NUSA DUA(SINDO) – Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer menyatakan, seluruh negara berkembang tetap menyetujui Global Environment Fund (GEF) mengelola dana adaptasi.Sebelumnya, negara-negara berkembang mendesak agar GEF dibubarkan dan diganti dengan institusi baru yang lebih transparan dan lebih mudah diakses. Saat ini, pemerintah dari negara berkembang bisa menggunakan dana tanpa diatur GEF.”Dewan GEF memberikan kebebasan penuh kepada sekretariat GEF untuk bekerja eksklusif pada satu pemerintah. Artinya, pemerintah dalam proses ini yang akan memberi tahu GEF bagaimana dana tersebut akan digunakan,” ujar de Boer seusai jumpa pers di Auditorium, Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, kemarin.Untuk dana adaptasi, de Boer setuju bahwa dana adaptasi sebesar USD36 juta saat ini tidak cukup dibandingkan dengan jumlah uang yang dibutuhkan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim. PBB memperkirakan dana adaptasi yang dibutuhkan sebesar USD40 miliar.”Saya berharap dana adaptasi yang bisa diperoleh lebih banyak dan cepat, jika CDM berjalan dengan baik,” tuturnya. Menurut de Bour, dana adaptasi diperoleh 2% dari proyek-proyek CDM. Pada 2008–2012, dana adaptasi yang diperoleh yakni USD80 juta hingga USD300 juta per tahun. De Boer menjelaskan, dana adaptasi sangat berbeda dengan dana internasional lain.Dana internasional berasal dari negara industri, sementara dana adaptasi tidak semuanya berasal dari negara maju, tetapi juga dari negaranegara yang ingin mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Karena itu, kata dia, negara berkembang sebaiknya mendapat posisi mayoritas dalam Dewan yang menangani masalah dana adaptasi.”(Negara berkembang) harus menjadi mayoritas (di dalam Dewan) untuk memutuskan bagaimana dana (adaptasi) digunakan,” jelasnya. Menurut de Boer, dana adaptasi ini masih dibahas dalam perundingan, meski sebelumnya seluruh negara peserta sepakat mengenai mekanisme dana adaptasi ini.De Boer mengungkapkan, dalam perundingan ini akan ada upaya memasukkan masalah adaptasi ke dalam strategi dan rencana kebijakan jangka panjang dunia. Dia juga menilai,upaya adaptasi masih tetap dibutuhkan, meski upaya mitigasi diyakini sudah mampu mencegah perubahan iklim.Pasalnya, masyarakat miskin dan kurang mampu akan mendapat dampak paling besar akibat perubahan iklim. Untuk itu, dana adaptasi sangat perlu guna membantu negaranegara di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Senada dengan de Bour, Ketua Tim Negosiator Indonesia untuk UNFCCC Emil Salim menilai, negara-negara berkembang lebih memiliki hak bagaimana menggunakan dana adaptasi.Lebih lanjut Emil mengungkapkan, saat ini pembahasan mengenai dana adaptasi beralih pada masalah kesepakatan institusi dan keuangan. Emil berharap di dalam UNFCCC ini bisa dicapai suatu kesepakatan bersama tentang dana adaptasi.”Hingga sekarang, soal adaptasi tidak ada sumber pembiayaannya. Sekarang kita mesti objektif saja, dunia kan akan panas. Hanya masalah bagaimana kenaikan temperatur tidak tajam. Sementara itu memakan waktu, kita perlu pembiayaan, persiapan, capacity building, teknologi. Di sana gunanya adaptation fund,” terang Emil di Nusa Dua, Bali,kemarin.Di sisi lain, Emil juga menyoroti kaitan antara mitigasi perubahan iklim dengan upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Dia juga menilai, Emission from Deforestation in Developing Country (REDD) berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan.”Konsep optimalisasi hutan sebagai penyerap karbon akan secara langsung mendorong perbaikan sistem dan kebijakan perencanaan tata ruang dan guna lahan yang berpengaruh langsung pada pengentasan kemiskinan,” ujar Emil.Di tempat terpisah, para aktivis lingkungan, baik lokal maupun luar negeri, memprotes upaya negara-negara maju yang menawarkan dana pelestarian lingkungan, tetapi sejatinya menghancurkan wilayah sosioekologis kawasan negara berkembang pada Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim,kemarin.Dalam aksi itu,para aktivis berusaha membentangkan delapan spanduk di depan bundaran Bali Tourism Development Corporation (BTDC), Nusa Dua. ”Aksi kita hanya aksi damai. Kita ingin negara-negara maju ikut sama-sama menjaga lingkungan,” ujar Kepala Divisi Advokasi Walhi Jawa Barat Dadang Sudardja,kemarin. (maya sofia)
Rabu, 19 Desember 2007
GEF Tetap Kelola Dana Adaptasi
NUSA DUA(SINDO) – Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer menyatakan, seluruh negara berkembang tetap menyetujui Global Environment Fund (GEF) mengelola dana adaptasi.Sebelumnya, negara-negara berkembang mendesak agar GEF dibubarkan dan diganti dengan institusi baru yang lebih transparan dan lebih mudah diakses. Saat ini, pemerintah dari negara berkembang bisa menggunakan dana tanpa diatur GEF.”Dewan GEF memberikan kebebasan penuh kepada sekretariat GEF untuk bekerja eksklusif pada satu pemerintah. Artinya, pemerintah dalam proses ini yang akan memberi tahu GEF bagaimana dana tersebut akan digunakan,” ujar de Boer seusai jumpa pers di Auditorium, Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, kemarin.Untuk dana adaptasi, de Boer setuju bahwa dana adaptasi sebesar USD36 juta saat ini tidak cukup dibandingkan dengan jumlah uang yang dibutuhkan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim. PBB memperkirakan dana adaptasi yang dibutuhkan sebesar USD40 miliar.”Saya berharap dana adaptasi yang bisa diperoleh lebih banyak dan cepat, jika CDM berjalan dengan baik,” tuturnya. Menurut de Bour, dana adaptasi diperoleh 2% dari proyek-proyek CDM. Pada 2008–2012, dana adaptasi yang diperoleh yakni USD80 juta hingga USD300 juta per tahun. De Boer menjelaskan, dana adaptasi sangat berbeda dengan dana internasional lain.Dana internasional berasal dari negara industri, sementara dana adaptasi tidak semuanya berasal dari negara maju, tetapi juga dari negaranegara yang ingin mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Karena itu, kata dia, negara berkembang sebaiknya mendapat posisi mayoritas dalam Dewan yang menangani masalah dana adaptasi.”(Negara berkembang) harus menjadi mayoritas (di dalam Dewan) untuk memutuskan bagaimana dana (adaptasi) digunakan,” jelasnya. Menurut de Boer, dana adaptasi ini masih dibahas dalam perundingan, meski sebelumnya seluruh negara peserta sepakat mengenai mekanisme dana adaptasi ini.De Boer mengungkapkan, dalam perundingan ini akan ada upaya memasukkan masalah adaptasi ke dalam strategi dan rencana kebijakan jangka panjang dunia. Dia juga menilai,upaya adaptasi masih tetap dibutuhkan, meski upaya mitigasi diyakini sudah mampu mencegah perubahan iklim.Pasalnya, masyarakat miskin dan kurang mampu akan mendapat dampak paling besar akibat perubahan iklim. Untuk itu, dana adaptasi sangat perlu guna membantu negaranegara di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Senada dengan de Bour, Ketua Tim Negosiator Indonesia untuk UNFCCC Emil Salim menilai, negara-negara berkembang lebih memiliki hak bagaimana menggunakan dana adaptasi.Lebih lanjut Emil mengungkapkan, saat ini pembahasan mengenai dana adaptasi beralih pada masalah kesepakatan institusi dan keuangan. Emil berharap di dalam UNFCCC ini bisa dicapai suatu kesepakatan bersama tentang dana adaptasi.”Hingga sekarang, soal adaptasi tidak ada sumber pembiayaannya. Sekarang kita mesti objektif saja, dunia kan akan panas. Hanya masalah bagaimana kenaikan temperatur tidak tajam. Sementara itu memakan waktu, kita perlu pembiayaan, persiapan, capacity building, teknologi. Di sana gunanya adaptation fund,” terang Emil di Nusa Dua, Bali,kemarin.Di sisi lain, Emil juga menyoroti kaitan antara mitigasi perubahan iklim dengan upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Dia juga menilai, Emission from Deforestation in Developing Country (REDD) berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan.”Konsep optimalisasi hutan sebagai penyerap karbon akan secara langsung mendorong perbaikan sistem dan kebijakan perencanaan tata ruang dan guna lahan yang berpengaruh langsung pada pengentasan kemiskinan,” ujar Emil.Di tempat terpisah, para aktivis lingkungan, baik lokal maupun luar negeri, memprotes upaya negara-negara maju yang menawarkan dana pelestarian lingkungan, tetapi sejatinya menghancurkan wilayah sosioekologis kawasan negara berkembang pada Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim,kemarin.Dalam aksi itu,para aktivis berusaha membentangkan delapan spanduk di depan bundaran Bali Tourism Development Corporation (BTDC), Nusa Dua. ”Aksi kita hanya aksi damai. Kita ingin negara-negara maju ikut sama-sama menjaga lingkungan,” ujar Kepala Divisi Advokasi Walhi Jawa Barat Dadang Sudardja,kemarin. (maya sofia)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar