Jumat, 21 Desember 2007

PENINGKATAN DAYA DUKUNG DAN DAN PEMULIHAN KUALITAS LINGKUNGAN JAWA BARAT KE DEPAN

Oleh : Dadang Sudardja. Ka. Divisi Kampanye dan POR

WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA JAWA BARAT

Jl. Bengawan No. 82 Bandung. Telp. 022-727574. Hp. 081931220356

Latar Belakang

Tingkat dan akselerasi kerusakan lingkungan saat ini telah lebih jauh berubah menjadi masalah sosial yang pelik. Aktifitas pembangunan saat ini telah menimbulkan masalah-masalah sosial seperti mengabaikan hak-hak rakyat atas kekayaan alam, marjinalisasi dan pemikisnan. Permasalahan lingkungan hidup juga bukan masalah yang berdiri sendiri dan harus dipandang sebagai masalah sosial kolektif. Oleh karenanya, masalah lingkungan hidup saat ini mau tidak mau juga harus mentransformasikan dirinya menjadi sebuah gerakan sosial. Artinya seluruh komponen masyarakat seperti buruh, petani, nelayan guru, kaum profesional, pemuda, mahasiswa, remaja, anak-anak dan kaum perempuan harus bersatu melawan ketidak adilan lingkungan hidup.

Permasalahan Lingkungan Hidup Di Jawa Barat

Dari berbagai hasil studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset , menunjukan dan memberikan gambaran yang negatif dan terus mengalami degradasi di berbagai sektor. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh BPLHD, permasalahan lingkungan yang terjadi di Jawa Barat merupakan akibat dari perencanaan dan pengelolaan tata ruang dan lahan yang tidak tepat. Masalah lingkungan yang timbul mencakup gangguan fungsi hidrologi DAS, kualitas dan kuantitas air, baik air permukaan dan air tanah, maupun sampah, serta kualitas udara. Sebagai contoh dari hasil studi yang permasalahan lingkungan di Cekungan Bandung telah dilakukan melalui interpretasi perubahan tata guna lahan, pengukuran rezim aliran permukaan, kualitas air, pengelolaan sampah, dan kualitas udara. Perubahan tata guna lahan mengakibatkan kawasan vegetasi, seperti hutan dan sawah, berkurang sebesar 54%, dan terjadi peningkatan area terbangun menjadi sebesar 223%. Kerusakan DAS diindikasikan oleh peningkatan koefi sien run off, dari 0,3 pada 1950 menjadi 0,55 pada 1998. Terjadi pula perubahan rezim aliran yang ditunjukkan oleh kecenderungan meningkatnya debit ekstrem maksimum dari 217,6 m3/det pada 1951 menjadi 285,8 m3/det pada 1998, dan penurunan debit ekstrem minimum dari 6,35 m3/det pada 1951 menjadi 5,70 m3/det pada 1998. Indeks produktivitas air tanah terus menurun dari 0,1 juta m3/unit pada tahun 1900 menjadi 0,0188 juta m3/unit di tahun 2002. Permasalahan lingkungan di Cekungan Bandung juga terjadi pada sektor persampahan, tingkat pelayanan sampahnya hanya sebesar 43,7%, serta pencemaran udara oleh emisi kendaraan bermotor dan industri berupa PM10, NOx, CO2, SO2, Pb, dan terjadinya fenomena hujan asam. Sementara itu tingkat pelayanan air bersih di Cekungan Bandung baru mencapai 43%. Kerusakan DAS yang terjadi di Cekungan Bandung memerlukan perombakan sistem pengelolaan, tidak lagi berbasis batas administrasi, melainkan pengelolaan DAS terpadu berdasarkan batas ekologi. (Sumber BPLHD Jawa Barat)

Kondisi ini, tentu saja harus segera disikapi dan ditindaklanjuti dengan melakukan reposisi atau bahkan meninjau ulang kembali rencana pembangunan dari berbagai aspek. Terutama yang kaitannya dengan penataan ruang, dalam upaya mewujudkan tatanan perikehidupan yang berkeadilan dan demokratis sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi, dimana setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan kehidupan yang layak. Hak atas lingkungan hidup yang sehat merupakan Hak Asasi Manusia.

Harus Berawal dari Penataan Ruang Yang Konprehensif

Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang. Penataan ruang dilakukan berdasarkan, 1). Fungsi utamanya, meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. 2). Aspek administrative, meliputi ruang Wilayah Nasional, Wilayah Propinsi dan Wilayah Kabupaten. Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan wilayah adalah pembangunan yang dilandasi oleh pengwilayahan fakta. Wilayah fakta inilah yang mencerminkan persamaan persamaan ataupun perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat, yang selanjutnya akan mencerminkan kebutuhan-kebutuhan anggota masyarakat.

Rencana Tata Ruang Wilayah pada dasarnya merupakan suatu alat bantu yang disusun dengan perspektif menuju ke keadaan masa depan yang diharapkan. Perencanaan RTRW bertitik tolak dari data dan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan metode penyusunan. Lingkup data yang digunakan mencakup data dan informasi fisik alami, social budaya dan hubungan ketergantungan wilayah perencanaan dengan wilayah lainnya.

Kegiatan berencana pada umumnya dan pembangunan berencana pada khususnya adalah suatu kegiatan berangkai, atau suatu proses yang meliputi aspek Kebijakan – Perencanaan – Pelaksanaan dan Penilaian (Plan ­Planning­ Implementation ­ Monitor). Kebijakan pembangunan dapat dirumuskan dengan baik jika ditopang oleh faktafakta yang baik dan sejalan dengan sasaran atau tujuan yang akan dicapai. Pengwilayahan adalah usaha untuk menyajikan fakta keruangan (spatial) seefektif mungkin dengan tujuan supaya penetapan kebijaksanaan pembangunan bisa lebih cermat. Kegiatan perencanaan terdiri dari usaha untuk menetapkan prioritas proyek, sebagai kelanjutan usaha penjabaran kebijaksanaan pembangunan ke dalam pelbagai proyek, kemudian menetapkan proyek proyek penunjangnya, dananya, jangka waktu pelaksanaannnya, memikirkan kemungkinan dampaknya, kebutuhan personalianya dan akhirnya kebutuhan tanahnya (ruang).

Bagaimana dengan Tata ruang Jawa Barat ?

Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat merupakan dokumen penting yang menjadi arah kebijakan pelaksanaan pembangunan dan rujukan bagi penyusunan rencana yang lebih operasional di Jawa Barat. Dokumen ini merupakan produk dari kegiatan perencanaan tata ruang yang merupakan bagian dari penataan ruang. Meskipun demikian, didalamnya tidak hanya berisi tata ruang, tetapi juga mencakup pemanfaatan (rencana tata) ruang, pengendalian tata ruang, serta hak, kewajiban dan peranserta masyarakat.

Dokumen ini menjadi pedoman untuk penyusunan kebijakan pokok pembangunan dan pemanfaatan ruang, arahan lokasi investasi, penyusunan RDTRK/RTRK/RTBL dan rencana teknis lainnya, penerbitan perijinan, pelaksanaan pembangunan, dan penyusunan indikasi program pembangunan.

Kurangnya Pemahaman Antar Pelaku

Dari hasil dikusi publik yang dilaksanakan di Walhi pada tanggal 25 Okotober 2005, bersama Deny Zulkaidi seorang planer dari ITB yang juga merupakan konsultan dikatakan bahwa, yang menjadi persoalan utama dalam pelaksanaan RTRW di Jawa Barat, khususnya Bandung, adalah kurangnya pemahaman dan kurangnya kesepakatan seluruh pelaku pembangunan atas substansi rencana tata ruang tersebut. Kurangnya pemahaman ini disebabkan memang rencana tata ruang ini masih berupa kebijakan (policy statement) yang belum dirinci kedalam peraturan pelaksanaan yang operasional (antara lain peraturan pembangunan atau zoning regulation, RDTRK/RTRK/RTBL. Meskipun secara politik kesepakatan ini telah ditunjukan dengan terbitnya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Akan tetapi masih ada pihak-pihak yang berusaha mencari peluang untuk tidak mengikuti aturan/arahan penataan ruang didalamnya. Salah satu penyebab adalah kurangnya partisipatifnya proses penyusunan rencana tersebut, adanya konflik kepentingan yang tidak terselesaikan, atau adanya perubahan nilai dan kepentingan dari kesepakatan sebelumnya. Persoalan utama ini potensial menjadi penyebab terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tata ruang.

Hal lain yang menjadi penyebab utama dari persoalan tersebut diatas adalah inkonsistensi pemerintah terhadap peraturan yang ada. Contoh kasus adalah dengan telah direvisinya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang yang baru berumur satu tahun. Ada inidikasi bahwa hal ini terjadi disebabkan oleh dorongan kepentingan pihak tertentu, yang memiliki motif ekonomi jangka pendek, sehingga mengabaikan kepentingan publik yang dalam hal ini masyarakat Bandung secara keseluruhan. Perubahan ini akan membawa dampak yang sangat besar bagi ekologi Kota Bandung. Perubahan pada peraturan, mengakibatkan adanya perubahan pada peta tata guna lahan. Dimana sebelumnya kawasan Punclut termasuk kawasan Konservasi, dengan telah direvisinya RTRW, kawasan ini berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman berkepadatan rendah. Perubahan yag diusulkan oleh Pemerintah Kota menunjukan inkonsistensi terhadap peraturan yag ada.

Peran Penataan Ruang dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan. (Strategi Pembangunan Jangka Panjang)

Dari berbagai hasil penelitian bahwa Kawasan perkotaan di Indonesia dewasa ini cenderung mengalami permasalahan yang sama; yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota semakin berat. Selain itu daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan kependudukan. Permasalahan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat konversi lahan, terutama lahan yang seharusnya dilindungi agar tetap hijau menjadi daerah terbangun, yang menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas lingkungan perkotaan.

Lemahnya Penegakan Hukum dan Rendahnya Tanggung Jawab Semua aktor

Lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang juga merupakan masalah seperti misalnya munculnya permukiman kumuh di bantaran sungai dan terjadinya kemacetan akibat terbaurnya lalu lintas regional dan lokal sebagai implikasi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya seperti kegiatan pasar di sepanjang jalan arteri.

Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015. (Sumber : Dirjen Penataan ruang)

Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka publik di perkotaan. Kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir, mengalami penurunan yang sangat signifikan.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970 an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. Hal ini telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan yang membawa implikasi pada menurunnyaproduktifitas masyarakat, terutama dikarenakan seringnya terjadi banjir,tingginya tingkat polusi udara, serta terbatasnya ruang yang tersedia untuk interaksi sosial. Seharusnya kalau mengacu kepada UU Penataan ruang yang baru, setiap kota harus memiliki RTH (Ruang Terbuka Hijau) 30% dari luas wilayah.

Diperlukan perencanaan jangka panjang yang komprehensif dengan mengedepankan daya dukung lingkungan sebagai dasar pelaksanaan pembangunan.

Kemajuan dan perkembangan fisik kota di satu sisi merupakan daya tarik bagi penduduk untuk bertempat tinggal di perkotaan. Namun, kapasitas infrastruktur dan fasilitas di perkotaan belum sepenuhnya dapat melayani jumlah penduduk yang ada. Hal ini membawa implikasi antara lain semakin berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan banyaknya kawasan kumuh yang dihuni masyarakt miskin perkotaan Menurut laporan UN-Habitat lebih dari 550 juta penduduk di Asia tinggal di kantong-kantong kumuh perkotaan. Sementara di Indonesia data tahun 2000 menunjukkan masih terdapat sekitar 17 juta penduduk yang bertempat tinggal di 10.000 kawasan kumuh perkotaan dengan total luas areal lebih dari 47.000 hektar.

Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan. Perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana alam seperti gempa maupun tsunami. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau. Jadi perencanaan tata ruang harus dimulai dengan pertanyaan dimana kita tidak boleh membangun, bukan sebaliknya. Selanjutnya rencana tata ruang perkotaan harus pula secara ekologis dan planologis memasukkan komponen-komponen RTH maupun ruang terbuka publik lainnya dalam struktur tata ruang kota. Secara hirarkis, struktur pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka publik dalam perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya, mulai lingkungan yang terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga tingkat metropolitan, unsur RTH yang relevan harus dapat disediakan sesuai tingkat pelayanannya.

Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan serta tingkat harapan hidup masyarakat, bahkan menyebabkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak pada generasi mendatang akibat exposure terhadap polusi udara yang berlebihan. Selain itu dari aspek perilaku sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga disebabkan kurangnya ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan yang dialami masyarakat perkotaan. Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan.

Sementara itu secara teknis, issue yang menyangkut penyelenggaraan RTH diperkotaan antara lain menyangkut kurangnya optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan 4SDM, kurangnya keterlibatan stakeholder dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/ lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH.

Kurangnya optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah).

Pengembangan Pedesaan sebagai salah satu solusi

Salah satu upaya yang dapat diterapkan dalam rangka untuk mengurangi beban perkotaan adalah dengan mengembangkan daerah perdesaan agar arus urbanisasi ke perkotaan dapat diturunkan seperti misalnya dengan mengembangkan kawasan agropolitan. Dengan pengembangan kawasan agropolitan, di desa dikembangkan sarana produksi untuk mengolah bahan baku yang dihasilkan di desa tersebut, sehingga di desa tersebut akan tercipta perluasan kesempatan kerja dan terjadi nilai tambah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Selain melalui pengembangan sarana produksi, juga dikembangkan prasarana dan sarana pendukung lainnya, sehingga kawasan perdesaan tersebut akan menjadi kawasan perkotaan yang bernuansa pertanian. Kawasan agropolitan tersebut juga menjadi embrio perkotaan kedepan yang lebih terstruktur, yang selanjutnya sejalan dengan perkembangan ekonomi dan kependudukan, di kawasan agropolitan tersebut akan terbentuk sistem perkotaan yang terstruktur dengan baik.

Melalui pengembangan kawasan agropolitan dan kawasan metropolitan tersebut terlihat bahwa penataan ruang mempunyai peran yang sangat besar didalam mengarahkan perkembangan kota agar kota-kota tersebut dapat berkembang secara terarah, terstruktur dengan baik dengan dukungan ketersediaan prasarana dan fasilitas termasuk ruang terbuka hijau yang memadai. Selain itu terdapat manfaat lain yang dapat diperoleh melalui penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai, yaitu suhu di kawasan perkotaan dapat diturunkan secara alami sehingga dapat mengurangi pemakaian energi.

Upaya pengembangan kawasan perkotaan tersebut harus dituangkan dalam bentuk rencana tata ruang, dan selanjutnya rencana tata ruang tersebut perlu dilegalkan dalam bentuk Peraturan Daerah agar mempunyai kekuatan hukum yang kuat untuk menjadi acuan bagi aparat terkait dalam pemberian ijin bagi berbagai kegiatan pengisi ruang kota, termasuk dalam penyediaan ruang terbuka hijau kota yang memadai.

Penutup

Tidak dapat disangkal bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi telah melahirkan banyak tuntutan, termasuk kebutuhan kenyamanan. Tuntutan tersebut adalah wajar dan sah sepanjang dilaksanakan sesuai dengan aturan [manusia dan alam]. Namun demikian, tampak kesan kuat bahwa fenomena kesemrawutan pemanfaatan lahan khususnya di cekungan Bandung, merupakan konsekuensi dari orientasi pembangunan yang terlalu materialistik. Apakah fenomena tersebut merupakan dilema atas pembangunan ekonomi di kawasan konservasi? Seharusnya tidak. Pembangunan ekonomi tidak harus mengorbankan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilaksanakan apabila:

1. Kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan sungguh-sungguh difahami untuk kemudian dilaksanakan.

2. Pihak eksekutif konsisten dalam melaksanakan Perda sementara legislatif juga konsisten dalam menjalankan fungsi pengawasannya.

3. Masyarakat/LSM ikut aktif dalam proses perencanaan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan.

4. Universitas dituntut untuk lebih mengedepankan fungsi pengabdian pada masyarakat yang selama ini kurang memperoleh perhatian dalam arti tidak hanya berhenti menyumbangkan pikiran secara konseptual [sebagai lembaga think tank], tapi juga memberi contoh dan terlibat langsung di lapangan [a.l. melalui fungsi pendampingan].

5. Mengupayakan mekanisme yang dapat mencegah terjadinya penyimpangan RTRW termasuk sanksi terhadap terjadinya pelanggaran. Upaya hukum dalam bentuk class action adalah salah satunya. Dampak positif dari upaya class action ini adalah mendorong pihak eksekutif dan lainnya yang terkait bertanggungjawab atas kebijakan publik yang mereka keluarkan. Dengan kata lain, meningkatnya pertanggungjawaban publik, transparansi, dan proses partisipatif dalam perencanaan RTRW dapat memberikan jaminan lebih besar untuk tercapainya kebijakan pembangunan ramah lingkungan.

Akhirnya, sudah saatnya bahwa pemberian ijin bagi aktivitas pembangunan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak pada masyarakat luas seharusnya melalui proses dengar pendapat publik (public hearing) dan bahkan debat publik (public debate) tentang boleh tidaknya aktivitas pembangunan tersebut dilaksanakan. Hal ini merupakan cara yang baik sebagai pendidikan sadar lingkungan bagi pejabat dan masyarakat luas. Dengan proses mekanisme pengambilan keputusan ini, selain lebih demokratis, kecenderungan saling menyalahkan pada saat terjadinya kasuskasus kerusakan lingkungan juga dapat dihindari. Jelas, jika kita serius, kita dapat bertindak banyak. Tidak hanya sibuk dengan retorika saja. (Sumber : Diskusi Publik Chay Asdak, Walhi Jabar 2006)

Tidak ada komentar: