Jumat, 21 Desember 2007

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DALAM

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DALAM

PENGELOLAAN KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

Oleh:

A. Hermanto Dardak2

I. PENDAHULUAN

Ruang mengandung pengertian sebagai “wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”3. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap. Sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi.

Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan.

Dilihat dari sudut pandang penataan ruang, salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai dalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan

1 Makalah, disampaikan dalam Lokakarya “Penataan Ruang Sebagai Wahana Untuk Meminimalkan Potensi Kejadian Bencana Longsor”, kerjasama Ditjen. Penataan Ruang Dep. Pekerjaan Umum dengan Badan Kejuruan Sipil Persatuan Insinyur Indonesia, Jakarta, 7 Maret 2006.

2 Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.

3 Pengertian “ruang” menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang

sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Dardak. A. Hermanto, Revitalisasi Penataan Ruang Untuk Mewujudkan Ruang Nusantara yang Nyaman, Produktif, dan Berlenjutan, dalam Pattimura. Luthfi (editor), Penataan Ruang Untuk Kesejahteraan Masyarakat: Khazanah Pemikiran Para Pakar, Birokrat, dan Praktisi, LSKPI Press, Jakarta, 2005.

Upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Permasalahan tersebut antara lain adalah semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh dan kemacetan lalu lintas terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.

Di antara berbagai permasalahan tersebut di atas, permasalahan bencana alam terutama tanah longsor, akhir-akhir ini mendapat perhatian besar sehubungan dengan berbagai kejadian bencana longsor yang menimbulkan kerugian besar berupa korban meninggal, kerusakan lingkungan permukiman, hilangnya harta benda masyarakat, serta kerusakan sarana dan prasarana penunjang kehidupan manusia dan aktivitasnya. Tingginya frekuensi bencana longsor dan besarnya kerugian yang ditimbulkan dari bencana tersebut telah menyadarkan kita semua akan perlunya reposisi perilaku manusia dalam mengelola lingkungan hidupnya. Upaya reposisi perilaku manusia tersebut selanjutnya perlu diletakkan pada sebuah kerangka pikir atau pendekatan yang memungkinkan seluruh pihak untuk saling bersinergi dalam merevitalisasi ruang kehidupannya agar dapat mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan.4

Terkait dengan bencana longsor, sudah saatnya bagi masyarakat untuk secara seksama mengevaluasi pilihan-pilihan yang diambil dalam memanfaatkan ruang, antara lain pilihan lokasi untuk melakukan kegiatan, pilihan jenis kegiatan yang akan dikembangkan, pilihan besaran kegiatan, dan pilihan terkait dengan cara-cara dalam mengelola ruang dan kegiatan. Hal ini sangat penting, karena:

a. banyak terdapat kegiatan budidaya masyarakat menempati ruang yang memiliki potensi bencana longsor;

b. banyak terdapat kegiatan dengan karakteristik yang tidak sesuai untuk dikembangkan di kawasan rawan bencana longsor;

c. terdapat penerapan pola pengelolaan kegiatan di kawasan rawan bencana longsor yang tidak menunjang upaya konservasi lingkungan hidup.

Untuk mengarahkan reposisi perilaku manusia dalam mengelola lingungan hdupnya, diperlukan seperangkat kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan rawan bencana longsor yang memperhatikan berbagai kepentingan sektoral secara seimbang, sehingga dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kebijakan pengelolaan kawasan rawan bencana alam ditinjau dari sudut pandang penataan ruang, baik pada tahapan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

II. ISU STRATEGIS DALAM PENGELOLAAN KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

Sebagaimana disampaikan di bagian awal, upaya perwujudan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang harus diupakan pemecahannya. Terkait dengan bencana longsor, tantangan yang dihadapi saat ini antara lain adalah sebagai berikut:

a. Tingginya laju alih fungsi lahan berfungsi lindung

Alih fungsi ini terjadi baik dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya, atau dari kawasan budidaya dengan karakteristik menyerupai kawasan lindung menjadi kawasan budidaya yang tidak menunjang fungsi konservasi lingkungan hidup. Sebagai contoh, kerusakan hutan lindung di P Jawa mencapai + 19.000 hektar per tahun selama periode 1992-1999. Sementara di P. Sulawesi terjadi kerusakan seluas + 29.500 hektar per tahun dalam periode 1998-2000. Selain itu, alih fungsi lahan juga terjadi pada kawasan budidaya sebagaimana ditunjukkan oleh data alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non-pertanian di Pulau Jawa yang mencapai + 40.000 hektar per tahun selama kurun waktu 1983 - 19935.

Kerusakan kawasan hutan lindung menyisakan kawasan-kawasan hutan yang secara fisik tidak lagi berwujud hutan, namun lebih sebagai lahan terlantar.

Dengan dibarengi oleh perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun, fenomena ini semakin meningkatkan resiko atau potensi kejadian bencana, tidak sebatas bencana longsor namun juga bencana banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Tingkat kerusakan lingkungan yang masif, yang merupakan akibat dari tindakan manusia menimbulkan pertanyaan: Apakah bencana longsor, banjir, dan kekeringan lebih tepat dikatakan sebagai “bencana alam” (natural disaster) atau sebagai “bencana buatan manusia” (man-made disaster)?

b. Pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan.

Pemanfaatan ruang untuk kegiatan manusia pada dasarnya merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya yakni di mana akan melakukan kegiatan (lokasi), seberapa besar kegiatan tersebut akan dikembangkan (intensitas/besaran), serta kapan kegiatan tersebut akan dimulai, dikembangkan, dan diakhiri (waktu)6. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, manusia kemudian memilih tempat untuk tinggal dan melakukan aktivitas produksi pada ruang-ruang yang dapat dijangkau.

Terkait dengan pemilihan lokasi tersebut di atas, seringkali pertimbangan yang ada lebih ditekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan dengan memaksimalkan hasil yang diperoleh dalam waktu yang sesingkat mungkin. Akibatnya perhatian terhadap aspek lingkungan hidup relatif terabaikan. Hal ini terlihat dari berkembangnya kegiatan-kegiatan budidaya pada ruang-ruang yang menurut pertimbangan lingkungan seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Kawasan-kawasan berfungsi lindung pada dasarnya bukan kawasan yang harus sepenuhnya steril dari kegiatan pemanfaatan ruang. Pada kawasan lindung masih dimungkinkan dilakukan upaya pemanfaatan ruang, namun dengan karakteristik kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kawasan lindung. Sebagai contoh, pada kawasan dengan kemiringan di atas 40% pun masih dimungkinkan dikembangkan kegiatan budidaya kehutanan, baik hutan produksi maupun hutan rakyat, dengan jenis vegetasi yang mampu melindungi lahan dari bahaya erosi dan longsor.

Fakta yang ada di lapangan menunjukkan banyaknya pengembangan kegiatan budidaya yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan, antara lain:

- budidaya pertanian hortikultura di kawasan pegunungan dengan kemiringan di atas 40% seperti di kawasan Pegunungan Dieng, Ciwidey, Lembang, dan sebagainya;

- rumah peristirahatan terutama di kawasan-kawasan pariwisata seperti di Kawasan Puncak (Bogor, Cianjur) yang menempati ruang-ruang yang memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung.

c. Pola pengelolaan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan.

Sebagaimana disampaikan di atas, pada kawasan berfungsi lindung dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan ruang, namun harus dibarengi dengan penerapan standar pengelolaan lingkungan yang memadai. Dalam konteks ini, selain jenis kegiatannya harus sesuai dengan karakteristik kawasan, pengelolaan kegiatan tersebut juga harus mengikuti kaidah-kaidah lingkungan agar potensi kejadian bencana dapat diminimalkan. Sebagai contoh, pada lahan-lahan dengan kemiringan curam, harus dibangun tembok-tembok penahan longsoran. Namun hal ini relatif kurang mendapat perhatian terutama dari pemanfaat ruang akibat dari hal-hal berikut:

- kurangnya pemahaman masyarakat (pemanfaat ruang) akan pola pengelolaan ruang yang sesuai dengan karakteristik kawasan lindung dan kawasan rawan bencana;

- adanya pandangan bahwa upaya pelestarian lingkungan merupakan beban biaya yang dapat mengurangi keuntungan;

- skala ekonomi kegiatan terlalu kecil, sehingga keuntungan yang diperoleh tidak mampu menutup biaya yang dibutuhkan untuk menerapkan pola pengelolaan kegiatan yang berwawasan lingkungan.

d. Kurangnya penyebarluasan informasi yang dibutuhkan masyarakat

Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya konservasi lingkungan hidup dalam memilih lokasi kegiatan, menentukan besaran kegiatan, dan menerapkan pola pengelolaan kegiatan juga dipengaruhi oleh penyediaan informasi berkaitan dengan hubungan antara aktivitas manusia dengan potensi kejadian bencana longsor. Apalagi berbagai kasus tanah longsor pada umumnya terjadi di kawasan perdesaan yang cukup jauh dari pusat penyebaran informasi.

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dibutuhkan data informasi yang berkaitan dengan karakteristik geomorfologi dan hidroorologi kawasan serta akibat yang mungkin timbul dari kegiatan budidaya yang tidak berwawasan lingkungan. Data dan informasi tersebut pada umumnya dimiliki oleh instansi pemerintah, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi, namun demikian pemanfaatan data dan informasi tersebut masih sangat terbatas untuk kegiatan penelitian dan perumusan kebijakan. Sementara masyarakat yang secara langsung mengelola kawasan rawan bencana longsor belum mendapatkan data dan informasi yang memadai.

Agar data dan informasi tersebut dapat secara efektif dalam menumbuhkan dan meningkatkan pemahaman masyarakat, perlu dilakukan upaya penyederhanaan metoda penyampaian, baik terkait dengan cara maupun bahasa penyampaiannta.

III. KEBIJAKAN BIDANG PENATAAN RUANG DALAM PENGELOLAAN KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

Penataan ruang dapat dipandang sebagai sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Pengertian ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan sudah tentu mengandung pengertian ruang yang bebas dari ancaman bencana, termasuk bencana longsor. Oleh sebab itu dalam setiap tahap penataan ruang (yang terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemannfaatan ruang), harus diperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan. Hal tersebut secara garis besar telah ditetapkan sebagai kebijakan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Selain berfungsi sebagai arahan lokasi investasi di wilayah, RTRWN juga berfungsi sebagai pedoman bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelenggaraan penataan ruang di wilayahnya. Dengan demikian, kebijakan dan strategi terkait pengelolaan kawasan rawan bencana longsor yang temuat dalam RTRWN juga berlaku dalam konteks penataan ruang di daerah. Pada saat ini RTRWN yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tengah dalam proses revisi. Pada bagian ini akan disampaikan pokok-pokok kebijakan dan strategi terkait dengan pengelolaan kawasan rawan bencana longsor yang telah disepakati sebagai substansi RTRWN hasil revisi, yang merupakan penajaman dari substansi PP 47/1997.

Dalam RTRWN ditetapkan kawasan-kawasan lindung yang memiliki nilai strategis nasional atau yang menurut peraturan perundang-undangan penetapannya merupakan kewenangan Pemerintah (pusat). Di antara berbagai jenis kawasan lindung yang ditetapkan terdapat kawasan rawan bencana geologi, yang di dalamnya termasuk kawasan rawan bencana longsor. Kawasan rawan bencana geologi ditetapkan berdasarkan kriteria berikut:

- kawasan yang memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi;

- kawasan rawan bencana gunung api;

- kawasan rawan gempa bumi dengan skala MMI VII – XII,

- zona patahan aktif;

- kawasan yang pernah atau berbakat mengalami terjadi tsunami;

- kawasan yang pernah atau berbakat mengalami abrasi;

- kawasan yang pernah dan atau berbakat mengalami aliran lahar; dan/atau

- kawasan yang pernah dan atau berbakat mengalami bahaya gas beracun.

Sebagai perbandingan, Prof. Dr. Azwar Maas mengemukakan bahwa kondisi dan situasi lahan yang berpotensi mudah longsor, baik secara tunggal, kombinasi, maupun interaksi adalah sebagai berikut7:

- lahan kurang stabil karena kemiringan lereng > 40%; dan

- tingkat perkembangan tanah telah “lanjut”, biasanya bertekstur halus (lempung kaolinitik), berwarna kuning kemerahan, tebal > 2 meter yang menopang di atas batuan induk; atau

- tanah yang menopang di atas batuan yang permukaan batuannya berlereng atau batuan induk yang padat/impermeable;

- tanah yang pernah mengalami longsor sebelumnya sehingga struktur dan agregasi tanahnya rusak (koluvial);

- tanah tereksploitasi secara berlebihan, misalnya diberi beban bangunan berat, dipadatkan, diteras/gulud dengan cara kurang bijak;

- tanah yang tererosi berat sehingga telah kehilangan lapisan tanah atasan yang kaya dengan bahan organik (sebagai pemantap/perekat tanah) karena tanah yang berada di bawah lapisan kaya bahan organik biasanya mudah terdispersi;

- pengalihan tata guna lahan, penjarahan hutan, pertanian intensif, tanpa penutup tanah karena setelah penjarahan hutan dapat terbentuknya ruang-ruang dalam tanah akibat pembusukan sistem perakaran pohon yang menampung air dan menyebabkan tanah dalam keadaan lewat jenuh

- tanah yang berkembang di atas sedimen marine/claystone, yang mempunyai potensi kembang dan kerut

Pada kawasan rawan bencana, pola pengelolaan kawasan dilakukan melalui pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana alam untuk melindungi manusia dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia. Tujuan dari pengaturan kegiatan manusia di kawasa rawan bencana longsor adalah mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung kawasan serta menghindari berbagai usaha dan/atau kegiatan di kawasan rawan bencana.

Selain kebijakan yang langsung terkait dengan pengelolaan kawasan rawan bencana, di dalam RTRWN juga dimuat kebijakan pengelolaan kawasan lindung secara luas, yang menunjang upaya pencegahan bencana longsor. Kebijakan tersebut adalah memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup yang dijabarkan ke dalam strategi berikut:

A. mempertahankan luas kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau pada tingkat sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya;

B. mewujudkan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup melalui perlindungan kawasan-kawasan di darat, laut, dan udara secara serasi dan selaras;

C. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.

IV. OPERASIONALISASI KEBIJAKAN BIDANG PENATAAN RUANG DALAM PENGELOLAAN KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

Kebijakan dalam RTRWN merupakan kebijakan yang bersifat makro, yang harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah operasionalisasi. Pada bagian ini akan diuraikan langkah-langkah operasionalisasi yang dibutuhkan dalam upaya pencegahan bencana longsor pada masing-masing tahap penataan ruang.

A. Perencanaan Tata Ruang

Berdasarkan pengertian dalam UU 24/1992 Tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang merupakan proses untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mencakup proses penyusunan rencana tata ruang dan proses penetapan rencana tata ruang. Rencana tata ruang setelah ditetapkan selanjutnya menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang dan pengendaliannya.

Rencana tata ruang berisi rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang adalah arahan pengembangan elemen-elemen pembentuk struktur ruang yang terdiri dari sistem pusat-pusat permukiman, sistem jaringan transportasi (darat, laut, udara), sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan prasarana sumber daya air yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Adapun rencana pola pemanfaatan ruang berisi arahan distribusi peruntukan ruang untuk berbagai kegiatan baik peruntukan ruang untuk fungsi lindung maupun fungsi budidaya.

Sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, rencana tata ruang memiliki fungsi yang sangat vital dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu rencana tata ruang harus disusun dengan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara proporsional, di samping mempertimbangkan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan pertahanan-keamanan. Terkait dengan upaya pencegahan bencana longsor, perencanaan tata ruang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Unit analisis mencakup satu kesatuan eco-region.

Sebagaimana diketahui, kinerja pembangunan di satu wilayah/kawasan tidak dapat dilepaskan dari wilayah/kawasan lainnya, mengingat adanya pola hubungan saling mempengaruhi antar wilayah/kawasan. Pencapaian hasil pembangunan di wilayah perencanaan akan sangat dipengaruhi oleh kinerja pencapaian hasil pembangunan di wilayah lain yang memiliki keterkaitan. Sebaliknya kinerja pencapaian hasil pembangunan di wilayah perencanaan juga akan mempengaruhi pencapaian hasil pembangunan di wilayah lainnya. Pola hubungan antar wilayah/kawasan tersebut tidak terbatas pada hasil-hasil pembangunan, tetapi juga pada dampak negatif yang ditimbulkan.

Adanya hubungan saling mempengaruhi tersebut harus diakomodasi dalam penyusunan rencana tata ruang, yakni dengan memperbesar unit analisis yang tidak terbatas pada wilayah perencanaan, tetapi mencakup wilayah di sekitarnya dalam satu eco-region. Dengan kata lain, perencanaan tata ruang harus dilakukan dengan pendekatan eco-region. Dengan pendekatan ini, suatu wilayah/kawasan dalam satu eco-region harus dipandang sebagai satu sistem interaksi yang komplementer antara ekosistem, tatanan budaya, dan potensi sumberdaya alam. Suatu wilayah/kawasan tidak lagi dipandang dari aspek struktural ruang dan pola pemanfaatannya, melainkan interaksi antara manusia dengan ruang (termasuk pola perilaku) dan sistem nilai penyangga kehidupan mereka8.

b. Perhitungan neraca lingkungan sebagai dasar alokasi pemanfaatan sumberdaya.

Agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan tanpa mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, perlu dilakukan penyusunan neraca lingkungan, yakni upaya untuk mengumpulkan data dan informasi tentang kondisi berbagai jenis sumberdaya alam yang terdapat di suatu daerah9. Berdasarkan neraca lingkungan tersebut, dilakukan perhitungan kebutuhan sumberdaya, sediaan sumberdaya, dan kemampuan pemulihan keseimbangan lingkungan hidup setelah intervensi manusia yang selanjutnya diterjemahkan dalam menetapkan lokasi pengembangan dan intensitas kegiatan budidaya dalam rencana pola pemanfaatan ruang.

Dalam penyusunan neraca lingkungan perlu diperhatikan prinsip bahwa pemanfaatan sumberdaya alam tidak hanya untuk kepentingan saat ini, namun juga kepentingan generasi yang akan datang. Di samping itu, harus disadari bahwa apabila pemanfaatan sumberdaya alam melebihi kemampuan pemulihan keseimbangan lingkungan akan berakibat pada ketidak-seimbangan ekosistem, sehingga menimbulkan gangguan alam (natural disturbance) dan kerusakan bentang alam (landscape damage). Gangguan alam dan kerusakan bentang alam selanjutnya akan mengakibatkan bencana seperti banjir dan tanah longsor.

c. Perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang nantinya tidak sampai melampau batas-batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan ekosistem.

Untuk mengetahui daya dukung lingkungan, diperlukan analisis yang mendalam terhadap berbagai aspek fisik, antara lain struktur batuan dan jenis tanah, kemiringan lahan, sistem tata air wilayah, serta pola tutupan vegetasi. Berdasarkan hasil analisis ini, wilayah perencanaan dapat digambarkan menurut potensi pengembangannya, termasuk kawasan-kawasan yang memiliki potensi terkena bencana longsor. Pada tahap ini, penguasaan teknologi berikut kemampuan aplikasinya juga dapat diperhitungkan mengingat teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan secara artifisial.

Contoh perhatian terhadap daya dukung lingkungan dalam perencanaan tata ruang adalah perhatian terhadap aspek geologi. Terkait dengan hal tersebut, dalam perencanaan tata ruang dikaji berbagai aspek geologi untuk mendapatkan data dan informasi tentang keadaan geomorfologi suatu daerah, potensi semberdaya air (tanah), potensi sumberdaya mineral dan energi, kemampuan tanah sebagai fondasi bangunan, serta berbagai bencana geologi seperti gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, dan gerakan tanah10.

d. Alokasi ruang yang sesuai antara jenis kegiatan dan karakteristik ruang/lokasi.

Hasil analisis neraca lingkungan, daya dukung lingkungan, dan daya tampung lingkungan merupakan landasan bagi perumusan alokasi ruang untuk berbagai jenis kegiatan masyarakat sesuai dengan potensi pengembangannya.

Pada kawasan-kawasan yang secara fisik harus dilindungi atau memberikan perlindungan terhadap bagian wilayah lain harus ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sebaliknya kegiatan-kegiatan yang bersifat intensif harus diletakkan pada lokasi yang aman dari ancaman bencana seperti tanah longsor, banjir, tsunami, dan sebagainya.

Khusus untuk kawasan rawan bencana longsor, pengaturan jenis dan intensitas kegiatan harus dilakukan secara sangat hati-hati. Pertama, hal ini dimaksudkan agar kegiatan yang akan dikembangkan tidak semakin meningkatkan potensi kejadian bencana longsor. Kedua, dimaksudkan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi apabila terjadi bencana longsor, baik kerugian harta benda milik masyarakat, lingkungan permukiman, prasarana dan sarana, maupun nyawa manusia.

Kawasan rawan bencana longsor pada umumnya merupakan kawasan dengan kemiringan curam dengan struktur batuan yang tidak stabil dan memiliki curah hujan tinggi. Pada kawasan seperti ini, apabila tidak ditetapkan sebagai kawasan lindung, jenis kegiatan yang sesuai adalah kegiatan kehutanan atau perkebunan dengan jenis tanaman yang memiliki perakaran kuat dan tajuk rimbun. Perakaran yang kuat berfungsi untuk menstabilkan tanah, sementara tajuk yang rimbun berfungsi untuk menahan air hujan agar mengalir secara perlahan dan tidak menggerus tanah.

e. Penyusunan rencana detail tata ruang untuk operasionalisasi rencana umum.

Secara administratif, rencana tata ruang disusun secara berhirarki mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Rencana-rencana tersebut adalah rencana yang bersifat umum yang pada umumnya memerlukan perencanaan yang lebih rinci untuk operasionalisasinya.

Penyusunan rencana detail tata ruang didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain dalam rangka pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, revitalisasi kawasan pusat kota, pengembangan kawasan permukiman skala besar, dan sebagainya. Serupa dengan itu, pada kawasan-kawasan rawan bencana longsor juga perlu disusun rencana detail tata ruang yang didasarkan pada pertimbangan penyelamatan lingkungan dari ancaman bencana. Dalam rencana detail tata ruang kawasan rawan bencana longsor, arahan pengembangan kegiatan budidaya dibatasi pada kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kawasan. Selain itu, rencana detail tata ruang juga memuat arahan pembangunan infrastruktur pencegahan bencana seperti bendungan, dinding penahan gerakan tanah, dan sebagainya.

f. Konsistensi antar-tingkatan rencana

Sebagaimana dikemukakan di atas, rencana tata ruang disusun secara berhirarki berhirarki mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Di samping untuk mengarahkan pemanfaatan ruang dan pengendalian pada lingkup wilayah perencanaan, rencana tata ruang yang disusun oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi merupakan pedoman bagi penyelenggaraan penataan ruang di tingkat pemerintahan yang lebih rendah, termasuk dalam penyusunan rencana tata ruang.

Dilihat dari substansinya, RTRWN berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang memiliki nilai strategis nasional (sistem nasional). RTRWP berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan sistem provinsi dengan memperhatikan sistem nasional yang ditetapkan dalam RTRWN. Sementara RTRWK berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang di wilayahnya dengan memperhatikan hal-hal yang telah diatur dalam rencana tata ruang pada hirarki di atasnya.

Mengingat tujuan akhir dari penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional secara merata di seluruh wilayah Indonesia, diperlukan konsistensi pengaturan antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK. Terkait dengan pengelolaan kawasan rawan bencana longsor, rencana tata ruang di semua tingkatan harus memuat aturan yang konsisten terkait dengan kriteria dan penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan rawan bencana longsor. Agar konsistensi rencana tata ruang antar-tingkat pemerintahan dapat diwujudkan diperlukan:

- dialog yang intensif dalam proses penyusunan rencana tata ruang;

- kepatuhan tingkat pemerintahan yang lebih rendah terhadap ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam rencana tata ruang di atasnya.

g. Keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyusunan rencana tata ruang.

Rencana tata ruang adalah pedo,am nagi seluruh pemangku kepentingan dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karenanya, efektivitas implementasi rencana sangat ditentukan oleh komitmen para pemangku kepentingan terhadap ketentuan-ketentuan rencana tata ruang.

Untuk meningkatkan komitmen, perlu ditumbuhkan perasaan “memiliki” rencana tata ruang di antara para pemangku kepentingan melalui pemberian peran aktif dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Dengan demikian rencana tata ruang akan merupakan “dokumen kesepakatan” antar-pemangku kepentingan. Selanjutnya para pemangku kepentingan diharapkan akan lebih peduli terhadap upaya-upaya perwujudan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Pada gilirannya struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang terbentuk merupakan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan dan mampu melindungi masyarakat beserta kegiatannya dari ancaman bencana longsor.

B. Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Dengan asumsi bahwa perencanaan tata ruang telah meletakkan landasan bagi pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, upaya-upaya yang harus diterapkan pada tahap pemanfaatan ruang sebagai upaya pencegahan bencana longsor adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan kepatuhan terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Sebagaimana telah dijelaskan, rencana tata ruang merupakan pedoman dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pada tahap ini pemangku kepentingan dituntut untuk secara konsisten mengikuti ketentuan-ketentuan yang tertera dalam rencana tata ruang, baik ketentuan yang berkenaan dengan lokasi kegiatan, besaran kegiatan, dan pola-pola pengelolaan kegiatan.

b. Penerapan pola pengelolaan kegiatan yang berwawasan lingkungan.

Keberhasilan upaya pelestarian lingkungan hidup tidak berhenti pada perencanaan tata ruang dan penetapan jenis kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kawasan. Upaya ini juga dipengaruhi oleh pola pengelolaan yang diterapkan pada setiap jenis kegiatan. Terkait dengan pola pengelolaan, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah skala produksi dan teknologi yang dipergunakan.

Skala produksi kegiatan budidaya yang ditetapkan di kawasan rawan bencana longsor harus sesuai dengan kemampuan lingkungan dalam mentolerir dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan budidaya. Pada kawasan rawan bencana longsor, skala produksi hendaknya ditetapkan rendah dan memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan ruang terbuka hijau dengan jenis vegetasi yang sesuai.

Sementara itu teknologi yang dipergunakan harus mampu melindungi masyarakat dan lingkungan hidup dari ancaman bencana longsor. Teknik penambangan sederhana (terbuka tanpa dukungan struktur bangunan yang kokoh), sebagaimana diterapkan pada kegiatan pertambangan rakyat, sebagai contoh, bukan merupakan pilihan yang tepat pada kawasan rawan bencana longsor.

c. Penerapan rekayasa perlindungan kawasan dari ancaman bencana longsor.

Mengingat karakteristik kawasannya, pada sebagian kawasan rawan bencana longsor memerlukan rekayasa untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan dari ancaman bencana longsor. Rakayasa ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni hard engineering dan soft engineering.

Hard engineering adalah pembangunan struktur buatan seperti tembok penahan gerakan tanah (retaining wall), saluran drainase untuk mengurangi tingkat kejenuhan air dalam tanah, terasering lahan untuk mengurangi erosi tanah, dan sebagainya.

Sementara soft engineering adalah upaya-upaya untuk merekayasa pola pikir masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pemanfaatan ruang. Upaya ini antara lain dapat dilakukan melalui penyuluhan, penyebarluasan informasi, pelatihan, dan sebagainya.

d. Rehabilitasi lingkungan hidup

Rehabilitasi lingkungan hidup adalah upaya unmtuk memperbaiki dan atau memanfaatkan kembali sumberdaya alam yang telah mengalami kerusakan dan atau mengalami penurunan fungsi ekologis akibat suatu kegiatan yang tidak berwawasan lingkungan. Untuk meminimalkan potensi kejadian bencana longsor, sejalan dengan upaya mendorong pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan juga perlu dilakukan rehabilitasi terhadap lingkungan hidup yang telah rusak atau mengalami penurunan kualitas akibat pemanfaatan ruang yang terjadi sebelumnya.

C. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk megarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui peraturan zonasi, perizinan, pemantauan, evaluasi, dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.

Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang harus dan tidak boleh dilaksanakan pada suatu zona pemanfaatan ruang yang dapat berupa ketentuan tentang bangunan, penyediaan sarana dan prasarana, permukiman, dan ketentuan lain yang dibutuhkan dalam mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi bukan merupakan hal baru, karena dalam selama ini kita telah mengenal adanya ketentuan mengenai Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Garis Sempadan Jalan (GSJ), ketentuan penyediaan lahan parkir, dan berbagai ketentuan lain yang diterapkan pada suatu zona peruntukan. Ketentuan-ketentuan tersebut disusun dalam rangka menjamin agar pemanfaatan ruang yang berkembang tetap memenuhi ketentuan-ketentuan dalam rencana tata ruang.

Perizinan adalah proses memberi atau menolak permohonan pemanfaatan ruang berdasarkan kesesuaiannya dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dalam hal ini izin pemanfaatan ruang hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pemantauan dan evaluasi adalah proses untuk mengamati dan memeriksa kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang dilaksanakan secara terus menerus. Dalam hal hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya pelanggaran rencana tata ruang, maka pemerintah harus mengambil langkah penyelesaian berupa tindakan memeriksa kebenaran indikasi tersebut dan, apabila indikasi tersebut terbukti benar, mengambil langkah penertiban yang diperlukan.

Penertiban merupakan tindakan nyata memberikan sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang terjadi yang dimaksudkan sebagai tindakan agar pemanfaatan ruang yang direnanakan dapat terwujud. Pemberian sanksi tersebut dapat berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan sementara, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin, penolakan atau pembatalan izin, pembongkaran bangunan, dan/atau pemulihan fungsi ruang, yang diberikan berdasarkan bobot pelanggaran yang terjadi.

Di samping itu, sebagaimana telah disampaikan di atas, dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang dikembangkan perangkat insentif dan disinsentif yang diterapkan dengan tetap memperhatikan hak penduduk sebagai warga negara. Perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan dengan tujuan rencana tata ruang. Beberapa contoh perangkat insentif yang dapat diterapkan antara lain adalah:

- di bidang ekonomi melalui tatacara pemberian kompensasi, imbalan, dan tatacara penyelenggaraan sewa ruang atau urun saham;

- di bidang fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum, telepon, dan sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai dengan rencana tata ruang.

Dalam rangka pencegahan bencana longsor, upaya-upaya yang harus mendapat perhatian dalam tahap pengendalian pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut:

a. Penetapan dan penerapan peraturan zona (zoning regulation)

Sebagaimana telah disampaikan peraturan zona adalah ketentuan yang memuat hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemanfaat ruang pada setiap peruntukan (guna lahan) yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Untuk kawasan rawan bencana longsor, peraturan zonasi hendaknya memuat berbagai ketentuan yang dimaksudkan untuk mengurangi potensi kejadian longsor yang juga merupakan pedoman dalam mewujudkan baku mutu lingkungan. Beberapa ketentuan yang hendaknya diatur dalam peraturan zona antara lain adalah:

- Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang rendah sehingga dapat diwujudkan ruang terbuka hijau yang memadai;

- Kewajiban untuk mengembangkan vegetasi dengan perakaran yang kuat dan tajuk yang rimbun sebagai kontrol terhadap faktor-faktor penyebab bencana longsor;

- Kewajiban untuk mengembangkan sistem drainase untuk mengurangi tingkat kejenuhan air dalam tanah;

- Kewajiban untuk membangun struktur (bangunan) yang berfungsi untuk menahan gerakan tanah (retaining wall).

- Kewajiban untuk mengembangkan piranti pemantauan gerakan tanah.

Untuk kegiatan-kegiatan yang memerlukan izin, berbagai ketentuan dalam peraturan zona tersebut selanjutnya disertakan sebagai ketentuan perizinan yang harus dipatuhi pemegang izin. Dalam hal pemegang izin melanggar ketentuan tersebut, harus dilakukan penertiban termasuk pencabutan izin yang telah diberikan dan pengenaan kewajiban untuk mengembalikan fungsi ruang.

b. Penerbitan izin pemanfaatan ruang secara selektif

Pada dasarnya setiap pemenfaatan ruang harus sesuai dengan rencana tata ruang. Untuk itu dikembangkan mekanisme perizinan yang berfungsi untuk memeriksa apakah kegiatan pemanfaatan ruang yang akan dikembangkan sesuai dengan rencana tata ruang atau tidak.

Mekanisme perizinan pada kawasan rawan bencana longsor harus dilaksanaan secara hati-hati, mengingat tidak semua kegiatan pemanfaatan ruang dapat dikembangkan di kawasan rawan bencana longsor. Sementara itu, kegiatan yang dimungkinkan untuk dikembangkan pun harus dikelola dengan pola pengelolaan yang tepat agar tidak meningkatpan potensi bencana longsor.

Perlu ditegaskan bahwa di kawasan rawan bencana longsor aspek-aspek lingkungan hidup hendaknya lebih mewarnai pertimbangan pemberian izin, daripada aspek ekonomi.

c. Pengenaan sanksi secara tegas dan konsisten terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang.

Agar ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dapat diwujudkan, rencana tata ruang yang telah disusun dengan visi lingkungan hidup harus diterapkan secara konsisten oleh seluruh pemanfaat ruang. Namun pada kenyataannya, saat ini banyak terdapat pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis lain yang dipersyaratkan. Banyaknya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang disebabkan antara lain oleh tidak tegas dan konsistennya penerapan sanksi.

Pelanggaran pemanfaatan ruang pada umumnya terjadi dalam intensitas yang rendah, dalam arti hanya dilakukan oleh satu orang dan mencakup luasan yang sempit. Sekilas, pelanggaran ini tidak berdampak terhadap lingkungan sehingga sebagian pihak menganggap tidak perlu dilakukan penertiban. Namun harus disadari, tidak adanya tindakan pengenaaan sanksi akan menjadi preseden dan memicu terjadinya pelanggaran serupa. Pada akhirnya pelanggaran pemanfaatan ruang yang terjadi akan


mencakup kawasan yang luas dan memiliki dampak negatif yang sangat signifikan terhadap lingkungan hidup.

Untuk kawasan rawan bencana longsor, ketidak-tegasan dan inkonsistensi pengenaan sanksi akan semakin meningkatkan potensi kejadian bencana longsor. Oleh karena itu, pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk melakukan penertiban dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang harus dapat bersikap lebih tegas dan tidak memberikan toleransi kepada pihak-pihak yang secara nyata telah melanggar ketentuan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan.

d. Penerapan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor.

Mekanisme insentif dan disinsentif dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang dan untuk mengurangi atau mencegah timbulnya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Mekanisme ini dipandang sangat relevan untuk diterapkan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor, misalnya:

- pembatasan pengembangan prasarana dan sarana umum di kawasan rawan bencana longsor;

- pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang dikembangkan di kawasan rawan bencana longsor;

- pengenaan kewajiban kepada pemanfaat ruang di kawasan rawan bencana longsor untuk terlebih dahulu meningkatkan kontrol terhadap faktor penyebab longsor (penghijauan, pembangunan retaining wall, dsb.) dalam cakupan yang lebih luas daripada lahan yang dikuasai;

- pemberian preferensi kepada pemanfaat ruang yang bersedia untuk membebaskan dan menghutankan lahan di kawasan rawan bencana longsor.

Dengan berbagai mekanisme insentif dan disinsentif tersebut, diharapkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor dapat lebih ditingkatkan.

V. PENUTUP

Dari berbagai uraian di atas, diperlukan perhatian sebagai berikut:

1. Dilihat dari sudut pandang penataan ruang, salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai dalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Upaya pencapaian tujuan tersebut dirasakan masih menghadapi berbagai tantangan, terkait dengan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi seperti semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, dan sebagainya.

2. Bencana longsor akhir-akhir ini mendapat perhatian besar sehubungan dengan berbagai kejadian yang menimbulkan kerugian besar berupa korban meninggal, kerusakan lingkungan permukiman, hilangnya harta benda masyarakat, serta kerusakan sarana dan prasarana penunjang kehidupan manusia dan aktivitasnya. Hal ini telah menyadarkan kita semua akan perlunya reposisi perilaku manusia dalam mengelola lingkungan hidupnya.

3. Meningkatnya frekuensi kejadian bencana longsor tidak dapat dilepaskan dari isu strategis yang berkembang saat ini, antara lain:

a. Tingginya alih fungsi lahan berfungsi lindung yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup.

b. Maraknya pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan, baik dilihat dari jenis maupun intensitasnya, sehingga dampaknya tidak dapat ditolerir oleh lingkungan hidup atau melampaui daya dukung lingkungannya.

c. Banyak terdapat penerapan pola pengelolaan kegiatan di kawasan rawan bencana longsor yang tidak menunjang upaya konservasi lingkungan hidup, yang dipengaruhi oleh faktor kesadaran masyarakat dan skala ekonomi kegiatan.

d. Kurangnya penyebarluasan informasi tentang faktor penyebab, potensi kejadian, dan akibat yang ditimbulkan oleh bencana longsor ke seluruh lapisan masyarakat yang secara langsung mengelola kawasan-kawasan rawan bencana longsor.

4. RTRWN, sebagai pedoman spasial pelaksanaan pembangunan, telah memuat kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan rawan bencana longsor, yang harus ditindaklanjuti dengan tindakan nyata dari seluruh pemangku kepentingan.

5. Kebijakan dalam RTRWN masih perlu diterjemahkan ke dalam langkah-langkah operasionalisasi sebagai berikut

a. Tahap perencanaan tata ruang

- analisis dalam rangka perencanaan tidak dibatasi pada wilayah perencanaan saja, namun mencakup wilayah yang lebih luas hingga mencakup satu kesatuan eco-region;

- dilakukan perhitungan neraca lingkungan sebagai dasar alokasi pemanfaatan ruang;

- perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan;

- alokasi ruang yang sesuai antara jenis kegiatan dan karakteristik ruang/ lokasi;

- penyusunan rencana detail sebagai operasionalisasi rencana tata ruang yang bersifat umum;

- konsistensi substansi pengaturan antar tingkat rencana, mulai dari RTRWN, RTRWP, hingga RTRWK;

- keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses perencanaan tata ruang.

b. Tahap pemanfaatan ruang:

- peningkatan kepatuhan pemangku kepentingan terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

- penerapan pola pengelolaan kegiatan yang berwawasan lingkungan;

- penerapan rekayasa perlindungan kawasan dari ancaman bencana longsor;

- rehabilitasi lingkungan hidup untuk mengembalikan kualitas lingkungan yang mengalami penurunan akibat pemanfaatan ruang sejalan dengan upaya mendorong pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan.

c. Tahap pengendalian pemanfaatan ruang:

- penetapan dan penerapan peraturan zonasi (zoning regulation);

- penerbitan izin pemanfaatan ruang secara selektif;

- pengenaan sanksi secara tegas dan konsisten terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang;

- penerapan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana longsor.

Untuk jangka pendek, aspek peningkatan pengendalian pemanfaatan ruang menjadi prioritas, untuk menertibkan sekaligus mencegah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dardak. A. Hermanto, Revitalisasi Penataan Ruang Untuk Mewujudkan Ruang Nusantara yang Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan, dalam Pattimura. Luthfi (editor), Penataan Ruang Untuk Kesejahteraan Masyarakat: Khazanah Pemikiran Para Pakar, Birokrat, dan Praktisi, LSKPI Press, Jakarta, 2005.

2. Djakapermana. Ruchyat Deni, Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Sebagai Dasar Pemanfaatan Lahan Dalam Pengembangan Pertanian, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Teknis Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian, Yogyakarta, 22 – 25 November 2005.

3. Djoekardi. Arie D.D., Pengawasan Implementasi Tata Ruang Berbasis Ekosistem, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Revitalisasi Tata Ruang Dalam Rangka Pengendalian Bencana Longsor dan Banjir, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Yogyakarta, 28 Februari – 1 Maret 2006.

4. Maas. Azwar, Bencana Longsor dan Banjir Bandang, Artikel dimuat di Harian Kompas , 2 Februari 2006.

5. Rajiyowiryono. Hardoyo, Kebijakan Strategis Pengelolaan Sumberdaya Alam Daerah Rawan Bencana, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Revitalisasi Tata Ruang Dalam Rangka Pengendalian Bencana Longsor dan Banjir, Kementerian Negara ingkungan Hidup, Yogyakarta, 28 Februari – 1 Maret 2006.

6. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

7. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

8. Departemen Pekerjaan Umum. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang, Jakarta, 2005.

9. Departemen Pekerjaan Umum. Naskah Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.


22

Tidak ada komentar: