system setelah mempertimbangkan kondisi faktor-faktor lingkungan tapak.
Tabel 6.2. Jenis pohon mangrove yang sesuai untuk merehabilitasi jalur hijau mangrove di setiap land system di Jawa Barat dan Banten
No.
Land system
Jenis Pohon
1.
PRT
Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Lumnitzera racemosa, Avicennia spp.
2.
KHY
Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp., Sonneratia spp. 2002 digitized by USU digital library 15
3.
PTG
Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp., Sonneratia spp., Excoecaria agallocha, Ceriops tagal.
4.
MKS
Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Avicennia spp., Sonneratia spp., Excoecaria agallocha, Ceriops tagal.
5.
KJP
Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp.
6.2. Teknik Rehabilitasi
Secara garis besar alternatif rehabilitasi kawasan mangrove terbagi ke dalam dua lokasi sasaran, yakni (1) rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove dan (2) rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove. Bentuk dan teknik rehabilitasi pada setiap daerah sasaran didasarkan kepada fungsi kawasan, kondisi biofisik sumberdaya mangrove dan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove.
6.2.1. Rehabilitasi pada Areal Jalur Hijau Mangrove
Areal jalur hijau mangrove berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 berfungsi sebagai kawasan lindung, sehingga bentuk kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pada areal jalur hijau mangrove ini harus mendukung fungsi lindung kawasan mangrove tersebut.
Bentuk kegiatan rehabilitasi pada jalur hijau mangrove yang mendukung fungsi lindungnya adalah kegiatan reboisasi (pada areal berstatus sebagai kawasan hutan) dan kegiatan penghijauan (pada areal berstatus sebagai kawasan non hutan/tanah milik) dengan jarak yang cukup rapat (1 x 1 m) dan dengan jenis pohon mangrove yang sesuai dengan kondisi biofisik areal jalur hijau mangrove pada masing-masing land system, seperti yang tertera pada Tabel 5.2. di atas.
Pada areal jalur hijau mangrove ini tidak dibenarkan adanya kegiatan selain dari kegiatan yang berhubungan dengan penanaman (reboisasi atau penghijauan), kecuali areal jalur hijau mangrove tersebut termasuk ke dalam kawasan hutan wisata. Untuk areal jalur hijau mangrove yang dikelola sebagai hutan wisata, bentuk kegiatan yang dibenarkan selain kegiatan penanaman adalah terbatas hanya pada pembuatan koridor yang berfungsi sebagai lalu lintas perahu atau speed boat.
6.2.2. Rehabilitasi pada Areal di Luar Jalur Hijau Mangrove
Berdasarkan fungsinya, areal di luar jalur hijau mangrove terbagi atas (a) hutan lindung dan (b) hutan produksi/budidaya. Bentuk kegiatan rehabilitasi terhadap areal di luar jalur hijau ini harus disesuaikan dengan fungsi masing-masing lokasi sasaran.
a. Rehabilitasi pada Hutan Lindung
Pada areal di luar jalur hijau mangrove yang berfungsi sebagai hutan lindung bentuk kegiatan rehabilitasinya adalah kegiatan reboisasi pada kawasan yang kritis dengan jenis pohon mangrove yang sesuai dan dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing lokasi sasaran. Pada kawasan hutan lindung ini, seperti halnya pada areal jalur hijau mangrove, tidak diperbolehkan adanya aktivitas yang tidak berhubungan dengan kegiatan reboisasi, kecuali kawasan hutan lindung tersebut termasuk areal yang dikelola sebagai hutan wisata. Untuk kawasan hutan lindung yang dikelola sebagai hutan wisata ini, aktivitas lain 2002 digitized by USU digital library 16
yang diperbolehkan terbatas hanya pada kegiatan pembuatan koridor yang berfungsi sebagai lalu lintas baik untuk perahu, speed boat, maupun untuk pejalan kaki.
