Oleh OTTO SOEMARWOTO (Sumber: Pikiran Rakyat, 10 Juli 206)
SAMPAH memang mengandung energi. Pada sampah organik berupa sisa tumbuhan, energi itu berasal dari matahari yang ditangkap oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Sampah organik berupa plastik mengandung energi yang berasal dari bahan bakar minyak, batu bara dan gas yang digunakan dalam proses sintesis zat kimia sederhana menjadi zat kimia yang kompleks. Energi dalam sampah organik, baik yang berupa sisa tumbuhan, maupun sisa bahan berupa zat kimia sintetik dapat dibebaskan lagi dengan pembakaran. Energi yang dibebaskan itu dapat digunakan untuk memanaskan air dalam boiler dan uap yang terbentuk digunakan untuk memutar turbin pembangkit listrik. Terjadilah konversi sampah jadi energi (waste-to-energy). Pada prinsipnya sampah itu digunakan sebagai bahan bakar pengganti BBM, gas atau batubara. Dari segi lingkungan hidup ada dua pertanyaan yang harus dijawab, yaitu pertama berapakah energi netto yang kita dapat dan kedua, pencemaran apa yang terjadi dan berapa banyaknya.
Energi neto ialah banyaknya energi listrik yang didapatkan dikurangi dengan energi yang dikeluarkan untuk membangkitkan energi itu. Dalam hal sampah-jadi-energi energi yang dikeluarkan ialah pertama untuk transpor sampah dari rumah tangga ke TPS dan TPA serta untuk operasi alat-alat berat di TPA. Energi itu berasal dari BBM. Makin jauh letak TPA dari kota, makin besar pula energi yang harus dikeluarkan untuk transpor.
Penggunaan energi besar yang kedua ialah untuk membakar sampah. Penggunaan energi ini berkaitan dengan pengendalian pencemaran. Makin tinggi suhu yang digunakan, makin sempurna, pembakaran sehingga makin banyak karbon yang dibakar menjadi CO2. Misalnya, dioksin, sebuah racun yang sangat berbahaya terjadi dalam proses pembakaran bahan yang mengandung klor (Cl) atau brom (Br), jika suhu pembakaran kurang dari 600 derajat Celsius.
Banyak literatur yang menyebutkan suhu minimal harus 800 derajat Celsius untuk menghindari terjadinya dioksin. Padahal makin tinggi suhu yang ingin dicapai, makin banyak energi yang diperlukan. Dengan lain perkataan makin tinggi suhu yang digunakan, makin kecil energi netto yang kita dapatkan. Para penggagas proses sampah-jadi-energi harus menjawab pertanyaan berapa besar energi netto tersebut dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.
Semua pembakaran menghasilkan zat pencemar, misalnya abu (bottom ash dan fly ash), hidrokarbon, CO2, CO, senyawa nitrogen dan senyawa belerang. Beberapa zat pencemar sangat berbahaya, misalnya dioksin seperti disebut diatas dan beberapa zat yang bersifat karsinogenik. Instalasi sampah jadi energi harus berusaha untuk meminimalkan emisi zat pencemar, misalnya dengan filter untuk abu terbang dan suhu tinggi untuk mencegah terjadinya dioksin. Usaha itu tidaklah murah, tetapi merupakan keharusan.
Pencemaran udara lainnya berasal dari truk pengangkut sampah. Armada truk sampah yang mondar-mandir tidaklah kecil. Jelas, pencemaran udara bukanlah masalah kecil, apalagi bagi Bandung yang terletak dalam sebuah cekungan yang menyebabkan pencemaran udara terperangkap dan sukar untuk disebarkan.
Produksi CO2-pun harus diperhatikan, karena merupakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Walaupun sebagai negara sedang berkembang tidak diharuskan menurunkan emisi CO2-nya, Indonesia telah mengalami kerugian dari pemanasan global, antara lain, kenaikan frekuensi dan intensitas badai yang menyebabkan banjir dan longsor di beberapa tempat dan kenaikan permukaan laut yang menyebabkan kenaikan intensitas abrasi pantai.
Pencemaran lain yang terjadi pada TPA dan kita abaikan ialah air lindi yang beracun. Dinas Pemda yang bertugas mengelola sampah dan TPA-nya belum pernah mengumumkan dampak air lindi pada air tanah kita. Pengukuran dan pelaporan pencemaran oleh air lindi TPA haruslah segera dilaksanakan, khususnya sumur penduduk di sekitar TPA.
Jelaslah, usaha sampah jadi energi tidak hanya harus layak ekonomi, melainkan juga harus layak lingkungan hidup. Akan sangat ironislah, jika energi BBM yang harus dikeluarkan lebih besar daripada energi listrik yang didapatkan. Dalam hal ini jika seandainya proyek itu layak ekonomi, berarti kelayakan ekonomi itu bertumpu pada subsidi BBM. Karena itu jika energi nettonya negatif, haruslah proyek sampah jadi energi dinyatakan tidak layak (not feasible), meskipun dari segi ekonomi projek itu adalah layak. Juga akan ironis, jika pencemaran sampah diganti dengan pencemaran udara yang makin parah.
Teknologi lain sampah-jadi-energi ialah dengan pembusukan sampah secara anaerobik untuk menghasilkan gas metan. Gas metan yang terbentuk dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Dalam proses ini metan diubah menjadi CO2 yang potensi pemanasan globalnya adalah 1/20 metan. Metan sampah untuk pembangkitan listrik telah dimanfaatkan oleh berbagai negara untuk berdagang karbon dalam kerangka Protokol Kyoto, misalnya Romania, Brasil, India dan Mesir. Mereka telah mengubah sampah mereka menjadi sumber dolar. Mengapa kita tidak? Kecuali mendapatkan dolar, keuntungannya ialah menghindari terjadinya pencemaran udara dari pembakaran sampah.
Bagaimana dengan alternatif pengomposan sampah pada tingkat rumah tangga: sampah-jadi-kompos? Proses sampah-jadi-kompos merupakan usaha bersama kemasyarakatan. Biayanya murah. Tak perlu armada truk yang besar. Tak perlu pula lahan TPA yang luas, karena 50% sampah tidak keluar rumah tangga. Jika dilakukan dengan baik, prosesnya sangat ramah lingkungan hidup. Komposnya dapat digunakan untuk memupuk taman dan jalur hijau kota. Kita menghemat pupuk sintetis. Kendala utamanya ialah sosial, yaitu mengajak masyarakat untuk mau melakukan usaha sampah-jadi-kompos bergotong-royong.
Ironisnya dari pengalaman di beberapa tempat yang telah melakukan usaha ini, kendala itu lebih besar pada keluarga lapisan menengah-atas daripada lapisan menengah-bawah. Alasannya, mereka sibuk dengan pekerjaan mereka dari pagi sampai malam dan mereka sudah membayar retribusi sampah. Mereka tidak mau bercermin pada masyarakat lapisan menengah-bawah yang harus melakukan hal yang sama. Ada semacam arogansi elite.
Alternatif ketiga, yaitu pembakaran sampah secara sederhana haruslah segera dilarang, karena berbahaya bagi kesehatan kita.
Nampaklah kedua alternatif, yaitu sampah-jadi-energi dan sampah-jadi-kompos, mempunyai kendala serius. Sampah jadi energi membutuhkan modal besar dan lahan TPA yang luas. Lahan itu makin sulit didapat, baik karena memang makin sedikit lahan bebas yang dapat digunakan untuk TPA, maupun karena banyak penduduk yang menolak. Ditambah lagi oleh permainan para calo lahan. Lahan yang tersedia makin jauh letaknya dari kota. Dampak lingkungannya juga tak boleh diabaikan. Sebaliknya sampah-jadi-kompos kendala utamanya bukan modal. Bukan pula lahan TPA. Tetapi partisipasi masyarakat. Meskipun 50% sampah dapat dicegah keluar dari rumah tangga, jika yang ikut hanya 1% dari jumlah rumah tangga, jumlah 50% -- atau bahkan jika melibatkan para pemulung dapat sampai 90% -- dari 6.000 - 8.000 ton sampah per hari sangat tidak berarti, yaitu hanya 30-40 ton per hari yang tidak keluar dari rumah tangga. Saran saya ialah biar kedua usaha dilakukan oleh masing-masing pendukungnya. Keduanya harus memperhatikan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Keduanya harus pula terbuka pada kritik yang mambangun dan mau menerima kritik itu. Keduanya harus transparan. Tidak perlu kita menyikapinya secara kontroversial, apalagi dengan demonstrasi. Marilah kita berkompetisi untuk mendapatkan yang terbaik bagi Kota Bandung tercinta ini.***
Penulis, guru besar emeritus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar