Senin, 24 Desember 2007

Eksploitasi Hutan Jawa Barat

Dahono Fitrianto
[BUTTON]
HUTAN dan lingkungan bagai dua sisi keping mata uang yang tidak bisa
dipisahkan. Ketika hutan meranggas, lingkungan terbelah, banjir dan
longsor terjadi di mana-mana. Pelan tetapi pasti bencana itu merenggut
korban masyarakat secara massal dalam waktu yang panjang. Ratusan
orang meninggal, harta benda hilang. Rumah-rumah warga ambruk dilibas
reruntuhan tanah.Bencana bagai menunggu waktu seiring dengan turunnya
hujan. Seberapa banyak hujan turun mungkin sebanyak itu pula bencana
akan menimpa warga.

Orang lalu mempersalahkan alam. Dengan mudah mereka memberi stigma
musibah tanah longsor ataupun banjir dengan sebutan klasik "bencana
alam". Masyarakat sepertinya tawakal, pasrah terhadap "gugatan" alam.

Akan tetapi, pernahkah kita menyadari bahwa bencana itu semata akibat
ulah manusia? Kenapa tidak menyebutnya sebagai bencana manusia.
Sesungguhnya inilah gugatan paling obyektif bagaimana alam lingkungan
beserta hutan tereksploitasi secara membabi buta berakibat memunculkan
korban-korban rakyat tak berdosa.

Gugatan itu dikemukakan Dudi Effendi, pemerhati hutan di Jawa Barat
yang melihat eksploitasi hutan di daerahnya melebihi aksi teroris yang
mendatangkan banyak korban jiwa dan harta. Karena itulah kita perlu
berjihad untuk pemeliharaan hutan.

Kompas/try harijono
Dahono Fitrianto
[BUTTON]
Teroris dalam pengertian perbuatan dilakukan secara terencana dan
sengaja demi kepuasan dan keuntungan sekelompok orang. Sementara
korban dari perbuatan itu bersifat massal, kebanyakan melimpah pada
mereka yang tidak tahu apa-apa, lalu menyeret masyarakat termarginal
akibat bencana itu.

Sebagai mantan pejabat pertanian di Jawa Barat, Dudi mengakui
eksploitasi hutan di Tanah Priangan telah berlangsung terencana dan
sengaja untuk mendapat keuntungan ekonomis. Pelakunya oknum-oknum
lapar hutan, yang demi kantung pribadi rela merusak kelestarian alam.
Mereka terorganisir dalam sebuah organisasi mafia hutan.

"Kalau aksi teroris peristiwanya sesaat, tetapi bencana akibat
kerusakan hutan waktunya panjang, bahkan bisa memunculkan lose
generation," kata Dudi.

Tudingan Dudi mungkin beralasan jika merujuk data dari Direktorat
Geologi Mitigasi Bencana dengan menyebut daerah Jawa Barat (Jabar)
merupakan wilayah paling banyak dilanda tanah longsor di Tanah Air.

Sepanjang 11 tahun terakhir, periode tahun 1990-2001, tercatat telah
terjadi 558 kali musibah longsor, merenggut 416 korban jiwa, dan
merusak 981 rumah serta prasarana ibadah.

Tercatat sekitar 10 daerah di Jabar memiliki kategori rentan musibah,
yakni Sukabumi, Bogor, Cianjur, Purwakarta, Kabupaten Bandung,
Sumedang, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, dan Majalengka.

Terparah terjadi di Bogor yang dalam sepuluh tahun belakangan tercatat
hampir seratus kasus longsor, meminta korban jiwa 64 orang, dan 78
rumah hancur. Demikian pula halnya musibah terjadi di Majalengka tahun
2001 yang menewaskan 16 orang penduduk serta 72 rumah hancur.

Tentu kejadian tanah longsor tak lepas dari pengaruh manusia dengan
kegiatan pembabatan hutan di lereng bukit berakibat tanah di sekitar
menjadi lembek, pengembangan dan pemotongan lereng untuk kepentingan
sarana jalan dan pembangunan permukiman yang menyebar secara
horizontal.

Jika faktor pemicu longsor tersebut tidak diantisipasi secara dini
maka risiko tanah longsor bisa datang secara kontinu, bagai bola salju
yang siap memporak-porandakan kehidupan. Selama ini, pemerintah dan
masyarakat seolah-olah mengabaikan kegiatan yang memicu terjadi
longsor.

***

AKAN tetapi, musibah tanah longsor di Jabar mungkin lebih signifikan
setelah hutan-hutan yang diandalkan menyerap air berubah fungsi
menjadi taman wisata, permukiman, dan kebutuhan industri.

Masalah hutan wisata bisa dijelaskan dengan munculnya kasus hutan
pinus Masigit Kareumbi, yang melintas di tiga daerah Sumedang, Garut,
dan Kabupaten Bandung seluas 12.000 hektar. Hutan itu dikabarkan
porak-poranda menyusul pemberian izin pengelolaan kepada pihak swasta
untuk hutan taman berburu.

Kasus itu sendiri telah berlangsung lama, konon Walhi Jabar sempat
kecewa dengan lambatnya pengusutan kasus hutan tersebut. "Setelah
setahun baru kasus itu ditangani, itu pun masih dalam tahap
penyelidikan," kata Taufan Soeratno, Direktur Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Jabar.

Sebelum Taufan, beberapa waktu lalu Guru Besar Hukum Lingkungan
Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Prof Dr Daud Silalahi dalam
perbincangan dengan Kompas telah menggugat sistem hukum dalam
penanganan hutan dan lingkungan.

Menurut dia, sistem hukum melingkupi aparat hukum beserta perundangan
di bidang kehutanan dan lingkungan di negara kita kurang menunjang.
Keberpihakan aparat terhadap oknum perusak hutan dan lingkungan cukup
kuat, bahkan banyak yang menjadi backing. Mereka seolah-olah
memanfaatkan kondisi hukum nasional mengenai hutan dan lingkungan yang
banyak mengandung kelemahan.

Oleh karena itu, setiap kasus hutan dan lingkungan yang masuk ke
pengadilan ditanggapi sebagai hal biasa, tidak lebih dari kasus-kasus
tipiring (tindak pidana ringan) yang hanya ditangani satu orang hakim
dengan sanksinya hukuman percobaan.

Ia mengatakan para hakim di pengadilan yang memeriksa kasus-kasus
hutan dan lingkungan rata-rata "malas" menjadikan konvensi
internasional sebagai acuan untuk mengisi kevakuman perundangan
nasional.

Tak jarang, banyak kasus yang mentah di tengah jalan dan tidak
memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, di samping merugikan ekosistem
dan negara pada umumnya.

Sebagai contoh, dia menyebutkan kasus lingkungan pada sebuah
pengadilan negeri di Sumatera Utara menolak memeriksa kasus
pelanggaran lingkungan oleh PT Indorayon. "Kata hakimnya, kasus ini
belum layak diadili sebelum ada tinjauan tripartrit yang melibatkan
industri, penduduk, dan pemerintah daerah setempat. Ironisnya, hal itu
menjadi preseden, sehingga dalam kasus yang sama, hakim di Pengadilan
Negeri Surabaya juga berlaku serupa," paparnya.

Menurut Silalahi, lembaga pengadilan selaku gerbang terakhir penegakan
hukum, hanya mengacu hukum nasional. Padahal hukum nasional di bidang
hutan dan lingkungan tidak luput dari kelemahan, terutama karena sulit
mengikuti perkembangan zaman dan kompleksitas masyarakat.

"Persoalan hutan dan lingkungan adalah masalah global. Mestinya, para
hakim tidak memandang sebelah mata sekian banyak konvensi yang telah
diratifikasi. Kita mungkin paling rajin meratifikasi konvensi, tetapi
paling malas menjadikannya sebagai acuan," kata Silalahi.

Mengabaikan potensi (merusak) hutan dan lingkungan berikut kelemahan
aparat negara dalam urusan ini disinyalir telah berlangsung lama.

***

TRAGEDI hutan di Jawa Barat berupa bencana yang bakal datang
terus-menerus beriringan turunnya hujan, bisa digambarkan dengan peta
hutan yang telah tergerus akibat ulah manusia. Dalam catatan Dinas
Kehutanan setempat, dari sekitar 787.000 hektar hutan sekitar 114.000
hektar hutan ditangani Perhutani dan 50.000 hektar di bawah
pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, musnah akibat
penjarahan dan penebangan ilegal.

Hutan-hutan rusak akibat penjarahan itu meluas hampir seluruh wilayah
Jawa Barat. Bayangkan jika kerusakan hutan satu hektar berpotensi
merusak atau menenggelamkan satu desa di daerahnya! Berapa banyak
rakyat tak berdosa menjadi korban dari kegiatan ilegal itu. Berapa
banyak harta benda yang hilang?

Tak cuma itu Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat Endang Supriadi
menyebut dampak dari kegiatan penjarahan dan penebangan liar sangat
berpengaruh pada ekosistem sungai, terutama pada tujuh daerah aliran
sungai yang menjadi andalan air bersih Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Konkretnya penjarahan itu menjadikan kawasan hutan potensial di Jabar
sendiri tersisa 20-27 persen sehingga untuk mengantisipasi diperlukan
Peraturan Daerah (Perda) yang lebih konkret dan tegas. Perda itu kini
tengah digodok oleh legislatif setempat.

"Tidak ada upaya terselubung dari perda ini, kecuali mengembalikan
potensi hutan alam di Jabar agar segar kembali," kata Eka Santosa,
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jabar sambil mensinyalir
ada sekelompok oknum tertentu yang mengubah fungsi hutan lindung
menjadi hutan produksi.

Menurut Eka, selama ini Pemerintah Daerah (Pemda) terlalu lemah dalam
menangani masalah hutan di daerahnya. Pemda terlalu yakin akan
pengelolaan hutan oleh Perhutani yang mendapat legitimasi cukup besar.
Akan tetapi, di sisi lain pengelolaan yang timpang tanpa pengawasan
ternyata tidak memberi kontribusi positif bagi masyarakat setempat.
Justru yang menonjol terjadinya kerusakan hutan di mana-mana.

Kini kepercayaan itu digugat? Persoalan hutan coba dieliminir oleh
daerah. "Kalau kemudian daerah merasa perlu mengelola hutan kenapa
tidak dilakukan," sergahnya. Menurut Eka Santosa, Perda mengenai hutan
akan menjelaskan secara konkret sikap daerah terhadap masalah
kehutanan dan penanganannya.

Hanya saja pertanyaan yang muncul apakah setelah perda itu terbit,
jaminan pemeliharaan hutan di Jawa Barat akan lebih baik dari
sebelumnya? Atau sebaliknya eksploitasi hutan terus terjadi untuk
mengisi pundi-pundi daerah. Lalu ke mana pundi itu dibagikan? Mumpung
era otonomi. (Jean Rizal Layuck)

Tidak ada komentar: