Krisis air dan bahaya pencemaran lingkungan mengancam ribuan warga Majalaya dan sekitarnya. Ratusan industri tekstil yang berdiri di sepanjang jalur sungai telah merampas hak-hak warga seperti hak atas air bersih, udara yang sehat, dan lingkungan yang tenang. Suara Publik melaporkan dari Majalaya, Kabupaten Bandung. Jam baru menunjukkan angka sepuluh pagi, tapi sinar matahari sudah terasa menyengat kulit. Lalu lintas di jalan raya Laswi Kecamatan Majalaya cukup lancar meskipun angkot sering berhenti-mangkal seenaknya. Pemandangan paling jelas di kiri kanan jalan ialah keberadaan pabrik dengan berbagai bentuk dan ukuran.
Sekelompok buruh berseragam tampak keluar masuk dari bangunan yang berbeda. Itulah pabrik-pabrik tekstil dan garment yang membuat Majalaya ngetop dan sempat dijuluki Kota Dolar dari Bandung Selatan.
Sejak 1960-an, Majalaya dan sekitarnya sudah dikenal sebagai kawasan industri tekstil di Jawa Barat. Ada beberapa jenis industri yang berkembang, diantaranya pabrik pemintalan, pabrik tenun, dan pabrik pencelupan benang. Produk tekstil dari Majalaya mencapai ribuan ton dan menjadi komoditi ekspor ke manca negara.
Data dari LPPM ITB menunjukkan, pada awal 2003, industri tekstil Majalaya menyerap 33.000 tenaga kerja atau 17 persen dari penduduk di kawasan industri. Padahal pabrik tenun dan pintal itu dulunya hanya berskala rumah (home industry) dan dimiliki warga setempat. Keuntungan ekonomi pun diraih warga sekitar dengan bekerja sebagai buruh di kawasan industri.
Seiring perkembangan zaman, industrialisasi mulai memakan korban. Mulai 1970 hingga 1980-an, satu persatu pabrik tenun atau pintal berpindah kepemilikan dari warga setempat kepada investor non pribumi atau asing. Kemudian jika dulu pabrik-pabrik itu masih mengoperasikan mesin pintal atau tenun kecil, mulai 1990-an para investor baru mengganti mesin-mesin tekstil mereka dengan mesin raksasa berbahan bakar solar atau batu bara. Walhasil, sejalan dengan peningkatan kapasitas produksi, kerusakan lingkungan ikut pula meruyak, meliputi kerusakan di air, darat, dan udara.
Leuweung Ruksak, Cai Beak, Runtah Pabalatak
Ini adalah ungkapan bahasa Sunda yang artinya “Hutan Rusak, Air Habis, Sampah Bertebaran dimana-mana” untuk menggambarkan parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah Majalaya dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Koordinator Advokasi Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya, Deni Riswandani, industrialisasi yang massif tanpa didukung upaya pelestarian dan perbaikan lingkungan telah menurunkan kualitas hidup secara drastis.
Deni menunjuk contoh bagaimana kualitas lingkungan hidup merosot di wilayah Majalaya. “Hampir semua sungai dan anak sungai yang dilalui pabrik tekstil di Majalaya, berwarna hitam atau pekat dan berbau tajam. Pada malam hari, pembuangan limbah cair dari pabrik ke badan sungai meningkat 2-3 kali lipat”, ujar Deni kepada Suara Publik . Hasil pemantauan di lapangan menunjukkan sejumlah anak sungai seperti Sungai Ciwalengke, Sungai Sasak Benjol, dan Sungai Cikacembang, tampak berwarna hitam kemerah-merahan dan pasti tercemar. Pada malam hari, air sungai bisa berubah sesuai warna bahan celupan pabrik yang dibuangnya.
Warga yang tinggal di sepanjang aliran sungai tercemar limbah itu mengaku menderita. Kosim, warga desa Sukaasih yang tinggal dekat PT Purnama mengatakan, pencemaran air sungai dari pabrik sudah berlangsung bertahun-tahun. “Paling parah kalau musim hujan. Sampah- sampah dari sungai yang berwarna pekat, naik ke jalanan dan menggenangi perumahan warga berikut seluruh racun kimia yang dikandungnya” ujar Kosim kepada Suara Publik . Sejumlah warga dilaporkan pernah mengalami sakit tapi tidak yakin apakah itu disebabkan limbah pabrik atau bukan.
Lalu bagaimana kualitas air sungai setelah lewat musim hujan? “Sama saja. Air sungai yang tercemar limbah pabrik itu merembes ke sumur-sumur warga. Baunya, coba cium sendiri. Bisa bikin orang mual dan muntah,” ujar Kosim sambil menunjuk air selokan berwarna hitam tak jauh dari rumahnya. Sekelompok anak tampak bermain-main di sekitar sungai tercemar itu tanpa tahu akibat sesungguhnya.
Hasil studi mengenai limbah cair di Majalaya oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung dan Lembaga Penelitian Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB tahun 2002, menguraikan frekuensi pembuangan limbah oleh industri berlangsung setiap 2-4 jam sampai setiap hari. Jumlah limbah cair yang dibuang setiap 2-8 jam mencapai 60 persen, sedangkan limbah yang dibuang ke sungai setiap hari mencapai 17 persen dan limbah yang dibuang setiap saat (tanpa waktu) berjumlah 12 persen. Melalui penelitian kualitas air di kawasan industri Majalaya, Mei 2006, Komite Peduli Lingkungan (KPL) Bandung mencatat 36 pabrik yang diduga mencemari Sungai Citarum dan sejumlah sungai lainnya. Kesemua pabrik itu diketahui tidak mempunyai instalasi pembuangan limbah (IPAL) yang memadai dan membuang seluruh sisa produksi cairnya ke badan sungai dan mencemarinya.
Apakah warga pernah melaporkan pencemaran itu kepada pemerintah desa atau pabrik yang bersangkutan? “Sudah sering warga minta perhatian pabrik agar tidak membuang limbah cair sisa pencelupan ke badan sungai. Tapi sepertinya mereka tidak peduli. Apalagi tiap pabrik biasanya punya preman untuk menakuti warga,” tutur Kosim.
Krisis Air Dan Eksploitasi Industri
“Sudah dua minggu kami harus mengantri air bersih, padahal ini baru akhir musim hujan. Bagaimana nanti musim kemarau?”. Itulah keluhan seorang warga yang tinggal dekat pabrik tekstil Bima Jaya di desa Sukamukti, Kecamatan Majalaya. Iyoh, 42, hanyalah seorang dari ratusan warga di RT 02 Desa Sukamukti, Kecamatan Majalaya, yang hari-hari belakangan ini menghadapi kesulitan air bersih untuk keperluan sehari-hari.
“Sumur di rumah saya sudah lama tidak keluar air. Makanya kami minta pabrik menyediakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan warga,” tutur Wiwit, warga desa Sukamukti di tengah antrian mendapatkan air bersih dari kran air milik PT Bima Jaya. Warga menuturkan, sejak pabrik dibangun lima tahun lalu, sumur di pemukiman warga langsung kering. Tak peduli berapa dalam dan seberapa kuat pompa air milik warga, air tetap tidak keluar. Oleh karena itu warga berinisiatif meminta pabrik agar membagikan air bersih mereka sebagai ganti tersedotnya sumber air milik warga. Walhasil, antrian pengambilan jatah air bersih oleh warga selalu tampak pada setiap pagi dan sore. Terutama memasuki musim kemarau seperti sekarang.
Sejumlah pabrik memang menyediakan air bersih kepada warga melalui selang atau pipa yang dikeluarkan dari instalasi penampungan air milik pabrik. Warga yang membutuhkan air tinggal mengantri, mengisi jeriken atau ember, dan membawanya ke rumah masing-masing. Masalahnya, tidak semua pabrik menyediakan air bersih gratis bagi warga sekitar. Masih banyak pabrik yang tidak punya kepekaan sosial, apalagi perasaan bersalah karena merampas” hak-hak publik bagi kebutuhan air bersih dan lingkungan yang nyaman.
Hasil penelitian Komite Peduli Lingkungan (KPL) pada Mei 2006 menunjukkan, krisis air bersih dan ancaman kekeringan di Majalaya berkaitan dengan eksploitasi air tanah secara besar-besaran oleh industri. “Sekitar 170-an pabrik tekstil yang berada di Majalaya melakukan penyedotan air tanah dalam jumlah besar melalui sumur artesis. Akibatnya, debit air tanah mengalami penurunan hingga 3,9 meter per tahun,” ujar Deni Riswandani, peneliti dari KPL Majalaya. Inilah mengapa pada awal musim kemarau sudah banyak sumur warga yang tidak lagi mengeluarkan air.
Untuk membuktikan cerita penyedotan air bawah tanah dan sungai, Suara Publik menyusuri aliran Sungai Citarum yang melewati Kampung Radug dan Pasirkukun, Desa Padamulya, Kecamatan Majalaya. Dari jembatan tampak berbagai pipa menjulur ke badan sungai. Turun ke sungai yang hampir mengering, Suara Publik menemukan mesin penyedot air berskala besar sedang menguras air langsung dari sungai dialirkan menuju bangunan di atasnya. Bangunan itu diuga merupakan pabrik pengolahan air yang mengubah air sungai menjadi air baku bersih. Air olahan dari pabrik itu kemudian dialirkan ke pabrik-pabrik tekstil di kota Majalaya melalui pipa air bawah tanah.
Suara Publik melihat, upaya penyedotan air permukaan sungai berskala besar itu sudah mirip penjarahan. Tak heran jika warga sekitar pabrik mengeluhkan sulitnya memperoleh air tanah. Mudah dimengerti pula kenapa areal pesawahan di sekitar desa itu tampak kekurangan air, khususnya menjelang musim kemarau.
Penelusuran Komite Peduli Lingkungan (KPL) dan Insiatif Bandung di lapangan, mencatat ada 11 industri yang melakukan eksploitasi air permukaan sungai secara massif. Mereka adalah PT Rama Putra, PT Sungai Indah, PT Nirwana, PT Bambu Sakti, PT Sipatek, PT Dayung Mas, PT Bima Jaya, PT Sinar Sari, PT Dewi Sakti, PT Sinar Baru, dan PT Sidotek. Kesemua pabrik itu berada di Kecamatan Majalaya dan menguras Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, termasuk DAS Ciwalengke dengan mesin-mesin penyedot air raksasa. Artinya pabrik-pabrik itu sebenarnya merampas hak warga lain yang membutuhkan air sungai.
Pemerintah lewat DLH Kabupaten Bandung tampaknya sudah berupaya memperketat syarat teknis daftar ulang Surat Izin Pengambilan Air (SIPA), di samping menertibkan perizinan di 23 titik pengambilan air, tapi hasilnya belum optimal. Asep Ali, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Bandung menjelaskan upaya pemerintah untuk menertibkan industri sering diakali. “Contohnya, pabrik mengajukan SIPA untuk mengambil air sungai di satu lokasi. Tapi faktanya, pabrik itu mengambil air di dua atau tiga lokasi berbeda hanya dengan satu surat izin. Ini kan menyulitkan langkah pengawasan,” ujar Asep Ali kepada Suara Publik .
Asap Batubara Cemari Kota
Sampah bisa menjadi masalah di darat, maupun di udara. Jika kotamadya Bandung dirundung masalah sampah di darat, Kabupaten Bandung khususnya Majalaya, terjerat masalah sampah udara. Sampah ini merupakan asap buangan berwarna hitam pekat dari cerobong-cerobong asap industri yang berjumlah ratusan.
Menurut Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, dari puluhan industri yang ada, 41 pabrik di Kecamatan Majalaya kini menggunakan batubara sebagai bahan bakar mesin mereka. Perubahan bahan bakar industri dari solar ke batubara ini terkait anjuran pemerintah untuk memakai batu bara sebagai energi alternatif, menyusul kenaikan harga semua jenis BBM di pasaran dalam negeri setahun terakhir.
Meningkatnya penggunaan batubara sebagai bahan bakar di industri Majalaya, sudah pasti memunculkan masalah. Asap tebal berwarna hitam yang merangsek udara kota setiap hari, sepanjang bulan dan tahun, perlahan dan pasti akan merusak kualitas udara di wilayah itu. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung yang melakukan analisis kualitas udara pada awal 2005, menemukan tiga pabrik di kawasan Majalaya sebagai sumber pencemar udara terburuk. Yakni PT Sipatex dengan parameter pencemaran debu batubara, PT Nirwana dengan parameter pencemaran zat kimia SO2, dan PT Purnama dengan pencemaran partikulat. Zat-zat ringan yang bertebaran di udara ini diketahui dapat menimbulkan penyakit pernapasan akut (ISPA) kepada manusia, di samping menimbulkan gangguan penglihatan.
Di tengah kepungan masalah lingkungan yang belum tertangani, Kabupaten Bandung dan Majalaya sepertinya sedang menuju kerusakan lingkungan yang lebih parah. Krisis air bawah tanah, pencemaran air sungai, ditimpali pencemaran udara oleh industri, disengaja ataupun tidak, akan membahayakan kesehatan manusia dan merusak ekosistem yang ada. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan itu?
Yang Berbuat Harus Bertanggung jawab
Pemerintah merupakan salah satu komponen utama pemecah masalah. Sebab dari tangan aparat birokratlah kebijakan dibuat dan izin usaha bagi industri dikeluarkan. Untuk itu, pada pertengahan Juni 2006, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) Pusat, mengundang para pengusaha tekstil setempat dalam pertemuan terbuka di aula Kecamatan Majalaya. Sejumlah kesepakatan dan rekomendasi penanganan masalah pencemaran - khususnya- limbah batubara berhasil ditelurkan.
Pihak KLH Pusat misalnya meng-ultimatum kalangan industri agar segera membenahi sistem pembuangan abu batubara dalam waktu satu bulan. KLH dengan pengawasan Dinas Lingkungan Kabupaten juga meminta pengusaha agar menyediakan tempat pembuangan abu batubara sementara di lingkungan pabrik masing-masing. Pada saat yang sama, ketiga pihak, KLH-DLH-pengusaha, segera menentukan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) abu batubara yang kemungkinan berlokasi wilayah di Cijapati, Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung. Syarat bagi pendirian TPA itu ialah jauh dari pemukiman penduduk dan sampah yang dibuang di TPA sudah memenuhi uji analisis laboratorium yang handal, sehingga tidak membahayakan ekosistem.
Dari pihak pengusaha, tampaknya bisa memahami keinginan pemerintah dan akan berusaha mengikuti aturan dan kesepakatan yang ada. “Mulai sekarang, marilah kita melihat ke depan, tidak usah mengungkit masa lalu yang penuh kesalahan,” ujar salah seorang wakil Persatuan Pengusaha Tektil Majalaya (PPTM).
Sekelompok buruh berseragam tampak keluar masuk dari bangunan yang berbeda. Itulah pabrik-pabrik tekstil dan garment yang membuat Majalaya ngetop dan sempat dijuluki Kota Dolar dari Bandung Selatan.
Sejak 1960-an, Majalaya dan sekitarnya sudah dikenal sebagai kawasan industri tekstil di Jawa Barat. Ada beberapa jenis industri yang berkembang, diantaranya pabrik pemintalan, pabrik tenun, dan pabrik pencelupan benang. Produk tekstil dari Majalaya mencapai ribuan ton dan menjadi komoditi ekspor ke manca negara.
Data dari LPPM ITB menunjukkan, pada awal 2003, industri tekstil Majalaya menyerap 33.000 tenaga kerja atau 17 persen dari penduduk di kawasan industri. Padahal pabrik tenun dan pintal itu dulunya hanya berskala rumah (home industry) dan dimiliki warga setempat. Keuntungan ekonomi pun diraih warga sekitar dengan bekerja sebagai buruh di kawasan industri.
Seiring perkembangan zaman, industrialisasi mulai memakan korban. Mulai 1970 hingga 1980-an, satu persatu pabrik tenun atau pintal berpindah kepemilikan dari warga setempat kepada investor non pribumi atau asing. Kemudian jika dulu pabrik-pabrik itu masih mengoperasikan mesin pintal atau tenun kecil, mulai 1990-an para investor baru mengganti mesin-mesin tekstil mereka dengan mesin raksasa berbahan bakar solar atau batu bara. Walhasil, sejalan dengan peningkatan kapasitas produksi, kerusakan lingkungan ikut pula meruyak, meliputi kerusakan di air, darat, dan udara.
Leuweung Ruksak, Cai Beak, Runtah Pabalatak
Ini adalah ungkapan bahasa Sunda yang artinya “Hutan Rusak, Air Habis, Sampah Bertebaran dimana-mana” untuk menggambarkan parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah Majalaya dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Koordinator Advokasi Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya, Deni Riswandani, industrialisasi yang massif tanpa didukung upaya pelestarian dan perbaikan lingkungan telah menurunkan kualitas hidup secara drastis.
Deni menunjuk contoh bagaimana kualitas lingkungan hidup merosot di wilayah Majalaya. “Hampir semua sungai dan anak sungai yang dilalui pabrik tekstil di Majalaya, berwarna hitam atau pekat dan berbau tajam. Pada malam hari, pembuangan limbah cair dari pabrik ke badan sungai meningkat 2-3 kali lipat”, ujar Deni kepada Suara Publik . Hasil pemantauan di lapangan menunjukkan sejumlah anak sungai seperti Sungai Ciwalengke, Sungai Sasak Benjol, dan Sungai Cikacembang, tampak berwarna hitam kemerah-merahan dan pasti tercemar. Pada malam hari, air sungai bisa berubah sesuai warna bahan celupan pabrik yang dibuangnya.
Warga yang tinggal di sepanjang aliran sungai tercemar limbah itu mengaku menderita. Kosim, warga desa Sukaasih yang tinggal dekat PT Purnama mengatakan, pencemaran air sungai dari pabrik sudah berlangsung bertahun-tahun. “Paling parah kalau musim hujan. Sampah- sampah dari sungai yang berwarna pekat, naik ke jalanan dan menggenangi perumahan warga berikut seluruh racun kimia yang dikandungnya” ujar Kosim kepada Suara Publik . Sejumlah warga dilaporkan pernah mengalami sakit tapi tidak yakin apakah itu disebabkan limbah pabrik atau bukan.
Lalu bagaimana kualitas air sungai setelah lewat musim hujan? “Sama saja. Air sungai yang tercemar limbah pabrik itu merembes ke sumur-sumur warga. Baunya, coba cium sendiri. Bisa bikin orang mual dan muntah,” ujar Kosim sambil menunjuk air selokan berwarna hitam tak jauh dari rumahnya. Sekelompok anak tampak bermain-main di sekitar sungai tercemar itu tanpa tahu akibat sesungguhnya.
Hasil studi mengenai limbah cair di Majalaya oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung dan Lembaga Penelitian Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB tahun 2002, menguraikan frekuensi pembuangan limbah oleh industri berlangsung setiap 2-4 jam sampai setiap hari. Jumlah limbah cair yang dibuang setiap 2-8 jam mencapai 60 persen, sedangkan limbah yang dibuang ke sungai setiap hari mencapai 17 persen dan limbah yang dibuang setiap saat (tanpa waktu) berjumlah 12 persen. Melalui penelitian kualitas air di kawasan industri Majalaya, Mei 2006, Komite Peduli Lingkungan (KPL) Bandung mencatat 36 pabrik yang diduga mencemari Sungai Citarum dan sejumlah sungai lainnya. Kesemua pabrik itu diketahui tidak mempunyai instalasi pembuangan limbah (IPAL) yang memadai dan membuang seluruh sisa produksi cairnya ke badan sungai dan mencemarinya.
Apakah warga pernah melaporkan pencemaran itu kepada pemerintah desa atau pabrik yang bersangkutan? “Sudah sering warga minta perhatian pabrik agar tidak membuang limbah cair sisa pencelupan ke badan sungai. Tapi sepertinya mereka tidak peduli. Apalagi tiap pabrik biasanya punya preman untuk menakuti warga,” tutur Kosim.
Krisis Air Dan Eksploitasi Industri
“Sudah dua minggu kami harus mengantri air bersih, padahal ini baru akhir musim hujan. Bagaimana nanti musim kemarau?”. Itulah keluhan seorang warga yang tinggal dekat pabrik tekstil Bima Jaya di desa Sukamukti, Kecamatan Majalaya. Iyoh, 42, hanyalah seorang dari ratusan warga di RT 02 Desa Sukamukti, Kecamatan Majalaya, yang hari-hari belakangan ini menghadapi kesulitan air bersih untuk keperluan sehari-hari.
“Sumur di rumah saya sudah lama tidak keluar air. Makanya kami minta pabrik menyediakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan warga,” tutur Wiwit, warga desa Sukamukti di tengah antrian mendapatkan air bersih dari kran air milik PT Bima Jaya. Warga menuturkan, sejak pabrik dibangun lima tahun lalu, sumur di pemukiman warga langsung kering. Tak peduli berapa dalam dan seberapa kuat pompa air milik warga, air tetap tidak keluar. Oleh karena itu warga berinisiatif meminta pabrik agar membagikan air bersih mereka sebagai ganti tersedotnya sumber air milik warga. Walhasil, antrian pengambilan jatah air bersih oleh warga selalu tampak pada setiap pagi dan sore. Terutama memasuki musim kemarau seperti sekarang.
Sejumlah pabrik memang menyediakan air bersih kepada warga melalui selang atau pipa yang dikeluarkan dari instalasi penampungan air milik pabrik. Warga yang membutuhkan air tinggal mengantri, mengisi jeriken atau ember, dan membawanya ke rumah masing-masing. Masalahnya, tidak semua pabrik menyediakan air bersih gratis bagi warga sekitar. Masih banyak pabrik yang tidak punya kepekaan sosial, apalagi perasaan bersalah karena merampas” hak-hak publik bagi kebutuhan air bersih dan lingkungan yang nyaman.
Hasil penelitian Komite Peduli Lingkungan (KPL) pada Mei 2006 menunjukkan, krisis air bersih dan ancaman kekeringan di Majalaya berkaitan dengan eksploitasi air tanah secara besar-besaran oleh industri. “Sekitar 170-an pabrik tekstil yang berada di Majalaya melakukan penyedotan air tanah dalam jumlah besar melalui sumur artesis. Akibatnya, debit air tanah mengalami penurunan hingga 3,9 meter per tahun,” ujar Deni Riswandani, peneliti dari KPL Majalaya. Inilah mengapa pada awal musim kemarau sudah banyak sumur warga yang tidak lagi mengeluarkan air.
Untuk membuktikan cerita penyedotan air bawah tanah dan sungai, Suara Publik menyusuri aliran Sungai Citarum yang melewati Kampung Radug dan Pasirkukun, Desa Padamulya, Kecamatan Majalaya. Dari jembatan tampak berbagai pipa menjulur ke badan sungai. Turun ke sungai yang hampir mengering, Suara Publik menemukan mesin penyedot air berskala besar sedang menguras air langsung dari sungai dialirkan menuju bangunan di atasnya. Bangunan itu diuga merupakan pabrik pengolahan air yang mengubah air sungai menjadi air baku bersih. Air olahan dari pabrik itu kemudian dialirkan ke pabrik-pabrik tekstil di kota Majalaya melalui pipa air bawah tanah.
Suara Publik melihat, upaya penyedotan air permukaan sungai berskala besar itu sudah mirip penjarahan. Tak heran jika warga sekitar pabrik mengeluhkan sulitnya memperoleh air tanah. Mudah dimengerti pula kenapa areal pesawahan di sekitar desa itu tampak kekurangan air, khususnya menjelang musim kemarau.
Penelusuran Komite Peduli Lingkungan (KPL) dan Insiatif Bandung di lapangan, mencatat ada 11 industri yang melakukan eksploitasi air permukaan sungai secara massif. Mereka adalah PT Rama Putra, PT Sungai Indah, PT Nirwana, PT Bambu Sakti, PT Sipatek, PT Dayung Mas, PT Bima Jaya, PT Sinar Sari, PT Dewi Sakti, PT Sinar Baru, dan PT Sidotek. Kesemua pabrik itu berada di Kecamatan Majalaya dan menguras Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, termasuk DAS Ciwalengke dengan mesin-mesin penyedot air raksasa. Artinya pabrik-pabrik itu sebenarnya merampas hak warga lain yang membutuhkan air sungai.
Pemerintah lewat DLH Kabupaten Bandung tampaknya sudah berupaya memperketat syarat teknis daftar ulang Surat Izin Pengambilan Air (SIPA), di samping menertibkan perizinan di 23 titik pengambilan air, tapi hasilnya belum optimal. Asep Ali, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Bandung menjelaskan upaya pemerintah untuk menertibkan industri sering diakali. “Contohnya, pabrik mengajukan SIPA untuk mengambil air sungai di satu lokasi. Tapi faktanya, pabrik itu mengambil air di dua atau tiga lokasi berbeda hanya dengan satu surat izin. Ini kan menyulitkan langkah pengawasan,” ujar Asep Ali kepada Suara Publik .
Asap Batubara Cemari Kota
Sampah bisa menjadi masalah di darat, maupun di udara. Jika kotamadya Bandung dirundung masalah sampah di darat, Kabupaten Bandung khususnya Majalaya, terjerat masalah sampah udara. Sampah ini merupakan asap buangan berwarna hitam pekat dari cerobong-cerobong asap industri yang berjumlah ratusan.
Menurut Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, dari puluhan industri yang ada, 41 pabrik di Kecamatan Majalaya kini menggunakan batubara sebagai bahan bakar mesin mereka. Perubahan bahan bakar industri dari solar ke batubara ini terkait anjuran pemerintah untuk memakai batu bara sebagai energi alternatif, menyusul kenaikan harga semua jenis BBM di pasaran dalam negeri setahun terakhir.
Meningkatnya penggunaan batubara sebagai bahan bakar di industri Majalaya, sudah pasti memunculkan masalah. Asap tebal berwarna hitam yang merangsek udara kota setiap hari, sepanjang bulan dan tahun, perlahan dan pasti akan merusak kualitas udara di wilayah itu. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung yang melakukan analisis kualitas udara pada awal 2005, menemukan tiga pabrik di kawasan Majalaya sebagai sumber pencemar udara terburuk. Yakni PT Sipatex dengan parameter pencemaran debu batubara, PT Nirwana dengan parameter pencemaran zat kimia SO2, dan PT Purnama dengan pencemaran partikulat. Zat-zat ringan yang bertebaran di udara ini diketahui dapat menimbulkan penyakit pernapasan akut (ISPA) kepada manusia, di samping menimbulkan gangguan penglihatan.
Di tengah kepungan masalah lingkungan yang belum tertangani, Kabupaten Bandung dan Majalaya sepertinya sedang menuju kerusakan lingkungan yang lebih parah. Krisis air bawah tanah, pencemaran air sungai, ditimpali pencemaran udara oleh industri, disengaja ataupun tidak, akan membahayakan kesehatan manusia dan merusak ekosistem yang ada. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan itu?
Yang Berbuat Harus Bertanggung jawab
Pemerintah merupakan salah satu komponen utama pemecah masalah. Sebab dari tangan aparat birokratlah kebijakan dibuat dan izin usaha bagi industri dikeluarkan. Untuk itu, pada pertengahan Juni 2006, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) Pusat, mengundang para pengusaha tekstil setempat dalam pertemuan terbuka di aula Kecamatan Majalaya. Sejumlah kesepakatan dan rekomendasi penanganan masalah pencemaran - khususnya- limbah batubara berhasil ditelurkan.
Pihak KLH Pusat misalnya meng-ultimatum kalangan industri agar segera membenahi sistem pembuangan abu batubara dalam waktu satu bulan. KLH dengan pengawasan Dinas Lingkungan Kabupaten juga meminta pengusaha agar menyediakan tempat pembuangan abu batubara sementara di lingkungan pabrik masing-masing. Pada saat yang sama, ketiga pihak, KLH-DLH-pengusaha, segera menentukan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) abu batubara yang kemungkinan berlokasi wilayah di Cijapati, Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung. Syarat bagi pendirian TPA itu ialah jauh dari pemukiman penduduk dan sampah yang dibuang di TPA sudah memenuhi uji analisis laboratorium yang handal, sehingga tidak membahayakan ekosistem.
Dari pihak pengusaha, tampaknya bisa memahami keinginan pemerintah dan akan berusaha mengikuti aturan dan kesepakatan yang ada. “Mulai sekarang, marilah kita melihat ke depan, tidak usah mengungkit masa lalu yang penuh kesalahan,” ujar salah seorang wakil Persatuan Pengusaha Tektil Majalaya (PPTM).
1 komentar:
Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.
Salam,
(Tommy.k)
WA:081310849918
Email: Tommy.transcal@gmail.com
Management
OUR SERVICE
Boiler Chemical Cleaning
Cooling tower Chemical Cleaning
Chiller Chemical Cleaning
AHU, Condensor Chemical Cleaning
Chemical Maintenance
Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
Degreaser & Floor Cleaner Plant
Oli industri
Posting Komentar