b. Rehabilitasi pada Hutan Produksi/Budidaya
Status areal di luar jalur hijau mangrove yang berfungsi sebagai hutan produksi/ budidaya dapat berupa (1) kawasan hutan dan (2) kawasan non hutan/tanah milik. Oleh karenanya, rehabilitasi terhadap lokasi ini selain harus memperhatikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan, juga harus memperhatikan status kawasan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya tumpang tindih pihak yang berwenang melakukan pengelolaan terhadap suatu kawasan. Walaupun demikian, faktor yang sangat penting dalam penentuan bentuk kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove yang berfungsi sebagai hutan produksi/budidaya ini adalah faktor kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.
Berdasarkan identifikasi penyebab kerusakan mangrove di Jawa Barat dan Banten, seperti yang disajikan pada bagian Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi, terlihat bahwa kerusakan sumberdaya mangrove dan ekosistemnya di lima propinsi sasaran sangat dominan disebabkan oleh alih fungsi kawasan mangrove menjadi lahan tambak dengan mengabaikan aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya. Pengusahaan kawasan mangrove tersebut menjadi tambak sebagian besar dilakukan oleh pengusaha yang berdomisili/berasal dari luar kawasan mangrove, seperti Jakarta dan ibu kota propinsi. Oleh karena itu, pola rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak tersebut harus dapat mengkombinasikan kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya dengan usaha pertambakan.
Untuk saat ini, pola rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak tersebut yang memenuhi persyaratan di atas adalah pola pengelolaan dengan sistem sylvofishery, baik dengan model empang parit, model komplangan maupun model jalur tanaman dalam tambak. Untuk lebih jelasnya sistem sylvofishery di atas disajikan pada Gambar 1.
Mangrove
Mangrove
Tambak Tambak Tambak
(a) (b) (c)
Keterangan : = Mangrove; = Parit;
Gambar 1. Model-model dari sistem sylvofishery : (a) model empang parit, (b) model komplangan dan (c) model jalur
Perbandingan luas antara hutan mangrove dan tambak pada sistem sylvofishery didasarkan pada status kawasan mangrove, kondisi tegakan dan tujuan pengelolaan. Untuk menentukan perbandingan luas antara hutan mangrove dan tambak yang optimal sangat diperlukan pengkajian lebih lanjut. Walaupun demikian, untuk saat ini, berdasarkan uji coba yang telah dilakukan Perum Perhutani, ada 2 (dua) macam perbandingan hutan mangrove dengan tambak yang dianggap dapat menjamin kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya serta kelangsungan
2002 digitized by USU digital library 17
usaha pertambakan, yakni (1) 80 : 20, dimana 80 % luas areal yang dikelola harus tetap berupa hutan mangrove dan 20 % berupa tambak dan (2) 30 : 70, dimana 30 % dari luas areal yang dikelola berupa hutan mangrove dan 70 % berupa tambak.
Perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 80 : 20 diterapkan pada hutan mangrove yang masih utuh , baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan/tanah milik. Perbandingan ini lebih menekankan kepada aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya daripada hasil tambak, berupa ikan atau udang.
Sedangkan perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 30 : 70 digunakan untuk hutan mangrove yang berada di luar kawasan hutan yang telah banyak dibuka/digarap guna peruntukan lain. Perbandingan ini lebih diarahkan untuk memberi peluang kepada masyarakat dalam meningkatkan hasil pendapatan dari produksi tambak berupa ikan atau udang tanpa meninggalkan aspek kelestariannya
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1997. Pedoman penentuan tingkat kerusakan hutan mangrove. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
FAO. 1992. Management and utilization of mangrove in Asia and the Pasific. FAO Environmental Paper III. Rome.
Greig-Smith, P. 1964. Quantitative plant ecology. Second Ed. Butterworths, London.
Kusmana, C. dan Onrizal. 1998. Evaluasi kerusakan kawasan mangrove dan arahan tekhnik rehabilitasinya di Pulau Jawa. Makalah Utama pada Lokakarya Pembentukan Jaringan Kerja Pelestari Mangrove, tanggal 12 - 13 Agustus 1998 di Pemalang, Jawa.
Kusmana, C., Suhardjono, Sudarmadji dan Onrizal. 1997. Mengenal jenis-jenis pohon mangrove di Teluk Bintuni, Irian Jaya. IPB Press, Bogor.
Soegiarto, A. 1984. The mangrove ecosystem in Indonesia: Its Problems and management. Dalam Teas, H.J. (Ed). Psysiology and management of mangroves: 69 – 78. W. Junk Publishers, The Hague.
Thomlinson, P.B. 1986. The botany of mangroves. Cambridge University Press, London.
2002 digitized by USU digital library 18
DAFTAR ISTILAH
BAKOSURTANAL
=
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
BOD
(Biochemical Oxygen Demand)
=
kebutuhan oksigen. Beban pencemaran organik diukur dengan banyaknya kebutuhan oksigen (BOD) yang ada dalam suatu aliran untuk oksidasi. Umumnya makin tinggi BOD makin tinggi tingkat pencemarannya
Citra Landsat TM
=
citra satelit yang merupakan hasil rekaman dari suatu satelit yang disebut Landsat dengan sensor yang disebut TM (Thematic Mapper). Citra satelit ini mempunyai resolusi spasial sebesar 30 m x 30 m, resolusi specktral sebanyak 7 band dan resolusi temporal 16 hari sekali (revisit). Lihat Landsat, sensor, resolusi spasial, resolusi temporal dan resolusi spektral
COD (Chemical Oxygen Demand)
=
Kebutuhan Oksigen Kimia. Makin tinggi kadar COD makin tinggi tingkat pencemarannya
DO
(Dissolved Oxygen)
=
Oksigen terlarut. Organisme yang ada didalam Air memerlukan oksigen. Kelarutan di dalam air dipengaruhi oleh temperatur, tekanan parsial gas yang ada di udara atau di dalam air, kadar garam atau unsur yang mudah teroksidasi yang terkandung di dalam air
Drainase Tanah
=
kondisi tanah yang diakibatkan oleh peredaran udara dan air dalam tanah
GPS
(Global Positioning System)
=
jaringan global dari 24 satelit NAVSTAR (Navigation System With Time and Ranging) transmisi radio (radio trasmitting) yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan, Amerika Serikat, untuk memberikan navigasi akurat dan lokasi geografis selama 24 jam per hari untuk lokasi dimana saja di bumi ini. Satelit-satelit NAVSTAR ini mengelilingi bumi sepanjang 20.200 km dengan orbit melingkar selama periode 12-jam. Masing-masing satelit men-transmisikan sinyal navigasi akuisisi yang disediakan untuk pemakai sehingga dapat mengetahui lokasi berkisar antara 15 m (jika menggunakan 1 GPS) atau sampai ketelitian beberapa cm untuk dua GPS. Empat satelit akan memberikan posisi tiga dimensi yang lengkap. Sementara 3 satelit secara simultan melakukan monitoring memberikan informasi dua dimensi (bujur dan lintang).
H2O2
=
bahan kimia Hidrogen Peroksida
KJP (Kajapah)
=
lahan berbentuk rawa pasang surut, dengan kelerengan < 2 %, relief < 2 m, dengan batuan berupa endapan batu (marine estuarine) dengan
2002 digitized by USU digital library 19
jenis tanah (Soil Taxonomy, USDA, 1975) adalah hydroquents dan sulfaquents
Land Cover
=
material bio-fisik yang menutupi permukaan lahan (bumi).
Landsat
=
nama satelit sumberdaya bumi milik Amerika serikat yang tidak berawak (unmanned), dengan orbit kutub (polar orbit) dan sun-synchronous. Generasi pertama diluncurkan tahun 1972 dengan nama ERTS-1 (Earth Resources Tecnological Satellite), kemudian pada tahun 1974 namanya dirubah menjadi Landsat. Generasi terakhir dari satelit ini adalah Landsat-5, sementara Landsat 6 mengalami kegagalan peluncuran. Satelit Landsat ini adalah platform dari sensor-sensor MSS (Multispecral Scanner), RBV (Return Beam Vidicon), dan TM (Thematic Mapper).
Lapisan Pirit Tanah
=
Lapisan tanah yang berkadar S = 0.75 % (2 % pirit).
Mangrove
=
individu atau komunitas tumbuhan yang tumbuh pada suatu lahan yang dipengaruhi pasang - surut air laut
Nested Sampling
=
desain sampling, yang mana unit contoh yang lebih besar mengandung unit-unit contoh yang lebih kecil
Permudaan
=
anakan tumbuhan berkayu yang apabila sudah dewasa dapat mencapai tinggi ≥ 4 m dan diameter ≥ 7 cm
Pesisir
=
suatu wilayah di daerah pantai yang batasnya ke arah darat sampai pada wilayah yang masih dipengaruhi proses-proses kelautan (misal, interusi air laut) dan ke arah laut sampai pada wilayah yang masih dipengaruhi proses-proses daratan (misal, sedimentasi).
pH
=
karakteristik kimia untuk menunjukan kemasaman
Pirit
=
FeS2 yang merupakan mineral di dalam tanah
PTG (Puting)
=
lahan berupa tepi pantai laut, dengan kelerengan < 2 %, relief 2 – 10 m, dengan batuan berupa endapan baru, pasir dan kerikil pantai laut dengan jenis tanah (Soil Taxonomy, USDA, 1975) adalah tropopsaments dan tropaquents
Sistem Lahan
(Land System)
=
unit lahan dalam peta sebagai hasil dari kompilasi data dari satelit, citra radar, foto udara, dan peta topografi yang sudah ada melalui kerjasama antar pemerintah antara Land Resources Departement of the Overseas Development Natural Resources Institute, Overseas Development Administration, United Kingdom dan Direktorat Bina Program,
2002 digitized by USU digital library 20
Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi Republik Indonesia
Soil Taxonomy
=
sistem penamaan tanah berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat
Tekstur
=
perbandingan ukuran butir liat, debu dan pasir
Training Area
(Training site)
=
areal contoh pada permukaan bumi yang mewakili suatu tipe/kategori atau klas yang diinginkan. Areal ini dapat diidentifikasi pada citra yang mempunyai sifat-sifat (spektral) yang jelas (berbeda dengan lainnya) yang berguna untuk identifikasi obyek/areal lain yang sama
USDA
=
United States Departement of Agriculture
Vegetasi
=
masyarakat tumbuhan dalam arti luas
Warna Tanah
=
warna yang ditetapkan berdasarkan buku Munsel Soil Colour Chart
Lampiran 1. Lokasi training area
No.
Land System
Koordinat Titik Training Area
KabupatenTraining Area
1.
PRT
6o 29' 38.4" LS; 105o 38' 58.0" BT
Pandeglang
6o 31' 52.3" LS; 105o 45' 45.5" BT
Pandeglang
6o 23' 20.8" LS; 105o 49' 56.7" BT
Pandeglang
2.
PTG
7o 41' 22.8" LS; 109o 01' 35.9" BT
Ciamis
6o 01' 35.7" LS; 106o 09' 48.2" BT
Serang
6o 15' 50.6" LS; 108o 19' 18.6" BT
Indramayu
6o 03' 02.5" LS; 106o 27' 48.2" BT
Serang
3.
KJP
6o 41' 01.6" LS; 308o 33' 32.7" BT
Cirebon
6o 31' 57.0" LS; 105o 42' 51.8" BT
Pandeglang
4.
KHY
6o 43' 34.5" LS; 105o 32' 01.0" BT
Pandeglang
6o 01' 35.7" LS; 106o 09' 48.2" BT
Serang
5.
MKS
6o 17' 02.0" LS; 108o 16' 57.9" BT
Serang
6.
UPG
6o 24' 13.5" LS; 108o 25' 01.1" BT
Indramayu
2002 digitized by USU digital library 21
Lampiran 2. Parameter, bobot dan skor tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove
No
Parameter
Bobot
Skor
1.
Jumlah Pohon/ha (N)
30
a. 5 : N = 1.500 pohon/ha, merata (F = 75 %)
b. 4 : N = 1.500 pohon/ha, tidak merata (F < 75 %)
c. 3 : N = 1.500 - 1.000 pohon/ha, merata (F = 75 %)
d. 2 : N = 1.500 - 1.000 pohon/ha, tidak merata (F < 75%)
e. 1 : N < 1.000 pohon/ha
2.
Permudaan/ha (Np)
20
a. 5 : N = 5.000 semai/ha (F = 40 %)
N = 2.500 pancang/ha (F = 60 %)
b. 4 : N = 5.000 - 4.000 semai/ha (F = 40 %)
N = 2.500 - 2.000 pancang/ha (F = 60 %)
c. 3 : N = 4.000 - 3.000 semai/ha (F = 40 %)
N = 2.000 - 1.500 pancang/ha (F = 60 %)
d. 2 : N = 3.000 - 2.000 semai/ha (F = 40 %)
N = 1.500 - 1.000 pancang/ha (F = 60 %)
e. 1 : N < 2.000 semai/ha (F = 40 %)
N < 1.000 pancang/ha (F = 60 %)
3.
Lebar Jalur Mangrove (L)
15
a. 5 : ≥ 100 %
b. 4 : 80 % - 100 % (130 x PPS)
c. 3 : 60 % - 80 % (130 x PPS)
d. 2 : 40 % - 60 % (130 x PPS)
e. 1 : < 40 % (130 x PPS)
4.
Tingkat Abrasi (A)
15
a. 5 : 0 - 1 m/tahun
b. 4 : 1 - 2 m/tahun
c. 3 : 2 - 3 m/tahun
d. 2 : 3 - 5 m/tahun
e. 1 : > 5 m/tahun
5.
Kandungan dan Kedalaman Pirit (P)
10
a. 5 : 2 % pirit, dengan kedalaman pirit > 100 cm
b. 4 : 2 % pirit, dengan kedalaman pirit 75 - 100 cm
c. 3 : 2 % pirit, dengan kedalaman pirit 50 - 74 cm
d. 2 : 2 % pirit, dengan kedalaman pirit 25 - 49 cm
e. 1 : 2 % pirit, dengan kedalaman pirit < 25 cm
6.
Pencemaran Air (C)
10
a. 5 : 0 - 10 % lebih dari ambang batas
2002 digitized by USU digital library 22
b. 4 : 10 - 20 % lebih dari ambang batas
c. 3 : 20 - 30 % lebih dari ambang batas
d. 2 : 30 - 40 % lebih dari ambang batas
e. 1 : > 40 % lebih dari ambang batas
Sumber : Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1997)
Untuk menetukan tingkat kerusakan hutan mangrove, diawali dengan menghitung total nilai shoring (TNS) yang didapatkan dengan model matematis, sebagai berikut :
TNS = (N x 30)+(Np x 20)+(L x 15)+(A x 15)+(P x 10)+(C x 10)
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kerusakannya, TNS yang diperoleh dari persamaan di atas dikelompokkan berdasarkan kriteria di bawah ini :
a. Nilai 100 - 200 : Rusak Berat
b. Nilai 201 - 300 : Rusak
c. Nilai > 300 : Tidak Rusak
2002 digitized by USU digital library 23

Tidak ada komentar: