Bandung Terperangkap Polusi UdaraPemerintah Disarankan tak Mudah Memberi Izin Kegiatan Ekonomi
COBALAH Anda berdiri di pinggir Jln. Asia Afrika dekat Alun-alun Bandung selama 15 menit sambil menghirup udara dalam-dalam. Apa yang akan anda rasakan? Saya pernah mencobanya dan belum sampai lima menit, merasa sesak, batuk-batuk, dan tidak tahan untuk langsung menutup hidung dengan saputangan. Itulah udara Kota Bandung saat ini, tercemar banyak polutan.
BUS kota yang mengeluarkan asap hitam, salah satu sumber polusi udara di Kota Bandung. Kondisi polusi udara di Kota Bandung kian hari memang kian buruk, dan kadar polutannya sudah melewati nilai ambang batas.*DUDI SUGANDI/"PR"
Ir. Puji Lestari, ahli polusi udara dari Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB mengatakan, kondisi polusi udara di Kota Bandung kian hari memang kian buruk. Hasil pengukuran tahun 2005 di beberapa ruas jalan menunjukkan kadar polutannya sudah melewati nilai ambang batas.
Hasil pengukuran di Jln. Asia Afrika menunjukkan kadar CO 8-12 ppm dan NOx 0,03 - 0,075 ppm. Di Jln. Merdeka, CO mencapai 8,2-14,7 ppm dan NOx 0,03-0,11 ppm. Padahal, batas konsentrasi karbon monoksida (CO) adalah 9 ppm dan oksida nitrogen (NOx) 0,05 ppm.
Padahal, NOx bisa berdampak buruk pada kesehatan dengan mengiritasi jalan pernapasan, sehingga bisa menyebabkan pembengkakan paru-paru. Sementara CO, terlebih pada konsentrasi tinggi, bisa mengikat haemoglobin sehingga kita akan kekurangan oksigen, pingsan bahkan menimbulkan kematian.
Tingginya kadar polutan ia perkirakan tidak hanya terjadi di kedua ruas jalan itu, tapi di semua jalan raya dengan kepadatan lalu lintas tinggi. "Sejauh ini, sektor transportasi memang merupakan penyumbang terbesar untuk polutan partikulat CO, NOx, dan hidrokarbon," tuturnya.
Pada penelitian lainnya yang bertajuk "Emission Inventory 2005" yang dilakukan Puji bersama beberapa rekannya, ditemukan bahwa total emission loading di Kota Bandung untuk CO adalah 185.476,4 ton/tahun, NOx 12. 226,4 ton/tahun, SOx 993,2 ton/tahun, HC 26.283,3 ton/tahun dan PM 10 (partikel debu berukuran kurang dari 10 mikron) 1.112,9 ton/tahun. Angka yang sungguh mengerikan mengingat udara kota semacam itulah yang kita hirup setiap saat.
Penelitian itu menyimpulkan bahwa penyumbang polutan CO terbesar bagi Kota Bandung berasal dari kendaraan pribadi, motor, dan angkutan umum. Untuk NOx paling banyak berasal dari kendaraan pribadi, angkutan ringan, dan motor.
Polutan hidrokarbon (HC) paling banyak disumbang oleh kendaraan pribadi dan motor. Sementara untuk partikel debu yang berukuran kurang dari 10 mikron banyak berasal dari kendaraan pribadi, angkutan umum, dan motor. Dari penelitian yang dilakukan di Kota Bandung, Kab. Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Sumedang, juga disimpulkan bahwa polusi udara Kota Bandung yang tertinggi.
Ditilik dari penyumbang terbesarnya, yakni sektor transportasi, tentu sektor inilah yang mendesak untuk dibenahi. Caranya? dengan perbaikan sistem manajemen lalu lintas, penggunaan bensin bebas timbal, dan pembatasan jumlah kendaraan. Perbaikan sistem manajemen lalu lintas penting dilakukan, mengingat kemacetan di jalan raya akan meningkatkan buangan asap knalpot ke udara. Polusi juga bisa ditekan dengan penggunaan bahan bakar bebas timbal.
Saat ini baru Jakarta, Batam, Denpasar, dan Cirebon yang menggunakan bensin tersebut. "Soal bahan bakar memang kebijakan pemerintah pusat. Tapi, pemerintah daerah juga harus mendorong agar kebijakan itu segera diberlakukan," ujarnya.
Untuk Kota Bandung, penggunaan bensin tanpa timbal sedianya akan dilaksanakan tahun 2006 ini. Kita lihat saja apakah sebelum akhir tahun hal itu bisa terwujud.
**
KECUALI dampak sektor transportasi, lokasi Bandung yang berada di cekungan juga berperan besar terhadap konsentrasi polutan yang ada di udara. Berbeda dengan kawasan Jakarta yang landai sehingga polutan di udara bisa terbawa angin ke laut, posisi cekungan Bandung menjadikan polutan bertahan lebih lama di udara.
"Itulah sebabnya, polusi udara di Kota Bandung jauh lebih berbahaya daripada Jakarta. Sebab, konsentrasi polutan menjadi lebih tinggi karena terperangkap di wilayah cekungan. Akibatnya, udara yang kita hirup juga semakin buruk," tutur Puji menambahkan.
Penambahan ruang terbuka hijau berupa taman, dinilainya belum banyak berpengaruh dalam mengurangi polusi udara. "Saya kira secara estetika bagus, juga untuk paru-paru kota dan oksigen kota. Tapi untuk mengurangi polusi, tetap harus dari sumbernya yaitu kendaraan bermotor," ujarnya.
Maka, Puji menilai penting untuk membatasi jumlah kendaraan. Apalagi kendaraan pribadi dan motor merupakan penyumbang utama polusi udara Kota Bandung. "Berbeda dengan polusi air yang masih bisa ditangani setelah keluar, polutan udara tidak bisa dikontrol setelah berada di udara. Oleh karena itu, harus ditangani dari sumbernya sebelum polusi itu dilepaskan," katanya pula.
Senada dengan Puji, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, Dadang Sudarga, juga mengatakan bahwa Pemkot Bandung banyak memunculkan kebijakan yang inkonsisten dan tumpang tindih, termasuk soal ruang terbuka hijau.
"Dalam Perda RTRW Kota Bandung, ruang terbuka hijau didorong untuk mencapai 10%. Tapi di sisi lain, pembangunan infrastruktur seperti mal terus meningkat. Jadi, sama aja bohong," tuturnya.
Ia juga menilai penambahan jumlah taman belum banyak berarti bagi perbaikan kualitas udara kota. Terlebih kebijakan itu tidak dibarengi upaya yang serius untuk membenahi manajemen transportasi.
Untuk mencapai target ruang terbuka hijau 10% dari seluruh luas kota, sudah seharusnya pemerintah membuat pemetaan dan itu dilaksanakan secara konsisten. DPRD Kota Bandung juga harus lebih ketat melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap kebijakan pemerintah itu.
Soal penataan kota, baik Puji maupun Dadang sepakat perlu pembenahan segera. Pemerintah disarankan tidak mudah mengeluarkan izin bagi kegiatan ekonomi yang berada di luar lokasi peruntukannya.
"Lihat saja sekarang, mal dan cafe ada di mana-mana termasuk di wilayah permukiman dan perkantoran. Akibatnya, lingkungan semrawut dan polusi udara menyebar ke seluruh daerah," ujarnya.
Bandung bukan lagi kota tempat peristirahatan yang nyaman, tenang, dan berudara sejuk. Jika penataan kota termasuk sektor transportasi tidak dibenahi segera, bukan tak mungkin nantinya udara kita akan makin terperangkap karbon monoksida. (Wilda Nurlianti/"PR")***
Jumat, 21 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar