Senin, 24 Desember 2007

PAD Digenjot, Lingkungan Hidup Rusak

Pemerintah Provinsi Jawa Barat kesulitan meredam ego-sentris daerah yang cenderung mengeksploitasi potensi alam demi menggenjot pendapatan asli daerah. Kebijakan otonomi daerah yang diartikan secara sempit mempersulit ruang gerak kebijakan pelestarian lingkungan hidup.

”Di Jawa Barat, dari tahun ke tahun, pertumbuhan ekonomi terus meningkat. Bahkan, cenderung melebihi target nasional. Begitu pula dengan kondisi indeks pembangunan manusia (IPM)-nya. Sebaliknya, laju degradasi lingkungan justru makin parah terjadi,” ujar Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jabar Agus Rachmat, Senin (9/4) di kampus Universitas Parahyangan.

Kondisi kontras antara majunya pembangunan dan rusaknya lingkungan ini tidak lain disebabkan rendahnya penerapan wawasan pembangunan berkelanjutan di daerah. Ini makin terlihat jelas dari ketidakmampuan daerah menerjemahkan serangkaian program pengendalian lingkungan yang dicetuskan Pemprov Jabar.

Agus mencontohkan kasus tidak tercapainya target kawasan lindung di Jabar. Dari target pencapaian areal kawasan hutan lindung sebanyak 34 persen di 2004, ternyata baru tercapai 28 persen di 2006 lalu. Bahkan, Pemprov Jabar akhirnya terpaksa mengulur tenggat waktu pencapaian ini hingga 2010 mendatang.

Terus berjalannya laju kerusakan lingkungan secara masif ini tidak terlepas dari adanya paradigma keliru tentang kebijakan otonomi daerah. Pemerintah daerah dianggap cenderung merasa memiliki hak luas memanfaatkan otonomi daerah. Akibatnya, terjadi benturan kebijakan lingkungan antara pusat dan daerah, khususnya mengenai penataan ruang. Kasus Kawasan Bandung Utara (KBU) menjadi cerminannya.

Pertarungan politik

Munculnya ego-sentris daerah ini bahkan diakui secara eksplisit oleh Wali Kota Cimahi Itoc Tochija. Namun, ia sangat menyayangkan kecenderungan ini. Menurutnya, persoalan lingkungan tidak bisa dikotak-kotak atau dipisahkan dalam batas administrasi. Pengalaman krisis air bersih di Cimahi menjadi buktinya.

”Di Cimahi, pada akhir tahun lalu, dari total 350 RW yang ada, separuh atau 150 di antaranya alami kekeringan. Sumur warga tidak menghasilkan air. Kondisi ini tidak terlepas dari kondisi resapan air di KBU dan pemanfaatan air secara drastis oleh pabrik di selatan,” paparnya.

Yang lebih disayangkan, kebijakan pengandalian lingkungan hidup justru tidak lepas dari persoalan politik. Anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Huda mengatakan, berkaca dari kasus KBU, seringkali terjadi bahwa kebijakan LH itu tidak ubahnya pertarungan politik.

”Ini otokritik. Secara kelembagaan, berdasar pengalaman, kinerja legisiatif belum sepenuhnya efektif. Kebijakan tidak bersifat partisipatif. Dalam kasus KBU misalnya, terlihat jelas apa namanya demokrasi voting. Dalam forum Pansus ketika itu, kebetulan kami kalah dan tidak ikut merangcang Raperda ini,” paparnya.

[Kompas]

Tidak ada komentar: