Pendahuluan
Visi Kota Bandung sebagaimana yang tercantum dalam Renstra Pemerintah Kota Bandung 2004 – 2008 ) adalah Kota Bandung Sebagai Kota Jasa Yang BERMARTABAT (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat). Makna yang tertuang dari visi tersebut, mengandung arti Pertama, Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus bersih dari sampah, dan bersih praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penyakit masyarakat (judi, pelacuran, narkoba, premanisme dan lainnya) dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang bertentangan dengan moral agama dan budaya masyarakat atau bangsa;Kedua, Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang memberikan kemakmuran bagi warganya; Ketiga, Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus memiliki warga yang taat terhadap agama, hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk menjaga keamanan, kenyamanan dan ketertiban kota; Keempat, Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus memiliki warga yang bersahabat, santun, akrab dan dapat menyenangkan bagi orang yang berkunjung serta menjadikan kota yang bersahabat dalam pemahaman kota yang ramah lingkungan. Secara harifiah, Bermartabat diartikan sebagai harkat atau harga diri, yang menunjukkan eksistensi masyarakat kota yang dapat dijadikan teladan karena kebersihan, kemakmuran, ketaatan, ketaqwaan dan kedisiplinannya. Jadi Kota Jasa yang bermartabat adalah kota yang menyediakan jasa pelayanan yang didukung dengan terwujudnya kebersihan, kemakmuran, ketaatan, ketaqwaan dan kedisiplinan masyarakatnya. Sebuah rencana yang sangat ideal. Tentu saja pembuatan renstra itu didasari oleh suatu cita-cita luhur dari para pembuat kebijakan. Pertanyaan kita saat ini dipenghujung dari renstra tersebut sejauhmana keberhasilan dari renstra tersebut. Yang penulis amati dan analisa dari sekian banyak renstra adalah mengenai Pengembangan dan Pengendalian Lingkungan Hidup.
Dalam renstra disebutkan tujuan Pengembangan dan Pengendalian Lingkungan Hidup adalah : Meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dengan sasaran;
a) Terkendalinya pencemaran di bawah tanah, permukaan tanah dan di atas permukaan
tanah;
b) Meningkatnya kualitas dan kuantitas lahan resapan air;
c) Meningkatnya prasarana dan sarana TPA serta pengolahan alternatif sampah/limbah;
d) Meningkatnya kualitas dan kuantitas pemeliharaan taman-taman dan hutan-hutan kota;
e) Meningkatnya upaya-upaya pencegahan pengalihan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan mengembalikan secara bertahap fungsi RTH yang telah beralih fungsi;
f) Terwujudnya proporsi RTH.
Daya Dukung Lingkungan Yang Semakin Terus Menurun.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangun fisik di kota Bandung terus berlangsung. Hal ini bisa dilihat dari terbangunnya pusat-pusat perbelanjaan atau Mal dan pasar – pasar modern yang harus diakui dalam pelaksanaan pembangunannanya telah menggusur pasar-pasar tradisional. Padahal pada kenyataannya rakyat masih membutuhkan pasar itu. Dan sudah tentu konsekwensinya banyak pedagang yang modalnya kecil tidak sanggup lagi berdagang di pasar dan kemudian beralih ke jalan-jalan. Kondisi tersebut mengakibatkan kemacetan lalulintas. Seperti yang terjadi di daerah andir dan jalan sudirman, kiara condong, cicadas dan banyak lagi. Begitupun dengan Supermaket tidak kalah ketinggalan. Keberadaannya hampir dipelosok kota sudah ada. Dan sebagian besar mengusur warung-warung kecil.
Kemajuan ini sayangnya tidak memperhitungkan resiko daya dukung lingkungan yang semakin hari terus mengalami penurunan. Permasalahan yang paling krusial dihadapi kota Bandung saat ini adalah masalah kependudukan, dan menurunnya air, udara dan pencemaran yang mengakibatkan tercemarnya air, tanah dan udara serta minimnya ruang terbuka hijau.
Perubahan fungsi hidrologis diawali dengan adanya perubahan tata guna lahan. Monitoring perubahan tata guna lahan di DAS Citarum Hulu didasarkan interpretasi penutup lahan dengan membandingkan data penginderaan jarak jauh Landsat TM antara tahun 1983, 1993, dan 2002. Rezim aliran dianalisis berdasarkan data hasil pengukuran debit di Stasiun Debit Nanjung yang berada di hilir. Data curah hujan diperoleh dari tujuh stasiun hujan yang tersebar di sepanjang DAS Citarum Hulu. Koefi sien run off dihitung secara empiris dari persamaan massa air. Kualitas air permukaan dilihat dari berbagai parameter kimia dan mikro biologi, kemudian dianalisis kecenderungannya terhadap jarak dari hulu ke hilir. Kondisi air bawah tanah dianalisis melalui Indeks Produktivitas Air Tanah selama sepuluh dekade. Analisis masalah persampahan dilakukan berdasarkan data pelayanan sampah, sedangkan analisis kualitas udara dilakukan berdasarkan data kualitas udara melalui Indeks Standard Pencemar Udara (ISPU) dan data lain yang relevan.
Perubahan Tata Guna Lahan
Fenomena yang terjadi di DAS Citarum Hulu pada saat ini adalah ketika musim kemarau terjadi kekeringan, dan sebaliknya pada musim hujan terjadi banjir disertai dengan buruknya kualitas air. Terganggunya fungsi hidrologis di DAS Citarum ini karena banyaknya konversi lahan di daerah tangkapan air, yakni dari lahan resapan air menjadi lahan terbangun (permukiman, industri, jalan, dan fasilitas lainnya), sehingga air yang meresap ke dalam tanah semakin berkurang. Meningkatnya perkembangan penduduk dan krisis ekonomi sejak tahun 1997 telah berdampak cukup signifikan terhadap kondisi lingkungan. Tidak terkendalinya konversi lahan dari lahan resapan air menjadi lahan terbangun merupakan awal kerusakan lingkungan yang terjadi di DAS Citarum Hulu, walaupun sejak tahun 1982 Pemda Propinsi Jawa Barat telah mengeluarkan SK Gubernur No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat, 2004). Berdasarkan hasil analisis, terjadi perubahan tata guna lahan sejak 1983, 1993, hingga 2002. Berkurangnya area hutan dan lahan bervegetasi lainnya sebesar 54% dan meningkatnya area terbangun sebesar 223% selama 1983-1002, telah memberikan dampak yang signifi kan (nilai korelasi >0,9) terhadap meningkatnya jumlah lahan kritis sebesar 66% dalam periode tersebut. Selain itu, perubahan tata guna lahan juga berpengaruh terhadap menurunnya lahan dengan kondisi baik di tahun 1983 dari 14,15% pada 1983, 11,30% di tahun 1993, menjadi 6,81% di tahun 2002.
Perubahan tata guna lahan berpengaruh terhadap rezim aliran air sungai. Meningkatnya lahan terbangun mengakibatkan bertambahnya koefi sien run off, yang berarti makin sedikitnya porsi presipitasi yang tersimpan dalam tanah. Pada Gambar 2, terlihat kecenderungan naiknya koefi sien run off dari 0,3 pada tahun 1950 menjadi 0,55 pada tahun 1998. Koefi sien run off berkaitan erat dengan debit air sungai. Bertambahnya jumlah lahan terbangun berarti sebagian besar air hujan akan mengalir ke saluran drainase dan berakhir di sungai. Hal ini akan menyebabkan bertambahnya debit maksimum
sungai. Pada Gambar 3, terlihat bahwa debit ekstrem maksimum cenderung mengalami kenaikan dalam periode 1950-2000. Sebaliknya, meningkatnya koefisien run off mengakibatkan debit minimum sungai mengalami penurunan karena semakin sedikit porsi air hujan yang tersimpan dalam tanah (Gambar 4). Hal ini berakibat menurunnya debit aliran dasar (base fl ow) Gambar 2. Kecenderungan Koefi sien Run Off 1950-2000 yang menunjukkan peningkatan secara signifi kan. Gambar 3. Kecenderungan debit ekstrem maksimum 1951-1998 menunjukkan perubahan secara fl uktuatif. Permasalahan dan Strategi Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan Studi Kasus: Cekungan Bandung 167 (S. Wangsaatmaja, dkk.)
sungai, perbedaan antara debit maksimum dan debit minimum semakin besar, dan aliran sungai sangatbergantung pada jumlah presipitasi (tidak stabil). Pada akhirnya, hal ini akan mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau seperti yang terjadi di Cekungan Bandung. Perubahan tata guna lahan juga mempengaruhi komponen hidrologi lainnya (dengan R>0,9), seperti meningkatnya debit banjir sebesar 56%, tingginya perbedaan antara debit maksimum dan minimumsebesar 33%, menurunnya indeks produktivitasair tanah sebesar 60%, dan menurunnya frekuensipresipitasi (<300>
Kondisi air permukaan juga berpengaruh terhadap air tanah di Cekungan Bandung. Pada Gambar 6, terlihat bahwa jumlah sumur bor di Cekungan Bandung terus meningkat, namun Indeks Produktivitas Air Tanah terus menurun. Artinya jumlah sumur bor dan persediaan air tanah di Cekungan Bandung sudah tidak seimbang. Menurut penelitian terbaru, terdapat 550 industri di Cekungan Bandung, dan 80% di antaranya merupakan industri tekstil yang mengambil kebutuhan airnya dari tanah. Kondisi ini mengakibatkan penurunan permukaan air tanah dan dalam jangka panjang akan menimbulkan penurunan permukaan tanah (land subsidence). Total kebutuhan air bersih di Cekungan Bandung sebesar 1.265.204 juta m3/tahun (Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Bappeda Propinsi Jawa Barat, 2000), dan PDAM hanya bisa menyediakan 43% dari kebutuhan tersebut. Karena itu peran air tanah, baik akuifer dangkal, menengah, maupun dalam, sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih di Cekungan Bandung. Sektor domestik, komersial, maupun industri mengambil air tanah dengan atau tanpa izin pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar