Jumat, 21 Desember 2007

PERSPEKTIF HAM DALAM ADVOKASI LINGKUNGAN HIDUP

HANDSOUT
MATERI PELATIHA PENDIDIKAN HAM DAN LINGKUNGAAN HIDUP
Oleh : Dadang Sudardja
Ka. Divisi Kampanye & POR WALHI JAWA BARAT
Jl. Bengawan No. 82 Bandung. Telp. 022-7175575

Pada tahun 1972 di Swedia diselenggarakan KTT lingkungan yang pertama di Stockholm. Negara-negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga hadir dalam KTT yang difasilitasi PBB itu. Isu dominan yang dibahas pada saat itu adalah sustainability (kesinambungan) sumber daya alam dalam menyokong kehidupan manusia dan juga masalah perkembangan populasi dunia.
Sepuluh tahun kemudian, saat diselenggarakan Konferensi Lingkungan Hidup kedua (UNCHE II) di Nairobi, Kenya, 1982, gambaran situasinya telah berubah. The United Nations Environtment Programme (UNEP - Program Lingkungan Hidup PBB) dibentuk sesegera setelah Konferensi Stockholm sebagai badan PBB yang baru; di samping tindakan-tindakan lain, konferensi kedua itu berhasil dengan bantuan para pakar internasional dalam memprakarsai teori dan strategi ecodevelopment sebagai alternatif politik pembangunan.Pembahasan ini pun tetap berlanjut sampai pada KTT Bumi di Rio De Janeiro tahun 1992. Itu pertanda bahwa isu ini bukan masalah enteng dalam percaturan politik internasional. Tapi harapan akan perbaikan kondisi lingkungan yang membuncah dengan terselenggaranya KTT-KTT ini pun tak tumbuh jadi tunas. Justru dari KTT satu ke KTT berikutnya, kemerosotan lingkungan makin parah terjadi; terutama di Dunia Ketiga di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Hingga terselengganya KTT Bumi 1992, belum ada pengakuan eksplisit keterkaitan lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Baru setelah keputusan sidang Komisi Hak Asasi PBB tahun 2001 secara eksplisit diurai kaitan lingkungan dan hak asasi manusia.
Kemudian, pada bulan April 2001 Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup. Keputusan itu adalah kali pertama Komisi tersebut mengkaitkan antara lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Menanggapi momen bersejarah tersebut Klaus Toepfer, Direktur Eksekutif UNEP (United Nation Environment Program) menyatakan "Keadaan lingkungan hidup secara nyata membantu untuk menentukan sejauh mana orang dapat menikmati hak-hak dasarnya untuk hidup, kesehatan, makanan dan perumahan yang layak serta atas penghidupan dan budaya tradisionalnya. Hak dasar untuk hidup terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun, limbah berbahaya dan pencemaran air minum. Untuk alasan inilah, kami percaya keberhasilan implementasi traktak lingkungan hidup internasional tentang keanekaragaman hayati, perubahan iklim, penggurunan dan bahan kimia dapat memberikan sumbangan utama bagi perlindungan hak asasi manusia'
Hak Asasi Manusia dalam Sistim PBB
Menurut Burns H. Weston ada tiga generasi HAM. Tiga generasi HAM menunjukkan suasa dialektika antara berbagai aliran ideologi terutama liberal dan social juga aspirasi dari negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari kolonialisme. Tetapi inspirasinya diilhami oleh tiga norma Revolusi Perancis, hak-hak itu adalah generasi pertama dari hak-hak sipil politik (liberte-kebebasan), generasi kedua dari hak-hak ekonomi, sosial, budaya (egalite-persamaan sosial) dan generasi ketiga hak-hak solidaritas (fraternite-persaudaraan).
Weston menyebutkan bahwa "Generasi pertama berupa hak-hak sipil-politik berasal terutama dari teori-teori reformis abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang berkaitan dengan revolusi Inggris, Amerika dan Perancis. Diinfus dengan filosofi politik dari individualisme liberal dan doktrin ekonomi laissez-faire. Generasi ini mengartikan HAM dengan istilah yang lebih bersifat negatif atau lebih suka abstensi daripada intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia (pasal 2-22 DUHAM PBB). Walaupun dalam beberapa segi juga mensyarat tindakan positif pemerintah seperti hak atas keamanan pribadi, paradilan yang adil dan terbuka dll. Tetapi nilai sentralnya tetap bahwa kebebasan merupakan suatu perisai yang melindungi individu sendirian dan dalam asosiasi-asosiasi dengan yang lain-lain, dari penyelewengan dan penyalanggunaan otoritas politik."
"Sedangkan Generasi kedua pada umumnya, muncul dari tradisi sosialis dan dicanangkan dengan berbagai cara oleh perjuangan-perjuangan revolusioner dan gerakan kesejahteraan sejak itu. HAM generasi kedua merupakan tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, yang pada pokoknya tidak menentukan, yang mentolerir, bahkan mengesahkan, eksploitasi kelas pekerja dan rakyat-rakayat daerah jajahan. Generasi kedua mengartikan istilah HAM secara positif yang mensyaratkan intervensi negara dengan tujuan untuk memastikan partisipasi yang merata dalam produksi dan distribusi nilai-nilai yang dikandung (pasal 22-27 DUHAM PBB). Walau demikian hak memilih pekerjaan dengan bebas, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh, dan hak partisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya dari komunitas, tidak secara inheren mensyaratkan tindakan pemerintah yang positif untuk menikmatinya. Tetapi sebagian karena relatif terlambatnya datangnya pengaruh sosialisme-komunis dalam bidang normatif masalah-masalah internasional, maka internasionalisasi HAM generasi kedua ini agak terlambat; tetapi dengan meningkatnya kekuatan Dunia Ketiga di tingkat global, sungguh merupakan 'revolusi harapan yang meningkat,' hak-hak asasi itu telah mulai dewasa."
"Sedangkan generasi ketiga ditunjukkan dalam pasal 28 DUHAM PBB bahwa "setiap orang berhak atas tatanan sosial dan internasional karena hak-hak asasi yang dinyatakan dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya'. Deklarasi sejauh ini mencakup 6 hak asasi yang dituntut. Tiga diantaranya mencerminkan bangkitnya nasionalisme di Dunia Ketiga dan tuntutannya terhadap pemerataan kekuasaan, kekayaan dan nilai-nilai lain yang penting secara global: hak atas penentuan nasib sendiri di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya: hak atas pembangunan ekonomi dan sosial; hak untuk berpartisipasi dan memanfaatkan 'warisan bersama umat manusia' (sumberdaya bumi-ruang angkasa bersama; informasi dan kemajuan ilmiah, teknis dan lainnya; serta tradisi, lokasi dan monumen-monumen kebudayaan). 3 hak lainnya adalah hak atas perdamaian. Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan seimbang dan hak-hak atas bantuan bencana alam yang bersifat kemanusian - mengingat ketidakberdayaan atau ketidakefisienan negara-bangsa pada hal-hal kritis tertentu."
Walaupun HAM generasi ketiga belum manifes atau secara eksplisit diakui sebagai hak asasi manusia (kecuali hak atas pembangunan yang telah dideklarasikan dan disetujui Majelis Umum tanggal 4 Desember 1986), paling tidak ditingkat wacana telah ada pengakuan.

Hak Atas Sumber-sumber Kehidupan dan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat
Bila Klaus Toepfer (Direktur Eksekutif UNEP) menyatakan hak dasar untuk hidup terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun, limbah berbahaya dan pencemaran air minum. Sesungguhnya ia luput untuk menyoal  perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat (agraria dan sumberdaya alam) sebagai ancaman terbesar yang dihadapi rakyat menyangkut hak dasar untuk hidup.
Walaupun belum ada deklarasi traktak atau konvenan khusus tentang Hak Lingkungan Hidup sebagai Hak Asasi sesungguhnya berbagai dimensi yang menyangkut hak-hak dasar atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup telah tercakup dalam berbagai Hak-Hak Ekonomi-Sosial-Budaya (EKOSOB),dalam UU HAM dan Kovenan Internasional tentang EKOSOB.
 
Dalam Perundang-undangan Indonesia Hak Atas sumber-sumber Kehidupan
a. Hak atas Penentuan Nasib Sendiri (Pasal 1 ayat 1 : Semua rakyat mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Atas kekuatan hak itu, mereka dengan bebas mengejar perkembangan ekonomi, social dan budaya mereka sendiri) Keterangan : Kedaulatan Rakyat dan Otonomi Komunitas
b. Hak atas Pekerjaan (Setiap negara Peserta Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan yang dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas, dan akan mengambil langkah-lankgah yang diperlukan guna menjamin hak ini) Keterangan : Perampasan atas sumber-sumber agraria dan sumber daya alam hakekatnya adalah merampas hak atas pekerjaan
c. Hak atas Taraf Kehidupan yang layak (Pasal 11 ayat 1 Negara-negara peserta Konvenan ini mengakui hak setiap orang  atas taraf kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal, dan perbaikan yang terus menerus dari lingkungannya
d. Hak atas Kekayaan Alam (Pasal 1 ayat 2 : Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumberdaya mereka sendiri... Tidak dapat dibenarkan suatu bangsa merampas penghidupan rakyatnya sendiri.)
Hak Atas Lingkungan Hidup yang Sehat dan Bersih
a. Hak atas Kehidupan Pasal 6 ayat 1 Setiap umat manusia mempunyai hak hidup yang melekat pada dirinya. (UU No. 23 tahun 1997)
b. Hak Atas Kesehatan. (UU No. 23 tahun 1997) Pasal 12 ayat 1 .. Mengakui hak setiap orang untuk menikmati kegiatan fisik dan mental pada taraf yang tertinggi yang dapat dicapaiPasal 12 ayat 2 b .memperbaiki semua aspek kesehatan lingkungan dan industri.
 
Kondisi Hari ini . 
Globalisasi Neo Liberal : Ancaman Terbesar HAM Hari Ini
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya,  merupakan hak-hak asasi yang telah dikenal secara luas akan tetapi pada saat yang sama dilanggar secara sistematis.  Jaminan utama hak-hak asasi ekonomi, sosial dan budaya adalah DUHAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekososbud, yang telah ditandatangani oleh 142 negara. Sifat dinamis dari hak asasi manusia juga diakui dalam
Piagam DUHAM paragraph 8, yang menyatakan bahwa Deklarasi itu merupakan "standard bersama bagi semua orang dan semua bangsa.". Yang secara konsisten dilindungi oleh hak asasi manusia dari waktu ke waktu sebagai martabat setiap umat manusia.
Hegemoni dan dominasi globalisasi neo-liberal serta antek-anteknya didalam negeri sesungguhnya merupakan ancaman terbesar terhadap hak asasi manusia saat ini. Banyak fakta menunjukkan bahwa banyak pelanggaran hak sipil politik terjadi untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi yang bertanggungjawab atas perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat. Kasus kekerasan di Bulukumba, Seseba, Timika, Porsea, Sukabumi, Rumpin Pasuruan, dan berbagai tempat lainnya, terjadi untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi atau membungkam perlawanan rakyat untuk merebut kedaulatan atas sumber-sumber kehidupan mereka. Bahkan ditingkat global AS menggunakan perang untuk merampas sumber-sumber ekonomi di negara-negara selatan atau dunia ketiga atau melindungi kepentingan ekonominya.
 
Bila di masa pembangunanisme peran negara sebagai instrumen "proteksi-prevensi-promosi" HAM tidak berjalan karena negara juga  menjadi aktor utama pengendali ekonomi dan politik. Maka saat sekarang peran negara sebagai instrumen 'proteksi-prevensi-promosi" HAM tidak berjalan karena ambivalensi antara berpegang teguh pada konvensi PBB atau konvensi WTO dengan ideologi pasar bebasnya. Berbagai regulasi yang dijalankan oleh sistim WTO bahkan mengurangi hak-hak buruh, merampas hak-hak petani, mengurangi regulasi-regulasi negara bagi perlindungan lingkungan, liberalisasi sektor pertanahan, termasuk memotong subsidi untuk pemenuhan hak-hak dasar. Air, hutan, pangan, kesehatan, layanan sosial, layanan social yang bersifat publik yang dulu merupakan HAM, kini semata-mata diperlakukan sebagai komoditi. Dengan itu maka globalisasi membawa implikasi pelanggaran HAM yang lebih struktural (Mansour Fakiq).
 
Kembali kepada pendapat Weston,  "HAM generasi kedua (EKOSOB) merupakan tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, yang pada pokoknya tidak menentukan, yang mentolerir, bahkan mengesahkan, eksploitasi kelas pekerja dan rakyat-rakyat daerah jajahan." . Maka dengan kembalinya menguatnya liberalisme, kapitalisme, dan kebebasan individual, jelaslah hak-hak ini semakin jauh dari tangan rakyat. Selain itu generasi kedua mengartikan istilah HAM secara positif yang mensyaratkan intervensi negara, ironisnya intervensi inilah yang menjadi musuh utama globalisasi neo-lib.

REFORMASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan ekologi serta potensi ketahanan dan keberlanjutan sosial. Adapun ketahanan dan keberlanjutan ekologi mengacu kepada ketersediaan daya dukung tanah, air, udara dan keanekaragaman kehidupan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan ketahanan sosial baik pada aspek politik, ekonomi dan budaya.

Sehingga reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan ekologi dan sosial ini.

Pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negara seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 merupakan benteng Hak Asasi Manusia dengan peran-peran Proteksi-Prevensi dan Promosi. Demikian pula di tingkat internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya didirikan untuk menciptakan dunia yang adil dan damai dengan cara memajukan hak asasi manusia . Konsekuensi logis dari peran Indonesia sebagai anggota PBB serta amanat UUD 1945 untuk ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dn keadilan sosial harus segera meratifikasi konvensi internasional di bidang hak asasi manusia, yakni hak sipil politik (hak asasi manusia generasi pertama) dan konvensi hak ekonomi-sosial-budaya (hak asasi manusia generasi kedua)

Selain itu kini berkembang hak asasi manusia generasi ketiga walaupun belum mencapai tingkat kematangan untuk dituangkan dalam konvensi PBB tentang hak asasi manusia. Hak generasi kektiga ini mencakup hak atas pembangunan, hak atas perdamaian dan hak atas lingkungan hidup. Untuk itu pemerintah Indonesia harus terlibatdalam upaya-upaya di tingkat internasional untuk mendewasakan hak asasi manusia generasi ketiga ini.

Khusus di bidang lingkungan hidup sejak tahun 1972 telah dilakukan beberapa konferensi PBB dalam bidang lingkungan hidup. Berbagai deklarasi atau piagam bumi yang telah disepakati, serta berbagai konvensi internsional di bidang lingkungan hidup haruslah menjadi instrumen hukum normatif bagi Indonesia pula untuk menegakan hak asasi manusia khususnya hak atas lingkungan hidup.

Secara khusus di dalam UUD 1945 yang menyangkut langsung hak atas lingkungan terdapat di dalam Pasal 28 G ayat 1: ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”Kemudian dalam Pasal 33 ayat 2: ”Cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Serta pada ayat 3. ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.” Serta ayat 4: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, effesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan , kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional”.

Reformasi lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan fisik dan sosial. Jadi selain berkaitan dengan ketahanan dan keberlanjutan fisik, reformasi lingkungan hidup mencakup pula upaya-upaya untuk memajukan ketahanan dan keberlanjutan sosial artinya menyangkut pula pemajuan hak – hak asasi yang menyangkut bidang politik, ekonomi dan budaya. Sehingga pemajuan terhadap hak-hak atas lingkungan hidup mencakup pula prasyarat pemenuhan hak-hak politik, ekonomi dan budya. Dengan demikian hak atas lingkungan hidup menegaskan pentingnya memandang upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia sebagai upaya-upaya yang sistematis, integral dn komprehensif. Jadi hak-hak sipil-politik, hak-hak ekonomi-sosial-budaya, serta hak-hak generasi ketiga tidak bisa dilihat sebagai hirarki, yang satu lebih penting dari yang lain.

Membangun Relasi Negara, Modal dan Rakyat yang kuat

Dengan menempatkan negara sebagai benteng Hak Asasi Manusia, maka dalam penataan ulang relasi negara, modal dan rakyat terutama dalam lapangan perekonomian, rakyat harus ditempatkan sebagai kepentingan yang utama. Sedangkan negara sepenuhnya berperan sebagai instrumen kepengurusan dan penyelenggaraan kebijakan yang ditujukan untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Pengertian tentang Hak Menguasai Negara (HMN) atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang serta atas bumi, air dan kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran rakyat, memiliki legitimasi apabila di tundukan kepada kepentingan hak asasi warganya. Sehingga kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat terutama dalam akses terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya harus dijadikan sarana utama dan tujuan akhir dari HMN. Dengan demikian maka peran modal bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi pengelolaan oleh rakyat.

Ini bertentangan dengan kenyataan yang berlangsung selama ini bahwa dengan alas hak menguasai negara pemerintah dengan sewenang-wenang meniadakan hak rakyat atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut dengan memberikan konsensi yang seluas-luasnya kepada kepentingan modal. Jelas dengan mengabaikan hak-hak rakyat dalam penguasaan dan pengelolaan bumi,air dan kekayaan alam maka sebenarnya hak menguasai negara kemudian tidak akan dapat memenuhi tujuan akhirnya yakni sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pertama, untuk mendekatkan kepentingan negara dengan kepentingan rakyat yang beragam dan spesifik menurut karakteristik politik, ekonomi, sosial, budaya serta kondisi alamnya, maka HMN harus didesentralisasikan ke tingkat kesatuan politik yang lebih kecil. Baik itu propinsi, kabupaten atau kotamadya bahkan sampai tingkat desa.

Kedua HMN harus pula dikontrol baik oleh wakil-wakil rakyat di parlemen maupun melalui mekanisme-mekanisme demokrasi langsung. Demokrasi langsung dapat dilakukan melalui penyerapan aspirasi yang disampaikan melalui berbagai sarana demokrasi yang dimungkinkan (selain melalui parlemen), juga melalui mekanisme persetujuan rakyat secara langsung atau hak veto atas proyek-proyek pembangunan dan ekonomi lainnya. Demokrasi langsung menjadi penting karena wakil-wakil rakyat atau partai-partai politik saat ini masih diragukan dalam hal akuntabilitas dan representasinya.

Mengembangkan Kemandirian Ekonomi

Saat ini beban utang luar negeri atau ketergantungan terhadap utang luar negeri telah memasuki stadium kritis karena telah menyebabkan defisit kedaulatan. Utang luar negeri telah dijadikan alat oleh negara-negara kreditor dan lembaga-lembaga keuangan internasional, untuk mendiktekan kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian yang menguntungkan perusahaan-perusahaan transnasional. Melalui tema-tema deregulasi, liberalisasi dan privatisasi, negara memberikan atau dipaksa memberikan akses yang sangat besar kepada kepentingan modal internasional untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tidak saja akses rakyat yang semakin marginal, tetapi juga pemerintah ditekan untuk menurunkan standar keaamanan dan regulasi lingkungan hidup.

Untuk itu pemerintah harus segera melepaskan ketergantungan terhadap utang luar negeri dan mengutamakan penyiapan prasarana bagi potensi entreprnuer lokal potensi ekonomi rakyat. Pertama-tama pemerintah harus berani menuntut pihak kreditor untuk menghapuskan utang-utang lama yang dikorup oleh Rezim Orba serta proyek utang luar negeri yang telah merampas hak-hak rakyat dan menghancurkan lingkungan hidup. Rakyat Indonesia dn pemerintah berhak menolak pembayaran utang luar negeri yang sama sekali tidak memberikan manfaat kepada rakyat, atau dinikmati oleh kontraktor, konsultan, para pemasok dari kreditor sebagai prasyarat pencairan utang demi pembangunan proyek utang.

Secara moral penghapusan utang luar negeri adalah tindakan yang dapat dibenarkan. Bahkan kini telah muncul wacana tentang utang sosial-ekologis negara-negara maju terhadap negara-negara didunia ketiga. Tesisnya adalah bahwa kemakmuran dan gaya hidup konsumen di negara-negara maju, diperoleh melalui eksploitasi terhadap kekayaan alam di dunia ketiga yang dihisap sejak jaman kolonialisme hingga hari ini. Tesis kedua, kemakmuran dan gaya hidup konsumen di dunia maju harus dibayar dengan kerusakan lingkungan yang ditanggung rakyat dunia ketiga. Diantaranya pemanasan global, penipisan lapisan ozon kontributor utamanya adalah konsumsi di negara maju.

Resolusi /Penyelesaian Konflik Agraria – Sumberdaya Alam

Reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan ekologi dan sosial di antaranya melalui reformasi kebijakan yang berkaitan dengan perundang-undangan dan reformasi kebijakan yang berkaitan dengan perundang-undangan dan reformsi kelembagaan. Namun demikian proses ini sama sekali tidak boleh mengabaikan fakta bahwa selama ini ada hak-hak rakyat yang telah dilanggar serta konflik-konflik yang sangat intens dan meluas menjadi ”bom waktu” bagi keberlanjutan ekologi dan sosial. Selain itu hanya melalui penyelesaian konflik sebagai upaya menyeimbangkan neraca kedaulatan dan keadilan ini, negara akan memperoleh legitimasi dan dukungan untuk melakukan pembaharuan pengelolaan lingkungan hidup.

Adapun reformasi ini akan mencakup reformasi di bidng perundang-undangan dan reformasi kelembagaan negara.

Pembaharuan Kelembagaan

Kelembagaan pemerintah pengelola lingkungan hidup yang ada saat ini tidak mampu berfungsi secara efektif karena sifat kewenangan yang terbatas mengkoordinasikan kebijakan sektor dalam bidang lingkungan hidup selalu dimarjinalkan di bawah kepentingan sektor yang berorientasi eksploitasi dan skala besar. Selain itu kepengurusan lembaga lingkungan hidup yang sentralistis, menambah kompleksitas penanganan masalah penurunan kualitas lingkungan hidup tidak memiliki fungsi perencanaan, pelaksanaan dan monitoring kebijakan dalam rangka menjamin daya dukung lingkungan, menjamin keadilan dan keberlanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang.

Selain itu, efektivitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam di dukung oleh keberadaan peran masyarakat. Peran masyarakat adalah sumber dari tiga hak dasar masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to acces to information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (publik right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan ( publik right to justice). Dalam Konteks pengelolaan sumber daya alam ketiga hak dasar masyarakat tersebut mutlak harus dijamin pelaksanaannya.

Dengan demikian, dalam hal penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup, reformasi kelembagaan yang harus dilakukan:

(1) Kelembagaan yang terkait dengan kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup harus dijadikan landasan bagi penyangga dan penjamin keberlanjutan kehidupan Indonesia dimasa yang akan datang dan tidak lagi sebagai penyangga ekonomi.

(2) Menetapkan kelembagaan yang memiliki fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan, yang kewenangannya meliputi perencanaan, penetapan baku mutu dan standar pengelolaan lingkungan hidup, mitigasi dampak penurunan kualitas lingkungan dan rehabilitasi akibat pencemaran. Lembaga ini juga harus mengintegrasikan fungsi pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dan memiliki kewenangan penundaan ijin operasi sementara jika diduga terjadi pelanggaran hukum di bidang lingkungan.

(3) Mengintegrasikan kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap pemanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan kaji ulang dan perampingan kelembagaan sektoral yang ada saat ini. Idealnya seluruh kelembagaan sektoral berada pada satu atap dari mulai perijinan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring. Lembaga ini harus berkoordinasi dan bersinergi secara erat dengan lembaga di point (2)

Di tingkat daerah kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup hendaknya menganut prinsip desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, yang diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan dari pengambil keputusan kepada kelompok penerima dampak. Bentuk kelembagaan yang diusulkan adalah kepemerintahan rakyat (community govermance), dimana kelembagaan ini sifatnya ad-hoc, informal, multistakeholder, pendekatan berdasarkan isu dan kepentingan dan dikelola dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan menjadi bagian dari kepemerintahan rakyat ini.

Pembaharuan Perundang-Undangan

Reformasi perundang-undangan diperlukan karena tidak adanya kesamaan cara pandang terhadap lingkungan hidup sebagai penyangga kehidupan,, yang berakar pada persoalan pemahaman yang parsial sehingga menimbulkan pendekatan sektoral dan jangka pendek dalam pengelolaannya.

Dari sisi proses penyusunan perundang-undangan juga tidak memenuhi prasyarat dan prinsip seperti telah disebutkan diatas. Akhirnya terjadi ketimpangan antara peraturan yang dibuat, implementasi dan proses penegakan undang-undang yang bersangkutan. Ada kecenderungan eskalasi kerusakan lingkungan akibat lingkungan tidak dimaknai sebagai satu kesatuan yang utuh. Lingkungan hidup dimaknai sebagai satu obyek statis yang hampa dari interaksi dengan manusia. Hak rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta kewajiban negara untuk menjamin hak konstitusional warga negaranya tidak dapat dijabarkan secara baik keterkaitannya.

Reformasi dalam bidang ini membutuhkan tiga undang-undang ”payung” bagi terlaksananya reformasi lingkungan hidup, dalam rangka menjamin pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional warga negaranya.

Pertama, kita memerlukan undang-undang untuk melaksanakan reforma agraria/landreform. Undang-undang ini mutlak diperlukan untuk menghilangkan dan mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan akses, kontrol dan kepemilikan sumberdaya agraria yang bersifat struktural. Jika reforma pertanahan telah selesai dilaksanakan maka undang-undang ini dapat dicabut.

Yang kedua, adalah undang-undang yang mengatur pengelolaan agraria atau sumberdaya alam dengan mengacu kepada asas-asas kehati-hatian (precauntionary principle) keadilan antar dan intragenerasi, kepastian hukum (termasuk kepastian usaha), perlindungan masyarakat adat,, keterbukaan keterpaduan antarsektor, dan keberlanjutan. Selain itu juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan aspek-aspek demokrasi pengelolaan SDA (sumberdaya alam) yang tercermin dalam pengaturan tentang hak dan peran serta masyarakat yang lebih hakiki (genuene) dan terinci dengan menyebarkan prinsip akses informasi, partisipasi publik, dan akses keadilan, kemudian bagaimana pengakuan dan perlindungan secara utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat hukum adat dan sistem nilai masyarakat aat dalam pengelolaan SDA. Selain itu pula diatur bagaimana pengawasan dan akuntabilitas publik, serta transparasi dan keterbukaan manajemen pengelolaan SDA.

Ketiga, undang-undang yang memilki wewenang untuk perlindungan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Undang-undang ini mengatur upaya pencegahan kerusakan, penanganan kerusakan, penegakan hukum/sanksi dan upaya rehabilitasi atau pemulihan lingkungan.

Adapun pengaturan sektoral tetap diperlukan mengingat karakteristik khusus yang dimiliki oleh masing-masing sektor. Namun demikian pengaturan tersebut harus mengacu pada ketiga rambu peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini untuk mencegah tumpang tindih kewenangan seperti yang ada pada saat ini. Peraturan sektoral hendaknya hanya mengatur urusan teknis pengelolaan sumberdaya yang bersangkutan.

Dampak Yang Ditimbulkan adalah terjadinya krisis keadulatan dan Keadilan

Krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial-budaya dan krisis ekologi ini mencerminkan terjadinya defisit nilai kedaulatan serta keadilan (intra dan antar generasi) yang kemudian bertemu dalam defisit kesejahteraan. Defisit kedaulatan ini nampak dalam fenomena semakin hilangnya hak menentukan nasib sendiri baik di tataran negara, bangsa hingga di tataran satuan-satuan politik yang lebih kecil. Yang terkecil diantaranya adalah dalam tataran desa bahkan keluarga. Sedangkan defisit keadilan adalah narasi tentang ketimpangan distribusi manfaat dari tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya baik intra maupun trans generasi. Kemiskinan kemudian menjadi indikator terjadinya defisit kedaulatan dan keadilan. Kemiskinan ini terjadinya akibat merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat serta ketahanan dan keberlanjutan kehidupan rakyat. Sehingga kemiskinan kemudian dapat didefinisikan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan sosial atau keduanya dapat disatukan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Undang – Undang No.23/1997 mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelansungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup.

Dengan demikian dalam pengertian lingkungan hidup tercakup pula apa yang deodefinisikan sebagai sumberdaya alam:”Sumberdaya alam adalah semua benda,daya, keadaan, fungsi alam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan”. ( Menurut naskah akademis RUU PSDA versi 19 November 2002) serta Agraria yang didefinisikan sebagai seluruh bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya (menurut UU no 5 Tahun 1960).

Defisit kedaulatan dan keadilan yang bermuara pada kemiskinan rakyat merupakan hasil pergeseran relasi antara negara, modal dan rakyat. Dimana di satu sisi posisi rakyat semakin terpinggirkan, sedangkan posisi modal semakin dominan dengan dukungan negara. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah negara memberikan akses yang sangat besar kepada modal untuk menguasai sumber-sumber kehidupan, tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya melalui kebijakan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi. Hak Menguasai Negara kemudian dimanipulasi untuk sebesar-besarnya akumulasi modal, bukan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Manipulasi ini dimungkinkan karena masih kuatnya karakter yang sentralistik dalam perundang-undangan yang mengaturnya.

Tidak ada komentar: