WATER FOR LIFE" atau air untuk kehidupan. Itulah tema peringatan Hari Air Sedunia (HAS) 2005. Tema ini diusung sejalan dengan adanya permasalahan air yang mendorong dan meningkatkan kesadaran serta kepedulian perlunya upaya bersama dari seluruh komponen bangsa, bahkan dunia, untuk memanfaatkan dan melestarikan sumber daya air (SDA) secara berkelanjutan.
AIR bagi masyarakat Sunda memiliki kedekatan tersendiri karena tidak dipandang sebatas fungsi dan kegunaan, namun merupakan kristalisasi nilai-nilai yang pesan dan amanat, seperti penamaan tempat yang banyak mengacu pada nama sungai.*ANDRI GURNITA/”PR”
Hari Air Sedunia (World Water Day) diperingati setiap 22 Maret. Peringatan ini sebagai wahana untuk memperbarui tekad kita untuk melaksanakan Agenda 21 yang dicetuskan pada tahun 1992 dalam United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, atau secara populer disebut sebagai Earth Summit (KTT Bumi).
Pada Sidang Umum PBB ke 47 tanggal 22 Desember 1992 melalui Resolusi Nomor 147/1993, usulan Agenda 21 diterima dan sekaligus ditetapkan pelaksanaan Hari Air Dunia pada setiap tanggal 22 Maret mulai tahun 1993 di setiap anggota PBB. Tema-tema yang dipilih tiap tahun sejak tahun 1994 meliputi Peduli Akan Sumber daya Air adalah Urusan Setiap Orang (1994), Wanita dan Air (1995), Air untuk Kota-kota yang Haus (1996), Air Dunia Cukupkah? (1997), Air Tanah-Sumber Daya yang tak Kelihatan (1998), Setiap Orang Tinggal di Bagian Hilir (1999), Air untuk Abad 21 (2000), Air untuk Kesehatan (2001), Air untuk Pembangunan (2002), Air untuk Masa Depan (2003), dan Air dan Bencana (2004).
Cukup berasalan jika peringatan HAS 2005 adalah Water for Life. Karena menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Pusat, jumlah volume air total di Bumi adalah sekira 1,4 miliar km3. Namun jumlah yang sungguh besar tersebut, tidak banyak yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, karena 97,3% di antaranya merupakan air laut. Hanya 2,7% jumlah air yang tersedia di permukaan bumi dapat dimanfaatkan oleh manusia, yaitu yang merupakan air tawar yang terdapat di daratan.
Namun jumlah air tawar yang tersedia di planet ini, sebanyak 37,8 juta km3 air tawar tersebut adalah berupa lapisan es di puncak-puncak gunung dan gleyser, dengan porsi 77,3%. Sementara air tanah dan resapan hanyalah 22,4%, serta air danau dan rawa hanya 0,35%, lalu uap air di atmosfir sebanyak 0,04%, dan sisanya merupakan air sungai sebanyak 0,01%.
Air tanah merupakan timbunan air yang meresap melalui pori-pori tanah selama berabad-abad ke lapisan bawah dari ekosistem yang ada di atasnya, dan bagian terbesar ada di kedalaman lebih dari 800 meter, di luar jangkauan manusia untuk dapat mengeksploitasinya. Dewasa ini, hanya 0,3 juta km3 atau sekira 0,79% dari keseluruhan air tawar yang dapat dijangkau. Teknologi untuk memompa air lebih dari kedalaman 800 meter masih membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karenanya masih banyak orang yang memanfaatkan air permukaan dan sebagian air tanah untuk memenuhi kebutuhannya akan air.
Sedangkan menurut Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI), Indonesia memiliki 6% potensi air dunia atau 21% potensi air di Asia Pasifik. Namun dari waktu ke waktu Indonesia mengalami krisis air bersih, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% perkapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak.
Sumber bahan baku air bersih di Indonesia berasal dari sungai, sumur, air artesis, mata air, dll. Sumber air perusahaan daerah air minum (PDAM) berasal dari 201 sungai, 248 mata air, dan 91 artesis. Pada akhir PJP II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata 65% dan untuk produksi pangan naik 100%.
Pada umumnya sungai-sungai di Jawa berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebagian besar sungai, yang merupakan sumber air bagi masyarakat, telah tercemar oleh limbah industri maupun domestik.
**
SEPERTI juga yang berlaku bagi banyak suku bangsa di dunia, air bagi masyarakat Sunda memiliki kedekatan tersendiri. Air tidak dipandang sebatas fungsi dan kegunaan. Tetapi air dalam filosofi kesundaan menurut sejarawan Dr. Nina Lubis adalah kristalisasi nilai-nilai yang pesan dan amanatnya akan selalu aktual sepanjang masa.
"Seperti yang dapat disimak pada peribahasa-peribahasa yang berbunyi, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak. Caina herang beunang laukna, Pindah cai pindah tampian, dan masih banyak lagi," kata Nina.
Dalam peribahasa itu tercermin kearifan lokal (local wisdom) bagaimana urang Sunda yang merupakan bagian dari masyarakat dunia, merasa begitu dekat dan bergantung pada air. "Bahkan dalam penyebutan lemah cai, air menjadi semacam pengikat. Jika di Belanda dikenal vaderland, maka di Sunda dikenal sebutan lemah cai (tanah air)."
Dalam kehidupan keseharian, air bagi orang Sunda juga dikenal sebagai tempat-tempat yang disakralkan. Sebutan sirah cai mengisyaratkan sebuah tempat yang angker. Bila dilihat sepintas, penamaan tersebut terkesan berbau animisme. Padahal justru di balik penamaan itu tersimpan pesan-pesan lingkungan agar tempat tersebut tetap terjaga kelestariannya.
Kedekatan lain masyarakat Sunda dengan air, dapat dilihat dalam penamaan tempat secara legendaris. Seperti penamaan suatu daerah/wilayah yang mengacu pada nama sungai. Bukan sebaliknya, penamaan sungai berdasarkan tempat. Seperti dalam penamaan Kota Cimahi. Disebut Cimahi karena dulunya di kawasan tersebut terdapat sungai (ci dari cai) Cimahi. Berbeda dengan yang berlaku di Jawa, meski esensinya sama penamaan digunakan kali seperti Kali Opak, dst.
Begitu juga dalam aspek politis masyarakat Sunda. Air sering dipergunakan sebagai batas wilayah administratif. Bahkan kebiasaan ini menurut Nina Lubis, diadopsi pula oleh Belanda seperti pada Perjanjian No.05. Dalam perjanjian yang berisi penyerahan wilayah Priangan dari Mataram ke VOC itu disebutkan, bahwa wilayah yang diserahkan dibatasi Citanduy di bagian barat dan Cimanuk di timur sampai ke selatan dibatasi Cidonan.
Bukan itu saja, kedekatan orang Sunda dengan air juga tampak letak-letak ibu kota kerajaan yang berlokasi selalu berada di tepi sungai. Di mana air bukan saja menjadi sumber kehidupan tetapi juga menjadi sumber transformasi yang membawa perubahan bagi kerajaan tersebut.
**
SAYANGNYA, kearifan lokal yang terbukti menjadi pengikat harmoni antara alam dan lingkungannya, kini hanya sebatas manuskrip masa lalu yang tidak pernah menjadi uswah atau refleksi masa kini. Cara pandang pengelolaan lingkungan yang terjebak pada "antroposentrisme" yang sekadar memandang manusia sebagai pusat dunia, terbukti telah mendegradasi kualitas lingkungan pada titik nadirnya. Termasuk air.
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Ir. S. Sobirin menguraikan data yang semakin membuat kita prihatin tentang kondisi air di provinsi ini. "Neraca air memang telah hancur. Sebagai contoh, Provinsi Jawa Barat sebetulnya memiliki potensi air sampai 80 miliar m3/tahun. Namun, kenyataannya yang dapat dimanfaatkan hanya 8 miliar m3/tahun. Padahal, kebutuhan air masyarakat Jabar adalah 17 miliar m3/tahun," urai Sobirin.
Berarti, setiap tahun potensi air Jabar terbuang percuma (run off) sebanyak 70 miliar m3! "Potensi air sebesar 81 miliar meter kubik itu pada musim hujan tidak tertahan dan tersimpan di hutan dan kawasan hutan. Penyebabnya tak lain karena kawasan hutan di Jabar mengalami degradasi parah, sehingga tidak mampu lagi menahan limpasan air. Dampak nyata lainnya adalah banjir di musim penghujan dan sebaliknya kering kerontang kekurangan air ketika kemarau," paparnya.
Sobirin mengungkapkan erosi kolosal sebagai dampak gundulnya hutan juga telah mencapai 33 juta ton per tahun. "Angka tersebut setara dengan 1 juta truk tronton berkapasitas 30 ton. Erosi mengangkut lapisan tanah subur di gunung-gunung, di hulu lalu terbawa ke daratan rendah hingga ke laut. Akibatnya potensi sumber daya laut pun terancam karena pelumpuran," jelas Sobirin.
Bagaimana kondisi pada musim kemarau? Pada musim ini potensi air yang bisa dinikmati masyarakat Jabar hanya sisa 8 miliar meter kubik (10 persen). Penyebabnya, cadangan dan simpanan air tidak ada lagi, sehingga terjadi defisit kebutuhan air.
Ironisnya di tengah gejala alam yang semakin tidak bersahabat bagi manusia penghuninya itu, praktik-praktik perusakan alam atas nama keuntungan material tetap saja dilakukan. Kawasan Bandung Utara (KBU) yang sejatinya telah ditetapkan sebagai wilayah konservasi, misalnya, selalu saja menimbulkan kontroversi karena lemahnya konsistensi penegakan aturan. Seribu kilah bisa dikedepankan hanya demi kuasa modal.
Akankah semua praktik perusakan alam itu terus dilakukan, hingga alam menebarkan "azab"-nya sendiri? Semoga, momen Hari Air Sedunia tidak sekadar berlalu sebatas seremoni belaka. Kuasa modal sungguh tidak sebanding dengan risiko kerusakan dan bencana alam yang kian hari kian menggayuti pelupuk mata.(Eriyanti N. Dewi/Erwin Kustiman/"PR")***
Jumat, 21 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar