Prof. Otto Pertanyakan PLTSa: Warga Tetap Tolak PembangunannyaPublished December 3rd, 2007 in Sorotan Utama and Regional.
Bandung, Pakar lingkungan hidup Prof. Dr. Otto Soemarwoto menilai ada ketidaktransparanan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kel. Rancanumpang Kec. Gedebage. Itu tersirat dari tulisan Otto yang mempertanyakan seputar PLTSa yang dibacakan warga dalam aksi menolak PLTSa di Kompleks Griya Cempaka Arum, Minggu (2/12). Unjuk rasa kemarin diikuti ribuan warga.
Otto berhalangan hadir sehingga menyerahkan tulisannya. Ia mempertanyakan tidak adanya studi pengelolaan risiko pencemaran dioksin dalam kerangka acuan projek itu. “PLTSa adalah pabrik yang mengolah sampah dan dikhawatirkan adanya zat pencemar dioksin dari mesin incinerator. Semua jenis mesin punya peluang mengalami gangguan,” tuturnya.
Gangguan dapat berupa kecelakaan yang menimbulkan peluang terjadinya pencemaran dioksin. “Kita ingat kecelakaan Bhopal. Risiko itu bisa juga terjadi di PLTSa. Dalam kerangka acuan, tidak disebutkan keharusan ada studi tentang pengelolaan risiko itu. Mengapa risiko itu tidak diteliti?” kata Otto sekaligus mempertanyakan jaminan mesin incinerator yang dibeli dari Cina.
Mengenai diolahnya sampah menjadi listrik, Otto mempertanyakan apakah sudah dilakukan kajian komparatif untung-rugi ekologi, ekonomi, dan sosialnya. Sebagian besar warga kota berpendapat, penyelesaian sampah hanya terlaksana dengan kombinasi berbagai teknologi (technology mix) yaitu pengelolaan di rumah tangga, pabrik pupuk kompos, dan penyadapan metan sebagai bahan bakar, serta pembangkit listrik. Namun, pemkot lebih memilih pembangkit listrik sebagai Projek Pembangunan Bersih (MPB). “Jika memang membangkitkan listrik, nanti listrik itu milik siapa? PT BRIL? PD Kebersihan?” ucapnya.
Otto tidak melihat dalam usulan PT BRIL tentang PLTSa, adanya fungsi membantu masyarakat dan pemkot. PD Kebersihan Kota Bandung harus memasok sampah 500 ton per hari dan membayar tipping fee kepada PT BRIL sebesar Rp 285.000,00/ton. Jika pasokan kurang dari 500 ton per hari, tipping fee tetap harus dibayar. Jika pembayaran terlambat, pemkot kena denda. “Bukan membantu, tapi membebani PD Kebersihan karena harus membayar tipping fee hingga Rp 4,275 miliar per bulan,” ucapnya.
Limbah B3
Pada kesempatan itu, Yuyun Ismawati, anggota GAIA (Global Alliance on Incinerator Alternatives/Global Anti-Incinerator Alliance) mengatakan, para pengambil keputusan sering terkecoh sektor industri yang mengagungkan insinerator. Selalu diuraikan, insinerator mengurangi volume sampah hingga 90%, bisa memperpanjang masa pakai TPA hingga 10 kali lipat. “Angka 90% mengacu pada perbandingan antara sampah yang masuk ke insinerator dan abu yang dihasilkan. Insinerator hanya mampu menghemat 60%-70% dan masa pakai bisa diperpanjang hanya 2,5 tahun-3 tahun. Bukan 10 tahun,” ujarnya.
Ia mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan peringatan bahaya keracunan dioksin kepada negara-negara berkembang yang telah dan akan memanfaatkan insinerator. Abu hasil pembakaran insinerator tergolong limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sehingga harus ditangani dengan tata cara penanganan limbah B3 (sesuai PP 85/1999 tentang Perubahan Atas PP No. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 tabel 2 kode limbah D241).
“Pekerja di instalasi ini, dan masyarakat sekitar justru yang paling menderita karena dampak pencemar yang terpapar ke rantai makanan akan meracuni mereka secara perlahan,” ujarnya.
Pikiran Rakyat(A-128)***
Jumat, 21 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar