Selasa, 25 Desember 2007

Massa Menuntut Perum Perhutani Dibubarkan

TASIKMALAYA, (PR).-
Massa yang mengatasnamakan Komite Aksi Untuk Keadilan Rakyat (KAUKR) melakukan demonstrasi di Pengadilan Negeri (PN) Tasikmalaya, Senin (26/11). Mereka menuntut Perum Perhutani Tasikmalaya dibubarkan.

massa dari berbagai elemen tergabung dalam yang Komite Aksi Untuk Keadilan Rakyat (KAUKR), Senin (26/11) berdemonstrasi di pengadilan Tasikmalaya. Mereka meminta Perum Perhutani Tasikmalaya dibubarkan.*UNDANG SUDRAJAT/"PR"

Aksi unjuk rasa ini mendapat perhatian warga yang akan melintas di Jln. Siliwangi Kota Tasikmalaya. Sebelum masuk ke halaman pengadilan, pengunjuk rasa melakukan orasi di badan jalan tersebut. "Bubarkan Perhutani. Bubarkan Perhutani," ujar seorang pengunjuk rasa.

Setelah berbaris memanjang di Jln. Siliwangi, pengunjuk rasa akhirnya masuk ke halaman gedung pengadilan. Saat itu, dalam waktu bersamaan ada persidangan empat terdakwa dari Desa Banyuasih, Kec. Taraju, Kab. Tasikmalaya, yang didakwa melakukan perambahan hutan di kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani Tasikmalaya.

Di halaman pengadilan, pengunjuk rasa bukan hanya berorasi secara bergantian meminta Perhutani dibubarkan, tapi juga menampilkan teaterikal, dari aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LGMNUD). Aksi itu menggambarkan, rakyat yang berada di sekitar hutan diimpit oleh kemiskinan.

Koordinator aksi Leala Al-Fahri mengatakan, selama ini pengelolaan hutan oleh Perhutani Tasikmalaya, tidak memberikan banyak manfaat untuk rakyat. Sebaliknya, warga sekitar hutan masih dililit oleh kemiskinan. Malah, ada yang diseret ke pengadilan dengan tuduhan perambahan atau pencurian kayu.

Padahal, perhutani sendiri dalam pengelolaan hutan, menggunakan sistem satu jenis tanaman, seperti pinus. Hal itu, telah menyebabkan pasokan air berkurang. Karena tanaman pinus itu, banyak menyedot air tanah, bukan menyimpannya. "Sehingga, ketika kemarau terjadi, warga sekitar hutan banyak mengalami kesulitan air," ujarnya.

Oleh karena itu, KAUKR meminta agar Perhutani Tasikmalaya dibubarkan. Apalagi, konflik-konflik terus terjadi, karena Perhutani terus memaksakan diri dalam mengelola hutan. Mestinya, pengelolaan hutan melibatkan masyarakat sekitar.

Sementara itu, dalam sidang kemarin terdakwa, Ading, Ibad, Suharman dan Abidin, keempatnya, warga Banyuasih, Taraju, dituntut 2 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sugihartono menilai perbuatan terdakwa yang didampingi pengacara Encang Hermawan, terbukti melawan hukum, yaitu melakukan perambahan hutan di daerah Taraju.

Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Hanung, mendapat perhatian dari sanak keluarga terdakwa. Mereka hadir di persidangan itu, dengan membawa anak maupun cucu terdakwa. (A-97)***

SEDIMENTASI CITARUMMENGKHAWATIRKAN

Pikiran Rakyat (01 March 2007)

Tingkat sedimentasi (pengendapan) Sungai Citarum saat ini mencapai tahap meng^ khawatirkan. Rencana pemangkasan Curug Jompong hanya akan menambah laju sedimentasi di wilayah hilir dan mengubah struktur ekologi alami yang ada.

Demikian dikatakan Chay Asdak, peneliti Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran pada Lokakarya Tepung Lawung III Pelestarian DAS Citarum Hulu di Gedung Mohammad Toha Kompleks Perkantoran Pemkab Bandung di Soreang, Kab. Bandung, Rabu (28/2). Menurut dia, berdasarkan data hingga tahun 2003 laju sedimentasi Sungai Citarum di mulut Waduk Saguling mencapai 4 juta meter kubik/tahun. Tingginya laju sedimentasi ini akan berpengaruh pada listrik di sejumlah PLTA yang bersumber dari aliran Sungai Citarum.

Data yang ditunjukkan Chay bersumber dari data PT PLN Unit Pembangkit Saguling tahun 2004. Tingkat sedimentasi yang mencapai 4 juta meter kubik/tahun terjadi sejak 1988/1989 dan berlanjut hingga 2004.
"Tingginya laju sedimentas
i ini merupakan tanda tingginya degradasi sumber daya lahan dan air di wilayah hulu Citarum. Rencana pemangkasan Curug Jompong cenderung lebih pada pendekatan projek tanpa melihat pengaruhnya pada aspek ekologis yang ada," kata Chay. Menurut dia, laju sedimentasi Sungai Citarum akan jauh lebih tinggi jika Curug Jompong dipangkas.

"Tindakan pelurusan meander (kelokan) sungai termasuk pemangkasan air terjun (curug) sudah ditinggalkan di Amerika dan Eropa. Masa kita malah melakukannya," kata Chay. Solusinya, pembuatan tanggul di wilayah banjir akan lebih efektif dan ramah lingkungan dibandingkan harus memangkas Curug Jompong. Atau, dilakukan relokasi bagi masyarakat yang sering terkena banjir.
Penanaman pohon Chay juga mengajak semua pi
hak untuk melihat persoalan rusaknya hulu DAS Citarum secara menyeluruh. Selama ini, kata dia, banyak kalangantermasuk pemerintahselalu mengedepankan upaya penanaman pohon. Namun, data menunjukkan bahwa keberhasilan program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) ataupun GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis) ternyata tak signifikan di lapangan.

"Pendekatan lain yang harus dilakukan yakni sistem insentif. Maksudnya, pemerintah sudah seharusnya memberikan insentif kepada masyarakat yang telah berkontribusi menanami kembali hutan atau lahan yang terdegradasi," kata Chay.
Bentuk insentif itu yang harus, dirumuskan, apakah berupa uang atau bentuk lain yang menguntungkan masyarakat.
Pendekatan serupa telah dilakukan dalam sistem CDM (Cle
an Development Mechanism) yang telah diberlakukan secara global, yang memberikan insentif bagi pihak-pihak yang telah menjaga kelestarian lingkungan dan berperan dalam menahan laju perubahan iklim.

Perubahan paradigma ini, kata Chay, sudah layak dicermati mengingat makin bergesernya budaya di tengah masyarakat. Ia'mengajak pemerintah yang s'elama ini telah mengeluarkan biaya besar untuk penanaman pohon, juga nienyisihkan sebagian dananya untuk insentif tersebut.

Getar Berseka

Lokakarya kemarin mengambil tema "Hulu Menanam, Hilir Peduli" yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Pemkab Bandung, PT Indonesia Power, dan Masyarakat Cinta Citarum (MCC).

Direktur PT Indonesia Power, Abimanyu Suyoso mengatakan, pihaknya sangat berkepentingan dalam upaya pelestarian hulu DAS Citarum ini karena berkaitan langsung dengan listrik yang dihasilkan dari aliran sungai tersebut.

Sementara itu, Bupati Bandung Obar Sobarna mengatakan, sudah saatnya semua pihak berpikir untuk kelestarian Sungai Citarum. Rencananya, pada HUT Kab/Bandung 20 April mendatang, juga akan dikukuhkan program "Getar Berseka" (geulis, lestari, bersih, sehat, kayungyuri) yang beranggotakan semua kalangan yang berkepentingan dengan Citarum.

Curug Jompong Sementara itu, ketika ditemui usai menemui keluarga korban .JMP Levina I di Kel. Karang'melcar Kec. CimahTItengah, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan menyatakan, belum tentu Curug Jompong akan dipangkas. "Ada pendapat, jika Curug Jompong dipangkas akan menurunkan debit air di Citarum sehingga tidak lagi meluap. Namun, ada juga yang berpendapat sebaliknya. Nanti saya akan ctear-kan, mana pendapat yang paling benar untuk diterapkan di DAS Citarum," ucap Danny

Senin, 24 Desember 2007

Bersama Kita Mengelola Banjir

Purwanti Sri Pudyastuti


Pengajar Jurusan Teknik Sipil UMS, Alumnus Water, Engineering, and Development Centre, Loughborough University, Inggris

Banjir yang melanda Jakarta awal Februari 2007 menambah deretan bencana yang telah datang bertubi-tubi melanda negeri ini. Sekilas, sepertinya permasalahan banjir merupakan masalah sederhana karena telah rutin dialami setiap tahun. Kenyataannya, permasalahan banjir merupakan permasalahan kompleks yang tidak dapat dianggap sederhana. Dampak negatif akibat banjir sangat merugikan di banyak sektor. Banjir menyebabkan aktivitas perekonomian hampir lumpuh, infrastruktur telekomunikasi dan transportasi terganggu, ancaman penyakit, penyediaan air bersih terganggu, aliran listrik terputus, dan masih banyak lagi kerugian yang harus ditanggung akibat banjir.

Jika dihitung dalam rupiah, kerugian yang ditanggung saat banjir melanda dan biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan pascabanjir di Jakarta akan berjumlah miliaran rupiah. Padahal tidak hanya Jakarta yang dilanda banjir, namun banyak daerah lain di Indonesia yang dilanda banjir tahun ini sehingga alokasi dana banyak terserap untuk penanganan masalah banjir.

Banjir, sebenarnya adalah fenomena alam yang tidak dapat dihilangkan sama sekali, namun setidaknya dapat dikurangi potensi dan resikonya. Menurut Associated Programme on Flood Management (APFM, 2006), masalah banjir merupakan hasil interaksi antara fenomena alam dengan lingkungan, proses sosial, dan proses ekonomi. Proses sosial-ekonomi seperti pembangunan di segala bidang memberikan dampak kepada kondisi lingkungan suatu daerah.

Sebagai contoh, penebangan hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu sebagai bahan kontruksi rumah pascabencana tsunami di Aceh telah menyebabkan kerusakan hutan yang menyebabkan daya rusak air berupa banjir di daerah tersebut tidak dapat dikendalikan. Pengalihfungsian daerah resapan air di Puncak, Cipanas, Jawa Barat, menjadi bangunan-bangunan seperti vila juga merupakan satu contoh proses sosial-ekonomi yang menjadi pendukung terjadinya banjir di Jakarta.

Keterkaitan antara daerah hulu dan hilir juga tidak dapat diabaikan dalam pengelolaan banjir karena dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) secara alamiah air pada semua badan air yang ada di DAS akan mengalir dari arah hulu menuju hilir. Oleh karena itu, setiap aktivitas yang berinteraksi dengan air dan tanah di daerah hulu akan memberikan dampak pada daerah hilir. Beralihfungsinya daerah resapan air di Bogor menjadi daerah kedap air merupakan satu contoh aktivitas di hulu yang memberikan dampak di daerah hilir.

Pendekatan multidisipliner


Pengelolaan banjir yang dilakukan selama ini mayoritas adalah upaya pengendalian banjir yang masih terpusat pada upaya-upaya teknis seperti pembuatan tanggul, drainase, atau bendungan. Ketika daya tampung drainase dan sungai dalam mengalirkan debit air tidak lagi dapat diandalkan, maka fungsi pengendalian banjir saluran-saluran tersebut pun seolah-olah hilang.

Selain itu, upaya perbaikan lingkungan sebagai pendukung upaya pengendalian banjir seperti rehabilitasi lahan kritis selama ini tidak dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pihak terkait. Sebagian besar upaya tersebut dilakukan sendiri-sendiri. Upaya penyelamatan hutan misalnya hanya dilakukan oleh Dinas Kehutanan tanpa sinergi dengan institusi lain yang terkait dengan pengelolaan lahan dan sumberdaya air.

Permasalahan banjir tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan ego sektoral, karena ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir, seperti faktor meteorologi, hidrologi, dan manusia. Selain itu, daya rusak air yang dipresentasikan oleh kejadian banjir mempunyai keterkaitan dengan kondisi lingkungan sebagai dampak dari aktivitas manusia dalam memperlakukan lingkungan dan sumberdaya yang ada di dalamnya.

Menurut APFM (2006), upaya pengelolaan banjir akan efektif jika dilakukan secara terpadu dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas, berbasis daerah aliran sungai (DAS), menggunakan pendekatan multidisipliner dan berwawasan lingkungan. Selain itu, pengelolaan banjir secara terpadu seharusnya dilakukan dalam satu kerangka dengan pengelolaan sumberdaya air terpadu dan bersinergi dengan pengelolaan daerah pantai terpadu.

Dalam pengelolaan banjir terpadu, keterkaitan antara aspek teknik, sosial, budaya, ekonomi, kelembagaan, perundangan, dan lingkungan harus dipertimbangkan. Dalam penelitian yang dilakukan di beberapa negara, APFM (2006) melaporkan bahwa pengelolaan banjir terpadu yang menggunakan pendekatan multidisipliner akan lebih menghemat biaya dibandingkan dengan pengelolaan banjir yang hanya mengandalkan ego sektoral.

RTRW dan pengelolaan banjir


Setiap daerah (pada tingkat kabupaten atau kota) semestinya mempunyai rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dalam RTRW suatu daerah, biasanya ditetapkan kawasan-kawasan seperti kawasan rawan banjir, kawasan rawan longsor, kawasan lindung, dan kawasan resapan air. Semua kegiatan pembangunan di suatu daerah termasuk pengelolaan sumberdaya air yang di dalamnya mencakup pengelolaan banjir, semestinya terpadu dengan RTRW.

Namun kenyataannya, di Indonesia seringkali dijumpai adanya ketidakterpaduan antara RTRW dan kegiatan pembangunan. Untuk mendukung keberhasilan pengelolaan banjir maka keterpaduan antara RTRW dengan kegiatan pembangunan harus diwujudkan. Namun hal ini hanya bisa terwujud jika masyarakat luas dilibatkan dan ada dukungan dari sektor perundangan, hukum, dan kelembagaan.

Mencermati bencana banjir yang kejadiannya terus meluas di beberapa daerah di Indonesia, sepertinya sudah saatnya kita harus meninggalkan ego sektoral dalam pengelolaan banjir dan beralih ke pendekatan multidisipliner. Dengan begitu, program pengelolaan banjir terpadu dapat diwujudkan dan manfaatnya tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek namun juga dalam jangka panjang. Bersama kita (seharusnya) bisa mengelola banjir.

Pembiayaan DAS Masih Tergantung Pinjaman Luar Negeri

TEMPO Interaktif, Jakarta: Pemerintah sampai saat ini masih tergantung pada pinjaman luar negeri untuk mendanai perbaikan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sedangkan untuk mengandalkan dana dalam negeri masih belum mampu karena membutuhkan biaya yang sangat besar.

"Kalau hanya mengandalkan dana dalam negeri hanya dapat dipergunakan untuk biaya perawatan saja, namun
untuk perbaikan tetap harus mengandalkan utang luar negeri," kata Sekretaris Dirjen Sumber Daya Air
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Mochamad Amron, di Jakarta, Selasa (4/5).

Amron mengatakan hal itu menanggapi pernyataan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang menuntut agar
pemerintah tidak mengandalkan utang luar negeri dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk perbaikan DAS. Menurut dia, dari sebanyak 22 DAS tahun 1980 yang mengalami kritis, saat ini jumlahnya sudah bertambah
menjadi 59 DAS yang membutuhkan penanganan segera.

Dari sebanyak 59 DAS terdapat dua kawasan yang dibiayai ADB, namun saat ini pekerjaannya tertunda karena berbagai permasalahan yakni Sungai Citanduy-Segara Anakan (Kabupaten Cilacap Jawa Tengah) dan Sungai Belawan-Deli (Sumatera Utara).

Jika di Citanduy-Segara Anakan lebih disebabkan adanya sekelompok masyarakat yang khawatir lingkungannya akan terganggu dengan adanya perbaikan di hulu sungai, sementara di Belawan-Deli lebih disebabkan belum
selesainya masalah pembebasan lahan. Padahal penanganan kedua sungai itu sudah sangat mendesak untuk mengantisipasi terjadinya kecepatan pengendapan (sedimentasi) yang sering terjadi di muara sungai.

Untuk perbaikan DAS Citanduy, Pemerintah telah menyiapkan dua program yakni pembangunan sodetan namun
mendapat tentangan keras dari masyarakat di sekitar aliran sungai, serta melakukan konservasi alam di hulu
sungai. Padahal menurut Amron, sudah ada kajian dari IPB dan ITB menyangkut pembangunan sodetan itu tidak
akan mengganggu lingkungan pada masyarakat yang tinggal di sekitar aliran sungai.

Pemerintah sendiri telah menyiapkan biaya komitmen (commitmen fee) jika perbaikan DAS itu jadi
direalisasikan sebesar 1,5 juta dolar AS, sedangkan untuk Sungai Citandui sendiri dialokasikan menerima
pinjaman 28,215 juta dolar AS dari ADB, kemudian untuk se Jawa dana ADB yang disiapkan untuk perbaikan DAS
sebesar 88,205 juta dolar AS. "Pemanfaatan pinjaman luar negeri termasuk dana ADB untuk mendanai perbaikan DAS sangat tergantung hasil kajian dari master plan, jika ternyata butuh dana yang besar maka membutuhkan pinjaman luar negeri, ujarnya.

Menjawab pertanyaaan, mengapa pemerintah tidak memanfaatkan debt to nature swap (utang yang dapat
dipertukarkan dengan lingkungan) untuk perbaikan DAS, menurut Amron, usulan itu memang bagus namun sulit
direalisasikan karena menyangkut kesepakatan dua negara (hubungan bilateral).

Menurut dia, meskipun pemerintah mendapatkan bantuan (grant) dari luar negeri untuk perbaikan DAS, namun
sifatnya hanya untuk penyediaan tenaga teknis serta persiapan master plan, sedangkan untuk pembangunan
fisik tetap harus mengandalkan pinjaman meskipun menggunakan bunga yang lebih lunak dan masa tenggang
(grass period).

Selamatkan DAS Citarum

Krisis Air Memunculkan Konflik Sosial

Kekeringan panjang tahun ini memerosokkan kondisi Daerah Sliran Sungai (DAS) Citarum ke titik nadir. Potensi konflik pun menganga cukup lebar. Mestinya fakta tersebut membuka mata semua pihak untuk meninggalkan kepentingan sektoral yang menyebabkan pengelolaan DAS Citarum kian carut marut.

DANGKAL - Kekeringan bukan saja menghancurkan harapan para petani, tetapi juga berdampak hingga ke muara sungai. Tampak dua nelayan di Teluk Kendari harus mendorong perahu melalui anak sungai akibat pendangkalan hebat.

Hal itu diungkapkan oleh Dr Ir Suparka, Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di sela-sela acara "Simposium Rehabilitasi DAS Citarum", Selasa (12/8), di Bandung. Menurut Suparka jika kondisi itu dibiarkan berlarut-larut, dalam jangka waktu 5 hingga 10 tahun lagi Citarum akan menemui "ajal"-nya. Sementara potensi konflik pun akan makin besar bahkan berakibat lebih jauh.

Kekhawatiran Suparka sangat beralasan. Minggu lalu, sejumlah petani di Karawang membobol saluran irigasi Citarum demi mendapatkan air untuk mengairi sawah mereka yang kering. Kondisi memprihatinkan terjadi di enam kabupaten yang dilalui aliran Sungai Citarum. Dari total 41.000 hektare sawah yang kekeringan di Jawa Barat, sebagian besar amat bergantung pasokan air dari Citarum dan anak-anak sungainya.

Keluhan juga muncul dari Direktur Utama PT PLN, Edie Widiono, yang mengatakan bahwa cadangan listrik Jawa Bali menurun sekitar 1.000 megawatt. Angka tersebut setara dengan 5.200 ton BBM per tahun.

Penurunan tersebut diakibatkan menurunnya permukaan waduk Cirata, Saguling, dan Jatiluhur yang mendapat pasokan dari Citarum. Meski mencoba ditutupi oleh pihak PLN namun sangat mungkin terjadi pemadaman listrik bergilir di Jawa dan Bali.

Dalam kaitan keprihatinan itulah, LIPI mengajak semua pihak untuk memikirkan aksi penyelamatan bersama DAS Citarum, ujar Suparka. Fungsi DAS Citarum sebagai pemasok air bersih, pusat irigasi, dan penghasil energi listrik mestinya dikedepankan.

"Jangan lupa ada sekitar 8,5 juta jiwa yang bergantung pada DAS Citarum," ujarnya. Tiga waduk besar yang dipasok oleh Citarum telah meneghasilkan daya listrik sebesar 5 miliar Kwh/tahun atau setara dengan 16 juta ton BBM per tahun.

Stadium Parah

Sementara itu, Dr Jan Sopaheluwakan APU, Deputi Ilmu Kebumian LIPI mengatakan tekanan ekologis pada DAS Citarum sudah memasuki stadium parah. Berbagai kejadian seperti fluktuasi debit musiman cukup tajam, peningkatan frekuensi banjir dan kekeringan, pencemaran air permukaan dan eutrofikasi kian sering terjadi.

Selain itu, erosi, sedimentasi, alih fungsi lahan yang liar, dan ekstraksi tanah berlebihan oleh industri terus dialami oleh DAS sepanjang 269 km itu. Sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Padjadjaran di kawasan Hulu DAS Citarum, laju sedimentasi sudah mencapai lebih dari 4 juta m3 per tahun.

Laju sedimentasi cenderung lebih tinggi bila ditelusuri ke bagian hilir. Pendangkalan yang terjadi berbanding lurus dengan alih fungsi lahan menjadi area pertanian maupun pembabatan hutan lindung di sekitar DAS Citarum. Kondisi tersebut tidak membuat debit Sungai Citarum berkurang namun juga berpotensi menimbulkan banjir saat musim hujan tiba.

Menurut Jan, krisis air akan berdampak pada munculnya konflik air dan secara umum saling mempengaruhi dengan dimensi ekonomi dan politik. Tangan-tangan manusia sangat dominan memunculkan permasalahan dimensi air (kualitas, kuantitas, dan ekosistem air).

Persoalan air tidak boleh dilihat hanya pada obyek air semata. Namun dipengaruhi oleh persoalan ekosistem sepanjang DAS yang mempengaruhi kelestarian sumber daya air.

Pendekatan Ekohidrologi

Dalam ungkapan Dr Ir Gadis Sri Haryani, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI, pengelolaan DAS Citarum harus dengan pendekatan ekohidrologi. Artinya, pengelolaan yang dilakukan harus memadukan antara fungsi ekologis (biologis) dengan fungsi hidrologi (fisik).

Pemulihan DAS Citarum secara ekologis bisa dilakukan dengan penataan kawasan hulu dan hilir dengan tetap menjaga kawasan hijau. Salah satunya bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan artificial wetlands atau membentuk lahan basah buatan. Oleh karena itu, LIPI mulai mengintrodusir berbagai jenis tanaman tertentu yang cocok untuk itu.

Selain itu konsep purifikasi atau pembersihan kembali DAS Citarum juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan biota baik tanaman maupun hewan tertentu. Sementara alih fungsi lahan di DAS Citarum terutama di daerah hulu harus segera dihentikan.

Bahkan kalau perlu dilakukan relokasi industri, permukiman, maupun kawasan pertanian yang sebetulnya dilarang, ujar Suparka. Tindakan tegas seperti itu sangat penting untuk menyelamatkan DAS Citarum dari kematian ekologisnya.

Saat ditanya mengenai perlu tidaknya di bentuk semacam badan otorita khusus untuk menangani Citarum, Suparka setuju saja. "LIPI tentu bukan dalam kapasitas untuk menentukan hal itu," ujarnya. Akan tetapi pihaknya mengaku siap untuk memfasilitasi bertemunya berbagai kelompok kepentingan untuk menyusun aksi penyelamatan bersama.

Berbagai pihak, baik Pemda Jawa Barat (berikut enam kabupaten sepanjang DAS Citarum) maupun DKI Jakarta bisa duduk bersama mencari jalan keluarnya. Selain itu Departemen Kehutanan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Kantor Lingkungan Hidup, Departemen Pertanian, serta sejumlah BUMN yang terkait mesti melepaskan kepentingan sektoralnya.

Selama ini menurut Suparka, banyaknya perbedaan kepentingan yang ada membuat pengelolaan DAS Citarum cenderung tidak terkoordinasi. Akibatnya masyarakat lah yang menjadi korban dengan kelangkaan air bersih maupun untuk pertanian seperti yang terjadi saat ini.

Kekeringan panjang yang melanda kawasan sepanjang DAS Citarum mestinya tidak perlu terjadi jika ekosistem yang ada dipelihara kelestariannya. (Pembaruan)

Kembali

DAS CILIWUNG CISADANE

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI SWS CILIWUNGCISADANE
UNTUK MENGATASI KRISIS AIR JAKARTA
Oleh : Bapeda Propinsi Jawa Baratƒ)
A. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan, bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara adil dan
merata”. Selanjutnya pasal ini dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang
No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa:
1. Sumber Daya Air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memberikan manfaat serbaguna untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat di segala bidang baik sosial, ekonomi, budaya, politik
maupun bidang ketahanan nasional
2. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang
cenderung menurun, dan kebutuhan air yang cenderung meningkat sejalan
dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas
ekonomi masyarakat, sumberdaya air harus dikelola, dipelihara,
dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya dengan memberikan
peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan sumberdaya
air.
3. Pengelolaan sumberdaya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi
dan keterpaduan antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi dalam
rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Pernyataan pasal-pasal kedua undang-undang di atas mengingatkan kepada
pengelola sumberdaya air tentang pentingnya peran air bagi kehidupan
manusia dan lingkungannya. Hal tersebut jelas terlihat dalam permasalahan
ƒ) Disampaikan pada Acara
Seminar Krisis Air Jakarta: Tinjauan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Ciliwung Cisadane,
29 Juni 2004 di Kantor Kementerian PPN/Bappenas
krisis air Jakarta, di mana permasalahan pengelolaan sumber daya air di
Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane sebagai pemasok air baku bagi Jakarta
sangat berkorelasi dengan permasalahan ekosistem di wilayah sekitarnya, yaitu
Kawasan Jabodetabek-Punjur.
Untuk itu, strategi yang seharusnya dipilih adalah yang berdasarkan pada
pendekatan perencanaan yang integratif sinergik. Sehubungan dengan itu,
Propinsi Jawa Barat telah mencoba menggunakan pendekatan tersebut dalam
Penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat yang telah ditetapkan dalam Perda
Propinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi Jawa Barat 2010, yang termasuk di dalamnya adalah penataan ruang
Kawasan Bodebek dan Bopunjur yang dikaitkan dengan kemampuan daya
dukung dan daya tampung Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Kawasan
tersebut.
Dalam RTRW Propinsi Jawa Barat 2010, Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane
yang mempunyai luas sekitar 4.496 km2 dengan potensi Sumber Daya Air
Permukaan sebesar 5,5 Milyar M3 per tahun, terdiri dari 4 Daerah Aliran
Sungai (DAS), yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Kali Buaran, dan DAS
Kali Bekasi, yang berdasarkan hasil kajian pada tahun 2001 mempunyai kondisi
sangat kritis, di mana rasio aliran mantap atau perbandingan antara kebutuhan
air dan ketersediaan air atau kondisi debit aliran sungai yang diharapkan selalu
ada sepanjang tahun dari ke empat DAS tersebut telah jauh melebihi 100%. Hal
tersebut tentunya sangat kontras dengan kenyataan bahwa Kawasan Bodebek-
Punjur merupakan dua Kawasan yang mempunyai potensi perkembangan
yang sangat pesat, baik dari aspek pertumbuhan penduduk (sepertiga
penduduk Jabar) maupun dari Laju Pertumbuhan Ekonominya (4,5% tahun
2001) yang selalu di atas rata-rata Jawa Barat.
Berdasarkan analisis citra landsat 1994 dan 2001, telah terjadi pergeseran
penggunaan lahan (perubahan tata guna tanah) dari hutan primer sebesar
41,12% di Kawasan Bodebek dan sebesar 6,76% di Kawasan Bopunjur, dari
hutan sekunder sebesar 68,94% di Kawasan Bodebek dan sebesar 1,2% di
Kawasan Bopunjur, serta dari penggunaan sawah sebesar 11,98% di Kawasan
Bodebek dan sebesar 4,42% di Kawasan Bopunjur.
Berdasarkan berbagai perkembangan dan kondisi tersebut, terdapat beberapa
permasalahan, baik dalam penataan ruang di Kawasan Bodebek-Punjur
tersebut, maupun dalam pengelolaan Sumber Daya Air di DAS-DAS dalam
Kawasan tersebut. Permasalahan penataan ruang yang dapat teridentifikasi
adalah sebagai berikut:
1. Masih belum tuntasnya penjabaran Keppres 114/1999 maupun Ra Keppres
RTR Jabodetabekpunjur sebagai suatu acuan penataan ruang yang
operasional,
2. Belum sinerginya penanganan atas terjadinya pergeseran penggunaan lahan
terutama di Kawasan Lindung hutan, serta belum memadainya acuan
penanganan kawasan yang ditetapkan fungsinya sebagai Kawasan Lindung
non hutan, misalnya acuan dalam pemanfaatan lahan perkebunan yang
telah habis HGU-nya,
3. Kawasan perkotaan yang terus meningkat dan telah melebihi yang
ditetapkan dalam rencana, sehingga berdasar data tahun 2001 telah terjadi
penyimpangan sebesar 79,5%).
Permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
1. Ketersediaan air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane secara umum telah
sangat kritis,
2. Belum terkendalinya pemanfaatan ruang baik di sepanjang sempadan
sungai maupun pengelolaan di badan sungainya,
3. Ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
semakin mahal dan langka baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga
menimbulkan berbagai konflik antar sektor maupun antar wilayah,
4. Fluktuasi ketersediaan air permukaan sangat tinggi, sehingga sering terjadi
kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal tersebut
merupakan wujud dari hulu DAS yang fungsi konservasinya telah jauh
berkurang,
5. Belum adanya kesinergian antar wilayah dalam bentuk role sharing antara
Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hulu dengan
Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hilir dalam rangka penanganan hulu
DAS.
Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan
DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air
sepanjang tahun.
Sesuai dengan Perda No. 2 Tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa Barat 2010,
maka kebijakan penataan ruang Jawa Barat untuk Kawasan Bodebek dan
Bopunjur adalah menetapkan Kawasan Bodebek dan Bopunjur sebagai 2 dari 8
Kawasan Andalan (Kawan) di Jawa Barat. Kawan Bodebek mempunyai
kegiatan utama industri, pariwisata, jasa, dan pengembangan SDM, sedangkan
Kawan Bopunjur diarahkan dengan kegiatan utama agribisnis dan pariwisata.
Sedangkan, dalam rangka meraih posisi sebagai mitra sejajar Jakarta, maka
Kawasan Bodebek juga ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) agar
terjadi keseimbangan perkembangan seiring dengan beban yang ditimbulkan
oleh Metropolitan Jakarta terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana
perkotaan di PKN Bodebek.
Hal tersebut sesuai dengan ’concern’ Jawa Barat dalam penataan ruang
Bodebek-Punjur, yaitu:
1. Pengendalian pertumbuhan penduduk,
2. Peningkatan daya dukung dan daya tampung lingkungan baik di hulu
maupun di hilir dalam kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS),
3. Pengendalian pemanfaatan ruang yang cenderung menjadi daerah
perkotaan, sehingga cenderung membentuk suatu conurbation di koridor
Jakarta-Bandung,
4. Pengendalian alih fungsi lahan sawah irigasi teknis dan hutan termasuk
mangrove,
5. Peningkatan penyediaan pelayanan transportasi masal, serta pemenuhan
pelayanan sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman.
B. Kebijakan Propinsi Jawa Barat dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di SWS
Ciliwung Cisadane
Secara umum, sesuai Perda No. 2 Tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa
Barat 2010, telah ditetapkan kebijakan untuk meningkatkan fungsi dan
kualitas kawasan lindung di Jawa Barat, termasuk kawasan lindung di
Kawasan Bodebek dan Bopunjur. Kebijakan dijabarkan dalam beberapa
program, yaitu (1) Pengukuhan kawasan lindung agar tercapai target luasan
kawasan lindung hutan dan non hutan untuk seluruh Jawa Barat sebesar 45%;
(2) Rehabilitasi lahan konservasi termasuk rehabilitasi lahan-lahan kritis; (3)
Pengawasan, pengamanan, dan pengaturan pemanfaatan sumber daya; serta (4)
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Lindung.
Kemudian, dalam rangka mendukung Visi Pemerintah Propinsi Jawa Barat
sesuai Perda No. 1 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis Propinsi Jawa Barat,
terdapat Misi mengenai pembangunan berkelanjutan, yaitu Misi 4.
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan melalui Keseimbangan
Penduduk dan Lingkungan dalam Kesatuan Ruang, yang dijabarkan dalam
beberapa program, yaitu (1) Pengendalian pertumbuhan penduduk; (2)
Penataan Ruang; (3) Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan; (4)
Peningkatan efektivitas pengelolaan dan konservasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup; serta (5) Pemantapan kawasan lindung.
Berdasarkan kebijakan tersebut di atas, upaya pengelolaan sumber daya air di
SWS Ciliwung Cisadane untuk mengatasi krisis air Jakarta adalah melalui
penataan situ, waduk, dan sungai sebagai sarana dan prasarana konservasi,
penyedia air baku, dan pengendali banjir, serta melalui konservasi lahan yang
diprioritaskan pada kawasan lindung baik di dalam kawasan hutan maupun di
luar kawasan hutan melalui rehabilitasi lahan kritis, pengendalian pemanfaatan
lahan dan pengendalian kualitas air.
Secara khusus, pengembangan dan pengelolaan infrastruktur sumber daya air
diarahkan untuk mendapatkan sasaran sebagai berikut:
1. Meningkatnya kondisi dan fungsi waduk, situ, dan sungai sebagai sarana
dan prasarana konservasi, penyedia air baku, dan pengendali banjir,
2. Meningkatnya produktivitas sumber-sumber daya air melalui peningkatan
efisiensi dan efektivitas pemanfaatan air,
3. Meningkatnya kemitraan dan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya air,
4. Meningkatnya penerapan insentif dan disinsentif ekonomi dalam kebijakan
pengelolaan air buangan/ limbah baik limbah industri maupun domestik.
C. Langkah dan tindak lanjut Propinsi Jawa Barat dalam Pengelolaan Wilayah
Sungai Ciliwung Cisadane
Dalam rangka penanganan situ, pada tanggal 12 Mei 2004 telah terwujud
penandatanganan kesepakatan bersama antara Pemerintah Pusat bersama-sama
dengan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten Kota di Wilayah Jabodetabek
untuk melaksanakan Kerjasama dalam rangka Perlindungan dan Pelestarian
Situ Terpadu Di Wilayah Jabodetabek. Sebagai tindak lanjut kesepakatan
tersebut, Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di
Wilayah Bodebek telah melakukan berbagai upaya, antara lain:
a. Menyusun pembagian peran dalam pengelolaan situ antara
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat yang meliputi beberapa kegiatan, yaitu
survai/identifikasi, perencanaan, pembangunan, Operasinal dan
Pemeliharaan, rehabilitasi, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan
aparat, perijinan, pengamanan serta monitoring dan evaluasi.
b. Menginventarisir data situ di Wilayah Bodebek (Kabupaten/Kota Bogor,
Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Depok)
c. Menginventarisir penanganan situ yang telah pernah dilakukan, yaitu berupa
kegiatan survai/identifikasi, perencanaan, pembangunan, rehabilitasi,
Operasional dan Pemeliharaan, serta kerjasama baik yang didanai melalui
APBN, APBD Propinsi maupun APBD Kabupaten/Kota.
d. Menyusun rencana penanganan situ di Wilayah Bodebek pada tahun 2005-
2010, jenis penanganan yang dibutuhkan serta usulan sumber dananya.
Dari kesepakatan pembagian peran dalam pengelolaan situ, Pemerintah
Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah Bodebek telah
sepakat bahwa kegiatan survey/identifikasi, pembangunan, operasi dan
pemeliharaan, rehabilitasi, pengamanan dan monitoring akan dilakukan
bersama-sama oleh Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, kegiatan
perencanaan/desain akan dilakukan Pemerintah Pusat dan Propinsi
sedangkan kegiatan perijinan dan pemberdayaan masyarakat akan dilakukan
oleh Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Selanjutnya berdasarkan inventarisasi situ di Wilayah Bodebek, telah
teridentifikasi 161 situ dengan luas sekitar 1 sampai 30 ha per situ yang tersebar
di Kabupaten Bogor (102 situ), Kota Bogor (9 situ), Kabupaten Bekasi (33 situ),
Kota Bekasi (3 situ) dan Kota Depok (14 situ). Secara umum kondisi situ-situ
tersebut cukup memprihatinkan karena tertutup gulma, mengalami
sedimentasi, tidak memiliki bangunan outlet yang memadai serta telah berubah
fungsi menjadi peruntukan non situ seperti sawah dan perumahan. Selain itu,
telah disepakati rencana penanganan situ di Wilayah Bodebek tahun 2005-2010
oleh Pemerintah Pusat (melalui PIPWS Ciliwung Cisadane), Pemerintah
Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Selain situ, rencana pembangunan waduk juga telah teridentifikasi, di mana
pada Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane terdapat 10 buah rencana waduk yang
terletak di Kabupaten Bogor dan Bekasi sebagaimana tabel di bawah ini :
Rencana pembangunan waduk di Wilayah Bodebek
Sumber Air Lokasi
No Nama Calon
Waduk S. Induk Anak
Sungai
Kab.
Kapasitas
Tampung Keterangan
1. Parung Badak Cisadane Cisadane Bogor 15 m3/dt Flushing
2. Parung Badak Cisadane Cisadane Bogor 543*10^6
m3t
Reservoir
3. Sodong Cisadane Cikaniki Bogor 526* 10^6
m3t
Reservoir
4. Bogor Drinking
Water
Cisadane Cisadane Bogor 2-4 m3/dt Reservoir
5. Empang Ciliwung Solokan
Barat
Bogor 15 m3/dt Flushing
6. Genteng Ciliwung Ciliwung Bogor 86,7* 10^
m3t
Reservoir
7. Narogong Ciliwung Ciliwung Bogor 42,5* 10^6
m3t
Reservoir
8. Ciawi Ciliwung Ciliwung Bogor 29,27* 10^6
m3t
Reservoir
9. Tarum Kanal Cikarang Cikarang Bekasi 20 m3/dt Flushing
10. Canak 2 Cikarang Cikarang Bekasi 20 m3/dt Flushing
Selanjutnya sesuai RTRWP Jawa Barat 2010, Program Pengembangan Kawasan
Lindung dilaksanakan melalui pengukuhan kawasan lindung, rehabilitasi dan
konservasi lahan di kawasan guna mengembalikan dan meningkatkan fungsi
lindung, pengendalian kawasan lindung, pengembangan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung serta pengembangan pola
insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung. Pengembangan kawasan
lindung di wilayah Bodebek dilaksanakan di beberapa lokasi, di antaranya :
􀂃 Kawasan Gunung Salak
􀂃 Kawasan Gunung Gede Pangrango
􀂃 Kawasan Gunung Halimun
􀂃 Lahan kritis daerah hulu DAS Ciliwung
􀂃 Lahan kritis daerah hulu DAS Cisadane
Perkembangan Penanganan Lahan Kritis di Kawasan Bodebek-Punjur
Luas lahan yang
No Kabupaten/Kota Luas lahan kritis sudah ditanami
(Ha)
(Ha) Jumlah pohon
Keterangan
1 Kota Bogor 71 34 19.210 5 kec.
2 Kab. Bogor 21.329 - 304.652 40 kec.
3 Kota Depok 157 - 10.507 6 kec.
4 Kab. Cianjur 27.911 1.243 1.210.017 24 kec.
5 Kota Bekasi 280 16 7.639 10 kec.
6 Kab. Bekasi 15.766 - 18.500 23 kec.
Sumber: GRLK Jabar, 2004
D. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya air di WS
Ciliwung Cisadane tersebut maupun yang berkaitan dengan penataan ruang di
Kawasan Bodebek dan Bopunjur, maka dapat disimpulkan dan disarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Perlunya kesinergian dalam kebijakan penataan ruang antara Pemerintah
Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota di Kawasan tersebut dengan suatu
acuan bersama (perlu segera melegalisasikan Ra Keppres RTR Jabodetabek)
dan menindaklanjutinya dengan penjabarannya secara operasional sehingga
dapat dilaksanakan bersama-sama sesuai dengan pembagian peran yang
ditetapkan,
2. Dalam mengatasi permasalahan sumber daya air di Propinsi Jawa Barat
khususnya di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane seperti krisis ketersediaan
air baku, banjir dan kekeringan, upaya-upaya menuju perbaikan lingkungan
harus diprioritaskan seperti perbaikan dan peningkatan kondisi situ dan
waduk, konservasi lahan yang berfungsi lindung serta pengendalian
pemanfaatan lahan baik yang berfungsi lindung maupun budidaya,
3. Untuk mengoptimalkan implementasi berbagai kegiatan tersebut,
koordinasi di antara berbagai level pemerintah yaitu Pemerintah Pusat,
Propinsi dan Kabupaten/Kota diharapkan dapat lebih ditingkatkan. Hal ini
sesuai dengan pasal 85 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
bahwa pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral
dan lintas wilayah dilakukan melalui koordinasi oleh suatu wadah
koordinasi yang bernama dewan sumber daya air.

PERMASALAHAN LINGKUNGAN JAWA BARAT *

PENDAHULUAN

Strategi Pengelolaan Lingkungan Propinsi Jawa Barat disusun dengan mengacu pada kebijakan nasional, dikaitkan dengan kepedulian wilayah (propinsi) setempat, dimaksudkan untuk memberi arahan kebijakan umum kepada pemerintah daerah agar dapat menindak lanjutinya kedalam kerangka program pengelolaan lingkungan. Tujuan penyusunan Strategi Lingkungan Propinsi Jawa Barat adalah untuk menunjang perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan dengan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengendalikan tingkat pencemaran melalui pengkajian kembali penyiapan instrumen kebijakan, strategi dan upaya-upaya yang akan dilaksanakan oleh masing-masing daerah dalam mengatasi masalah lingkungannya.

Adapun proses penyusunannya adalah dengan melakukan identifikasi dan pengkajian ulang kondisi lingkungan regional dan lingkungan perkotaan terhadap permasalahan (issues I concerns) yang terjadi dalam konteks regional - lokal yang dilakukan bersama dengan stakeholders untuk kemudian merumuskan strategi penanganan lingkungan dan perolehan kesepakatan terhadap rencana tindak yang akan dilakukan mendatang.

Isue lingkungan global, regional, dan nasional dijadikan titik tolak untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan yang telah muncul di Jawa Barat. Berdasarkan permasalahan (issue) lingkungan tersebut yang kemudian disebandingkan dengan kebijakan-kebijakan yang ada, baik pada tingkat nasional (Propenas, RTRW, Renstranas, Sarlita) maupun propinsi (Pola Dasar, Rencana Strategi Pembangunan, RTRWP, Propeda) sebagai rujukan, sehingga strategi yang disusun dapat berkesinambungan tanpa kesenjangan dengan kebijakan-kebijakan tersebut.

Strategi Pengelolaan Lingkungan ini diharapkan menjadi arahan kebijakan umum atau untuk dijadikan acuan umum (guidance) rencana kegiatan berbagai sektor, sehingga memungkinkan partisipasi berbagai pihak terkait baik di tingkat propinsi, maupun kabupaten/kota di Jawa Barat.

Strategi Pengelolaan Lingkungan Propinsi Jawa Barat dapat dijadikan payung bagi penyusunan strategi lingkungan di tingkat kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat serta dapat dijadikan acuan bagi para pihak berkepentingan (stakeholders) dalam menyusun rencana tidak Ian jut dan program aksi.

2. PERMASALAHAN LINGKUNGAN JAWA BARAT

2.1 POKOK-POKOK PERMASALAHAN LINGKUNGAN

Pokok-pokok permasalahan lingkungan di Propinsi Jawa Barat yang telah teridentifikasi hingga saat ini, dapat dikelompokkan sebagai berikut :

  • Degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan, yang ditandai dengan deplesi
    sumber air (permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya),
    semakin meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan produktifitas lahan, semakin
    meluasnya kerusakan hutan (terutama karena perambahan) baik hutan pegunungan
    maupun hutan pantai (mangrove).
  • Permasalahan pencemaran, baik pencemaran air, udara maupun tanah yang
    penyebarannya sudah cukup meluas dan terkait dengan industri, rumah tangga dengan
    segala jenis limbahnya, terutama sampah.
  • Permasalahan kebencanaan alam, yaitu Jawa Barat terutama bagian tengah dan
    selatan termasuk wilayah rawan gempa dan volkanisme. Wilayah ini termasuk daerah
    yang paling sering tertimpa musibah tanah longsor dibanding wilayah lainnya di
    Indonesia, yang terkait dengan "irrational land use" dan juga kegiatan pertambangan.
  • Inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting penggunaan
    lahan/pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan.
  • Permasalahan kawasan pesisir dan pantai, yaitu kerusakan hutan mangrove, abrasi dan
    akresi pantai, perubahan tataguna lahan di wilayah pesisir, intrusi air laut, dan
    pencemaran air laut.
  • Permasalahan sosial kependudukan, ditandai dengan tingginya urbanisasi, munculnya
    permukiman kumuh pada hampir seluruh kota di Jabar, pedagang kaki lima - PKL dan
    kesemrawutan lalu lintas.
  • Tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terhadap lingkungan, baik dari
    interpretasi materi maupun implementasinya di lapangan.

Terbatasnya sarana dan prasarana pemantauan lingkungan (termasuk laboratorium lingkungan) serta sistem informasi lingkungan. Lemahnya fungsi pengendalian, sebagai akibat kurang efektifnya kegiatan pemantauan, dan juga akibat rendahnya penegakan hukum (law enforcement), dan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.


2.2 GAMBARAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN JAWA BARAT

2.2.1 Degradasi Sumberdaya Alam
2.2.1.1 Sumberdaya Lahan

Pokok permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya lahan adalah karena inkonsistensi atau ketidak sesuaian antara penggunaan lahan dan ruang yang ada dengan arahan yang diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sekitar 33% lahan tidak digunakan sesuai dengan arahan tata guna tanah dalam Rencana Tata Ruang bahkan selama lima tahun terakhir telah terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan kawasan lindung sekitar 12,9% . Kondisi terbesar dari penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan dan kawasan resapan air.

Dari tahun 1994 sampai 2000, hutan lindung berkurang sekitar 106.851 ha (24%), sementara hutan produksi berkurang sekitar 130.589 ha (31 %). Pesawahan dalam periode ini telah diubah menjadi lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih 165.903 ha (17%). Gejala ini bisa menurunkan daya dukung lingkungan wilayah Jawa Barat (Perda No. 2/2000: Pola Dasar Pembangunan Jawa Barat 2001-2007).

Dalam periode 1994 hingga 2001 telah terjadi perubahan tata guna tanah yang cukup besar, yaitu berkurangnya hutan primer sebanyak 24%, hutan sekunder dan semak belukar 17%. Pemukiman, kawasan industri, perkebunan dan kebun campuran meluas masing-masing sebanyak 33%, 21%, 22% dan 29% hingga tingkat erosi di wilayah Jawa Barat telah mencapai 32.931.061 ton per tahun.

Wilayah hutan yang sebelumnya 791.571 ha (22% daratan Jawa Barat) ternyata penutupan vegetasi hutannya hanyalah 9% atau sekitar 323.802 ha pada tahun 2000. Kerusakan keseluruhan wilayah hutan Jawa Barat diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat apabila tidak dilakukan tindakan-tindakan yang memadai (BPLHD Jawa Barat, 2002).

Konversi lahan dari hutan alarm menjadi area yang rendah penutupan vegetasinya telah terjadi beberapa dekade di kawasan Bopuncur dan Depok. Pembangunan villa dan perumahan di kawasan Puncak yang selama ini terjadi sudah melebihi aturan yang ditentukan yaitu 19.500 Ha untuk lahan permukiman perkotaan dan untuk hutan lindung 19.475 Ha (Keppres No.114 Tahun 1999).

Pada kenyataannya kawasan kota dan pemukiman menjadi 20.500 Ha. Selain itu terjadi perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung yang mengalami peningkatan luasan lahan budidaya dari 3.761 Ha (tahun 1990) menjadi 13.760 Ha (tahun 2000). Sementara itu volume banjir periodik 25 tahunan pun mengalami peningkatan dari 330 m3/detik pada tahun 1973 menjadi 740 m3/detik pada tahun 2000.

Balai RLKT Wilayah IV melaporkan bahwa luas lahan kritis di Jawa Barat cenderung meningkat, terutama yang berada di luar kawasan hutan. Sampai tahun 1999 ada tiga kabupaten yang memiliki luas lahan kritis terbesar, yaitu : Kabupaten Bandung seluas 36.698 ha, Cianjur seluas 44.084 ha, dan Garut seluas 33.945 ha. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat (2004) melaporkan bahwa luas lahan kritis di DAS Citarum Hulu sudah mencapai 150.000 ha, Cimanuk Hulu seluas 24.000 ha, Citanduy sekitar 64.000 ha dan lebih dari 9000 ha lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu.

Adanya lahan-lahan kritis umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung tanah/lahan antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan kemampuan peruntukannya, untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal permukiman.

Pembangunan infrastruktur di Jawa Barat belum bisa mengikuti secara penuh pedoman yang diberikan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah termasuk transportasi, irigasi, dan konservasi lingkungan. RTRW tidak mampu mengendalikan perencanaan regional yang menciptakan kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Rencana Strategis Jawa Barat 2001-2004).

Permasalahan tersebut dapat ditelaah lebih lanjut dengan melihat masalah-masalah yang berkaitan dengan sektor dan komponen lingkungan atau sumberdaya lainnya. Misalnya, dampak dari adanya lahan kritis yaitu munculnya masalah banjir dan tanah longsor. Di Jawa Barat daerah yang rawan banjir, yaitu Bandung (1.750 ha), Majalengka ( 530 ha ), Indramayu (16.600 ha), daerah pantai utara Subang ( 12.000 ha), Cirebon (450 ha), Ciamis (16.000 ha).

Selain dampak adanya lahan kritis terhadap banjir, permasalahan lain yang sering muncul di Jawa Barat yaitu semakin sering terjadi bencana alam longsor. Bahaya longsor di Jawa Barat dapat dikategorikan ke dalam dua areal, yaitu di daerah jalan/prasarana transportasi dan di daerah permukiman penduduk.

2.2.1.2 Sumberdaya Air

Wilayah Propinsi Jawa Barat banyak diberkahi dengan sumber-sumber air tapi dengan cepatnya kenaikan permintaan akan air telah mengakibatkan sistem penyediaan yang dibangun tidak lagi seimbang. Curah hujan yang besar (terutama di wilayah bagian tengah) memberikan aliran air permukaan berlimpah, tapi keragaman aliran menurut musim dan keterbatasan fasilitas penyimpanannya sumber-sumber air permukaan tidak lagi memadai untuk satu tahun penuh. Air tanah juga merupakan sumber penting tapi pengembangannya dibatasi oleh jumlah pengisian kembali sumber air tersebut.


Permintaan air sekarang untuk kebutuhan domestik, konsumsi industri, dan irigasi pertanian diperkirakan 17,5 milyar m3 pertahun, dan diperkirakan akan terus naik sekitar satu persen per tahun. Permintaan air irigasi sekitar 80% dari total permintaan air, meskipun angka ini diperkirakan berkurang dalam jangka panjang, mengingat kebutuhan domestik, perkotaan dan industri tumbuh lebih cepat. Kebutuhan ini dipenuhi dari sumber-sumber seperti: air permukaan dari sungai di wilayah Propinsi Jawa Barat dan air tanah.

Propinsi Jawa Barat memiliki lima satuan wilayah sungai (SWS) utama. Tiga SWS berperan penting dalam hubungannya dengan perkembangan sosial-ekonomi: SWS Cisadane-Ciliwung yang dibagi dengan propinsi OKI Jakarta dan Banten, SWS Citarum, dan SWS Cimanuk-Cisanggarung. Dua SWS lainnya yaitu SWS Cisadea-Cimandiri, dan SWS Citanduy-Ciwulan.

Keseluruhan wilayah Jawa Barat memiliki 40 daerah aliran sungai (DAS) ukuran besar dan kecil: 22 sungai mengalir ke utara dan 18 ke selatan. Ketersediaan air sepanjang musim hujan mencapai kira-kira 81,4 milyar m3 / tahun dan turun menjadi 8,1 milyar m3 pada musim kering, sedangkan permintaan air untuk kebutuhan domestik, pertanian, dan industri tetap sama pada 17 milyar m3 / tahun. Sebagai konsekuensinya, adanya pasokan air yang tinggi pada musim basah dan kurang pada musim kering. Disamping itu, kualitas air pada musim kering umumnya kurang baik karena terkontaminasi berat oleh baik sumber-sumber domestik maupun industri.

Semua sungai di Jawa Barat dan wilayah-wilayah perkotaan Bogor, Depok, Bekasi, Bandung dan Cirebon tidak cocok untuk pemakaian langsung. Sungai-sungainya sangat kotor terutama di bagian hilir sehingga tidak bisa digunakan untuk berbagai kehidupan. Di wilayah-wilayah pedesaan Jawa Barat banyak aliran dan sungai yang tidak cocok untuk pemakaian langsung oleh manusia dan air dari sumber-sumber lainnya perlu dimasak dulu sebelum digunakan. Kebanyakan kontaminasi sungai tersebut berasal dari limbah domestik yang langsung masuk ke sungai. Aliran air dari sungai Citarum yang masuk ke waduk Saguling dengan tingkat pencemaran berat menyebabkan bencana kematian ikan besar-besaran di danau tersebut.

Kebanyakan airtanah dangkal telah tercemar sehingga melewati standar air minum dan perlu dimasak terlebih dahulu. Airtanah dalam juga telah dieksploitasi secara berlebihan, dan telah mengalami deplesi sehingga muka air tanah (water table) dari tahun ke tahun terus menurun. Potensi airtanah secara kuantitatif untuk seluruh Jawa Barat belum terinformasikan secara jelas, namun dari segi pemanfaatan yang ada saat ini menunjukkan sekitar 60% industri mengandalkan sumber airtanah sebagai satu-satunya sumber air alternatif, terutama pada daerah cekungan Bandung (95%), Bogor dan Cirebon. Dari beberapa hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, ternyata untuk Cekungan Bandung dan Botabek sudah tidak dimungkinkan lagi adanya pemanfaatan airtanah untuk industri, kecuali untuk rumah tangga. Pemanfaatan airtanah untuk keperluan irigasi di Jawa Barat diarahkan hanya pada daerah yang tidak mempunyai potensi sumberdaya air permukaan dan potensial untuk dikembangkan usaha pertanian terutama pertanian yang tidak banyak memerlukan air.

Intrusi air laut telah cukup jauh ke arah daratan, terutama di wilayah pesisir Pantai Utara Jawa Barat. Intrusi air laut mencapai lebih dari 1000 m ke daratan ada di Kabupaten Indramayu, Subang, Karawang, Bekasi dan Cirebon.

2.2.1.3 Sumberdaya Hutan

Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, luas kawasan hutan di Jawa Barat adalah sekitar 791.519 ha atau 22% dari total areal Jawa Barat. Seperti dilaporkan oleh kantor ini, areal hutan merupakan kawasan hutan, sedangkan areal hutan yang nyata (cadangan hutan yang ada) kurang dari 9% total wilayah Jawa Barat. Areal hutan produksi sekitar 472.303 ha, hutan lindung 203.106 ha, dan hutan konservasi adalah sekitar 116.110 ha.

Menurut Perum Perhutani, areal hutan produksi sekitar 437.665 ha, hutan lindung 271.972 ha, dan hutan konservasi sekitar 208.267 ha dengan total areal hutan sekitar 917.904 ha (Perum Perhutani, 1999). Menurut Bagian Kehutanan (2001), areal hutan produksi adalah sekitar 465.907, hutan lindung 210.138 ha, dan hutan konservasi 108.074 ha. Sedangkan menurut Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Jawa Barat (2001), total areal hutan negara adalah 791.748 ha yang jauh lebih kecil dari total areal hutan menurut BPLHD Jawa Barat (2000), 1.024.098 ha. Data yang tersedia tentang areal hutan Jawa Barat bermacam-macam bergantung dari mana data itu didapat.

Salah satu masalah lingkungan paling serius di Jawa Barat adalah penurunan luas hutan. Penurunan hutan yang sebagian besar terletak di bagian hulu DAS, memiliki konsekuensi lingkungan yang luas dan sangat besar. Banjir dalam periode musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau cenderung meningkat pada lima tahun terakhir. Masalah-masalah lingkungan terkait lainnya yaitu tingginya sedimentasi sungai dan waduk telah mengakibatkan berkurangnya produktifitas pertanian dan gangguan terhadap infrastruktur lainnya secara signifikan bagi pembangunan daerah dan nasional. Angka sedimentasi yang tinggi ini ditambah dengan erosi tanah yang hebat di daerah-daerah tangkapan air, yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh penurunan luas hutan.

Angka penurunan hutan yang tinggi di Jawa Barat sangat serius. Penyebab penurunan hutan bermacam-macam mulai dari perambahan hutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi, tingginya kebutuhan akan lahan pertanian, masalah-masalah kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan, hingga inkonsistensi antara rencana tata ruang dan implementasinya di tingkat lapangan. Masalah terakhir ini sebagian besar disebabkan karena lemahnya penegakan hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, skala penurunan hutan di Jawa Barat meningkat. Sebagai contoh, pada skala lokal di KPH Bandung Selatan, perambahan hutan dilaporkan hingga 15.500 ha. Ini berarti 28% dari keseluruhan areal hutan yang melibatkan sekitar 41.500 keluarga (Anonymous, 1999). Hasil-hasil pertanian perkebunan pada lahan hutan disatu sisi memberikan keuntungan ekonomi buat petani dalam jangka pendek. Tapi pada sisi lain, hal ini akan mengurangi produksi hutan dan merusak layanan-layanan lingkungan lainnya termasuk stabilisasi tanah dan air, iklim mikro, dan merosotnya karbon. Konflik antara kepentingan-kepentingan ekonomi dan ekologi ini perlu ditangani secara tepat sehingga keberadaan sumberdaya hutan yang tersisa dapat tetap terpelihara.

Disamping masalah perambahan hutan, penurunan luas hutan juga dapat diamati dari fakta bahwa dari sekitar 22% areal hutan milik negara, tutupan hutan aktual kurang dari 9%. Ini merupakan indikasi yang jelas dari suatu kombinasi tekanan jumlah penduduk, inkonsistensi dalam rencana tata ruang dan rendahnya penegakan hukum. Dari perspektif yang lebih luas, status buruk kondisi lingkungan Jawa Barat ini ditopang oleh meningkatnya jumlah DAS kritis di Jawa Barat. Dari sekitar 40 sub-DAS yang dikenal, 15 sub-DAS (38%) ditemukan dalam kondisi super kritis, dan karenanya perlu diberikan prioritas tinggi untuk perbaikannya.

Penurunan hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan, perambahan hutan, penambangan liar, dan permukiman liar di areal hutan dipercaya sebagai penyebab utama menurunnya areal hutan (cadangan tetap) dari sekitar 22% dari keseluruhan Jawa Barat) menjadi kurang dari 9%. Penyebab lain yang ditengarai pada penurunan hutan di Jawa Barat adalah penebangan ilegal yang dipicu oleh pertumbuhan industri kayu lokal yang tidak terkendali. Statistik menunjukkan bahwa industri-industri kayu di Jawa Barat memerlukan sekitar 2,5 juta m3 per tahun untuk bahan bakunya. Akan tetapi, produksi kayu legal dari Perum Perhutani hanya antara 300.000 - 500.000 m3 per tahun. Ketidak-seimbangan antara permintaan dan pemenuhan kayu membuat penebangan-penebangan liar menjadi lebih kentara. Oleh karena itu, sekitar lebih dari satu juta m3 kayu per tahun dicurigai berasal dari penebangan liar baik di dalam dan di luar Jawa Barat. Ini merupakan tantangan besar bagi pengelolaan hutan berkelanjutan di Jawa Barat.

2.2.1.4 Masalah pertanian

Selama lima tahun terakhir telah terjadi pengurangan atau alih fungsi lahan sawah di Jawa Barat sebesar 62.834 Ha, yaitu dari luas sawah 976.869 Ha pada tahun 1997 berkurang menjadi 881.637 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Bandung sebesar 38.159 Ha, yaitu dari luas sawah 64.147 Ha pada tahun 1997 berkurang menjadi 25.988 Ha pada tahun 2002.

Sebaliknya pertanian lahan kering selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penambahan luasan lahan kering atau alih fungsi ke lahan kering di Jawa Barat sebesar 804.409 Ha, dari luas lahan kering 1.781.909 Ha pada tahun 1992 bertambah menjadi 2.586.318 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Garut sebesar 90.347 Ha, dari luas lahan kering 154.514 Ha pada tahun 1992 bertambah menjadi 244.861 Ha pada tahun 2002.

Pembangunan pertanian pada saat ini khususnya tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada penyediaan bahan pangan beras. Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Barat tahun 1999 sebesar 1,59 % (NKLD, 2000). Produksi padi mencapai 10.340.686 ton GKG, atau mencapai 99,71 % dari sasaran sebesar 10.370.436 ton, dan meningkat 5.57 % dari tahun 1998 yang mencapai 9.795.638 ton GKG (NKLD, 2000).

Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penurunan luasan panen padi di propinsi Jawa Barat sebesar 2.190.478 Ha dengan total penurunan produksi sebesar 9.112.427 Ton padi dari luas panen padi sebesar 4.102.640 Ha dengan total produksi sebesar 18.574.790 Ton padi pada tahun 1992 berkurang menjadi luas panen padi sebesar 1.912.162 Ha dengan total produksi sebesar 9.462.363 Ton padi pada tahun 2002. Pengurangan luasan panen padi tertinggi terjadi di Kabupaten Cirebon sebesar 489.103 Ha dari luas panen padi sebesar 571.204 Ha pada tahun 1992 berkurang menjadi 82.101 Ha pada tahun 2002. Penurunan luas panen padi terkecil terjadi di Kabupaten Purwakarta sebesar 17.795 Ha dari luas panen padi sebesar 60.476 Ha pada tahun 1992 menjadi 42.681 Ha pada tahun 2002.

Penurunan total produksi padi terbesar terjadi di kabupaten Indramayu sebesar 1.037.469 Ton padi dari total produksi padi sebesar 2.114.184 Ton GKG pada tahun 1992 berkurang menjadi 1.076.715 Ton GKG pada tahun 2002.

Sedangkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir juga terjadi penurunan rata-rata produktivitas lahan sawah di Propinsi Jawa Barat sebesar 0,755 Ton/Ha, dari produktivitas sebesar 4,135 Ton/Ha pada tahun 1992 menurun menjadi 3,380 Ton/Ha pada tahun 2002. Penurunan produktivitas terbesar terjadi di Kabupaten Karawang sebesar 1,12 Ton/Ha dari produktivitas 4,638 Ton/Ha pada tahun 1992 turun menjadi 3,518 Ton/Ha pada tahun 2002. Penurunan produktivitas lahan terkecil terjadi di Kabupaten Cirebon sebesar 0,455 Ton/Ha.

Penurunan luas areal panen padi, total produksi maupun produktivitas tersebut disebabkan karena adanya kekeringan pada lahan sawah sehingga banyak areal yang puso.

Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap gizi berimplikasi terhadap meningkatnya permintaan akan produk hortikultura baik segar maupun olahan sehingga meningkatkan keinginan petani untuk meningkatkan usaha dalam bidang hortikurtura.

Produksi sayur-sayuran mencapai 3.987.846 ton. atau mencapai 128.33 % dari sasaran 2.406.126 ton, dan meningkat 28,10 % dari produksi 1998 sebesar 2.410.568 ton. Produksi buah-buahan mencapai 2.304.126 ton dan meningkat 40.77 % dari produksi tahun 1998 sebesar 1.636.772 ton (NKLD, 2000).

Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penurunan luasan panen sayur-sayuran di Propinsi Jawa Barat sebesar 10.069 Ha, dari luas panen sayur-sayuran sebesar 173.257 Ha pada tahun 1992 berkurang menjadi 163.188 Ha pada tahun 2002. Pengurangan luasan panen sayur-sayuran tertinggi terjadi di Kabupaten Cianjur sebesar 6.473 Ha dari luas panen sayur-sayuran sebesar 21.251 Ha pada tahun 1992 berkurang menjadi 14.778 Ha pada tahun 2002. Tetapi di kabupaten lainnya justru terjadi kenaikan luas panen sayuran tertinggi terjadi di Kabupaten Bandung sebesar 7.835 Ha dari luas panen sayuran sebesar 35.629 Ha pada tahun 1992 menjadi 43.464 Ha pada tahun 2002.

Seperti pada kasus sumberdaya hutan, kondisi pertanian lahan basah (sawah) di Jawa Barat juga menunjukkan indikasi penurunan. Umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanian tersebut menyangkut penurunan secara signifikan kapasitas air irigasi yang disebabkan meningkatnya sedimentasi pada saluran-saluran irigasi dan kerusakan yang tinggi pada infrastruktur irigasi (54% dari keseluruhan infrastruktur irigasi). Tingginya erosi tanah pada DAS dan tingginya pengangkutan sedimen mengakibatkan pendangkalan pada saluran dan waduk. Disamping itu juga terjadinya inefisiensi penggunaan sumber air karena kebocoran dan salah-pilih tanaman pertanian (kebutuhan tinggi terhadap air). Terbatasnya sumber air permukaan maupun sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan pertanian juga mengakibatkan penurunan produktivitas lahan pertanian tersebut. Ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim global dan regional serta permintaan yang tinggi terhadap air untuk kebutuhan non-pertanian.

2.2.1.5 Masalah kegiatan pertambangan

Penambangan bahan galian 'C' mencakup pengerukan, penggalian atau penambangan material yang tidak termasuk material strategis. Bahan galian 'C' termasuk pasir, kerikil, tanah liat, tanah, batu kapur dan batu yang digunakan sebagai bahan mentah untuk kebutuhan industri dan konstruksi. Endapan tanah liat, pasir dan kerikil ditemukan di dataran-dataran rendah dan sungai; batu keras (basal, andesit, dasit) untuk agregat ditemukan di wilayah-wilayah berbukit dan pegunungan. Pengadaan bahan galian 'C' sangat penting untuk mendukung pembangunan fisik wilayah di Jawa Barat dan Jakarta.

Tingkat kecepatan eksploitasi dan penggunaan material ini telah mengakibatkan beberapa permasalahan lingkungan dimana belum ada ketaatan akan praktek-praktek pengelolaan yang bijak dan kurangnya rehabilitasi pasca penambangan. Kerusakan lingkungan karena penambangan, pengedukan dan pengerukan bahan galian 'C' sebagian besar diakibatkan dari kurang mempertimbangkan masalah-masalah lingkungan dalam perencanaan, pengoperasian dan perbaikan pasca penambangan. Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan oleh operasi kecil, besar dan mekanisasi atau oleh dampak kumulatif dari operasi-operasi kecil.

Dampak-dampak lingkungannya meliputi: (i) destabilisasi lereng dengan penggalian dinding-dinding tinggi, yang sering meluas sampai batas wilayah perumahan, (ii) meningkatnya bahaya tanah longsor atau runtuhnya batuan akibat terpotongnya lereng curam yang terdiri dari batuan lepas dan batuan lapuk, karena cuaca dan tidak terkonsolidasi, (iii) meningkatnya erosi tanah karena hilangnya vegetasi penutup, (iv) meningkatnya kekeruhan dan pendangkalan selokan dan sungai karena penggalian tanpa penyediaan penampung sedimen, (v) kerusakan daerah resapan air tanah, (vi) semakin menurunnya permukaan air bawah tanah atau hilangnya air tanah karena terpotongnya akuifer, (vii) polusi debu dan suara dari jalan-jalan pengangkutan serta kerusakan vegetasi dan tanaman.

Tanpa perbaikan yang tepat pada pasca penambangan, tataguna tanah menjadi tidak serasi lagi dengan areal sekitarnya. Pada dataran rendah di Bogor dan Bekasi sebagai contoh, banyak lubang-lubang dalam yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan.

penggalian, perusakan bentang lahan, timbulnya daerah-daerah genangan yang dengan limpahan air yang mandek dan meninggalkan lereng curam yang berbahaya. Di daerah perbukitan dan pegunungan topografi bisa lebih rendah dan lereng yang landai menjadi lebih curam, yang mengancam stabilitas sisi-sisi bukit, yang pada gilirannya mengancam pemukiman manusia dan pertanian. Gangguan kelebihan beban dan tanah atas dapat mengakibatkan hilangnya struktur tanah, stabilitas dan resistensi erosi yang membuat areal yang 'diperbaiki' menjadi lebih tidak produktif dari sebelumnya.

2.2.1.6 Permasalahan lingkungan pantai dan wilayah pesisir

Masalah-masalah umum yang dihadapi wilayah pesisir dan pantai Jawa Barat adalah degradasi hutan bakau, gerusan (abrasi) dan sedimentasi, pencemaran pantai karena kegiatan-kegiatan industri dan domestik serta intrusi air laut.

Dilaporkan oleh BPLHD (Jawa Barat ASER, 2002) bahwa di pantai utara Jawa Barat abrasi sejauh 400-500 m terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 2 mil / tahun di Karawang, sedangkan sedimentasi/penambahan (akresi) sejauh 5-7 km sepanjang garis pantai terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 300 m di Karawang.

Penurunan hutan bakau sejauh 1 km panjang pantai terjadi di Indramayu, 6000 tanaman di Subang, sekitar 1000 ha di Karawang, dan sekitar 64% dari total hutan bakau di Bekasi. Di wilayah pantai Subang, pengendapan (sedimentasi) telah menutup sekitar 6000 ha daratan.

Di pantai selatan, abrasi sejauh 1 km terjadi di Ciamis, 22 km di Tasikmalaya, sedangkan kerusakan hutan bakau seluas 15 ha terjadi di Ciamis, sekitar 100 ha di Tasikmalaya, dan 1500 ha di Garut. Kerusakan pantai karena penambangan pasir laut (sekitar 450 ha) juga terjadi di daerah pantai selatan Cianjur.

2.2.1.7 Permasalahan bencana alam

Jawa Barat memiliki potensi tinggi dalam bahaya-bahaya alam atau geologis, terutama tanah longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Direktorat Geologi Tata Lingkungan (GTL) melaporkan bahwa selama dekade terakhir terdapat 481 tanah longsor yang terjadi di wilayah Jawa Barat. Bencana ini lebih dari 50% tanah longsor yang terjadi di Indonesia pada periode yang sama (811 kejadian). Penyebab utama tanah longsor tersebut dengan korban jiwa yang besar adalah karena alam dan fakta bahwa banyak terdapat masyarakat yang membangun di tanah-tanah yang rentan longsor, terutama setelah hujan.

Keberadaan gunung berapi aktif yang tersebar di wilayah Jawa Barat dapat menyebabkan bahaya potensial terhadap kehidupan manusia di wilayah-wilayah sekitarnya. Dampak-dampak dari letusan gunung berapi tidak hanya kehilangan jiwa dan kerusakan dan harta benda, tapi juga dapat menjadi sumber polusi alami. Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa kegiatan gunung berapi memberikan keuntungan yang sangat besar seperti tanah-tanah subur, bahan baku yang berlimpah, bijih besi, energi geothermal, dan pemandangan yang indah (pariwisata). Dengan kata lain, kegiatan gunung berapi selain menimbulkan dampak-dampak negatif, tapi juga memberikan kontribusi aspek-aspek positif untuk kemakmuran manusia.

Jawa Barat terletak di suatu wilayah kegiatan gempa bumi yang tinggi. Dalam dekade terakhir beberapa gempa bumi berat terjadi di Jawa Barat, misalnya di selatan Kabupaten Sukabumi dan Tasikmalaya. Kemungkinan kejadian gempa bumi di Jawa Barat, terutama di wilayah bagian selatan relatif tinggi, sedangkan getaran gempa bumi tersebut berkisar antara 4.7 - 5.6 skala Reichter.


2.2.2 Pencemaran
2.2.2. 1 Limbah Cair (Sewage)

Khusus untuk Kota Bandung saat ini telah tersedia instalasi pengolahan tinja secara terpusat dengan sistem perpipaan, namun sampai dengan tahun 2002 berdasarkan data dari Divisi Air Kotor PDAM Kota Bandung menyebutkan bahwa konsumen yang mendapat pelayanan sistem perpipaan baru mencapai 20% dari penduduk kota, sedangkan sisanya melalui penyedotan septic tanks oleh Dinas Kebersihan Kota. Hampir seluruh kota/kabupaten telah memiliki fasilitas Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) namun tidak beroperasi secara optimum dan tinja yang diolah rata-rata baru mencapai 5% dari laju timbulan tinja yang ada. Bahkan, meskipun lumpur tinja dari tangki septik telah dikumpulkan/disedot, sebagian besar lumpur tinja tersebut dibuang langsung ke sungai dan kanal-kanal tanpa mengindahkan prosedur pembuangan limbah yang semestinya.

Perlu dikemukakan, bahwa sangat sedikit tangki septik yang dirancang dan dibangun menurut persyaratan yang ditentukan oleh dinas kesehatan, atau kebanyakan tidak dipelihara dengan baik. Sebagai akibatnya, telah banyak yang menimbulkan kontaminasi terhadap airtanah. Pada kebanyakan rumah tangga yang kebutuhan airnya tergantung dari sumur-sumur dangkal, bahaya kontaminasi tersebut cukup besar dan menjadi sumber timbulnya berbagai penyakit dengan perantara air.

Di daerah perkotaan yang berkembang dengan semakin meluasnya kawasan kumuh, limbah cair dari rumahtangga khususnya yang tinggal di daerah bantaran sungai dibuang langsung ke sungai atau selokan-selokan, ke dalam balong-balong atau langsung dibuang begitu saja ke lahan-lahan kosong.

2.2.2.2 Kontaminasi Pasokan Air

Sistem pemasokan air dengan pipa tidak lagi memadai karena tingkat kerusakan perpipaannya yang kurang terpelihara. Tekanan air yang rendah berisiko terkontaminasi oleh rembesan airtanah, akibatnya baik pasokan air dari perusahaan air bersih maupun dari penyadapan airtanah dangkal belumlah aman terhadap kesehatan manusia, selagi air tersebut tidak dimasak dengan sempurna. Kondisi yang demikian telah mendorong

masyarakat untuk lebih banyak memakai air botol-galonan, dan mungkin inilah sebagai alasan menurut catatan medis di Jawa Barat yang menyatakan bahwa jumlah penduduk yang terkena diare semakin menurun. Meskipun pasokan air baru pada tingkat air bersih dan bukan air minum, pemasokannya pun hingga tahun 2002 baru dapat mencapai 43 % konsumen di perkotaan dan sekitar 22 % konsumen di pedesaan Jawa Barat.

2.2.2.3 Limbah padat dan persampahan

Timbulan sampah di Jawa Barat dari tahun ke tahun terus meningkat, dengan paradigma pengelolaan kumpul-angkut-buang, menyebabkan pengalihan permasalahan dari sumber aktifitas perkotaan menjadi permasalahan di lokasi penimbunan akhir. Sampai saat ini hampir seluruh lokasi penimbunan sampah akhir di Jawa Barat berada pada kondisi tidak memadai. Bahkan sistem pengelolaan yang dijalankan oleh lembaga formal pengelola kota, belum menunjukkan efektifitas yang tinggi. Kebersihan kota umumnya di Jawa Barat masih sangat buruk.

Lokasi kritis dimana banyak ditemukan timbunan sampah yang dibuang secara ilegal oleh masyarakat adalah salah satunya di bantaran sungai, akibatnya terjadi penyumbatan alur sungai dan berisiko terjadinya banjir. Dari data statistik tahun 2002, rata-rata hanya sekitar 54 % seluruh limbah domestik yang terkumpul dan terangkut ke tempat pembuangan akhir. Sisanya, sekitar 23 % dikubur atau dibakar ditempat yang berpotensi mencemari udara dan air, 3 % dibuang langsung ke sungai dan 21 % dibuang ke lahan-lahan kosong, atau dibuang ke selokan, kanal-kanal dan sungai-sungai kecil lainnya.

Komposisi limbah padat sebagian besar berasal dari rumah tangga. Data dari Kota Bandung menunjukkan 64 % rata-rata total limbah padat berasal dari rumah tangga, sementara 27 % dari industri. Sembilan persen berasal dari pasar, daerah komersial, dan dari sumber-sumber yang lain, sehingga setiap hari keseluruhannya mencapai 7.500m3/hari. Sementara itu yang tertimbun di TPA baru mencapai 60%.

Kecenderungan pola timbulan sampah di Jawa Barat adalah sejalan dengan tingkat aktifitas kota tersebut. Umumnya kota-kota pusat kegiatan dalam suatu wilayah andalan, menunjukkan angka timbulan tertinggi. Di Wilayah Bandung Raya timbulan terbesar berasal dari Kota dan Kabupaten Bandung, yaitu lebih dari 5.000 m3/hari. Di Wilayah Bodebek, Kota Bogor dan Kab. Bekasi sebagai penimbul sampah terbesar, yaitu lebih dari 2.000 m3/hari. Di Wilayah Ciayumajakuning, timbulan terbesar berasal dari Kab. Cirebon dan Majalengka, yaitu lebih dari 1.000 m3/hari.

Faktor penduduk pada dasarnya sebagai penentu besarnya timbulan disamping faktor aktifitas di dalam kota itu sendiri. Sebagai contoh Kota Bandung dan Kota Bogor menimbulkan sampah lebih besar dibandingkan Kabupaten Bandung dan Bogor yang berpenduduk lebih tinggi. Hal ini dapat dipastikan bahwa kontribusi sampah dari aktifitas kota sangat menentukan besar kecilnya timbulan sampah. Adapun kota-kota yang memiliki timbulan terkecil yaitu kurang dari 300 m3/hari, adalah Kabupaten Subang, Purwakarta dan Indramayu.

Di seluruh Jawa barat hampir 90 % lebih TPA di Jawa Barat menerapkan metoda penimbunan open dumping. Walaupun sudah diketahui bahwa metoda ini telah menimbulkan pencemaran lindi terhadap air tanah, namun nampaknya metode ini masih menjadi pilihan para pengelola kota. Alasan utama diselenggarakannya metode open dumping adalah rendahnya biaya operasi yang harus dikeluarkan, mengingat metode ini tidak memerlukan perlakuan khusus yang berdampak pada penambahan biaya operasi. Namun demikian, satu hal yang luput adalah pencemaran yang terjadi tidak pernah diperhitungkan sebagai biaya yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah.

Disebutnya operasi controlled landfill dan sanitary landfill sebagai metode yang diterapkan pada sebuah TPA, sesungguhnya perlu dicermati. Banyak kota yang telah merencanakan pelaksanaan metoda tersebut, namun dalam pelaksanaannya banyak ditemui TPA yang hanya dioperasikan oleh seorang sopir buldozer, atau hanya mengandalkan sopir truk sampah untuk menuang sampahnya. Jarang ditemukan adanya perencanaan penimbunan yang sistematis agar TPA dapat berfungsi dengan baik dan tidak mengganggu lingkungan.

Kontrol terhadap operasi penimbunan sampah di TPA seluruh Jawa Barat masih sangat lemah. Tidak jarang dijumpai bahwa suatu TPA sampah kota juga menerima buangan industri atau bahkan tergolong limbah B3 misalnya limbah infectiuous dari aktifitas rumah sakit. Hal ini tentunya akan mendatangkan dampak yang tidak diinginkan. Umumnya terjadi di Jawa Barat bahwa TPA yang telah dipersiapkan untuk dioperasikan dengan metode sanitary landfill akhirnya berubah menjadi open dumping.

Faktor penyebab utama adalah kurangnya konsistensi pihak pengelola mengetrapkan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. TPA tersebut akhirnya akan menjadi semrawut, bau, berasap dan lindinya menyebar ke segala arah. Pencemaran air tanah dan air pemukaan sekitar TPA oleh lindi, merupakan masalah yang paling serius, disamping masalah lain yang ditimbulkan dari pelaksanaan open dumping di TPA, seperti masalah bau, masalah gas bio yaitu gas methana yang disebabkan karena tidak adanya upaya penangkapan gas tersebut, masalah pencemaran udara karena kebakaran dan asap yang terjadi secara alarm di dalam timbunan sampah yang tidak ditutup, serta masalah sanitasi lingkungan yang menurun akibat kehadiran vektor penyakit berupa lalat di atas timbunan sampah terbuka.

2.2.2.4 Permasalahan kualitas udara

Data pemantauan kualitas udara dari pengamatan secara berkala yang dapat digunakan untuk melihat kecenderungan peningkatan atau penurunannya di kota-kota di Jawa Barat masih sangat terbatas. Data-data dari stasiun pemantau otomatis digunakan untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Berdasarkan nilai ISPU yang diperoleh, parameter PMi0 dan 03 sering ditemukan menjadi parameter kritis. Parameter kritis adalah parameter yang menyebabkan dampak buruk terbesar terhadap kualitas udara.

Pada tahun 2003, data ISPU menunjukan di Kota Bandung hanya terdapat 55 hari yang tergolong sehat (Pikiran Rakyat, 12 Maret 2004). Berdasarkan data sejak akhir tahun 2000, jumlah hari tidak sehat mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun-ke tahun.

Dengan adanya peralatan mobile monitoring pemantauan kampanye mulai dilakukan di kota-kota lain di Jawa Barat, seperti Bogor, Cianjur, Depok, Karawang dan Cirebon. Hasil pemantauan secara kampanye tersebut juga menunjukan kecenderungan yang sama dengan yang diperoleh di Kota Bandung, yaitu pola fluktuasi pencemar yang dipengaruhi oleh intensitas kendaraan bermotor.

Di samping pengukuran udara ambien, sejak tahun 2001 di Kota Bandung juga dilakukan uji emisi kendaraan bermotor dan kualitas udara ambien di jalan-jalan raya. Hasil pemantauan emisi kendaraan bermotor terkini yang dilakukan oleh BPLH Kodya Bandung (2004) menunjukan terdapat lebih dari 40% kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin dan diesel yang tidak memenuhi persyaratan Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak (Kepmen LH 13/1995). Walaupun emisi kendaraan bermotor umumnya merupakan kontributor yang dominan terhadap pencemaran udara, di kota-kota tertentu terdapat sumber-sumber pencemar lain yang juga patut mendapat perhatian.

Di TPA Bantargebang pencemar bau seluruhnya menunjukan nilai H2S berkisar antara 1.5 sampai 2 kali lipat dari nilai ambang batas Baku Mutu udara ambien. Tingginya konsentrasi H2S ini dengan jelas mengindikasikan pencemaran bau yang berasal dari proses pembusukan sampah. Di wilayah lain seperti Kabupaten Bekasi dengan PDRB lebih dari 82% didominasi oleh sektor industri, di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Bandung, sektor industri diperkirakan juga mempunyai kontribusi yang cukup berarti dalam pencemaran udara.

Pencemaran udara di daerah perkotaan dan kawasan industri dapat menyebabkan dampak negatif di daerah yang jauh dari sumbernya. Fenomena hujan asam tergolong ke dalam pencemaran yang disebabkan oleh transport pencemar jarak jauh. Pengamatan terhadap fenomena hujan asam masih sangat terbatas, salah satu pengamatan terhadap pH air hujan sejan tahun 1980-an dilakukan oleh LAPAN di Kota Bandung.Data pH rata-rata tahunan air hujan menunjukkan trend menurun, mengindikasikan adanya proses perubahan kualitas air hujan yang kemungkinan disebabkan oleh aktifitas manusia yang semakin meningkat di daerah perkotaan.

Selain hujan asam, terdapat pula indikasi terjadinya pencemaran dari smog fotokimia, berasal dari konversi NOX, HC dan CO menjadi ozon dan senyawa fotokimia lainnya. Indikasi tersebut ditunjukan oleh konsentrasi ozon yang sering menjadi parameter kritis, konsentrasinya yang tinggi di daerah pedesaan, dan menurunnya visibilitas di daerah perkotaan, terutama dapat diamati di daerah Cekungan Bandung pada siang hari.


2.2.3 Permasalahan sosial ekonomi dan kependudukan

Jumlah penduduk propinsi Jawa Barat tahun 2000 adalah 35,72 juta jiwa yang terdiri dari 18,08 juta laki-laki dan 17,64 juta perempuan dengan rata-rata pertumbuhan 2,03 per tahun dan kepadatan penduduk 1.033 / km2. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan penduduk 1,7% jumlah penduduk propinsi ini akan mencapai 43,8 juta orang di tahun 2010.Sekitar 45% kelompok penduduk berada di tiga wilayah kota: Bandung, Bogor-Bekasi dan Cirebon. Kepadatan penduduk Bandung adalah 12.711 per km2, sedangkan kepadatan penduduk Jawa Barat adalah 1.033 per km2. Tahun 2000 sekitar 48,86% penduduk tinggal di perkotaan sedangkan di tahun 1990 hanya 35,03%, yang mengindikasikan tingginya angka migrasi ke kota (urbanisasi).

Berdasarkan usia, penduduk Jawa Barat terdiri dari 30,71% usia muda (kurang dari 14 tahun), 64,73% berumur antara 15-64 tahun, dan 4,56% berumur lebih dari 65 tahun.

Meskipun Propinsi Jawa Barat berkembang menuju daerah industri tapi sektor pertanian menyerap lebih banyak tenaga kerja (28,9%). Sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja di daerah perkotaan adalah perindustrian, perdagangan dan jasa. Angka pengangguran mencapai 8,01% dari keseluruhan 14,39 juta angkatan kerja.

Pada tahun 2000 terdapat 39,30 persen penduduk yang lulus Sekolah Dasar (SD), 11,8% lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), 12,94% lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), 2,45% lulus Sarjana muda dan 1,50% lulus 51, 52 dan S3.

Dalam hal kesehatan masyarakat, kematian bayi di Jawa Barat mencapai 42,3% per 1000 kelahiran. Indeks pembangunan manusia Jawa Barat tahun 1999 mencapai 65,3%, urutan ke-13 di Indonesia sedangkan 26,59% dari jumlah penduduk berada pada garis kemiskinan.

Pola penyakit di Jawa Barat didominasi oleh penyakit yang disebabkan oleh buruknya sanitasi lingkungan yakni infeksi saluran pernapasan atas (49% pada tahun 2002), diare dan busung lapar (14% pada tahun 2000).

Angka kepadatan penduduk yang tinggi di Jawa Barat disebabkan oleh beberapa faktor, sebagian besar karena kelahiran dan migrasi. Menurut sensus nasional tahun 1997, rata-rata angka kelahiran di Jawa Barat adalah 10,74%. Rata-rata ini mengalami penurunan daripada rata-rata pada tahun 1990 yaitu 27,66%. Jumlah imigrasi ke Jawa Barat pada tahun 1995 sebesar 4.221.877 dan pada tahun 2000 sebesar 3.911.585 orang. Angka ini termasuk tinggi, yang artinya lebih dari 10% dari penduduk yang ada sekarang adalah pendatang.

Tingginya angka rata-rata perpindahan penduduk ke Jawa Barat sebagian besar dikarenakan lajunya pembangunan di bidang industri. Menurut Pusat Data dari Departemen Perdagangan dan Industri, pada tahun 2002 Jawa Barat memiliki 4.900 unit industri. Pembangunan industri ini membuat para imigran mencari kesempatan kerja di wilayah Jawa Barat.

Jumlah penduduk yang sangat besar dengan tingginya rata-rata pertumbuhan dan distribusi yang tidak seimbang di setiap wilayah membuat masalah baru, yaitu meningkatnya terhadap kebutuhan lahan untuk permukiman. Tercatat sekitar 136,621 ha lahan sawah yang dijadikan daerah permukiman, meskipun ada juga melimpahnya penduduk tetap berada di beberapa kota besar, sehingga kepadatan penduduknya dapat mencapai 2000 orang per km2. Sensus Nasional pada tahun 1997 mencatat bahwa kepadatan penduduk di kabupaten Bekasi adalah 2.176 jiwa per km2, 14.108 jiwa di Kota Bandung, 2.541 jiwa di Kota Bogor, 2.581 juta jiwa di Sukabumi, sementara di Cirebon sebesar 7.024 jiwa per km2.

Kepadatan penduduk yang tinggi pada daerah perkotaan selalu membuat masalah baru, seperti pertumbuhan daerah kumuh. Dilaporkan oleh Gubernur (2002) ada sekitar 2.171 lokasi daerah kumuh yang mencakup 4.762 ha tanah, yang dimana telah ditempati oleh 96.457 keluarga atau 353.941 warga. Permukiman yang terluas kawasan kumuhnya adalah Kota Bandung, Indramayu, Karawang dan Kabupaten Bandung.

Permukiman kumuh menimbulkan banyak sekali masalah, yang identik dengan kemiskinan, lingkungan permukiman yang kotor, dan prasarana yang terbatas, yaitu air bersih, pembuangan air, listrik, sarana bermain dll. Karena keterbatasan tersebut , banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai untuk mandi, mencuci, mengambil air dan juga membuang sampah.

Dengan terbatasnya ketersediaan lahan, beberapa penduduk menetap dan membangun rumah mereka pada bantaran/tepi sungai. Pada tahun 2000, Badan Peneliti Statistik (BPS) mencatat bahwa sejumlah 67.059 bangunan rumah yang berlokasi di bantaran/tepi sungai dengan 69.988 keluarga yang menetap disana. Permukiman di bantaran/tepi sungai tersebut menyebar luas di Kota Bandung, Ciamis, Cianjur, Bekasi dan kabupaten Bandung.

Di wilayah pedesaan, tekanan penduduk terhadap lahan sudah sangat tinggi. Kecuali di wilayah pantai utara, hampir seluruh kabupaten lainnya mempunyai tekanan penduduk di atas angka 4.


2.2.4 Masalah hukum dan kelembagaan

Dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, belum digunakan pendekatan secara sistemik. Peraturan perundang-undangan masih ditinjau bidang per bidang atau sektor per sektor, walaupun pada umumnya aparatur pemerintah maupun masyarakat memahami bahwa unsur-unsur lingkungan hidup membentuk suatu sistem yang disebut ekosistem.

Dalam penaatan dan penegakan hukum lingkungan, karena metode penafsiran hukum yang didasarkan pada kepentingan sektornya masing-masing, dan hanya melihat ketentuan-ketentuan pada batang tubuhnya saja, maka peraturan perundang-undangan seolah-olah tumpang tindih.

Sementara itu, proses penyelenggaraan dekonsentrasi dan desentralisasi masih berjalan secara tersendat-sendat, yang berakibat kepada upaya memperoleh pendapatan asli daerah secara berlebihan. Proses desentralisasi belum tuntas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga struktur organisasi dan tata kerja institusi pengelola lingkungan hidup di daerah masih belum mantap sebagai upaya untuk mendukung profesionalisme aparatur pemerintah.

Belum adanya institusi penegak hukum Peraturan Daerah yang dapat bertugas secara langsung dan seketika mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan.

Peranserta masyarakat masih bersifat formalitas. Pemerintah maupun Pemerintah Daerah masih belum terbuka dalam memberikan informasi yang lengkap dan tepat waktu, sehingga peranserta masyarakat belum terlaksana sebagaimana mestinya. Bahkan masyarakat sering dicurigai sebagai penghambat proses pembangunan.

Dana Lingkungan masih menjadi kendala. Di beberapa Daerah Kabupaten/ Kota, institusi pengelola dan atau pengendali lingkungan hidup dibebani sebagai instansi penghasil pendapatan asli daerah. Mengingat target perolehan pendapatan asli daerah, menyebabkan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan sering terabaikan.

Upaya menghimpun Dana Lingkungan melalui ditegakkannya prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability), sehingga pembentukan lembaga pertanggungan keuangan atas kerugian yang timbul akibat kegiatan yang mempunyai risiko terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan belum diminati oleh sektor swasta.



Site Meter

©2002-2006 BPLHD Jawa Barat , all right reserved.
Use of this website signifies your agreement to the Terms of Use.
Content provided by BPLHD Jabar, Please contact our webmaster