Rabu, 19 Desember 2007

Singapura Kirim Limbah Tahu ke Batam

BATAM--MIOL: Limbah air tahu (soya bean meal extraction) sebanyak 3.000 ton dikirim dari Singapura ke Batam. Namun, pihak Bea Cukai setempat mengaku tidak tahu ada pengiriman limbah tersebut.
Ribuan ton limbah tahu tersebut ditimbun di gudang Srimas Batuampar, Batam, setelah dibongkar dari kapal MV Natris jenis cargo vessel yang datang dari India setelah mengangkut limbah dari Singapura pada 19 November. Kapal itu berlabuh di Pelabuhan Batuampar, Batam.
Dalam dokumen barang tersebut penerimanya ialah Eddy S Hidayat dari PT Katimuri Marine Jodoh, Square II, Batam. Hal itu terungkap ketika dua anggota Komisi III DPRD Kota Batam Reinhard Hutabarat dan Jasarmen Purba melakukan inspeksi, Jumat (1/12).
Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai Batam Padmoyo Triwikanto mengaku tidak mengetahui masuknya limbah tersebut. ''Saya akan cek ke bawahan saya. Kapal tersebut kapal apa? Dari India ke Vietnam?'' tutur Padmoyo yang juga langsung bertanya pada dua anggota DPRD tersebut.
Reinhard dan Jasarmen mengungkapkan kekecewaannya dengan kinerja Bea Cukai Batam. ''Mengapa limbah itu bisa masuk ke Batam? Ini membuktikan pengawasan lemah dan tidak ada koordinasi sama sekali. Kenapa semua seperti tidak tahu?'' ujar Reinhard.
Muhamad Raden, petugas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Batam langsung menemui Reinhard dan Jasarmen. Pihak Bapedalda, katanya, hanya mendapat telepon yang melaporkan adanya limbah masuk ke Batam.
Dari Bandung, Jawa Barat, dilaporkan degradasi lingkungan yang cukup parah sedang terjadi di Bandung akibat eksploitasi sumber daya dan pemanfaatan ruang yang berlebihan.
''Pembangunan yang dilakukan di Bandung terbukti menambah beban lingkungan dan menyengsarakan alam. Seharusnya, pembangunan yang dilakukan berdampak positif, tidak hanya bagi alam dan lingkungan, tapi juga manusia di sekitarnya,'' ujar pakar lingkungan hidup ITB Enri Damanhuri.
Dengan luas wilayah 16,7 ribu hektare dan penduduk mencapai 3 juta, Bandung memerlukan ruang hijau sebesar 30%. ''Kondisi ini diperparah dengan rusaknya kawasan Bandung Utara sebagai penyangga dan daerah resapan air,'' ungkap Enri.
Kepala Divisi Advokasi Walhi Jabar Dadang Sudardja mengingatkan, menurut sejarahnya, Bandung diperuntukkan sebagai permukiman dan tempat istirahat.
''Hasil penelitian memperkirakan pada 2010, di Bandung akan sulit mendapatkan air bersih. Di bidang kesehatan, karena polusi udara, 8 dari 10 sampel darah anak SD di Kebon Kelapa kadar timbalnya jauh melebihi ambang batas,'' tandasnya.(ON/*/SG/OL-01)

Tidak ada komentar: