Senin, 24 Desember 2007

Antara Angkot dan Udara Bersih Bandung (2)

tn_1645-1179789659.jpg

Beberapa dari kita mungkin tidak mengambil pusing hubungan antara perilaku angkutan kota alias "angkot" dengan udara bersih kota Bandung. Kalau ada angkot berhenti sembarangan –apalagi dengan tiba–tiba– umumnya yang terpikir adalah "bikin boros bensin" atau "ngelama–lamain perjalanan." Lain halnya dengan Ibu Driejana, PhD. Dosen Teknik Lingkungan dengan bidang keahlian udara ini berpikir "bikin pencemaran udara di Bandung semakin parah."

Driejana menggelar penelitian yang menyelidiki apakah perilaku angkot yang seenaknya berhenti di sembarang tempat memiliki andil dalam membuat udara Bandung semakin kotor dan kotor. Untuk mengarahkan ke pada solusi masalah, penelitiannya juga bermisi mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai pencemaran udara dengan penerimaan terhadap perubahan perilaku dan usaha untuk memperbaiki kualitas udara. Dari situ, Driejana merumuskan serangkaian rekomendasi mengatasi masalah kompleks ini. Poin–poin hasil penelitiannya menjadi harapan akan udara kota Bandung yang lebih baik.

. . .

Tahapan penelitian yang selanjutnya adalah memberikan informasi mengenai bahaya pencemaran udara serta perilaku angkot berhenti sembarangan yang berpengaruh meningkatkan pencemaran udara. Responden yang telah menerima informasi ini kemudian disurvey ulang. Hasilnya, kemauan berjalan menuju halte angkot terdekat meningkat dari 200 meter menjadi 300 meter.

Sebenarnya di Bandung sudah ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur mengenai pembangunan halte angkot, yaitu Perda No. 3 tahun 2005 tentang Ketertiban, Kebesihan, dan Keindahan (K3). Sayangnya hanya sebagian kecil masyarakat publik yang mengetahui mengenai keberadaan Perda ini (69 persen tidak mengetahui keberadaan Perda K3). Padahal masyarakat setuju terhadap pemberlakuan Perda ini (75 persen). Hal yang sama juga terjadi di pihak pengemudi angkot. Bahkan 68 persen, tidak tahu bahwa sesuai dengan Perda itu, tidak berhenti di halte akan dikenakan sanksi sebesar Rp 250.000. Hasil survey ini membuktikan bahwa sosialisasi Perda masih kurang dan penegakan hukum sesuai dengan Perda masih lemah.

Rekomendasi utama peningkatan kualitas udara Bandung berdasarkan hasil penelitian ini adalah peningkatan sosialisasi mengenai bahaya pencemaran udara bagi masyarakat dan pengemudi angkot. Khususnya bagi pengemudi angkot, harus diajarkan perilaku ’mengemudi ramah lingkungan’, atau dikenal dengan "eco–driving". Termasuk dalam konsep "eco–driving" adalah mengurangi saat berhenti dan memulai berkendara (tidak berhenti–jalan terlalu sering) dan berkendara dengan kecepatan optimum (antara 30 sampai 50 km/jam). Mengemudi ramah lingkungan juga dilakukan dengan mengecek dan mengatur tekanan ban secara teratur serta menghindari mengemudi dengan gigi rendah, untuk menghindari pembakaran tidak sempurna.

Bagi pemerintah kota, penelitian ini merekomendasikan pembangunan halte angkot yang nyaman dan aman. Asal sosialisasi mengenai bahaya pencemaran diberikan dengan memadai, halte angkot dapat dibangun dan diterima masyarakat hingga jarak 2x300 meter. Juga berkaitan dengan itu, perlu dibangun pula fasilitas pejalan kaki yang memadai. Perda No. 3 tahun 2005 tentang K3 perlu disosialisasikan dengan baik ke seluruh masyarakat Bandung. Bersamaan dengan itu, hendaknya penegakan hukum yang sesuai dengan Perda tersebut harus diperkuat.

Penelitian Driejana merupakan kolaborasi dari tim yang terdiri dari staf peneliti di Kelompok Keahlian (KK) Pengelolaan Udara dan Limbah, KK Transportasi dan Jalan Raya, serta Badan Penelitian Lingkungan Hidup (BPLHD) Jawa Barat.

Tidak ada komentar: