SEPERTI sudah menjadi galib kalau program yang diluncurkan pemerintah selalu dinilai kurang mengedepankan partisipasi publik. Begitu juga di dalam pelaksanaan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), beberapa elemen masyarakat masih menilai program ini sebagai program yang terlalu sentralistis dan mengabaikan peran serta masyarakat secara lebih luas.
POHON mangga dijadikan salah satu bibit untuk penghijauan. Tanaman buah-buahan cukup efektif dalam upaya penghijauan karena selain menguntungkan secara ekonomis bagi petani, juga dapat membantu memulihkan kondisi tanah dengan cepat.*DENI YUDIAWAN/"PR"
Seperti diungkap oleh Syarifudin, Koordinator Lapangan Siklus, LSM pendamping GNRHL di Kabupaten Indramayu mengatakan, andai saja masyarakat mendapat porsi keterlibatan lebih banyak di dalam program GNRHL itu, rehabilitasi lingkungan akan lebih cepat diselesaikan.
Namun, kata dia, pemerintah tampak emoh untuk memberikan porsi itu. Masyarakat hanya ditempatkan sebagai objek dan hanya menjadi pelaksana dalam penanaman bibit.
"Bagaimana masyarakat akan punya rasa memiliki terhadap program ini kalau mereka tidak dilibatkan dari sejak perencanaan, pembibitan tanaman, hingga penanaman. Pemerintah harus sadar bahwa hutan yang direhabilitasi itu untuk rakyat dan demi kepentingan rakyat, lalu kenapa rakyat hanya menjadi tukang tanam saja?" katanya.
Kebijakan yang sentralistis membuat masyarakat menanggung banyak tanggung jawab dan kerugian. Misalnya, seperti diungkap Syarifudin, karena bibit pohon didatangkan dari Bandung dan Bogor, banyak bibit tersebut yang tidak berhasil tumbuh. Hal itu disebabkan oleh lamanya perjalanan dari tempat pembibitan ke tempat penanaman akhir.
"Bibit pohonnya sudah stres, banyak yang mati, dan tidak bisa ditanam. Pemerintah tidak mau tahu tentang persoalan ini. Yang pemerintah lihat bahwa bibit itu tidak tumbuh dan yang disalahkan adalah masyarakat. Padahal yang salah itu pengusaha penyedia bibit yang membawa bibit dengan cara sembarangan. Tidak pernah pengusaha ditegur karena hal ini. Pemerintah tidak mau melihat persoalannya secara menyeluruh," kata Syarfiduin.
Hal senada juga diungkapkan oleh Garna Abdullah, Koordinator LSM Arinda, pendamping masyarakat untuk program GNRHL di Kabupaten Subang pada tahun 2004. Menurutnya, keterlibatan masyarakat di dalam GNRHL sangat minim. Masyarakat belum ditempatkan sebagai subjek dalam program ini dan sekadar menjadi tukang.
"Kalau pemerintah mengakui bahwa hutan itu untuk masyarakat, lalu kenapa masih ada pihak swasta yang terlibat dan mencari untung di dalam program ini. Coba deh tanya di wilayah lain, pembibitan itu dilakukan oleh swasta yang terkadang lokasinya jauh dari wilayah penanaman. Ini kan membuat masyarakat bertanya, katanya ingin membantu masyarakat, tapi tidak percaya kepada masyarakat itu sendiri," kata Garna.
Dalam hal ini, kata Garna, pemerintah tidak bijak dan tidak menimbang tentang kearifan lokal. Masyarakat di sekitar hutan sudah paham dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang harus ditanam di hutan itu dan kapan waktu penananamannya. Namun, karena program ini berdasarkan projek dan terkesan sentralistis, banyak masyarakat sekitar hutan yang tidak terlalu tertarik melaksanakannya. Kalaupun melaksanakan, alasannya demi insentif dan imbauan pemerintah, bukan karena kesadaran.
Walau masih banyak kelemahan, program GNRHL tidak bisa dikatakan gagal. Syarifudin maupun Garna tetap berpendapat, secara fisik terlihat ada hasil yang nyata: hutan tumbuh dan masayarakat mau terlibat.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat menilai GNRHL merupakan program yang datang dari pihak luar (pemerintah) untuk dipaksakan kepada masyarakat di sekitar hutan. Alih-alih mendapat respons positif, GNRHL banyak ditolak oleh masyarakat di sekitar hutan dan lahan yang akan direhabilitasi.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, Dadang Sudardja, menyatakan, seharusnya sejak tahap perencanaan, masyarakat sudah dilibatkan dan diajak bicara. Pada tahap implementasi, program GNRHL itu bisa mendapat dukungan dan bantuan masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi, akan muncul rasa memiliki di diri masyarakat.
Dia memberi contoh kasus Gunung Geulis. Sudah sejak lama gunung itu dicoba untuk direhabilitasi, tapi tidak pernah berhasil. Yang menjadi penyebabnya, tidak ada keterlibatan masyarakat di dalam program rehabilitasi itu.
Perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat juga menjadi persoalan. Selama ini, ujar Dadang, pemerintah melihat masyarakat sebagai pelaku perusakan dan perambahan hutan, tapi tidak memahami kenapa mereka melakukan hal itu. Baru pada tahun-tahun terakhir ini, pemerintah melihat bahwa perusakan dan perambahan hutan terjadi karena akses masyarakat kepada lahan dan sumber-sumber ekonomi lainnya sangat terbatas.
"Masyarakat mengetahui pentingnya hutan. Yang jadi persoalan, masyarakat tidak memiliki akses terhadap lahan dan masyarakat tidak memiliki pilihan lain. Mereka kan orientasinya jangka pendek, tentang bagaimana memenuhi kebutuhannya hari ini. Mereka mungkin tahu pentingnya kelestarian hutan, tapi tidak mewaspadai dampak dari rusaknya hutan. Pemahaman itu yang seharusnya ditanamkan kepada masyarakat, juga harus ada pembagian lahan yang jelas. Bagaimana caranya agar lahan itu ada zonasinya, mana yang bisa digarap masyarakat, mana yang harus jadi hutan?" kata Dadang.
Dadang menuturkan, seorang warga di Dusun Segajih, Hargotirto, Kokap Kulon Progo, di mana GNRHL dilaksanakan, terpekur heran atas pelaksanaan program tersebut, yang sekadar membagikan bibit jati, mahoni, akasia, dan lain sebagainya. Bibit-bibit itu lalu ditanam pada lahan 30 ha, sedangkan di papan projek disebutkan dana yang dihabiskan berkisar 46 juta. Keherannya atas program tersebut bukan pada besaran biaya, jenis bibit yang ditanam, luas lahan, maupun pelaksana program GNRHL, tetapi keherannya tertuju pada hal yang sederhana, tetapi masuk pada tataran filosofis GNRHL tersebut, yaitu bahwa program ini bener ning ora pener.
Bener ning ora pener adalah ungkapan sederhana, sekaligus wujud ide konseptual masyarakat lokal karena selama ini mereka telah menjaga hutan dan lahannya. Hal itu dilakukan karena mereka mendapat "hidup" dari hutan tersebut, yang mereka sebut dengan wana.
Keheranan masyarakat atas GNRHL karena selama ini mereka telah melakukan "gerakan tersebut" dengan cara mereka sendiri yang menjadi bagian dari sistem gagasan masyarakat setempat. Artinya, GNRHL harus membumi mengetahui sistem teori yang ada di tingkat lokal, kemudian masuk pada tataran ide konseptual masyarakat tersebut, lalu membuka dialog pada tataran orientasi kognitif, untuk menciptakan sinergitas masing-masing sistem teori untuk menjaga hutan dan lahan.
Adanya kesesuaian sistem teori yang merupakan ide konseptual bagian dari orientasi masyarakat lokal maupun para pencetus GNRHL akan membawa proses rehabilitasi hutan dan lahan pada wujud yang nyata dan membumi. Di mana lebih memerhatikan local knowledge masyarakat di sekitar projek GNRHL. (Zaky Yamani/"PR")***
Rabu, 19 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar