Jumat, 21 Desember 2007

Permasalahan Tata Ruang Cekungan bandung

Disampaikan Oleh Dadang Sudardja

Pada FGD INISIATIF, Bandung, 21 Januari 2006


Pendahuluan.

Definisi pemetaan permasalahan cekungan bandung :

Pemetaan permasalahan cekungan bandung berarti satu diagram(analisis) yang menunjukan pola hubungan sebab-akibat (keterkaitan) antar komponen masalah yang ada di dalam kawasan cekungan bandung baik itu masalah lingkungan(ekologi secara holistik), sosial dan ekonomi, budaya dan lainnya dalam satu sistem permasalahan yang kompleks.

Konsepsi Tata Ruang

Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang. Penataan ruang dilakukan berdasarkan, 1). Fungsi utamanya, meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. 2). Aspek administrative, meliputi ruang Wilayah Nasional, Wilayah Propinsi dan Wilayah Kabupaten.

Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan wilayah adalah pembangunan yang dilandasi oleh pengwilayahan fakta. Wilayah fakta inilah yang mencerminkan persamaan-persamaan ataupun perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat, yang selanjutnya akan mencerminkan kebutuhan-kebutuhan anggota masyarakat.

Rencana Tata Ruang Wilayah pada dasarnya merupakan suatu alat bantu yang disusun dengan perspektif menuju ke keadaan masa depan yang diharapkan. Perencanaan RTRW bertitik tolak dari data dan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan metode penyusunan. Lingkup data yang digunakan mencakup data dan informasi fisik alami, social budaya dan hubungan ketergantungan wilayah perencanaan dengan wilayah lainnya. Kegiatan berencana pada umumnya dan pembangunan berencana pada khususnya adalah suatu kegiatan berangkai, atau suatu proses yang meliputi aspek Kebijakan – Perencanaan – Pelaksanaan dan Penilaian (Plan --- Planning --- Implementation --- Monitor). Kebijakan pembangunan dapat dirumuskan dengan baik jika ditopang oleh fakta-fakta yang baik dan sejalan dengan sasaran atau tujuan yang akan dicapai. Pengwilayahan adalah usaha untuk menyajikan fakta keruangan (spatial) se-efektif mungkin dengan tujuan supaya penetapan kebijaksanaan pembangunan bisa lebih cermat.

Kegiatan perencanaan terdiri dari usaha untuk menetapkan prioritas proyek, sebagai kelanjutan usaha penjabaran kebijaksanaan pembangunan ke dalam pelbagai proyek, kemudian menetapkan proyek-proyek penunjangnya, dananya, jangka waktu pelaksanaannnya, memikirkan kemungkinan dampaknya, kebutuhan personalianya dan akhirnya kebutuhan tanahnya (ruang).

Sebagaimana kita ketahui bahwa kondisi tata ruang kota Bandung semakin hari semakin tidak jelas dan menjurus kepada hilangnya ruang-ruang publik. Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota telah mengabaikan hak-hak publik dan lingkungan, sehingga dapat mengakibatkan lingkungan yang ada saat ini tidak memiliki dukungan sosial, dan ekologi. Tentu saja dampak yang dirasakan adalah kesemrawutan yang akan berakibat pada timbulnya persoalan sosial.

Kondisi Tata ruang Bandung

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung merupakan dokumen penting yang menjadi araha kebijakan pelaksanaan pembangunan dan rujukan bagi penyusunan rencana yang lebih operasional di Kota Bandung. Dokumen ini merupakan produk dari kegiatan perencanaan tata ruang yang merupakan bagian dari penataan ruang. Meskipun demikian, didalamnya tidak hanya berisi tata ruang, tetapi juga mencakup pemanfaatan (rencana tata) ruang, pengendalian tata ruang, serta hak, kewajiban dan peranserta masyarakat. Dokumen ini menjadi pedoman untuk penyusunan kebijakan pokok pembangunan dan pemanfaatan ruang, arahan lokasi investasi, penyusunan RDTRK/RTRK/RTBL dan rencana teknis lainnya, penerbitan perijinan, pelaksanaan pembangunan, dan penyusunan indikasi program pembangunan.

Dari hasil dikusi publik yang dilaksanakan di Walhi pada tanggal 25 Okotober 2005, bersama Deny Zulkaidi seorang planer dari ITB yang juga merupakan konsultan diktakan bahwa, yang menjadi persoalan utama dalam pelaksanaan RTRW di Kota Bandung, adalah kurangnya pemahaman dan kurangnya kesepakatan seluruh pelaku pembangunan atas subtansi rencana tata ruang tersebut. Kurangnya pemahaman ini disebabkan memang rencana tata ruang ini masih berupa kebijakan (policy statement) yang belum dirinci kedalam peraturan pelaksanaan yang operasional (antara lain peraturan pembangunan atau zoning regulation, RDTRK/RTRK/RTBL. Meskipun secara politik kesepakatan ini telah ditunjukan dengan terbitnya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Akan tetapi masih ada pihak-pihak yang berusaha mencari peluang untuk tidak mengikuti aturan/arahan penataan ruang didalamnya. Salah satu penyebab adalah kurangnya partisipatifnya proses penyusunan rencana tersebut, adanya konflik kepentingan yang tidak terselesaikan, atau adanya perubahan nilai dan kepentingan dari kesepakatan sebelumnya. Persoalan utama ini potensial menjadi penyebab terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tata ruang.

Hal lain yang menjadi penyebab utama dari persoalan tersebut diatas adalah inkonsistensi pemerintah terhadap peraturan yang ada. Contoh kasus adalah dengan telah direvisinya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang yang baru berumur satu tahun. Ada inidikasi bahwa hal ini terjadi disebabkan oleh dorongan kepentingan pihak tertentu, yang memiliki motif ekonomi jangka pendek, sehingga mengabaikan kepentingan publik yang dalam hal ini masyarakat Bandung secara keseluruhan. Perubahan ini akan membawa dampak yang sangat besar bagi ekologi Kota Bandung. Perubahan pada peraturan, mengakibatkan adanya perubahan pada peta tata guna lahan. Dimana sebelumnya kawasan Punclut termasuk kawasan Konservasi, dengan telah direvisinya RTRW, kawasan ini berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman berkepadatan rendah. Perubahan yag diusulkan oleh Pemerintah Kota menunjukan inkonsistensi terhadap peraturan yag ada.

Permasalahan/isu cekungan bandung dipandang dari sisi ekologi :

ISU POKOK REGIONAL

Permasalahan pokok Cekungan Bandung yang maih relevan sampai sekarang telah diidentifikasi Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada tahun 1997 adalah :

1. Masalah air

Permasalahan air yang terjadi disebabkan karena kerusakan lingkungan di wilayah Bandung Utara seperti kerusakan hutan sebagai wilayah tangkapan air, berubahnya fungsi lahan konservasi menjadi peruntukan lain yang tidak mendukung fungsi konservasi. Akibat yang ditimbulkan adalah :

    1. Masalah kelangkaan air baku
    2. Menurunnya permukaan air tanah
    3. Menurunnya kualitas air tanah
    4. Banjir
    5. Erosi dan sedimentasi

2. Penataan ruang

Konsep dekonsentrasi planologis dengan terciptanya kota-kota kecil disekitar Kota Bandung dengan fungsi tertentu dan diarahkan sebagai Counter Magnet tidaklah mudah. Bahkan cenderung semakin menyatu. Tidak jelasnya struktur perkotaan berakibat dengan semakin beratnya kota Bandung sebagai inti untuk menanggung aktivitas penduduk.

3. Transportasi

Pertambahan penduduk dan infra struktur perkonomian yang semakin terus meningkat menyebabkan pergerakan lalu lintas semakin membesar. Kondisi ini tidak diantisipasi dengan prasarana yang ada terutama jaringan jalan. Indikasi seriusnya masalah ini adalah :

    1. Kapasitas jalan menurun (perbandingan panjang jalan dan jumlah kendaraan sudah tidak proposional.)
    2. Pelayanan angkutan umum belum memadai, seharusnya angkutan umum terpadu sudah berjalan, serta lebih banyak menggunakan bus.
    3. Pengaturan lalu lintas yang tidak berjalan dengan baik.
    4. Sarana parkir yang kurang dan trotoar yang menjadi tempat PKL.

4. Penduduk

Permasalahan utama dari segi kualitas dan kuantitas akan langsung menyangkut pada perkembangan kota yang diindikasi dengan :

    1. Meluasnya kawasan perkotaan yang mengarah pada koridor Barat-Timur.
    2. Meluasnya kawasan perkotaan yang mengancam daerah konservasi Utara-Selatan.
    3. Berkembangnya kawasan perkotaan di kota-kota tertentu seperti Cimahi, Batu Jajar, Cicalengka, Cikeruh, Cimanggung dll.
    4. Meningkatnya pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di bagian timur Bandung dan sebaliknya terjadi penurunan di kota lama.
    5. Meningkatnya kepadatan penduduk di perbatasan kota inti dan pinggiran.

    6. Dengan bertambahnya penduduk dan kegiatan kota lainnya menimbulkan masalah perkotaan dan sudah menjadi masalah regional seperti :
  1. Pengelolaan Limbah padat
  2. Udara
  3. Penduduk Komuter

a. Pengelolaan Limbah Padat

Limbah padat yang menjadi isu dibagi dalam tiga katagori,yaitu :

    1. Limbah padat Domestik (Persampahan)
    2. Limbah Rumah sakit (Medis)
    3. Limbah B 3 (Domestic, RS dan Industri)

1.1. Limbah Padat Domestik (Persampahan)

Limbah padat telah menjadi isu regional terkait dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah yang terletak di luar batas adminitrasi daerah. Secara regional sampah yang terakumulasi di saluran dan sungai-sungai Kota Bandung dan kota-kota kecil sekitarnya terbawa sampai ke sungai Citarum dan mengakibatkan pencemaran kualitas air sungai dan pendakalan sungai.

Menyikapi kasus sampah yang menumpuk di kota bandung:

Paradigma yang dipakai pemerintah sebagai pengelola sampah kota bandung saat ini masih sebatas pada menentukan dan membuang sampah pada TPA (tempat pembuangan akhir) akibatnya masalah sampah akan selalu muncul, padahal yang mendasar dilakukan oleh masyarakat perkotaan saat ini adalah bagaimana upaya mengurangi sampah yang dihasilkan oleh kota Bandung ketimbang bagaimana membuang sampah yang dihasilkan.

Masih rendahnya tingkat kesadaran lingkungan sebagian besar masyarakat kota bandung, didukung dengan gaya hidup instant(gaya hidup kemasan) sebenarnya semakin menjadikan masalah sampah ini semakin sulit diatasi.

Jepang pernah mengalami kasus sampah yang lebih parah dibanding kota bandung, dengan ketersediaan kawasan yang tidak memungkinkan negara itu membangun TPA menuntut pengelola negara itu mengeluarkan suatu peraturan yang cukup tegas yang “memaksa” warganya untuk melakukan pemilahan dan pengurangan sampah mulai di tingkat komunitas lokal.

Inilah persoalan yang mendasar yang semestinya dilakukan pemerintah kota ini, konsistensi dan integritas pengelola pemerintahan inilah yang akan membuat terimplementasinya kebijakan yang diterpakan.

Apalagi dari kultur masyarakat kita yang konon katanya memang harus “dipaksa” lebih dulu sehingga kemudian tumbuh kesadaran.

1.2. Limbah Rumah Sakit (Medis)

Limbah medis padat (limbah enfektius) merupakan bagian dari limbah B3 sangat berbahaya bila terbuang di TPA sampah domestik termasuk disini limbah padat dari industri farmasi yang dibuang ke TPA. Katagori limbag medis yang yang meliputi limbah Rumah Sakit, Rumah Sakit /bersalin, Puskemas/Poliklinik, Praktek Dokter, Bidan, Rumah sakit/klinik hewan dan rumah obat memerlukan penanganan serius mulai dari pengumpulan, pengangkutan hingga ke pengelolaan akhir. (landfill/Incenerasi). Perlunya area pengolahan yang berlaku regional (Greater Bandung) disebabkan Kota Bandung tidak memiliki lahan yang memenuhi syarat.

1.3. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Dengan jauhnya instalasi pengolahan limbah B3 di Cileunsi memungkinkan pelanggaran dengan membuang ke TPA-TPA sampah domestik Instalasi Pengolahan Limbah B3 di Kawasan Cekungan Bandung menjadi perlu untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran yang dibuat karena mahalnya biaya pengolahan.

b. Udara

Dengan kondisi transportasi ditambah dengan kondisi tofografi Cekungan Bandung, maka masalah udara perlu penanganan serius. Transportasi udara yang terhambat di utara dan selatan oleh gunung-gunung mengakibatkan akumulasi pencemar. Masalah penduduk yang menyebabkan meluasnya kota membawa konsekuensi kepada kondisi udara. Pencemaran udara sudah harus memperoleh perhatian bukan hanya Kota Bandung sebagai kontributor terbesar, tetapi kota-kota penyangga yang juga akan menjadi kontributor dan penerima beban pencemaran. Sektor transportasi yang merupakan kontributor utama perlu memperoleh perhatian lebih ini terkait dengan penduduk di Metro Bandung.

c. Penduduk Komuter

Dengan semakin terbatas dan mahalnya lahan di Kota Bandung maka tumbuh kecenderungan pemukiman di luar kota Bandung. Pergerakan penduduk ke Kota Inti (Kota Bandung) dari Kota-Kota di sekitarnya membawa dampak kemacetan pada jam-jam awal dan pulang kerja.

Penutup

Tidak dapat disangkal bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi telah melahirkan banyak tuntutan, termasuk kebutuhan kenyamanan. Tuntutan tersebut adalah wajar dan sah sepanjang dilaksanakan sesuai dengan aturan [manusia dan alam]. Namun demikian, tampak kesan kuat bahwa fenomena kesemrawutan pemanfaatan lahan di cekungan Bandung, merupakan konsekuensi dari orientasi pembangunan yang terlalu materialistik. Apakah fenomena tersebut merupakan dilema atas pembangunan ekonomi di kawasan konservasi? Seharusnya tidak. Pembangunan ekonomi tidak harus mengorbankan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilaksanakan apabila:

  1. Kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan sungguh-sungguh difahami untuk kemudian dilaksanakan. Dalam konteks KBU adalah implementasi kaidah-kaidah Deklarasi Eko-wisata Quebec.
  2. Pihak eksekutif konsisten dalam melaksanakan Perda sementara legislatif juga konsisten dalam menjalankan fungsi pengawasannya.
  3. Masyarakat/LSM ikut aktif dalam proses perencanaan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan.
  4. Universitas dituntut untuk lebih mengedepankan fungsi pengabdian pada masyarakat yang selama ini kurang memperoleh perhatian dalam arti tidak hanya berhenti menyumbangkan pikiran secara konseptual [sebagai lembaga think tank], tapi juga memberi contoh dan terlibat langsung di lapangan [a.l. melalui fungsi pendampingan].
  5. Mengupayakan mekanisme yang dapat mencegah terjadinya penyimpangan RTRW termasuk sanksi terhadap terjadinya pelanggaran. Upaya hukum dalam bentuk class action adalah salah satunya. Dampak positif dari upaya class action ini adalah mendorong pihak eksekutif dan lainnya yang terkait bertanggungjawab atas kebijakan publik yang mereka keluarkan. Dengan kata lain, meningkatnya pertanggungjawaban publik, transparansi, dan proses partisipatif dalam perencanaan RTRW dapat memberikan jaminan lebih besar untuk tercapainya kebijakan pembangunan ramah lingkungan.

Akhirnya, sudah saatnya bahwa pemberian ijin bagi aktivitas pembangunan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak pada masyarakat luas seharusnya melalui proses dengar pendapat publik (public hearing) dan bahkan debat publik (public debate) tentang boleh tidaknya aktivitas pembangunan tersebut dilaksanakan. Hal ini merupakan cara yang baik sebagai pendidikan sadar lingkungan bagi pejabat dan masyarakat luas. Dengan proses mekanisme pengambilan keputusan ini, selain lebih demokratis, kecenderungan saling menyalahkan pada saat terjadinya kasus-kasus kerusakan lingkungan juga dapat dihindari. Jelas, jika kita serius, kita dapat bertindak banyak. Tidak hanya sibuk dengan retorika saja.

Selamat Berdiskusi.

Tidak ada komentar: