BANDUNG, (PR).-Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 akan memicu penggusuran di mana-mana dan menimbulkan banyak konflik/sengketa tanah. Terlebih saat ini, Jawa Barat merupakan daerah dengan konflik agraria paling banyak, tidak kurang dari 484 kasus.
Dengan adanya Perpres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini, konflik agraria akan semakin banyak. Puncaknya, akan diwarnai makin tingginya kekerasan yang dilakukan aparat negara.
"Mengingat dampak buruk pada rakyat, kita harus menolak perpres tersebut. Kita mendesak Presiden SBY agar mencabut Perpres No. 36/2005," ujar Ogie dari Walhi Jabar pada acara diskusi "Perpres 36/2005 dan Implikasinya bagi Kehidupan Rakyat" di Plasa PKN Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Kamis (7/7).
Hadir dalam diskusi itu, sejumlah elemen gerakan rakyat (buruh, petani, warga miskin kota, mahasiswa, dan pemuda).
Dikatakan, menolak suatu kebijakan yang merugikan banyak pihak semestinya dilakukan secara bersama-sama. Oleh karena itu, Koalisi Menolak Perpres No. 36/2005 Jabar yang terdiri dari Walhi Jabar, Konsorsiun Pembaharuan Agraria (KPA), LBH-B, Agra Jabar-Banten, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Bandung, akan mengumpulkan 1 juta tanda tangan sebagai petisi menolak Perpres No. 36/205.
"Sejuta tanda tangan itu akan dilampirkan ketika mengajukan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA)," tambahnya.
Jika ditelusuri latar belakangnya, kata Ogie, Perpres No. 36/ 2005 merupakan wujud dari kebaikan hati pemerintah untuk mempermudah masuknya investasi melalui pertemuan tingkat tinggi antara pemerintah dengan pemodal asing (infrastructure summit) yang digelar Januari 2005.
"Artinya, demi investasi asing dan pertumbuhan ekonomi, hak rakyat atas tanah pun dikorbankan. Selain itu, akan mempermudah jual beli tanah untuk kepentingan investasi dan industrialisasi yang memihak pemodal besar," tegasnya.
Dampak buruk lainnya adalah akan mengurangi kesempatan rakyat untuk menguasai dan memiliki tanah sehingga rakyat tidak mampu menjalankan produksi untuk meningkatkan kesejahteraannya. Selain itu, akan mempercepat pelepasan hak atas tanah dari rakyat yang akan memicu pemusatan penguasaan tanah di tangan elite.
Ditambahkan, perpres yang berisi 24 pasal itu, tidak melindungi dan menghormati hak rakyat atas tanah. Karena bila tanah rakyat terkena projek pembangunan untuk kepentingan umum, hak rakyat atas tanahnya bisa dicabut pemerintah. (A-115)***
Jumat, 21 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar