embangkit listrik tenaga sampah akan dibangun di Bandung pada akhir April ini. Pencemaran udara membayang.
Inilah perempuan Bandung yang perkasa. Bersama para suami dan anak-anaknya, warga perempuan kompleks Griya Cempaka Arum, Bandung, berunjuk rasa dan mem-bentangkan belasan spanduk di jalan menuju perumahan mereka. Di bawah nama Aliansi Perempuan Anti-Sentralisasi Incinerator Sampah (ASI), mereka membawa spanduk: ”Tempat kami bukan tempat sampah, sorry ya…”. Spanduk lain berbunyi lebih menohok aparat Pemerintah Kota Bandung. ”Jangan korbankan warga demi keuntungan pribadi.”
Warga perumahan menolak rencana pemerintah membangun pengelolaan sampah menggunakan teknologi pembakaran atau incinerator. Teknologi ini bakal dibangun di belakang kompleks Griya Cempaka Arum yang terletak di Kelurahan Mekarmulya, Kecamatan Rancasari, atau dikenal sebagai kawasan Gedebage.
Pemerintah Daerah Bandung menyatakan teknologi itu menghasilkan listrik dan tidak membawa dampak lingkungan. Namun 1.000 kepala keluarga yang tinggal di perumahan ini tak percaya. ”Kami tak mau seperti kasus di Bojong. Jangan sampai setelah jatuh korban, proyek ini baru dibatalkan,” kata Mohamad Tabroni, koordinator warga, kepada Tempo, dua pekan lalu.
Pada November 2004, ribuan warga Bojong memang menyerbu tempat pengelolaan sampah terpadu milik perusahaan swasta dan DKI Jakarta. Mereka tak setuju pengelolaan sampah menggunakan teknologi bala press (membungkus dengan plastik) berada di wilayahnya. Ibu-ibu ikut serta memblokade jalan menghambat kedatangan ratusan polisi. Terjadi bentrok yang menyebabkan puluhan orang terluka. Karena dikecam banyak pihak, perusahaan swasta itu menarik semua peralatannya dari Desa Bojong dan membatalkan proyek.
Sepanjang Februari lalu, dua kali warga perumahan Griya Cempaka Arum berunjuk rasa. Para bapak dan pemuda membentuk Aliansi Rakyat Tolak Pemaksaan Pabrik Sampah di Permukiman yang diketuai Tabroni. Mereka didukung kaum perempuan yang mendirikan ASI. Menurut Tabroni, penolakan warga bermula dari lokakarya yang diselenggarakan di kampus Institut Teknologi Bandung pada 7 Februari silam.
Lokakarya bertema Kelayakan Sampah Kota Bandung sebagai Bahan Ba-kar Pembangkit Listrik itu diselenggarakan Pemerintah Kota Bandung dengan Pusat Rekayasa Industri Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ITB. Tabroni bersama warga lainnya hadir dalam lokakarya itu.
Mereka baru menyadari, pemerintah ternyata serius membangun pengelola-an sampah seluas 20 hektare di wilayahnya. Pemerintah bahkan menunjuk PT Bandung Raya Indah Lestari yang bakal mendanai dan mengelola proyek. Wali Kota Bandung Dada Rosada meminta ITB melakukan studi kelayakan.
Dada akan meletakkan batu pertama pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah itu pada akhir April ini. ”Pokoke saya akan tetap meneruskan rencana pembangunan proyek ini,” katanya. Ia akan menghentikan rencananya jika seluruh warga Bandung menolak. Menurut dia, teknologi ini sangat diperlukan untuk mengatasi masalah sampah di Kota Bandung.
Memang, tahun lalu Kota Kembang berubah menjadi Bandung Lautan Sampah. Ratusan meter kubik sampah teronggok di sepanjang jalan protokol karena tak bisa dibuang ke tempat pembuangan akhir. Maklum, beberapa lokasi pembuangan sudah penuh dan pembukaan area baru ditolak warga sekitar. Pemerintah pusat akhirnya turun tangan. Kini, krisis sampah kembali melanda kota ini. Sampah mulai menumpuk di sudut-sudut kota.
Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung mengeluarkan data kenaikan volume sampah setiap tahun. Pada 2001, volume-nya 890 ribu meter kubik. Empat tahun kemudian melonjak menjadi 2,7 juta me-ter kubik. Malangnya, volume sampah yang diolah baru sekitar 10 persen dan sisanya dibuang ke tempat pembuangan akhir hanya dengan cara open dumping atau menumpuk di lahan terbuka.
Pusing memikirkan sampah yang kian menggunung, pemerintah kota akhirnya sepakat menggunakan teknologi pembakaran di Gedebage. ”Jika studi kelayakan selesai, kami akan mengajak bicara warga,” kata Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Kota Bandung Bulgan Alamin. Studi kelayakan dari ITB akan selesai pada pertengahan April ini.
Enri Damanhuri, dosen ilmu lingkungan ITB, memaklumi penolakan warga Gedebage. ”Memang banyak yang harus dipertimbangkan sebelum memilih teknologi ini,” kata Enri, yang juga dikenal sebagai pakar sampah.
Teknologi pembangkit listrik tenaga sampah yang dikembangkan di Gedebage itu adalah waste to energy (WTE). Teknologi ini belum pernah diterapkan di Indonesia. Di Surabaya pernah digunakan incinerator biasa, namun tak bertahan lama karena biaya pengelolaannya sangat mahal. Menurut Enri, harga teknologi incinerator buatan Cina sekitar Rp 250 miliar. Yang buatan Inggris dua kali lipatnya.
Pasokan sampah menjadi masalah berikut. Menurut Enri, sampah basah membutuhkan pasokan bahan bakar awal empat kali lipat dibandingkan sampah kering. Pemerintah Kota Bandung, katanya, harus mengubah sistem pengangkutan sampah dari truk bak terbuka ke tertutup. ”Apa sanggup Bandung memenuhi infrastruktur seperti itu?” guru besar ITB ini bertanya.
Puji Lestari, peneliti Departemen Teknik Lingkungan ITB, khawatir bahwa penerapan teknologi WTE bakal menjadi sumber pencemar udara yang baru. Dari temuannya, kondisi geografis Bandung yang membentuk cekungan membuat sirkulasi udara menjadi lambat. ”Jangan sampai mau menangani sampah malah menimbulkan masalah pencemaran udara,” ujarnya.Untung Widyanto, Ahmad Fikri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar