BANDUNG -- Kebijakan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) merupakan solusi memaksakan kehendak. Pasalnya, membakar sampah lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Karenanya, para aktivis lingkungan menolak pembangunan PLTSa.
Menurut Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Mubiar Purwasasmita, pembakaran sampah membentuk senyawa yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Zat itu misalnya dioxin, furan, particle pollution, polycyclic aromatic hydrocarbons, volatile organic compounds, SO, dan lainnya.
''Pembakaran tidak melenyapkan zat-zat berbahaya,'' ujar Mubiar dalam diskusi tentang sampah, Rabu (20/6). Pembakaran itu, kata dia, menghasilkan abu dan debu yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3).
Jumlah abu yang dihasilkan dari PLTSa, kata Mubiar, mencapai 20 persen dari berat sampah atau setara dengan 100 ton per hari. Untuk itu, dibutuhkan 11 truk sampah untuk mengangkutnya. ''Ini membuktikan pengoperasian PLTSa tidak menghilangkan TPA,'' katanya menandaskan.
Dipaparkan Mubiar, pembakaran menghasilkan dioxin yang diklasifikasikan sebagai polutan yang persisten, bioakumulatif dan toksin (beracun bagi hewan dan manusia). Yang dimaksud dengan persisten adalah tidak mudah hilang atau terurai di alam sedangkan bioakumulatif berarti konsentrasinya meningkat sesuai dengan tingkatannya di rantai makanan.
Menurut Mubiar, meskipun pembakaran sampah dilakukan di atas suhu 800-1.200 derajat celsius, fakta membuktikan incinerator tetap menghasilkan dioxin. Asupan dioxin bisa melalui udara maupun makanan.
''Bandung yang terletak di daerah cekungan akan memerangkap gas-gas beracun yang dihasilkan PLTSa, sehingga pencemaran itu makin terkonsentrasi di Kota Bandung,'' ungkap Mubiar.
Dikatakan Mubiar, keadaan Bandung berbeda dengan Kota Guang Zhou, Cina. Saat ini, kondisi kabut di Kota Bandung tak lagi berwarna putih, melainkan coklat. Hal ini, kata dia, akan semakin parah jika cerobong asap dari PLTSa sudah berdiri.
Selama ini, kata Mubiar, tidak ada penelitian mengenai ketinggian cerobong yang layak dibangun di Kota Bandung untuk keamanan lingkungan. Pasalnya, asap di Gedebage itu hanya bisa keluar dengan merayap pada bukit-bukit berundak di Bandung utara.
Lebih lanjut Mubiar menjelaskan, pembangunan PLTSa pun membutuhkan banyak air. Padahal dalam keseharian, penduduk Bandung sering mengalami kekurangan air. Ia memprediksi, saat musim kemarau, PLTSa tidak bisa beroperasi. ''Masyarakat semakin berebut air,'' cetus dia.
Mubiar mengatakan, tidak banyak keuntungan yang didapat dari PLTSa. Dari 500 ton sampah yang dibuang, 300 ton yang terbuang berupa air, 100 ton untuk abu, dan abu terbang sebanyak 15 ton. Karena itu, dia mempertanyakan energi yang dihasilkan.
Ketua Bali Focus, Yuyun Ismiati, mengatakan pembuangan sampah ini, mengajarkan masyarakat untuk membuang sampah sebanyak-banyaknya. Kata dia, masyarakat yang mampu akan merasa cukup membayar retribusi yang dibebankan tanpa mau tahu proses pengelolaan sampah. Sedangkan masyarakat menengah ke bawah akan enggan membayar retribusi. ''Akibatnya sampah dibuang sembarangan,''ujar dia.
Dikatakan Yuyun, karakteristik sampah Bandung dan luar negeri berbeda. Sampah Bandung, kata dia, 60 persen merupakan sampah basah. Sedangkan di luar negeri sampah keringnya lebih banyak sehingga energi yang dihasilkan lebih besar.
(ren )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar