Oleh : Dadang Sudardja
Ka. Divisi Advokasi&Kampanye WALHI JABAR
Pendahuluan
Peristiwa longsornya tebing Cimangkok yang dijadikan Galian Pasir/C dikampung Nyalindung, Desa Titisan,Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi,yang merenggut nyawa 4 orang pekerja, dan terkuburnya 4 orang anak di penggalian pasir Astanajapura Kabupaten Cirebon, baru – baru ini ki Cianjur telah menambah deretan panjang angka korban yang diakibatkan oleh kecelakaan penambangan.. Berdasarkan sumber dari masyarakat sekitar, sejak dibukanya penambangan galian pasir diwilayah Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi (tahun 1987 – 2007 ) korban yang meninggal dunia akibat kecelakaan penambangan sudah mencapai 50 orang.
Dari hasil investigasi ke berbagai tempat Galian Pasir di Jawa Barat (Purwakarta, Sumedang, Kuningan, Sukabumi, Cianjur, Kab. Bandung, Kab. Cirebon, Kab.Subang) pada umumnya para pengusaha dalam melakukan penambangan, telah mengabaikan unsur keselamatan kerja dan melanggar prosedur yang ditentukan. Pihak perusahaan tidak melengkapi sarana keselamatan kerja. Contohnya, misalnya pekerja tidak mempergunakan helm pelindung kepala, sarung tangan, dll. Sedangkan prosedur penggalian sama sekali diabaikan. Kedalaman galian rata rata melebih batas ambang yang diperbolehkan 6 – 7 meter. Sedangkan yang terjadi mencapai 25 – 30 meter.
Masuknya Pengusaha, Awal Dari Sebuah Petaka.
Dibeberapa tempat, praktek pengelolaan bahan galian C jenis Pasir dan Batu, sebenarnya sudah cukup lama dilakukan oleh masyarakat sekitar, dan menjadi usaha tradisional. Dalam pengelolaanya masyarakat hanya cukup dengan menggunakan cangkul, sekop, garpu, dan linggis sebagai alat untuk menambang. Dampak yang ditimbulkan pun dapat diminimalisir. Hal ini terlihat dari bekas galian yang sudah kembali subur, yang kemudian dijadikan sawah serta tanaman palawija lainnya. Tentu saja hal ini didasari oleh kearifan lokal, sehingga eksploitasi materiil yang berada disekitar daerah penambangan tidak menimbulkan perubahan yang dapat merusak ekosistem. Hal ini dapat terlihat disekitar bekas galian yang dijadikan sawah dan tanaman palawija oleh penduduk. Pola yang dilakukan oleh masyarakat pun mengalami perubahan, begitu para pemodal besar masuk. Kegiatan usaha ini mengalami pergeseran sistem pengelolaan, dari masyarakat ke pengusaha modal besar, seiring dengan terbitnya ijin dari Pemerintah kepada para pengusaha yang memiliki modal besar untuk melakukan kegiatan usaha penambangan di daerah. Masuknya perusahaan ke wilayah tersebut, tentu saja diiringi pula oleh masuknya alat alat berat,dan seperangkat alat modern lainnya. Cara penambanganpun berubah dan hasil yang dikeruk semakin banyak. Kegiatannya bukan lagi pake cangkul, sekop dan linggis, tetapi sudah mempergunakan Bachoe/ Alat berat. Situasi ini semakin mempercepat kerusakan lingkungan sekitarnya. Dari hasil investigasi yang dilakukan oleh penulis diberbagai tempat Galian C di Jawa Barat, sebagian besar perusahaanperusahaan tersebut telah mengabaikan ketentuan / prosedur penambangan, dan mengabaikan keselamatan kerja penambang. Tentu saja kesewenangwenangan ini semakin mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan sekitar. Ratusan hektar tanah subur yang sebetulnya dapat dijadikan sawah atau kebun palawija, kini menjelma menjadi lubanglubang besar yang kemudian menjadi danau. Kondisi ini bisa dilihat dibeberapa daerah, seperti; di Kecamatan Sukalarang Kabupaten Sukabumi. Gekbrong Cianjur, Daerah Rongga Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung yang telah menewaskan 12 orang meninggal dunia, dll. Korban terus bertambah, lingkunganpun semakin kritis dan mengancam keselamatan penduduk yang tidak jauh dari lokasi penambangan.
Mengancam kelestarian lingkungan dan keselamatan rakyat.
Penggalian pasir yang dilakukan secara terus menerus, berakibat buruk bagi kelangsungan lingkungan hidup dan masyarakat yang bermukim diwilayah sekitar kegiatan penambangan. Termasuk keselamatan jiwa. Tidak menutup kemungkinan, pemukiman penduduk yang lokasinya berdekatan, seperti di daerah Nyalindung Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi, bisa terseret oleh longsor apabila daerah sekitar penambangan mengalami pergerakan tanah.
Aktivitas usaha pertambangan pasir yang tidak sesuai dengan ketentuan, akan meninggalkan bentang alam yang rusak dan gersang,serta lubanglubang besar bekas galian. Perubahan lain yang akan terjadi adalah adanya perubahan alur sungai akibat tanah penutup yang merupakan lapisan tanah paling subur karena kandungan humusnya akan hilang disebabkan semakin banyak areal perbukitan gundul dan tanah gersang. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya longsoran tanah atau gerakan tanah, terutama pada daerah perbukitan yang curam atau sangat curam. Usaha ini juga beresiko jika terletak di derah resapan imbuhan air tanah (recharge area), dimana terdapat mata air dan air tanah disekitarnya atau jika bahan galian itu terdapat pada alur sungai yang merupakan salah satu sumber dalam alam yang berfungsi serbaguna.
Selain masalah lingkungan, usaha pertambangan Galian C berdampak pada kehidupan komunitas masyarakat di sekitar areal usaha pertambangan. Hak kepemilikan masyarakat lokal atas sumber daya alam (hak atas tanah dan hak untuk melakukan penambangan)mengalami pergeseran. Demikian pula halnya dengan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat sekitar, yang cenderung mengalami penurunan akibat debu hasil
pengolahan mesin gilingan pasir dan batu.
Kerentanan konflik juga mewarnai daerah yang dijadikan objek pengelolaan bahan galian jenis ini. Konflik vertikal antara Pemda dengan masyarakat hingga perusahaan, seolah tak terhindarkan. Demikian pula halnya konflik horisontal antara masyarakat yang pro dan kontra akan keberadaan perusahaan. Berdasarkan data yang diperoleh dilapangan, di Kecamatan Sukalarang, tidak kurang dari lima perusahaan yang melakukan kegiatan penambangan pasir, semuanya pernah mengalami konflik dengan masyarakat sekitar. Disaat bersamaan industri ini juga ”mengundang” datangnya pendatang baru dikawasan penambangan. Akibatnya masyarakat asli semakin terpinggirkan dan terancam basis produksi tradisionalnya, akibat hegemoni para pendatang. Permasalahan lain yang juga terjadi, seputar pembagian retribusi ke wilayah desa penghasil selaku pemilik aset dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan serta pajak ke pemda. Kontribusi dari usaha pertambangan terhadap pembangunan desa masih terhitung minim dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan dari hasil penjualan galian C.
Secara umum Galian C di Jawa Barat dalam kondisi kritis dan harus dilakukan audit lingkungan untuk mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan. Hak Atas Lingkungan Hidup yang Sehat, Adalah Hak Asasi Manusia. Keletastarian lingkungan dan hak hidup generasi yang akan datang, serta keselamatan rakyat harus menjadi prioritas dan tidak hanya sekedar demi PAD.
Bandung, 14 – 05 – 07
Dadang Sudardja
Kepala Divisi Advokasi&Kampanye WALHI JABAR
Contak Person: 081931220356
Tidak ada komentar:
Posting Komentar