Jumat, 21 Desember 2007

BUBARKAN WTO

AKSI ANTI WTO

DI JAWA BARAT

WTO dan Sejarahnya

(World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia yang dibentuk pada 15 April 1994 di Marakesh, Maroko. Terbentuknya WTO adalah kelanjutan dari Uruguay Around dimana Indonesia termasuk salah satu negara pendiri organsiasi ini. Beranggotakan 146 negara, WTO berfungsi mengatur dan mengawasi pelaksanaan lalu lintas perdagangan internasional dengan kesepakatan-kesepakatan yang bersifat mengikat terhadap negara anggotanya. Sebelumnya sekitar setengah abad yang lalu tepatnya sejak tahun 1948, telah ada forum yang disebut General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan yang memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dengan tujuan untuk menurunkan biaya dalam proses ekspor dan impor. GATT didirikan untuk mengurangi hambatan yang ada dalam perdagangan, baik hambatan bea masuk (tariff bariier) maupun hambatan lainnya (non-tarrif barrier). Putaran Perundingan ke-8 Uruguay (Uruguay Roud) yang diselenggarakan dari bulan September1986 hingga bulan April 1994 kemudian menghasilkan WTO.

WTO hadir sebetulnya hanya untuk melayani kelancaran saluran pasar dan saluran investasi negara-negara imperialis. Situasi yang demikian lahir oleh karena dunia telah memasuki babak baru dari tingkat tertinggi perkembangan kapitalisme, yaitu kapitalisme monopoli atau imperialisme. Setelah abad ke 20, monopoli mendominasi segi-segi ekonomi dan politik. Hal tersebut lahir dari kesuksesan beberapa gelintitir kapitalis monopoli dalam memenangkan persaingan bebas dan penumpukan modal. Dengan demikian monopoli telah menggantikan persaingan bebas dan mendominasi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Walaupun disebutkan bahwa WTO dibutuhkan untuk mengatur mekanisme perdagangan internasional secara adil menurut mekanisme pasar, tetapi ternyata WTO dijadikan alat oleh negara-negara kaya dan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengamankan kepentingan bisnisnya, dengan membuat kesepakatan-kesepakatan yang merugikan negara-negara miskin.

WTO sebenarnya adalah dari usaha kapitalisme monopoli internasional untuk semakin memperluas ekspansi dan akumulasi modalnya dengan sasaran membuka akses dan monopoli pasar di negara-negara miskin termasuk Indonesia. Ekspansi modal merupakan cara untuk menjawab krisis ekonomi di dalam negeri mereka. Untuk mempermudah ekspansi dan akumulasi tersebut, maka hambatan-hambatan dalam proses perluasan usaha dan perdagangan haruslah dihapuskan. Hambatan tersebut adalah peranan pemerintah suatu negara yang dianggap terlalu dominan seperti kepemilikan pemerintah terhadap industri, proteksi terhadap produksi pertanian dalam negeri, pemberian insentif terhadap industri dalam negeri, subsidi untuk kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat, pelayanan sosial pemerintah terhadap rakyat, dan biaya masuk yang tinggi untuk barang impor. Intinya, semua pertimbangan-pertimbangan perlidungan dan pelayanan harus dihapus, dan digantikan dengan “keuntungan apa yang bisa didapat” dengan tidak mempedulikan nasib kaum buruh, lingkungan, perempuan, kemiskinan, pengangguran dan hak-hak rakyat di suatu negara.

Dengan mekanisme perundingan dimana posisi negara-negara kaya seperti Amerika dan Uni Eropa sangat dominan, negara – negara misikin tidaklah mempunyai posisi daya tawar dalam forum tersebut, malah menjadi bulan-bulanan dengan berbagai mekanisme perundingan yang tidak menguntungkan. Misalnya salah satu dalam prinsip perundingan WTO adalah MFN (Most-Favoured Nation) dimana suatu negara ‘dipaksa’ untuk memberi perlakuan yang istimewa terhadap negara lain yang ingin berdagang. Suatu negara harus meratifikasi kesepakatan dalam perundingan WTO dengan tanpa kecuali. Bila mereka tidak ikut dalam negosiasi atau ratifikasi, resikonya mereka diharuskan menerima hasil keputusan tanpa mempunyai hak suara atau pendapat. Indonesia sendiri mulai megikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” , maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional.

Sejak berlaku di 1 Januari 1995, WTO telah melakukan beberapa kali pertemuan Konperensi Tingkat Menteri (KTM) yang merupakan forum pengambil kebijakan tertinggi dalam WTO. KTM-WTO pertama kali diselenggarakan di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, ketiga di Seatlle tahun 1999 dan KTM keempat di Doha, Qatar tahun 2001. Sementara itu KTM kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003. Dalam KTM terakhir di Mexico, terjadi perundingan yang sangat alot, yang kemudian akan diselesaikan pada Konferensi Tingkat Menteri yang keenam di Hongkong, 13-18 Desember 2005 ini.

Apa dampak WTO bagi rakyat Indonesia?

Jelas tidak ada, malah semakin merugikan! Materi – materi perundingan WTO seperti liberalisasi perdagangan jasa (General Agreement on Trade Services-GATS), hak kepemilikan intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Properties-TRIPs), Perdagangan barang (General Agreement on Tariff and Trade-GATT), Persetujuan di bidang Pertanian (Agreement of Agriculture-AoA), dan mekanisme penyelesaian sengketa (Dispute Settlement) seluruhnya diarahkan pada kepentingan-kepentingan pencaplokan dan monopoli produksi dan pasar dalam negeri oleh perusahaan multinasional asing

Liberalisasi perdagangan di sektor jasa atau GATS (General Agreement On Trade Services) telah mengalihkan tanggungjawab negara dalam pelayanan terhadap rakyatnya. Tanggungjawab negara dalam melayani kebutuhan rakyatnya kemudian diambil alih oleh sektor swasta yang berorientasi kepada untung-rugi. Pengalaman liberalisasi serta privatisasi sektor jasa selama ini telah membuat masyarakat kehilangan pekerjaan, ketidakamanan di tempat kerja, pembatasan hak-hak pekerja, penurunan pendapatan dan peningkatan fleksibilitas tuntutan kerja. Salah satu yang dimasukkan dalam kesepakatan GATS ini adalah sektor pendidikan.

Saat ini ada tiga negara yang menjadi eksportir jasa pendidikan yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris dan Australia. Negara-negara inilah yang akan paling diuntungkan dalam liberalisasi jasa pendidikan. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $14 milyar. Di Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut. Demikian juga dengan Australia, yang pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar. Tidak mengherankan jika tiga negara tersebut saat ini amat getol menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO. Charlene Barshefsky, wakil industri dan seorang Delegasi Perdagangan Amerika Serikat (US Trade Representative / USTR,) adalah yang pertama meminta agar pendidikan dimasukkan dalam perjanjian WTO.

Dalam pertemuan antar negara-negara anggota WTO di Jenewa pada bulan Desember 2004, Indonesia merupakan salah satu negara yang antusias menyambut dalam merespon liberalisasi perdagangan jasa pendidikan. Dalam pertemuan di Jenewa tersebut Indonesia telah melakukan initial request (permintaan pembukaan sektor-sektor jasa di negara lain) dan initial offer (penyerahan sektor-sektor di dalam negeri untuk dibuka atau diperdalam komitmennya bagi pemasok asing) kepada negara-negara anggota WTO lainnya.

Dengan dimasukkannya pendidikan dalam GATS maka comersialisasi sekolah dan perguruan tinggi menjadi semakin menjadi-jadi. Liberalisasi pendidikan yang sebelumnya didorong karena tidak bertanggungjawabnya negara dalam membiayai pendidikan, membuat banyak kampus negeri menjadi BUMN, sehingga mahasiswa harus menanggung biaya kuliah yang tiap tahun selalu naik. Perguruaan Tinggi bukan lagi menjadi pelayanan publik untuk meningkatkan kecerdasan bangsa sebagaimana yang telah diatur dalam Konstitusi RI, namun telah berubah menjadi institusi pendidikan yang berorientasi untuk mencari profit atau laba. Dengan demikian maka akan semakin bertambah lulusan-lulusan SMA yang tidak bisa mengakses Perguruan Tinggi. Saat ini saja lulusan SMA yang bisa duduk di Peguruan Tinggi hanya 10 persen dari total lulusan SMA, maka dengan naiknya biaya kuliah maka dimungkin kan sekali angka tersebut akan semakin mengecil.

Pendidikan sebagai upaya negara untuk mencerdaskan dan meningkatkan taraf pengetahuan untuk kesejahteraan rakyat, telah berubah menjadi proses jual beli (bisnis) yang menguntungkan. Dengan kesepakatan GATS, maka lembaga–lembaga pendidikan asing yang berorientasi keuntungan akan dengan mudah membuka cabangnya di Indonesia. Kondisi ini memaksa tutupya sejumlah sekolah dan perguruan tinggi dalam negeri akibat tak mampu untuk bersaing dan kekurangan peminat. Selain itu, liberalisasi penyelenggaraan pendidikan kemudian menyingkirkan tanggungjawab negara terhadap pendidikan. Dengan jalan privatisasi lembaga pendidikan negeri, pencabutan subsidi pendidikan, anggaran pendidikan yang tidak pernah mencapai 20% (sesuai dengan mandat UUD 1945), pemerintah secara sistematis meminggirkan akses rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan karena pendidikan yang semakin hari semakin mahal. Terakhir, di bawah rezim Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla (SBY-JK), pemerintah akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang semakin melegalkan skema komersialisasi pendidikan.

Selain di sektor jasa, WTO juga akan membahas kesepakatan di bidang pertanian, atau yang dikenal dengan Agreement of Agriculture (AoA). Kesepakatan AoA akan berdampak pada berkurangnya subsidi untuk petani sementara subsidi adalah hak tiap negara untuk aplikasinya dalam sistem internasional dan kewajiban negara kepada rakyatnya. Hal ini ditambah penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir tuan tanah, borjuis komprador dan perusahaan trans nasional raksasa. Yang paling klasik adalah pembukaan pasar yang berakibat pada banjir produk impor, dan ini merupakan hal yang fenomenal adalah Indonesia menjadi net importir beras semenjak tahun 1988. Saat ini, rezim SBY-Kalla telah mengimpor beras dari Vietnam, suatu kebijakan yang aneh mengingat produksi beras kita masih mencukupi.

Sementara persoalan dasar kaum tani yaitu kepemilikan atas sumber-sumber agraria, distribusi hasil pertanian secara adil tidak pernah diwujudkan. Pemerintah malah dengan bebalnya mengeluarkan Peraturan Presiden No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dimana dengan undang-undang ini semakin merajalalela praktik-praktik penggusuran terhadap tanah dan perumahan rakyat, baik itu di desa maupun di perkotaan. Ditambah lagi, penggusuran yang dilakukan selalu diikuti tindakan-tindakan represivitas terhadap rakyat yang mempertahankan tanahnya, seperti yang terjadi di Tanak Awu, Lombok, Kontu, Garut, Pangalengan, Subang, Wonosobo dan berbagai wilayah lain di Indonesia. Semakin jelas, rezim pemerintah yang berkuasa di Indonesia tetaplah menjadi kaki tangan kepentingan kaum pemilik modal asing.

Tidak hanya itu, kaum imperialis juga berusaha mencaplok hak atas pengetahuan yang dimiliki oleh rakyat di suatu negara melalui perjanjian dalam WTO yang disebut dengan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Properties). TRIPs atau hak paten atas kekayaan intelektual kemudian menghilangkan hak kepemilikan dan inovasi lokal karena yang boleh memilikinya adalah individu atau perusahaan, padahal banyak inovasi terjadi secara komunal sehingga pemiliknya adalah masyarakat secara kolektif. Apalagi 97 persen pemegang paten dunia berasal dari negara maju. Sehingga apabila diadakan perlindungan HaKI maka negara maju dan perusahaan multinasional yang akan mendapat keuntungan. Isu kesehatan juga mengemuka karena TRIPs cenderung membuka peluang pelanggaran hak dasar seluruh manusia untuk mengakses obat-obatan dan kesehatan secara gratis.

Inilah yang sedang terjadi. Globalisasi yang hakikatnya adalah skema imperialisme atau penjajahan gaya baru tengah dipraktikan secara kasar melalui agen-agennya, seperti WTO, IMF, CGI, World Bank, PBB, dan kaki tangan terpercaya dalam negeri, rezim pemerintahan komprador yang hakikatnya adalah tuan tanah dan borjuis besar komporador. Sampai akhir tahun 2000, WTO berhasil mengontrol lebih dari 150 perjanjian dagang regional mulai dari NAFTA, APEC samapi AFTA.Tidak ada kesempatan yang diberikan kepada rakyat di suatu negara untuk menentukan dan menikmati sumber daya alam dan hasil kerjanaya sendiri. Pasar bebas dimana terjadi persaingan secara egaliter ternyata hanya gembar-gembor belaka, yang ada justru terjadi pembagian wilayah koloni diantara para imperialis. Perusahaan Multinasional merupakan pihak yang paling diuntungkan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO. Hal ini dapat dilihat dari keuntungan yang diperolehnya skema liberalisasi. Sejak dua dasawarsa terakhir, mereka mampu menguasai sekitar 67% dari perdagangan dunia dan 75% investasi global. Saat ini penghasilan mereka telah setara dengan 28,3 % dari GDP dunia. Hasil keuntungan Wall Mart lebih besar dari GDP 161 negara, Mitsubishi lebih besar dari Indonesia, Toyota lebih besar dari Norwegia, dan apabila digabung, seluruh asset perusahaan multinasional tersebut lebih kaya dibandingkan dengan 182 negara dengan jumlah $10,4 bilion dan sales mereka lebih dari $800 bilion !

Sedangkan nasib rakyat di negara-negara miskin tetaplah harus hidup terhisap. PBB memperkirakan akses rakyat terhadap air bersih di Asia mustahil dapat tercapai pada tahun 2025, UNDP melaporkan sekitar 1,1 milyar orang kekurangan air dan 2,3 milyar orang menderita kekurangan sanitasi. Diperkirakan saat ini hampir 400 orang mati setiap hari karena kekurangan gizi, pengangguran massal akibat kematian industri dalam negeri makin menjadi yang menyebabkan hampir setengah penduduk dunia hidup dengan penghasilan di bawah 2 dollar sehari. Jurang pemisah antara miskin dan si kaya semakin melebar, di tahun 1998 saja jurang antaranya berbanding antara 74 dan 1. Angka ini terus meningkat seiring dengan krisis ekonomi yang terus mendera di negara-negara asia, afrika dan Amerika Selatan, yang hakikatnya adalah negara jajahan dan setengah jajahan.

Dengan berbagai dalih, kaum imperialis di bawah pimpinan Amerika Serikat terus berusaha untuk mengeksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja dan pasar di negara-negara miskin. Di Indonesia sendiri, akibat tekanan imperialis dalam forum CGI, WTO, Paris Club dan Letter of Intent IMF untuk meliberalisasi di berbagai sektor, rezim SBY-Kalla secara mantap melanjutkan kebijakan rezim-rezim sebelumnya untuk mencabut subsidi untuk rakyat di berbagai sektor. Yang paling terasa saat ini adalah dicabutnya subsidi Bahan Bakar Minyak. Dengan berbagai dalih, rezim ini secara perlahan tapi pasti menyebabkan kematian industri dalam negeri yang berdampak pada PHK massal (sekitar 1 juta buruh di Indonesia terancam terkena PHK akibat industri yang bangkrut), naiknya harga-harga dan kebutuhan pokok rakyat, inflasi yang meninggi (mencapai 18%), sempitnya lahan pekerjaan dan kebangkrutan ekonomi nasional. Janji untuk mengalihkan subsidi BBM kepada subsidi pendidikan, kesehatan, raskin dan bantuan tunai langsung bukannya menjawab persoalan, malah menambah persoalan baru dengan maraknya konflik horisontal di kalangan rakyat yang tidak pernah didata oleh Biro Pusat Statistik.

Ayo, bangkit dan bergerak melawan imperialisme dan kaki tangannya di dalam negeri !

WTO merupakan asosiasi luas yang didominasi oleh negara-negara imperialis. Sangat kecil kemungkinan delegasi Indonesia yang hadir di dalam pertemuan WTO bisa menjalankan politik bebas aktifnya secara utuh karena Indonesia sudah terikat dalam WTO dan keterikatannya tersebut dikukuhkan dalam bentuk Undang-Undang yang dibuat dimasa Orde Baru, sementara WTO mempunyai prinsip salah satunya adalah semua kebijakan dalam negeri tidak boleh bertentangan denghan kesepakatan WTO, Dengan demikian berarti Indonesia tidak boleh bertentangan dengan kepentingan-kepentingan Imperialis. Indonesia dalam posisi yang tidak bebas dalam menyuarakan kepentingan ekonomi dalam negerinya. Keadaan inilah yang membuat Indonesia tidak akan bisa melakukan proteksi menyangkut soal-soal perdagangan di dalam negerinya sendiri. Karena kedaulatan dan kemandirian Indonesia di dalam WTO sudah dilucuti melalui kesepakatan-kesepakatan yang tidak demokratis dibawah kepentingan negara-negara imperialis.

Pada akhirnya, WTO tidak lebih dari organisasi yang dibentuk oleh para imperialis untuk melanggengkan skema penjajahan gaya barunya. Seluruh agenda-agenda WTO harus ditolak, bahkan WTO sebagai organisasi tingkat internasional harus dibubarkan. Indonesia harus keluar dari keanggotaannya di WTO, karena tidak ada yang bisa diharapkan dari perundingan-perundingan WTO. Alasan bahwa kita memiliki peluang untuk mempertahankan kepentingan nasional dengan coba berunding, hanyalah angan-angan belaka karena nyatanya pertemuan WTO hanyalah formalistik, karena antara negeri-negeri imperialis beserta perusahaan multinasional tidak akan pernah memberikan sedikitpun keuntungan bagi rakyat Indonesia.

Selain itu anggapan bahwa globalisasi tidak untuk ditolak tetapi bagaimana kita mempersiapkan diri untuk bersaing secara sehat juga merupakan mimpi yang sengaja diciptakan untuk memanipulasi kesadaran. Bagaimana mungkin rakyat Indonesia bisa bersaing di tengah penjajahan dan monopoli yang terus dihadapinya? Bagaimana mungkin Universitas kita bisa bersaing dengan Oxford, Monash, harvard ditengah monopoli atas sumber-sumber pengetahuan? Dan, bagaimana mungkin mengharapkan rezim komprador ini mau untuk melawan tuannya sendiri, Amerika Serikat? Oleh karenanya, setiap aksi-aksi penolakan akan terus kita gelorakan, tidak hanya sebatas kampanye saja, tetapi juga menggagalkan setiap agenda imperialis di berbagai sektor, khususnya di sektor pendidikan. Kita akan terus menggagalkan semua agenda privatisasi pendidikan, pencabutan subsidi pendidikan, sekaligus mengajak sekutu seluas-luasnya untuk melawan imperialisme dan kaki tangannya di Indonesia.

Pada tanggal 13-18 Desember 2005 nanti di Hongkong akan digelar sidang KTM-WTO (Konferensi Tingkat Menteri-World Trade Organisation), sidangnya sebuah forum yang perdagangan yang mayoritas beranggotakan negara-negara berkembang namun kesepakatan-kesapakatan yang dibuat didalamnya sarat dengan kepentingan negara-negara imperialis, khususnya Amerika Serikat (AS). Untuk itu maka gerakan massa demokratis dan anti imperialis harus tampil dan terlibat aktif dalam perjuangan untuk membubarkan WTO sekaligus menentang rezim boneka imperialis, rezim SBY-JK.

Tidak ada pilihan lain jika Indonesia mau membebaskan dirinya dari cengkraman dominasi imperialis, maka Indonesia harus keluar dari WTO. Dan untuk menggalang solidaritas terhadap penderitaan rakyat diseluruh dunia yang terampas hak-hak dasarnya karena cengkeraman perdagangan yang tidak adil akibat ulah WTO maka sudah sepantasnya tuntutan Pembubaran WTO kita gelorakan. Namun demikian, kita sudah dapat mengetahui bagaimana karakter rezim yang berkuasa di Indonesia, SBY-JK. Rezim ini merupakan kaki tangan imperialis, rezim ini tunduk pada poltik dan ekonomi imperialis khususnya AS, sehingga kerbagai kebijakannya sangat menyengsarakn rakyat. Sangat kecil peluangnya tuntutan pembubaran WTO dan Indonesia keluar dari WTO akan dijalankan oleh rezim boneka SBY-JK. Untuk itu selain kita menggelorakan tuntutan pembubaran WTO dan Indonesia keluar dari WTO, maka sudah sepantasnya kita blejeti pula keburukan rezim SBY-JK agar semakin banyak rakyat Indonesia yang tidak lagi menaruh harapan besar terhadap rezim anti rakyat ini.

Tidak ada komentar: