Potret Masalah Lingkungan sumber : Solidaritas Perempuan Selang hampir 10 tahun reformasi politik di Indonesia, masalah pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam hampir tidak mengalami perubahan yang signifikan. Laju kerusakan lingkungan semakin tinggi, walau jumlah dan nilai investasi pada sektor industri ekstraksi sumberdaya alam mengalami penurunan dibanding sebelum era reformasi. Kerusakan lingkungan yang tinggi bisa dilihat pada beberapa contoh kasus yang terjadi diberbagai wilayah di Indonesia, mulai dari perkotaan hingga ke wilayah yang jauh dari hiruk-pikuk modernisme kota.
Di kawasan perkotaan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makassar, dan Medan misalnya tingginya pencemaran udara telah memperburuk kondisi banyak masyarakat terutama perempuan dan anak-anak miskin. Kelompok masyarakat seperti ini menjadi korban konsentrasi timbal dan gas beracun lainnya di udara. Asap dari kegiatan industri maupun dari sistem transportasi kota yang buruk di perkotaan telah menjadikan polusi udara sebagai pembunuh yang tidak pernah bisa ditundukkan. Beberapa penelitian di Jakarta malah menunjukkan bahwa pencemaran udara menjadi penyebab utama saluran infeksi pernapasan. Selain itu, pencemaran air juga menjadi masalah besar yang sulit dihadapi oleh berbagai kelompok miskin. Mereka selama ini memang tidak memiliki akses pada sumber-sumber air bersih yang disediakan oleh PDAM maupun pedagang air bersih. Tetapi justru sangat tergantung pada pasokan air tanah bawah tanah (sumur) atau air permukaan tanah (terutama air sungai) yang nota bene sudah sangat tercemar.
Dampak Penghancuran Lingkungan terhadap Perempuan Dalam banyak pandangan yang berkembang, dampak lingkungan selalu dianggap sebagai dampak yang masif dan bisa menimpa siapa saja tanpa terkecuali atau tanpa membedakan laki-perempuan, anak-dewasa, tua-muda atau kaya-miskin. Bahkan tidak membedakan kelas yang ada di dalam masyarakat. Sekali ada dampak lingkungan, semua akan mengalami hal yang sama. Walau demikian, pengalaman menunjukkan bahwa pandangan seperti itu cenderung menyesatkan ketimbang memudahkan dalam penanganan masalah lingkungan. Perempuan justru selalu mengalami dampak lebih berat atau lebih besar, dan juga menjadi pihak yang banyak mengalami hambatan dalam menggunakan hak-hak dan kepentingannya dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam.
Dampak dari pencemaran udara di kota besar seperti Jakarta misalnya, telah mengakibatkan banyak perempuan dan anak-anak yang terkena infeksi saluran pernapasan, sebagian besar dalam kondisi akut. Mereka mudah terserang inveksi karena mereka umumnya berdagang di pinggiran jalan atau tinggal di pemukiman kumuh yang dekat dengan wilayah-wilayah padat kendaraan. Hal yang sama juga terjadi dalam hubungannya dengan pencemaran air. Perempuan pada umumnya lebih banyak mengalami dampak lebih buruk karena mereka adalah pihak yang pertama kali dan selalu bersentuhan dengan air yang tercemar. Kemiskinan telah membuat mereka tidak punya pilihan selain menggunakan air sungai yang tercemar. Tidak jarang mereka menggunakan air sumur/bawah tanah yang sudah terkontamisasi bakteri colli. Kemiskinan juga membuat mereka tidak bisa mengakses air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang tarifnya tidak terjangkau. Sedangkan pengambil-alihan dan perusakan kawasan hutan oleh berbagai kegiatan industri kehutanan dan pertambangan telah menyingkirkan banyak perempuan dari pengelolaan sumber daya alamnya. Di luar kawasan perkotaan ada beberapa masalah lingkungan dan sumberdaya alam yang dihadapi perempuan:
Pertama, tingginya perusakan hutan dan pengambil alihan tanah/hutan yang dikuasai/dimiliki masyarakat oleh perusahaan-perusahaan kayu, perusahaan hutan tanaman industri, perusahaan bubur kertas (pulp and paper), perusahaan kelapa sawit, perusahaan pertambangan, perusahan real estate, dan tentu saja oleh kegiatan pembalakan liar (illegal logging) secara terorganisir. Pemerintah dua tahun terakhir ini melaporkan jumlah perusahaan yang mengekstraksi sumberdaya alam memang menurun. Namun yang tidak pernah dilaporkan pemerintah adalah, tingkat kerusakan kawasan hutan yang diakibatkan oleh eksploitasi luar biasa selama orde baru melalui kegiatan Hak pengusahaan Hutan (HPH) maupun melalui kegiatan Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan (IPHH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) selama masa reformasi. Penghancuran hutan, yang telah jauh berkembang menjadi penghancuran ekosistem, telah memunculkan fenomena banjir, longsor, kebakaran/pembakaran hutan di berbagai kawasan.
Dalam dua tahun terakhir ini, banjir dan longsor dengan intensitas dan dampak luas telah terjadi di banyak wilayah di Indonesia, termasuk di berbagai wilayah yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan akan mengalami bencana banjir dan longsor. Banjir tidak hanya menelan korban jiwa yang banyak tetapi juga menghancurkan berbagai sarana dan sumber-sumber kehidupan masyarakat.
Kedua, di banyak wilayah yang memiliki kawasan pertambangan mineral (migas, emas, tembaga dan nikel), proses penghancuran lingkungan juga terjadi dalam bentuk pencemaran logam berat terhadap tanah-tanah pertanian rakyat bahkan aliran-aliran sungai yang berfungsi sebagai tempat mandi, mencuci dan penyedia protein (ikan) bagi masyarakat di pedalaman. Raturan ribu ton limbah tailing yang mengandung logam berat yang mematikan seperti mercuri, cadmiun, arsenic dan lain-lain dibuang ke sungai sehingga mencemari seluruh biota dan rantai makanan. Hal yang sama juga terjadi di kawasan pebarik pulp and paper, dimana ribuan ton limbah mengandung chlorine dalam konsentrasi yang tinggi dan mematikan dibuang ke sungai-sungai yang mengairi sawah dan menjadi tempat mandi, mencuci dan sumber perikanan.
Ketiga, di berbagai wilayah di Indonesia kegiatan industri juga telah mengambil-alih kawasan perlindungan lingkungan atau ekosisten penting bagi kehidupan bersama. Antara lain pengambil-alihan setu (dana kecil) yang berfungsi untuk resapan air; kawasan hutan mangrove yang berfungsi sebagai perlindungan pengembang-biakan ikan; kawasan terumbu karang dan padang lamun yang berfungsi sebagai pengembangan habitat ikan; pengambil-alihan kawasan daerah aliran sungai (DAS) yang berfungsi menyangga lingkungan. Bahkan pengambil-alihan kawasan lahan basa seperti rawa-rawa yang berfungsi sebagai pusat habitat berbagai flora dan fauna yang penting untuk kehidupan.
Keempat, kegiatan industri kelautan yang ditandai dengan pemberian ijin penangkapan ikan skala besar kepada berbagai perusahan multi-nasional juga telah menimbulkan banyak masalah. Tidak saja menyingkirkan para nelayan kecil dalam kegiatan kelautan, tetapi juga telah menghancurkan keseimbangan lingkungan. Kegiatan kapal-kapal besar yang menggunakan pukat harimau ( trawl) telah menghancurkan banyak areal terumbu karang dan juga telah menimbulkan depopulasi ikan yang menjadi sumber protein terpenting bagi masyarakat. Kelima, kegiatan pertanian yang semakin terintegrasi ke dalam bisnis pestisida telah menghancurkan keseimbangan lingkungan. Jebakan bisnis pestisida dan insektisida telah mencemari tanah dan air bahkan bahan pangan, termasuk ikan dan biota lainnya yang hidup dalam air di sekitar persawahan atau perkebunan. Juga telah mematikan begitu banyak predator alamiah yang berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan. Mia
kegiatan industri kelautan yang ditandai dengan pemberian ijin penangkapan ikan skala besar kepada berbagai perusahan multi-nasional juga telah menimbulkan banyak masalah. Tidak saja menyingkirkan para nelayan kecil dalam kegiatan kelautan, tetapi juga telah menghancurkan keseimbangan lingkungan. Kegiatan kapal-kapal besar yang menggunakan pukat harimau () telah menghancurkan banyak areal terumbu karang dan juga telah menimbulkan depopulasi ikan yang menjadi sumber protein terpenting bagi masyarakat. | |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar