BANDUNG, (PR).-
Masyarakat Jawa Barat kekurangan air 9 miliar m3/tahun saat kemarau. Pasalnya, potensi air di Jawa barat saat kemarau hanya 8 miliar m3/ tahun atau 47% saja dari kebutuhan ideal sebanyak 17 miliar m3/tahun. Akibatnya, tak heran kekeringan selalu mengganggu segala aspek kehidupan masyarakat yang berjumlah sekira 36 juta jiwa, terutama bidang pertanian dan pengadaan air bersih.
Koordinator Warga Peduli Lingkungan (WPL), Soenardi Yogantara, di Katapang, Minggu (1/8), mengatakan bahwa data itu diperoleh dari berbagai analisis yang berhasil dikumpulkan WPL. "Kekurangan air sebanyak 9 miliar m3/tahun itu terutama disebabkan lenyapnya hutan di Jawa Barat yang mengakibatkan 75% air hujan yang turun ke bumi mengalir ke laut tanpa termanfaatkan terlebih dahulu," katanya.
English Translation
The West Javanese community the lack of the water 9 billion m3/tahun during dry. His article, the potential for the water in West Java during dry only 8 billion m3/ the year or 47% from the ideal requirement totalling 17 billion m3/tahun. As a result, it is not surprising the drought always disrupted all the aspects of the life of the numbering community of approximately 36 million souls, especially the agricultural field and the clean procurement of the water.
The Citizen's co-ordinator cared about the Environment (WPL), Soenardi Yogantara, in Katapang, on Sunday (1/8), said that the data was received from various analyses that succeeded in being gathered WPL. the "Lack of the water totalling 9 billion m3/tahun that especially being caused by the disappearance of the forest in West Java that result in 75% the rain water that descended to the earth poured to sea without exploited before," he said.
Padahal, lanjut Yogantara, jika kelestarian hutan di Jawa Barat terjaga, masyarakat sepanjang tahun tak akan pernah kekurangan air. "Potensi air di Jawa Barat itu sebetulnya bisa mencapai 80 miliar m3/tahun. Namun, karena lahan kitis di Jabar mencapai 600 ribu ha, tak heran kekeringan dan kebanjiran selalu melanda dengan dahsyat setiap tahunnya," katanya.
Dikatakan Yogantara, hutan sebagai reservoir cadangan air sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga pengaruhnya terhadap flukutasi air sangat tinggi. "Tata guna air menjadi semrawut mengakibatkan para petani tidak mudah memprediksi musim tanam yang dahulu sangat teratur," katanya.
Selain itu, Yogantara mengatakan, melebarnya lahan kritis serta aktivititas tumpang sari mengakibatkan erosi kolosal. "Pendangkalan di anak-anak sungai, situ, kolam, dan kantung-kantung air semakin menambah sulitnya kondisi yang ada. Hilangnya ruang terbuka hijau di perkotaaan, pencemaran udara dari pabrik dan kendaraan semakin menambah panasnya cuaca di sekitar kita," katanya.
Bank pohon
Memperhatikan kondisi itu, Yogantara mengatakan bahwa para aktivis lingkungan sepakat membentuk "Bank Pohon Jawa Barat" guna mengakselerasi rehabilitasi lahan kritis dan perbaikan fungsi daerah aliran sungai (DAS) di Jawa Barat. "Program itu merupakan prakarsa untuk menghimpun seluruh partisipasi masyarakat dalam gerakan penghijauan baik di lahan kritis kehutanan, perkebunan besar, dan perkotaaan," katanya.
Pembentukan bank pohon di Jabar berfungsi untuk mengintegrasikan data-data rehabilitasi lahan kritis yang tercerai-berai pada berbagai stakeholders. "Data yang terintegrasi sangat penting untuk menghindari mark-up, tumpang tindih dan salah sasaran areal penanaman, serta berbagai permasalahan lain dalam rehabilitasi lahan kritis." kata Yogantara.
Bank pohon di Jabar sebagai lembaga independen tidak hanya akan mendorong percepatan tanam di lahan kritis, tetapi juga mendorong harapan hidup tanaman tersebut. "Percuma ditanam kalau beberapa saat kemudian mati. Pembentukan Bank Pohon Jabar juga bakal mendorong dunia usaha untuk ikut serta dalam rehabilitasi lahan kritis. Sebagai contoh, PT Kaltim Prima Coal membantu 22 ribu bibit pohon untuk merehabilitasi 55 ha lahan kritis di Desa Banjaran Wetan Kab. Bandung. Padahal, dunia usaha sebelumnya sering kebingungan ketika hendak membantu upaya rehabilitasi," katanya.
Sementara itu, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Peran Masyarakat, Ir. Arie D.D Djoekardi M.A. mengatakan bahwa upaya pemulihan lahan kritis tidak akan berhasil tanpa kerja sama berbagai pihak. "Pemerintah sangat berkepentingan untuk mendorong terbangunnya kemandirian dan keberdayaan warga terutama dalam mengatasi permasalahan lingkungan di sekitarnya sehingga warga seyogiyanya memiliki kapasitas untuk membangun inisiatif lokal," katanya.
Arie menambahkan, Program "Bank Pohon Jabar" merupakan upaya kemitraan pelaku-pelaku pembangunan yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam menyinergikan upaya penanganan lahan kritis. "Pola kemitraan juga diharapkan mendasari semangat untuk membangun di bidang-bidang yang lain. Pemerintah dalam era reformasi tidak dapat mengemban amanat pembangunan dengan baik tanpa adanya partisipasi dari pelaku pembangunan," katanya. posted by MSW007 @ 4:03 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar