Rabu, 19 Desember 2007

Tri Hita Karana Dunia ala Sura Cs


NUSA DUA-Penari kontemporer kawakan Bali I Nyoman Sura punya cara tersendiri merefleksikan perubahan iklim yang menjadi isu sentral di Konferensi PBB tentang perubahan iklim yang berlangsung di BICC (Bali International Convention Center), Nusa Dua. Sebuah tarian kolosal bertema Tri Hita Karana oleh kru Sura Productions, dipersembahkan di hadapan ribuan delegasi UNFCCC di halaman BICC, Rabu siang kemarin. Tri Hita Karana adalah konsep hidup masyarakat Hindu yang memperhatikan di sekelilingnya. Bagaimana hubungan manusia dengan manusia, dengan lingkungan dan hubungan dengan Tuhan.Sedikitnya 30 penari bergeliat diawali liukan tubuh Nyoman Sura dari replika bumi yang ditancapi cerobong asap milik Greenpeace. Dengan alat musik kendang dan suling yang ditabuh dinamis, puluhan penari yang mengenakan kostum corak kehidupan itu melesak mengkontemplasikan tariannya. Ada yang menggunakan gaun tarian adat Bali dengan simbol api, air, hutan, dan binatang bahkan teroris. Mereka mencoba menggambarkan betapa keserakahan telah mengakibatkan bumi ini mencekam. Konsepnya yang unik dengan etnik Bali-nya yang kental, tarian ini memberi peringatan agar manusia tak merusak alam. Kedahsyatannya membius audiens, tak pelak tarian yang bernuansa teatrikal itu mendapat sambutan luar biasa dari para delegasi. Ratusan media internasional pun tak melewatkan momen langka dan menarik itu.Nyoman Sura, penari Bali yang sudah go international ini mengatakan, keharmonisan dunia dapat diciptakan dengan menjalankan konsep Tri Hita Karana. "Kita ingin dunia ini menjadi satu kesatuan utuh, saling menjaga dan melestarikan, bukan sebaliknya saling merusak, sehingga kedamaian dan keteduhan dunia dapat terjaga," jelas Sura. Dijelaskan, pesan yang digambarkan dalam tarian itu antara lain, adanya penebangan hutan yang menimbulkan banjir, kekeringan, dan kelaparan di atas bumi ini. Mengatasi krisis ini, menurutnya, dunia harus dikembalikan pada konsep keseimbangan. Baik kesiimbangan antara manusia dengan manusia dengan alam, terlebih manusia dengan Tuhan. Para penari ini sebelum masuk arena BICC juga sempat mengkontemplasikan tariannya di pohon balon yang dipajang dekat security gate Ring I. Atraksi tersebut sempat tertunda sekitar satu jam sebelum digelar mulai pukul 13.25. Pasalnya, sekitar 20 orang dari anggota penari tertahan di pintu masuk utama karena identitasnya belum teregistrasi.Ditangkapi Polisi, Bentuk Crisis CenterPerhelatan konferensi PBB yang berlangsung hingga 14 Desember mendatang, sungguh penuh warna. Bila Sura menggambarkan melalui kemampuan seninya. Beda individu lain pula pengungkapan ekspresinya.Bahkan ada yang menganggap konferensi ini telah melahirkan dampak buruk bagi kebebasan berekspresi dan berserikat. Pasalnya, pemerintah Indonesia dinilai terlalu berlebihan melakukan pendekatan pengamanan (security approach) dalam hajatan internasional ini. Contoh konkretnya, 18 mahasiswa Universitas Mataram harus menjalani pemeriksaan intensif di Mapolda Bali terkait kedatangan dan maksud tujuan mereka ke Bali sebelum akhirnya dipulangkan. Pun demikian enam mahasiswa Papua juga menjadi korban dari kebijakan pengamanan konferensi dan harus menjalani pemeriksaan intensif sebelum akhirnya juga dipulangkan. Tindakan itu dinilai tidak sejalan dengan pemenuhan konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Akibatnya, tidak sedikit warga negara terhambat dalam pemenuhan hak-hak dasarnya. Menyikapi masalah itu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Bali bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali membangun jaringan advokasi selama kegiatan KTT berlangsung dengan nama Crisis Center for Human Right.Ketua PBHI Bali I Wayan "Gendo" Suardana usai pembentukan jaringan advokasi kepada wartawan mengatakan, kegiatan advokasi ini ditujukan tidak hanya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan Konferensi PBB ini. Namun dibuka luas kepada masyarakat yang hak-hak dan kepentingan-kepentingannya terhambat. Sebab, tidak menutup kemungkinan kebebasan warga negara untuk bergerak dan memasuki wilayah di dalam negaranya sendiri, sebagaimana dijamin oleh Pasal 12 Ayat 1, 2, dan 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik terampas imbas dari pengamanan konferensi PBB di Nusa Dua. Padahal, jaminan kebebasan berekspresi, berkumpul dan mengeluarkan pendapat juga dijamin oleh Pasal 21 dan Pasal 22 Ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kemudian Pasal 28 UUD 1945 dan Undang-Undang No 8 Tahun 1998. "Apa yang kami lakukan ini tentu didasari oleh keinginan yang kuat untuk selalu memperjuangkan tegaknya keadilan dan HAM," tandas Gendo. Justru, katanya, negara yang sesungguhnya berkewajiban dan bertanggung jawab atas tegaknya HAM. Artinya, ketika terjadi sebaliknya, maka dengan demikian negara telah melakukan pelanggaran terhadap HAM."Untuk itu kami membuka dua (2) posko pengaduan bagi siapa saja yang merasa hak-hak dasarnya dilanggar," katanya. Posko pertama di kantor PBHI Bali Jl Kapten Tjok Agung Tresna No 49 Renon Denpasar. Posko kedua di kantor LBH Bali Jl Plawa No 57 Denpasar. Bertindak sebagai koordinator Gendo sendiri. Kemudian di jajaran penasehat ada nama I Gede Widiatmika (mantan direktur LBH Bali), Agus Samijaya (mantan ketua PBHI Bali) dan Ngurah Karyadi dari aktivis LSM.Gelombang Demo Hadang Delegasi Memasukia ahari ketiga konferensi PBB kemarin, gelombang aksi mengecam membuncah. Aksi tidak hanya di kawasan ring II namun juga kawasan steril ring I. Berlangsung dari pagi pukul 08.00 hingga sore hari.Para aktivis lokal baik yang tergabung dalam Civil Society Forum (CSF) maupun asing sama-sama memprotes penerapan standart ganda negara-negara utara dengan cara memelihara lingkungan demi mempertahankan pasokan bahan mentah murah namun menghancurkan wilayah sosio ekologis penting di negara-negara selatan. Dalam aksinya ini para aktivis yang ditaksir mencapai 200 orang nekat membentangkan delapan spanduk warna kuning di depan bundaran arah Hotel The Westin, Nusa Dua. Di antaranya berbunyi, Forest for Live, Stop Biofueling Deforestation, Stop Cheating Climate, Rich Countries at Your Own C02 40 Persen by 2020 dan Goverment Must Say No to Agrofuel. Namun belum sempat aksi tersebut diketahui secara luas oleh para delegasi negara asing, aparat bertindak sigap. Delapan spanduk tersebut langsung diserobot. Mereka yang rata-rata mengenakan ikat kepala bertuliskan Climate Justice kemudian digiring ke taman depan Hotel The Westin. Sementara sebagian dibawa ke kampung CSF yang berjarak kurang lebih 250 meter dari lokasi konferensi. Tiga orang aktivis di antaranya dibawa ke Posko Candi Agung 2007 untuk dimintai keterangan. Kabar terakhir yang dimintai keterangan adalah Muhamad Teguh Surya dan Andi. Keduanya bertindak selaku negoisator. Satu lagi adalah Anwar Sadan yang bertindak sebagai koordinator aksi. "Aksi kita hanya aksi damai. Kita ingin negara-negara maju ikut sama-sama menjaga lingkungan," ujar Dadang Sudardja, kepala Devisi Advokasi Walhi Jawa Barat kemarin. Dadang menambahkan, CSF dan kelompok pecinta lingkungan tidak setuju dengan skema yang ditawarkan negara-negara yang tergabung dalam annex 1. Karena itu dia minta negara annex 1 yang ikut memberikan kontribusi gas buang, ikut menurunkan reduksi emisinya minimal 40 persen jika tidak ingin negara berkembang hancur terkena dampak perubahan iklim."Masalah perubahan iklim adalah masalah kesenjangan antara utara dan selatan. Yang tidak siap adalah negara-negara berkembang seperti Indonesia," katanya.(rid/mus)

----------------------------------------------

Tidak ada komentar: