Senin, 24 Desember 2007

Selamatkan DAS Citarum

Krisis Air Memunculkan Konflik Sosial

Kekeringan panjang tahun ini memerosokkan kondisi Daerah Sliran Sungai (DAS) Citarum ke titik nadir. Potensi konflik pun menganga cukup lebar. Mestinya fakta tersebut membuka mata semua pihak untuk meninggalkan kepentingan sektoral yang menyebabkan pengelolaan DAS Citarum kian carut marut.

DANGKAL - Kekeringan bukan saja menghancurkan harapan para petani, tetapi juga berdampak hingga ke muara sungai. Tampak dua nelayan di Teluk Kendari harus mendorong perahu melalui anak sungai akibat pendangkalan hebat.

Hal itu diungkapkan oleh Dr Ir Suparka, Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di sela-sela acara "Simposium Rehabilitasi DAS Citarum", Selasa (12/8), di Bandung. Menurut Suparka jika kondisi itu dibiarkan berlarut-larut, dalam jangka waktu 5 hingga 10 tahun lagi Citarum akan menemui "ajal"-nya. Sementara potensi konflik pun akan makin besar bahkan berakibat lebih jauh.

Kekhawatiran Suparka sangat beralasan. Minggu lalu, sejumlah petani di Karawang membobol saluran irigasi Citarum demi mendapatkan air untuk mengairi sawah mereka yang kering. Kondisi memprihatinkan terjadi di enam kabupaten yang dilalui aliran Sungai Citarum. Dari total 41.000 hektare sawah yang kekeringan di Jawa Barat, sebagian besar amat bergantung pasokan air dari Citarum dan anak-anak sungainya.

Keluhan juga muncul dari Direktur Utama PT PLN, Edie Widiono, yang mengatakan bahwa cadangan listrik Jawa Bali menurun sekitar 1.000 megawatt. Angka tersebut setara dengan 5.200 ton BBM per tahun.

Penurunan tersebut diakibatkan menurunnya permukaan waduk Cirata, Saguling, dan Jatiluhur yang mendapat pasokan dari Citarum. Meski mencoba ditutupi oleh pihak PLN namun sangat mungkin terjadi pemadaman listrik bergilir di Jawa dan Bali.

Dalam kaitan keprihatinan itulah, LIPI mengajak semua pihak untuk memikirkan aksi penyelamatan bersama DAS Citarum, ujar Suparka. Fungsi DAS Citarum sebagai pemasok air bersih, pusat irigasi, dan penghasil energi listrik mestinya dikedepankan.

"Jangan lupa ada sekitar 8,5 juta jiwa yang bergantung pada DAS Citarum," ujarnya. Tiga waduk besar yang dipasok oleh Citarum telah meneghasilkan daya listrik sebesar 5 miliar Kwh/tahun atau setara dengan 16 juta ton BBM per tahun.

Stadium Parah

Sementara itu, Dr Jan Sopaheluwakan APU, Deputi Ilmu Kebumian LIPI mengatakan tekanan ekologis pada DAS Citarum sudah memasuki stadium parah. Berbagai kejadian seperti fluktuasi debit musiman cukup tajam, peningkatan frekuensi banjir dan kekeringan, pencemaran air permukaan dan eutrofikasi kian sering terjadi.

Selain itu, erosi, sedimentasi, alih fungsi lahan yang liar, dan ekstraksi tanah berlebihan oleh industri terus dialami oleh DAS sepanjang 269 km itu. Sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Padjadjaran di kawasan Hulu DAS Citarum, laju sedimentasi sudah mencapai lebih dari 4 juta m3 per tahun.

Laju sedimentasi cenderung lebih tinggi bila ditelusuri ke bagian hilir. Pendangkalan yang terjadi berbanding lurus dengan alih fungsi lahan menjadi area pertanian maupun pembabatan hutan lindung di sekitar DAS Citarum. Kondisi tersebut tidak membuat debit Sungai Citarum berkurang namun juga berpotensi menimbulkan banjir saat musim hujan tiba.

Menurut Jan, krisis air akan berdampak pada munculnya konflik air dan secara umum saling mempengaruhi dengan dimensi ekonomi dan politik. Tangan-tangan manusia sangat dominan memunculkan permasalahan dimensi air (kualitas, kuantitas, dan ekosistem air).

Persoalan air tidak boleh dilihat hanya pada obyek air semata. Namun dipengaruhi oleh persoalan ekosistem sepanjang DAS yang mempengaruhi kelestarian sumber daya air.

Pendekatan Ekohidrologi

Dalam ungkapan Dr Ir Gadis Sri Haryani, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI, pengelolaan DAS Citarum harus dengan pendekatan ekohidrologi. Artinya, pengelolaan yang dilakukan harus memadukan antara fungsi ekologis (biologis) dengan fungsi hidrologi (fisik).

Pemulihan DAS Citarum secara ekologis bisa dilakukan dengan penataan kawasan hulu dan hilir dengan tetap menjaga kawasan hijau. Salah satunya bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan artificial wetlands atau membentuk lahan basah buatan. Oleh karena itu, LIPI mulai mengintrodusir berbagai jenis tanaman tertentu yang cocok untuk itu.

Selain itu konsep purifikasi atau pembersihan kembali DAS Citarum juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan biota baik tanaman maupun hewan tertentu. Sementara alih fungsi lahan di DAS Citarum terutama di daerah hulu harus segera dihentikan.

Bahkan kalau perlu dilakukan relokasi industri, permukiman, maupun kawasan pertanian yang sebetulnya dilarang, ujar Suparka. Tindakan tegas seperti itu sangat penting untuk menyelamatkan DAS Citarum dari kematian ekologisnya.

Saat ditanya mengenai perlu tidaknya di bentuk semacam badan otorita khusus untuk menangani Citarum, Suparka setuju saja. "LIPI tentu bukan dalam kapasitas untuk menentukan hal itu," ujarnya. Akan tetapi pihaknya mengaku siap untuk memfasilitasi bertemunya berbagai kelompok kepentingan untuk menyusun aksi penyelamatan bersama.

Berbagai pihak, baik Pemda Jawa Barat (berikut enam kabupaten sepanjang DAS Citarum) maupun DKI Jakarta bisa duduk bersama mencari jalan keluarnya. Selain itu Departemen Kehutanan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Kantor Lingkungan Hidup, Departemen Pertanian, serta sejumlah BUMN yang terkait mesti melepaskan kepentingan sektoralnya.

Selama ini menurut Suparka, banyaknya perbedaan kepentingan yang ada membuat pengelolaan DAS Citarum cenderung tidak terkoordinasi. Akibatnya masyarakat lah yang menjadi korban dengan kelangkaan air bersih maupun untuk pertanian seperti yang terjadi saat ini.

Kekeringan panjang yang melanda kawasan sepanjang DAS Citarum mestinya tidak perlu terjadi jika ekosistem yang ada dipelihara kelestariannya. (Pembaruan)

Kembali

Tidak ada komentar: