"Udara Bersih : Kenyataan, Harapan dan Tantangan"
Udara merupakan komponen kehidupan dan perikehidupan yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan. Tanpa makan dan minum kita bisa hidup untuk beberapa hari tetapi tanpa udara kita hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja. Kualitas dari udara yang telah berubah komposisinya dari komposisi udara alamiahnya adalah udara yang sudah tercemar sehingga tidak dapat menyangga kehidupan.
Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Air Quality Monitoring Station (AQMS), dari sepuluh kota besar di Indonesia, enam di antaranya yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi dan Pekanbaru hanya memiliki udara berkategori baik selama 22 sampai 62 hari dalam setahun atau tidak lebih dari 17%. Di Pontianak dan Palangkaraya penduduk harus menghirup udara dengan kategori berbahaya masing-masing selama 88 dan 22 hari. Khusus Jakarta, dari data AQMS menunjukkan, kualitas udara kategori baik di Jakarta selama 2001 hanya 75 hari. Pada 2002 angka itu menurun menjadi 22 hari dan pada 2003 sebanyak 26 hari. Sementara pada 2004 warga Jakarta hanya menikmati udara dengan kategori baik selama 18 hari dalam kurun waktu satu tahun berdasarkan hasil pemantauan alat monitoring udara ambien. Sedangkan data dari sejumlah kota besar yang lain pasokan udara bersih tidak lebih dari 60 hari per tahun.
Udara yang tercemar (tidak memenuhi baku Mutu Udara Ambien) dapat meningkatkan berbagai jenis penyakit seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas). Untuk jangka waktu yang panjang penurunan kualitas udara dapat menyebabkan kematian, penyakit kanker yang disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor, asap kebakaran hutan dan emisi kegiatan industri maupun rumah tangga. Dari aspek kesehatan yang terjadi akibat dampak pencemaran udara dari kendaran bermotor, saat ini tercatat lebih dari dua dasawarsa, penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan gangguan pernapasan lain selalu menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak yang dilaporkan oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat seperti: Puskesmas, Klinik, dan Rumah Sakit.
Profil kesehatan DKI Jakarta 2004 menunjukkan bahwa sekitar 46% penyakit gangguan pernapasan terkait dengan pencemaran udara (ISPA 43%, iritasi mata 1,7% dan asma 1,4%), dan sekitar 32% kematian kemungkinan terkait dengan pencemaran udara (penyakit jantung dan paru-paru 28,3% dan pneumonia 3,7%) Di tahun yang sama di Yogyakarta (Profil Kesehatan Yogyakarta 2004), sebanyak 32% penyakit ganggugan pernapasan terkait dengan pencemaran udara (ISPA 22%, gangguan pernapsan lain 7,7%, dan asma 2,2%). Kecenderungan yang sama terhadap penyakit-penyakit saluran pernapasan juga terlihat pada data di kota-kota besar lain, seperti Bandung, Medan, Surabaya, dan Makassar. Menurut Bank Dunia, estimasi kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran udara di Indonesia sebesar US$ 400 miliar setahun. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) kerugian tersebut belum termasuk kematian dini dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh PM10 dan SO2 (World Bank, 2003) Perkiraan kerugian ekonomi yang ditimbulkan pencemaran udara SO2 terhadap kesehatan adalah senilai Rp. 92.157.163 pada tahun 2001.
Pencemaran udara menimbulkan kerugian berantai. Berdasarkan kajian diatas, masyarakat kota Jakarta harus menanggung kerugian sekitar US$ 180 juta setiap tahun akibat polusi udara. Biaya tersebut diprediksikan akan meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun mendatang. Kerugian lainnya adalah kehilangan pendapatan karena warga kota tidak dapat bekerja karena sakit. Untuk itu sangat penting untuk mengelola udara bersih agar dampak dari pencemaran udara tersebut diatas dapat di cegah maupun ditanggulangi. Pencemaran udara diakibatkan oleh emisi kendaraan bermotor di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia yang semakin hari semakin meningkat. Jumlah kendaraan bermotor pada akhir tahun 2006 adalah sekitar 54 juta dimana dengan laju pertumbuhannya maka diperkirakan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 280 juta. Dengan jumlah tersebut maka sulit dibayangkan dampak pencemaran udara pada kesehatan pada masyarakat di perkotaan yang akan terjadi. Kondisi pencemaran udara saat ini juga diperparah dengan terjadinya fenomena pemanasan global yang diakibatkan oleh penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara) yang semakin meningkat setiap tahunnya. Disamping itu penurunan kualitas udara juga dialami oleh adanya asap kebakaran hutan yang terjadi pada musim kemarau dimana telah menimbulkan korban jiwa dan materi yang cukup besar.
Kegiatan industri adalah konsumen bahan bakar kedua terbesar di Indonesia. Sumber pencemar yang dikeluarkan dari kegiatn industri terutama: SO2 dan NO2. Pemantauan kinerja pengelolaan lingkungan periode tahun 2004 – 2005 menunjukkan ada beberapa perusahaan seperti industri besi dan baja (peleburan), industri semen dan industri pulp dan kertas yang telah melakukan kewajiban yang dipersyaratkan dalam peraturan pengendalian pencemaran udara dan melakukan perubahan-perubahan dalam sistem pengendalian pencemaran udara.
Hampir semua peraturan yang ada dewasa ini disusun oleh sektor-sektor, sehingga kadang-kadang peraturan yang disusun dipersepsikan hanya berlaku untuk sektor tersebut. Tidak mengherankan apabila hingga saat ini pengendalian pencemaran udara hanya dilaksanakan berdasarkan interpretasi masing-masing sektor. Setiap sektor terkait mengembangkan dan melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan sektor mereka sendiri tanpa melibatkan sektor lainnya.
Salah satu kegiatan yang akan dilakukan KLH dalam rangka meningkatkan peran stakeholders dan masyarakat dalam mewujudkan udara bersih dengan diadakan seminar satu hari dengan tema “Seminar Nasional Pengelolaan Udara Bersih” melibatkan para stakeholders, para pakar, perguruan tinggi, LSM dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar