Pernyataan Sikap Komite Perjuangan Rakyat (KPR)
atas berjalannya perundingan WTO, 12-18 Desember 2005, di Hongkong
BUBARKAN WTO!
Sejak dua dasawarsa terakhir, 67% dari perdagangan dunia dan 75% investasi global dipegang oleh negara-negara kapitalis, seperti Amerika Serikat maupun Uni Eropa. Penghasilan yang setara dengan 28,3% GDP dunia tersebut, dihasilkan melalui laba perusahaan besar macam Wall Mart (GDPnya lebih besar dari GDP 161 negara), Mitsubishi (GDPnya lebih besar dari Indonesia), Toyota (lebih besar dari Norwegia). Apabila seluruh keuntungan itu digabung, maka seluruh aset perusahaan multinasional itu jauh lebih kaya dibandingkan dengan 182 negara. Jumlahnya mencapai $10,4 bilion atau sekitar Rp. 100,4 triliun. Apakah Indonesia memiliki perusahaan dengan laba sedemikian? Tidak!
World Trade Organization (WTO) adalah organisasi perdagangan dunia yang dibentuk pada 15 April 1994 di Marakesh, Maroko, sebagai kelanjutan dari Uruguay Around. Sejak 1 Januari 1995, WTO telah melakukan beberapa pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang menjadi forum pengambil kebijakan tertinggi. Kemudian secara berturut-turut lima KTM-WTO dilakukan di Singapura (1996), Jenewa, Swis (1998), Seatlle, AS (1999), Doha, Qatar (2001), Cancun, Mexico (2003). Dalam KTM terakhir inilah, terjadi perundingan sangat alot yang kemudian rencanya diselesaikan pada KTM keenam di Hongkong, 12-18 Desember 2005 yang tengah berlangsung hari ini.
Sebagai organisasi perdagangan dunia, WTO yang beranggotakan 149 negara berfungsi untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan lalu lintas perdagangan internasional, dengan kesepakatan-kesepakatan yang bersifat mengikat terhadap (negara) anggotanya. Akan tetapi, dengan mekanisme perundingan yang sangat didominasi negara-negara kaya seperti Amerika dan Uni Eropa, negara berkembang (baca: negara miskin) tidak mempunyai daya tawar apa-apa, dan menjadi bulan-bulanan berbagai mekanisme merugikan. Bentuk ini dapat dilihat lewat salah satu prinsip perundingan WTO, yaitu MFN (Most-Favoured Nation). Maksudnya, suatu negara “dipaksa” memberi perlakuan istimewa terhadap negara lain yang ingin berdagang.
Beberapa materi perundingan yang dibahas dalam forum KTM ini adalah:
1. Liberalisasi Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade Services-GATS).
Hal ini berarti tanggungjawab negara dalam pelayanan terhadap rakyatnya dialihkan pada sektor swasta yang berorientasi untung-rugi, dengan dalih membangun ekonomi nasional secara bersama (pemerintah-swasta). Akan tetapi, salah satu implikasinya dapat dilihat dalam anggaran (sektor) pendidikan sebesar 20% yang mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah. Alokasi ini akan menghilang setelah pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang semakin melegalkan skema komersialisasi pendidikan.
2. Hak Kepemilikan Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Properties-TRIPs).
TRIPs atau Hak Paten atas Kekayaan Intelektual akan menghilangkan hak kepemilikan dan inovasi lokal. Padahal di Indonesia banyak inovasi terjadi secara komunal, sehingga pemiliknya adalah masyarakat secara kolektif. Apalagi 97% pemegang paten dunia berasal dari negara maju. Selain itu, TRIPs cenderung membuka peluang pelanggaran hak dasar seluruh manusia untuk mengakses obat-obatan dan kesehatan secara gratis.
3. Perdagangan Barang (General Agreement on Tariff and Trade-GATT).
Sistem perdagangan ini diperlukan untuk memudahkan ekspansi dan akumulasi dengan cara menghapus hambatan-hambatan dalam proses perluasan usaha dan perdagangan. Sepintas sistem ini menjanjikan pemberantasan korupsi dan “pungutan liar” dalam
berbagai sektor di Indonesia, tetapi kemudahan ini sebenarnya mengartikan dihapusnya peran pemerintah sebagai penjaga ekonomi nasional.
4. Persetujuan di Bidang Pertanian (Agreement of Agriculture-AoA).
Kesepakatan AoA akan berdampak pada berkurangnya subsidi untuk petani, sementara subsidi adalah hak tiap negara, dan kewajiban negara pada rakyatnya. Padahal, AS dan Uni Eropa sendiri tidak pernah mau melepaskan subsidi pada petani mereka.
5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement)
Seluruhnya diarahkan pada kepentingan-kepentingan pencaplokan dan monopoli produksi maupun pasar dalam negeri oleh perusahaan multinasional-asing.
Di sinilah arti dari “pelayan lancarnya saluran pasar dan investasi” negara-negara kapitalis. WTO dibutuhkan untuk mengatur mekanisme perdagangan internasional yang menjadi alat negara-negara kaya dan perusahaan-perusahaan multinasional, untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Terbitnya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, telah menjadikan Indonesia resmi menjadi anggota WTO, sehingga semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari sistem perundangan nasional.
Globalisasi pada hakikatnya adalah skema imperialisme atau penjajahan gaya baru yang dipraktikan agen-agennya, seperti WTO, IMF, CGI, World Bank, PBB, dll. Skema ini dijalankan oleh kaki tangan terpercaya kapitalis di Indonesia, yaitu pemerintahan SBY-JK yang menjadi rezim pemerintahan komprador – yang hakikatnya adalah tuan tanah dan borjuis besar komporador. Buktinya, Indonesia terlibat dalam 150 perjanjian dagang regional mulai dari NAFTA, APEC sampai AFTA yang merupakan kontrol atas negara-negara miskin. Di dalam negeri, rezim SBY-JK juga mencabut berbagai subsidi untuk rakyat – seperti subsidi BBM. Akibatnya, kematian industri dalam negeri yang berdampak pada PHK massal tidak bisa dihindari. Naiknya harga-harga dan kebutuhan pokok rakyat, inflasi yang meninggi (mencapai 18%), sempitnya lahan pekerjaan dan kebangkrutan ekonomi nasional, juga menjadi sisi efek domino.
Gambaran rezim SBY-JK bahwa penanaman modal asing akan berguna bagi perekonomian nasional, sebenarnya menjadi omong kosong, karena wujud asli WTO adalah usaha negara-negara kapitalis yang sudah mencapai titik monopolistik tingkat internasional, untuk meluaskan ekspansi dan akumulasi modal, dengan membuka akses maupun monopoli pasar di negara-negara miskin – termasuk Indonesia.
Maka, jelas bahwa Liberalisasi Perdagangan yang diusung WTO hanya menjadi pengalihan tanggungjawab negara dalam tugas pelayanan terhadap rakyat pada sektor swasta yang berorientasi untung-rugi; hanya membuat masyarakat kehilangan pekerjaan, ketidakamanan di tempat kerja, pembatasan hak-hak pekerja, penurunan pendapatan dan peningkatan fleksibilitas tuntutan kerja akibat privatisasi sektor jasa; hanya membuat pemerintah secara sistematis meminggirkan akses pendidikan rakyat miskin dengan cara komersialisasi pendidikan.
WTO yang mengusung TRIPs juga jelas-jelas hanya melindungi HaKI negara maju dan perusahaan multinasional, sehingga merekalah yang akan mendapat keuntungan. Sedang isu Perdangangan Bebas yang diusung juga mengartikan penghapusan peran pemerintah atas kepemilikan pemerintah terhadap industri, proteksi terhadap produksi pertanian dalam negeri, pemberian insentif terhadap industri dalam negeri, subsidi untuk kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat, pelayanan sosial pemerintah terhadap rakyat, dan biaya masuk yang tinggi untuk barang impor.
Saat ini, rezim SBY-Kalla telah mengimpor 70.000 beras Vietnam di tengah surplus produksi. Sementara persoalan dasar kaum tani yaitu kepemilikan atas sumber-sumber agraria, distribusi hasil pertanian secara adil tidak pernah diwujudkan. Pemerintah malah dengan bebalnya mengeluarkan Peraturan Presiden No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dimana dengan undang-undang ini semakin merajalalela praktik-praktik penggusuran terhadap tanah dan perumahan rakyat, baik itu di desa maupun di perkotaan. Janji untuk mengalihkan subsidi BBM kepada subsidi pendidikan, kesehatan, raskin dan bantuan tunai langsung bukannya menjawab persoalan, malah menambah persoalan baru dengan maraknya konflik horisontal di kalangan rakyat yang tidak pernah didata oleh Biro Pusat Statistik.
Dengan demikian Komite Perjuangan Rakyat (KPR) memandang bahwa rezim yang merupakan kaki tangan imperialis rezim ini hanya tunduk pada poltik dan ekonomi imperialis – khususnya AS. Serta demi menjaga terciptanya penghisapan yang lebih jauh dan menambah penderitaan rakyat, maka KPR menuntut:
Bubarkan WTO!
Selain itu, KPR juga menuntut pada pemerintah Ind0nesia:
- Tolak Kenaikan BBM!
- Cabut UUK No.13/2003, dan PPHI-PPK!
- Tolak Impor Beras, Cabut Perpres No.36/2005, Laksanakan Land-Reform, dan Berikan Lahan untuk Petani Miskin dan Buruh Tani!
- Laksanakan Pendidikan Gratis, dan Tolak RUU BHP!
- Hentikan Diskriminasi terhadap Perempuan!
Dan kepada masyarakat Indonesia – khususnya warga kota Bandung, KPR menghimbau:
Jangan Menaruh Harapan Lagi pada Rezim SBY-JK yang Anti-Rakyat Ini!
Bandung, 17 Desember 2005
Komite Perjuangan Rakyat (KPR)
Alamat:
Jl. Bengawan No. 82, Bandung
T/F: 022-7275574
Tidak ada komentar:
Posting Komentar