Jumat, 21 Desember 2007

Konversi Air Tanah Bandung dengan Hutan

Konversi Air Tanah Bandung dengan Hutan

Semakin tinggi pendapatan seseorang, biasanya semakin banyak ia menggunakan air. Jumlah penduduk di Cekungan Bandung pada tahun 2006 yang nyaris mencapai angka tujuh juta jiwa itu tentu akan mengalami masalah air bersih bila tidak diimbangi dengan kebijakan dan tindakan yang akrab lingkungan.

Perda-perda di era otonomi daerah ini justru memperlihatkan ego penguasa di tiap kota/kabupaten. Perda yang ditandatangani gubernur saat ini kelihatannya sekadar menjadi dokumen tertulis, bahwa gubernur sudah peduli lingkungan, bukan hal yang harus dipatuhi oleh seluruh pemda yang berada di Provinsi Jawa Barat. Sebagai contoh, Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 sudah jelas menyatakan bahwa kawasan Bandung utara (KBU) sebagai kawasan lindung.

Akan tetapi, Perda Kota Cimahi Nomor 23 Tahun 2003 menyatakan KBU untuk perumahan. Perda akal-akalan dari Kabupaten Bandung Nomor 12 Tahun 2001 menyatakan bahwa KBU sebagai kawasan tertentu berfungsi lindung. Demikian juga perda akal-akalan dari Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 yang menyatakan KBU sebagai kawasan lindung dengan 20 persennya dibangun. Dan konyolnya, Konsorsium 6 Perguruan Tinggi di Bandung merekomendasikan Kecamatan Ngamprah yang berada di KBU sebagai calon ibu kota Kabupaten Bandung Kulon, yang sebentar lagi akan menjadi kabupaten tersendiri.

Lahan terbangun di Cekungan Bandung terus meluas seiring dengan laju pertambahan penduduk dan perkembangan perkotaan yang nyaris tak terkendali. Selain pembangunan sarana dan prasarana perkotaan, kawasan industri merupakan kawasan terbangun yang luas, serta adanya perubahan dari hutan menjadi semak-semak. Tentu luasnya kawasan terbangun ini menyebabkan air limpasan di permukaan tanah (run off) yang awalnya hanya 40 persen pada tahun 1960, seperti dikemukakan oleh Otto Soemarwoto, pada tahun 2005 lalu menjadi 90 persen.

Semakin parah

Keadaan air tanah di Cekungan Bandung semakin parah, air hujan sebagai sumber pengisi air tanah itu semakin berkurang curahannya dari tahun ke tahun. Curah hujan yang mencapai 3000-an mm pada tahun 1800-an menjadi hanya 2000-an mm pada tahun 2000. Sebaliknya, yang menyedot air tanah semakin berlebihan. Para penyedot air untuk kepentingan industri yang begitu boros air, serta semakin merebaknya bisnis air bening dalam kemasan telah menyumbang semakin dalamnya muka air tanah.

Akibatnya, sumur harus dibor lebih dalam lagi karena muka air tanah dangkal (kedalaman 140 m) telah turun sekitar 1-10 m, muka akuifer tengah (40-150 m) turun sekitar 10-80 m, dan akuifer dalam (150 m) turun sekitar 50-80 m. Fakta berikutnya dari penurunan muka air tanah itu adalah adanya beberapa kawasan yang amblas di Cekungan Bandung, seperti terjadi di Leuwigajah, Kota Cimahi; Rancaekek, Dayeuhkolot, dan Kopo.

Menurut Kasubdit Konservasi Airtanah Direktorat Tata Lingkungan dan Pertambangan, hingga tahun 2002 muka air tanah di Bandung berada sekitar 100 meter di bawah muka tanah, sebagai akibat penggunaan air tanah yang tidak terkendali dan daerah resapan air yang semakin berkurang. Hal ini akan berdampak pada pencemaran air, adanya daerah yang amblas, dan terjadinya kekeringan. (Kompas, Selasa, 22 April 2003).

Dengan akan dibangunnya kawasan Gedebage dan Tegalluar oleh Pemkot Bandung, di beberapa titik di kawasan itu sudah dilakukan pengeboran sangat dalam, menembus lapisan yang selama ini tak tertembus. Para pengebor itu telah menemukan air tanah dalam purba yang sangat segar.

Kemampuan manusia untuk mencari sumber air tanah dalam purba begitu canggih, disertai teknologi penyedotan air yang semakin luar biasa. Pompa air itu mampu menyedot air dalam hitungan detik untuk sekian ribu kubik. Sementara perjalanan air hujan sejak meresap ke dalam tanah hingga sampai di kedalaman lapisan tanah memakan waktu puluhan ribu tahun. Perjalanan air tanah dari KBU sampai di kedalaman Gedebage dan Tegalluar memakan waktu sekitar 30.000-45.000 tahun.

Dengan hancurnya KBU saat ini, warga Bandung masih bisa menikmati air tanah dalam purba. Tapi, tentu itu ada batasnya karena perjalanan air begitu lama, dengan hanya 10 persen sebagai penggantinya.

Oleh karena itu, saat ini perlu usaha nyata dari semua warga Bandung, yang telah diselamatkan karena ada air yang meresap zaman purba. Kalau saat ini tidak ada usaha nyata untuk memasukkan kembali air hujan ke dalam tanah, maka nanti Bandung akan benar-benar kekurangan air bersih, amblas, dan kebanjiran.

Hutan binaan

Selain upaya penananaman pohon di kawasan terbuka hijau di perkotaan, atau pembuatan sumur resapan, saat ini penting untuk dibuat peraturan daerah tentang konversi/penukaran dari para penyedot air, berupa penghutanan kembali kawasan di pinggiran Cekungan Bandung. Misalnya saja, penyedot air untuk kepentingan industri sebanyak sekian kubik per detik diwajibkan memiliki hutan binaan di lereng seputar Cekungan Bandung sebanyak sekian ratus pohon, misalnya, yang dipelihara sehingga dapat tumbuh subur berkelanjutan. Demikian juga para pengemas air bening. Usahanya itu ada karena terjaganya air alami sehingga sepatutnyalah mereka mempunyai hutan binaan yang lestari.

Pembentukan hutan binaan ini bisa dilakukan melalui bekerja sama dengan Dinas Kehutanan sehingga kawasan hutan lindung dapat benar- benar dihutankan kembali dengan pohon-pohon khas Cekungan Bandung. Atau bekerja sama dengan Perhutani untuk hutan produksi. Walaupun kategorinya hutan produksi, tidak selalu harus ditanami pohon pinus yang diambil getahnya dan bila sudah kering tak bergetah akan ditebang. Bisa saja di hutan produksi ini ditanam pohon yang tidak akan ditebang, tetapi yang menghasilkan manfaat dari bunga, pucuk, atau buahnya.

Melalui hutan produksi binaan ini sekeliling Cekungan Bandung akan menjadi kawasan yang khas karena produksi hutannya yang lestari. Misalnya, akan terkenal ada Pasir Kananga, Pasir Campaka, Pasir Salam, Pasir Muncang, Pasir Nangka, Talun Awitali, Talun Haur, Talun Awisurat, Talun Tamiang, dan Talun Awiwulung.

Kepedulian/kesadaran akan pentingnya konservasi air harus terus ditingkatkan di semua lapisan, mengingat akibatnya yang fatal bila program ini tidak berhasil. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda sudah mengingatkan: Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak. No forest, no water, no future.

Di tingkat dunia, Konferensi Tingkat Menteri di Denhaag, Maret 2000, telah mengimbau pencapaian jaminan ketersediaan air untuk semua pada abad ke-21. Kemudian pada Desember 2000, Majelis Umum PBB telah mengimbau badan-badan PBB untuk mempertinggi kesadaran akan pentingnya air tawar dan meningkatkan tindakan konservasi air pada tingkat lokal, regional, dan internasional.

Agama memesankan, tanamlah biji walau besok akan kiamat. Bukankah ini kehormatan dari Tuhan bagi manusia untuk menanam pohon?

T BACHTIAR Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan KRCB

Tidak ada komentar: