Jumat, 21 Desember 2007

KAJIAN ANALISIS DAMPAK SOSIAL (ANDAS)


A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Selama terjadinya krisis ekonomi mulai tahun 1997 sampai 1999 komposisi PDB sektor pertanian terhadap PDB Indonesia mengalami peningkatan dari 64,468 menjadi 65,361,4 US Dollar, sedangkan sektor-sektor yang lain mengalami penurunan. Meski mengalami peningkatan kecil, sektor pertanian merupakan sektor yang tahan terhadap hempasan krisis. Namun apabila dilihat dari perkembangannya sejak PJP I sektor pertanian produktifitasnya terus mengalami penurunan. Pada tahun 1971 pangsa pasar sektor pertanian terhadap GDP sebesar 33 persen, sedangkan tahun 1990 menurun menjadi 19,5 persen. Sementara itu pangsa pasar sektor industri dan jasa pada periode tersebut mengalami peningkatan dari 35,9 persen menjadi 54,50 persen (World Bank, 1994).
Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan produksi, diantaranya adalah sektor pertanian sangat rentan terhadap gangguan alam diantaranya bencana banjir dan kekeringan. Di Jawa Barat bencana tersebut sering melanda daerah Pantai Utara Jawa Barat bagian Timur yang merupakan wilayah DAS Cimanuk bagian hilir. Meliputi Indramayu dan Cirebon dan daerah rawan banjir di wilayah pantai utara Jawa Barat seluas ± 76.000 ha. Di daerah tersebut terdapat Daerah Irigasi Rentang seluas ± 90.000 ha yang merupakan irigasi teknis.
Kondisi tersebut menuntut upaya pengelolaan yang terencana baik jangka panjang maupun pendek. Upaya jangka panjang yang bisa dilakukan adalah dengan perbaikan daerah tangkapan air dengan cara-cara :

§ Perluasan daerah resapan

§ Penghutanan kembali

§ Upaya vegetatif lain

Sedangkan upaya jangka pendek yang bisa dilakukan adalah dengan membangun prasarana pendukung agar bencana banjir dan kekeringan dapat diatasi. Prasarana pendukung tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktifitas sektor pertanian secara berkelanjutan sehingga distribusi pendapatan dapat merata di masyarakat khususnya bagi para petani di Jawa Barat, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Prasarana pendukung yang perlu dibangun adalah pembangunan prasarana sumber daya air, dalam hal ini pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang.

Faktor-faktor yang mengharuskan pembangunan Waduk Jatigede segera dilaksanakan adalah :

1. Kekeringan sering melanda Pantura yang meliputi wilayah Cirebon, Indramayu dan Majalengka :

§ Pada masa kekeringan sekitar 45 ribu Hektar sawah mengalami puso

§ Kerugian diderita petani mencapai 300 Milyar rupiah per tahun

2. Sering terjadi bencana banjir yang melanda permukiman/kota Indramayu, Cirebon dan Majalengka :

§ Banjir merendam sawah seluas 20.000 Hektar

§ Merusak sarana dan prasarana

Bencana banjir dan kekeringan khususnya di bagian hilir Sungai Cimanuk berdasarkan analisis hidrologi menunjukan telah terjadi perubahan pola debit aliran di Sungai Cimanuk. Ditunjukan oleh rasio debit maksimum dan minimum serta nilai koefisien limpasan langsung aliran permukaan (run-off) menjadi semakin besar. Akibatnya, volume aliran permukaan dari tahun ke tahun menjadi semakin besar dengan puncak banjir yang semakin besar pula tetapi aliran dasarnya (base low) pada musim kemarau semakin kecil

Tahun 2001 hingga tahun 2003 menunjukan durasi kekeringan dari tahun ke tahun semakin panjang. Pada tahun 2001 kekeringan dimulai pada pertengahan Juni dan berakhir awal Oktober (4,5 bulan). Pada tahun 2002 musim kering dating lebih awal yakni pada pertengahan Mei dan berkahir pertengahan Nopember (5 bulan). Selanjutnya, pada tahun 2003 musim kering mulai pertengahan Mei dan berakhir awal Nopember (5,5 bulan).

Perubahan pola aliran ini ditengarai dari kerusakan daerah tangkapan Sungai Cimanuk yang berhulu di Kabupaten Garut. Menuntut data Departemen Kehutanan (BPDAS Cimanuk-Citanduy), dari tahun 1995 hingga 2003 telah terjadi penebangan liar sebanyak 400.000 pohon di kawasan hutan seluas 170.000 hektar atau 47% luas DAS Cimanuk dan beralih fungsi menjadi lahan pertanian semusim (palawija). Dampak yang ditimbulkan terjadi bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau yang berkelanjutan dari tahun ke tahun, khususnya di wilayah Pantura-Cirebon-Indramayu.

Disamping itu, penebangan hutan di DAS Cimanuk membawa masalah tersendiri yaitu terbawanya lapisan top soil yang subur ke badan sungai. Lebih kurang sebanyak 25 ton atau 4,2 juta m3 angkutan sediment per tahun terbawa bersama aliran permukaan. Laju sedimentasi yang tinggi ini menyebabkan erosi tebing dan dasar sungai. Sampai di muara sungai, energi angkutan sediment berkurang dan selanjutnya mmengendap membentuk delta di muara Sungai Cimanuk di Kabupaten Indrmayu.

Manfaat pembangunan Waduk Jatigede direncanakan sebagai berikut :

a) Mampu mengairi sawah dengan peningkatan irigasi teknis seluas 130.000 Ha dengan pola tanam minimal 2 kali (padi). Pembangunan waduk ini dapat mendukung usaha-usaha pemanfaatan swasembada pangan khususnya di Propinsi Jawa Barat dengan peningkatan hasil panen sekitar 310.000 ton/tahun atau setara dengan US $ 37,5 juta/tahun dengan mengintensifkan sekitar 111,152 Ha sawah beririgasi yang ada dan 16.058 Ha sawah tadah hujan.

b) Sebagai sumber tenaga listrik, dimana berdasarkan studi yang dilakukan oleh PLN kebutuhan tenaga listrik di Jawa meningkat setiap saat. Kebutuhan tersebut masing-masing sebesar 7.000 MW, 11.500 MW, dan 17.500 MW pada tahun 1995, 2000 dan 2005. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik, diharapkan PLTA Jatigede (175 MW) dapat berkontribusi memenuhi kebutuhan tersebut selain PLTA Cipasang (400 MW) yang akan difungsikan sesudahnya. Pendapatan yang diperoleh dari beroperasinya listrik tenaga air sekitar US $ 18 juta/tahun (produksi rata-rata 750 GWH/tahun).

c) Mampu menyediakan air untuk keperluan industri maupun domestik, seperti air tawar untuk tambak dan air bersih. Hasil dari pertambakan diperkirakan meningkat sekitar US $ 12,2 juta/tahun dan hasil perikanan jaring terapung di daerah genangan waduk sekitar US $ 4,6 juta/tahun

d) Sebagai pengendali banjir, dimana penghematan dari kerusakan akibat banjir sekitar US $ 270.000 per tahun dan meningkatkan pengamanan daerah seluas 76.700 Ha dari ancaman banjir dari periode ulang 25 tahun menjadi 100 tahunan.

e) Secara lebih nyata jika waduk Jatigede dibangun akan memberikan manfaat sekitar 4,8 juta penduduk yang tinggal di DAS Cimanuk bagian hilir, khususnya pada daerah yang terkait seperti Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Majalengka.

f) Mengurangi dampak akibat intrusi air laut di daerah Pantura

g) Pengembangan industri wisata di Kabupaten Sumedang dan membuka lapangan kerja baru.

Optimalisasi pemanfaatan pembangunan waduk dapat dirasakan masyarakat, apabila di dalam pembangunannya mempertimbangkan dengan seksama faktor-faktor lingkungan di sekitarnya agar tidak mengundang resiko timbulnya kerusakan lingkungan. Gangguan pada salah satu atau beberapa komponen lingkungan dapat mengganggu fungsi ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu pembangunan harus dilaksanakan secara bijaksana, yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip konservasi yang berwawasan lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Berbagai permasalahan sosial yang terjadi seputar kegiatan pembangunan Waduk Jatigede saat ini tidak akan terjadi apabila dilakukan kajian secara mendalam dan komprehensif khususnya pada aspek sosial ekonomi dan budaya pada setiap tahapan analisis, yaitu tahap pra konstruksi, konstruksi maupun tahap operasional dalam AMDAL. Kajian mendalam diperlukan agar setiap dampak negatif yang akan terjadi pada setiap tahapan pembangunan waduk dapat diminimalkan sehingga antara pembangunan waduk dengan lingkungan sosial/binaan di sekitarnya dapat terjadi sinergi yang saling menguntungkan.

Mengacu kepada UU No. 23/97 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka lingkungan sosial merupakan bagian yang tak terpisahkan dari komponen lingkungan hidup lainnya. Dimana dilihat dari konsep kesatuan (entity) atau kesatuan sistem, lingkungan hidup merupakan kolektifitas dari serangkaian subsistem yang saling berhubungan, membentuk satu kesatuan ekosistem yang utuh saling mempengaruhi dan membentuk keseimbangan.

Untuk tujuan yang praktis komponen interaktif lingkungan hidup tersebut didistribusikan kedalam lingkungan hidup alami, lingkungan hidup sosial, dan lingkungan hidup binaan. Semua aspek tersebut mempunyai keterkaitan secara interaktif dan merupakan kumpulan komponen yang akan membentuk ekosistem secara utuh. Pada PP No. 27/99 mengenai AMDAL, dijelaskan juga bahwa dalam sebuah pembangunan, maka akan berdampak juga pada aspek-aspek yang melingkupi area atau kawasan pembangunan yang merupakan satu kesatuan lingkungan hidup tersebut diatas. Untuk mendukung analisis secara komprehensif, maka dikeluarkan peraturan perundangan yang lain, yakni SK Menneg KLH No. 299/11/1996 mengenai Analisis Dampak Sosial yang merupakan bagian tak terpisahkan dari AMDAL.

Melihat demikian jelas bahwa aspek-aspek yang terkait dengan kepentingan masyarakat sebagai muatan dalam AMDAL tersebut masih belum memadai atau belum mencakup nilai-nilai substansial dari sosial ekonomi dan budaya masyarakat, maka Pusat Kajian Sosial Budaya Kimpraswil memandang perlu membuat sebuah Kajian Analisis Dampak Sosial Pembangunan Waduk Jati Gede secara lebih komprehensif dan mendalam.

2. Tujuan Studi

Tujuan dilakukan studi ini adalah membuat analisis dampak sosial (ANDAS) Pembangunan Waduk Jati Gede yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menentukan kebijakan pembangunan waduk Jati Gede. Secara khusus tujuan dari studi ini adalah :

a) Mengidentifikasi dampak penting dari kegiatan pembangunan waduk yang berpotensi menjadi sumber dampak terhadap lingkungan sosial masyarakat. Dampak penting yang timbul dapat berupa dampak positif maupun negatif baik langsung maupun tidak langsung.

b) Mengidentifikasi rona lingkungan sosial terutama yang diprakirakan akan terkena dampak pada saat pembangunan waduk dilaksanakan. Komponen lingkungan sosial yang akan diidentifikasi mencakup demografi, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat.

c) Memprakirakan besaran dan mengevaluasi dampak penting yang terjadi dan tingkat kepentingan dampak tersebut berdasarkan criteria yang telah ditetapkan.

d) Mendeskripsikan dan mengukur dampak penting dari kegiatan yang berpotensi terhadap lingkungan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, baik positif maupun negatif.

e) Menganalisis kemungkinan pencegahan terhadap dampak yang tidak dikehendaki dan meningkatkan dampak yang dikehendaki agar masyarakat mendapatkan manfaat dari perubahan yang terjadi.

f) Memantau pelaksanaan pembangunan waduk (untuk memantau dampak yang nyata yang terjadi) maupun strategi mitigasinya (untuk menentukan efektivitasnya).

3. Kegunaan/Manfaat Studi

a) Membantu pengambilan keputusan dalam pemilihan alternatif yang layak bagi pelaksanaan pembangunan Waduk Jati Gede dari segi lingkungan sosial ekonomi dan budaya.

b) Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan sosial dalam setiap tahapan rencana kegiatan pembangunan Waduk Jati Gede.

c) Sebagai pedoman untuk kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan sosial.

d) Memberikan informasi bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan dampak positif dan menghindari dampak negatif yang mungkin timbul dari rencana kegiatan pembangunan Waduk Jati Gede.

B. ISU POKOK

Dari hasil proses evaluasi dan focusing terhadap dampak penting hipotetik diperoleh gambaran isu-isu pokok dari rencana kegiatan pembangunan Waduk Jatigede sebagai berikut :

1. Perubahan Mata Pencaharian

Kegiatan pembangunan Waduk Jatigede merupakan kegiatan berskala besar, dimana setiap tahapan kegiatannya akan menimbulkan dampak terhadap struktur kependudukan khususnya mata pencahaarian penduduk. Kegiatan pembebasan lahan akan menimbulkan perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi kegiatan pembangunan waduk, hal ini akan menimbulkan dampak lanjutan terhadap hilangnya lahan garapan penduduk baik petani pemilik maupun buruh tani. Kondisi tersebut diprakirakan menimbulkan dampak berupa hilangnya mata pencahariaan baik bersifat permanen maupun sementara.

2. Kesempatan Kerja dan Berusaha

Tahapan kegiatan pembangunan Waduk Jatigede yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap kesempatan kerja dan berusaha adalah tahap konstruksi dan tahap operasi. Tahap konstruksi pada kegiatan mobilisasi tenaga kerja membutuhkan sejumlah tenaga kerja baik tenaga kerja yang memiliki ketrampilan khusus maupun unskilled. Peluang kerja ini dapat diisi oleh penduduk yang tinggal di sekitar kegiatan Waduk Jatigede maupun di Kabupaten Sumedang terutama yang memiliki kualifikasi dan spesifikasi yang dibutuhkan selama kegiatan. Pada tahap operasi sejumlah kegiatan yang akan dilaksanakan diantaranya kegiatan irigasi, PLTA, PDAM, Pariwisata, dan perikanan akan membutuhkan sejumlah tenaga kerja baik sebagai tenaga kerja operator, staf maupun tenaga kerja harian. Diharapkan kegiatan-kegiatan tersebut dapat merekrut penduduk yang berada di sekitar lokasi kegiatan dan secara umum di Kabupaten Sumedang. Selain peluang kerja, kegiatan-kegiatan tersebut dapat menumbuhkan aktifitas usaha masyarakat baik formal maupun informal.

3. Perubahan Tingkat Pendapatan

Kegiatan tahap pra konstruksi yaitu pembebasan lahan dan pemindahan penduduk berpotensi menimbulkan penurunan pendapatan sebagai dampak lanjutan dari hilangya mata pencahaarian penduduk. Sedangkan kegiatan tahap konstruksi dan operasi berpotensi menimbulkan peningkatan pendapatan sebagai dampak lanjutan dari timbulnya peluang kerja dan usaha di masyarakat.

4. Perubahan Pola Pemilikan dan Penguasaan SDA

Kegiatan pembebasan lahan berpotensi menimbulkan dampak terhadap hilangnya hak kepemilikan atas lahan masyarakat. Perubahan tersebut diprakirakan menimbulkan dampak terhadap penurunan ekonomi rumah tangga, khususnya tingkat pendapatan penduduk. Kegiatan lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap perubahan pola kepemilikan dan penguasaan SDA adalah pemindahan penduduk, pariwisata dan kegiatan perikanan.

5. Konflik Sosial

Kegiatan pembebasan lahan yang berlarut-larut dan ketidakjelasan kepastian kegiatan pembangunan waduk berpotensi menimbulkan konflik sosial baik vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal terjadi akibat ketidaksepahaman antara tujuan yang ingin dicapai masyarakat dengan kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan oleh Pemda setempat. Konflik horisontal terjadi karena terjadinya sikap pro dan kontra di masyarakat terhadap rencana kegiatan.

6. Perubahan Pola Hidup/Kebiasaan

Kegiatan pembangunan Waduk Jatigede berpotensi menimbulkan dampak terhadap pola hidup/kebiasaan masyarakat di sekitar wilayah kegiatan dari sejak tahap pra kontruksi sampai tahap operasi. Perubahan pola hidup/kebiasaan tidak terlepas dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang selalu melakukan interaksi baik terhadap sesamanya maupun terhadap lingkungan di sekitarnya. Kegiatan pemindahan penduduk diprakirakan menimbulkan dampak terhadap pola kebiasaan masyarakat yang berhubungan dengan aktifitas usaha dan relasi sosial. Lokasi baru membutuhkan proses adaptasi dalam pola tanam terutama guna menghadapi perubahan kondisi lahan dari lahan basah ke lahan kering atau tadah hujan. Lingkungan baru membutuhkan proses adaptasi penduduk asal Jatigede dengan nilai, norma, dan adat istiadat yang berlaku di tempat baru.

7. Sikap/Persepsi Negatif Masyarakat

Ketidakpastian kegiatan pembangunan Waduk Jatigede telah menimbulkan sikap dan persepsi negatif di masyarakat. Masyarakat telah kehilangan kepercayaan terhadap segala kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Potensi munculnya persepsi negatif masyarakat terutama apabila kegiatan pembangunan Waduk Jatigede menimbulkan dampak negatif terhadap aspek ekonomi, budaya, kesehatan dan lingkungan. Sikap/persepsi negatif yang berakumulasi dalam jangka waktu lama akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal.

C. KONDISI KERAWANAN SOSIAL YANG SEDANG EKSIS

Kegiatan Pembangunan Waduk Jatigede telah menimbulkan sejumlah permasalahan sosial yang menimbulkan terjadinya sikap pro dan kontra di masyarakat terhadap kegiatan. Secara umum berbagai permasalahan seputar kegiatan pembangunan Waduk Jatigede terbagi ke dalam kegiatan pembebasan lahan dan pemindahan penduduk.

1. Kegiatan Pembebasan Lahan

Permasalahan seputar kegiatan pembebasan lahan yang dihimpun dari masyarakat di wilayah genangan maupun diluar genangan adalah sebagai berikut :

a. Pada saat kegiatan pembebasan lahan selama tahun 1984 sampai tahun 1986 di dalam pelaksanaannya tidak secara musyawarah tetapi melalui proses pemaksaan, ancaman dan intimidasi kepada masyarakat.

b. Tidak ada keterbukaan dalam proses pendataan lahan.

c. Telah terjadi penipuan oleh oknum dari Pemda/BPN untuk melakukan pendataan dan merubah data lahan penduduk agar bisa mendapatkan ganti rugi yang besar, padahal pada kenyataannya tidak ada.

d. Pada saat proses pengukuran lahan yang akan dibebaskan tidak diukur seluruhnya karena banyak warga yang ketakutan harus membayar pajak yang lebih besar.

2. Pelaksanaan Pembayaran Ganti Rugi

Di dalam pelaksanaan pembayaran ganti rugi tidak seluruh ganti rugi diserahkan langsung kepada masyarakat, hal ini mengindikasikan telah terjadi berbagai penyimpangan dan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam proses pelaksanaannya. Sehingga seperti halnya kegiatan pendataan dan pengukuran lahan, didalam kegiatan pembayaran ganti rugi telah terjadi sejumlah permasalahan didalam pelaksanaannya. Sejumlah permasalahan yang dapat dihimpun dari pendapat masyarakat, LSM, dan tokoh masyarakat adalah :

a. Pembayaran ganti rugi lahan tidak dilaksanakan sekaligus, sehingga menimbulkan masalah. Penduduk yang telah mendapat ganti rugi menuntut harga yang sama dengan wilayah lain.

b. Potensi terjadinya manipulasi data dan permainan dalam proses pembayaran ganti rugi.

c. Di lapangan telah timbul pro kontra di masyarakat akibat kelambatan pembayaran.

d. Pembayaran ditentukan secara sepihak oleh pihak desa, padahal sudah ada harga yang ditentukan menurut SK Bupati untuk tanah, pohon, bangunan dan tanah kuburan.

e. Telah terjadi perbedaan dalam pelaksanaan pembayaran, ada yang secara langsung melalui Bank, dan adapula yang secara kolektif maupun melalui perantara.

f. Banyak penduduk yang tidak mengetahui tentang kebijakan harga yang ditetapkan dalam SK. Bupati Kabupaten Sumedang.

g. Terjadinya wilayah yang terlewat ganti rugi

3. Nilai Ganti Rugi

Nilai ganti rugi yang telah ditetapkan dalam proses pelaksanaan pembayaran ganti rugi telah menimbulkan sejumlah permasalahan dan menimbulkan berbagai tuntutan baru di masyarakat. Berbagai permasalahan seputar nilai ganti rugi dapat dihimpun sebagai berikut :

a. Nilai ganti rugi diberikan tidak sesuai dengan kehendak masyarakat dan harga umum. Padahal aturan ini sudah jelas tercantum dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5 tahun 1960 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1975 “bahwa pemberian ganti rugi harus berdasarkan harga umum setempat”.

b. Terjadinya tuntutan ganti rugi baru dari masyarakat agar dilakukan penyesuaian dengan harga sekarang karena ganti rugi yang sudah diberikan terlalu rendah.

c. Belum terjadinya kesesuaian harga dasar tanah yang ditetapkan sesuai SK Bupati yaitu Rp 14.000,-/meter untuk semua daerah dengan keinginan masyarakat.

d. Ada keinginan masyarakat agar harga lahan tidak dikelas-kelas tetapi sama untuk semua wilayah.

e. Data yang disampaikan oleh Komunike Bersama pada saat audiensi dengan Bupati Kabupaten Sumedang, menyatakan bahwa harga yang dibayarkan kepada masyarakat pada tahun 1984/1985 di Desa Cipaku, Pakualam dan Karangpakuan tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah melalui SK Dirjen Bina Marga Wilayah Timur tentang pembebasan tanah rencana proyek Jatigede.

f. Nilai kompensasi lahan/ganti rugi yang diterima umumnya belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena harga yang ditetapkan terlalu murah dan tidak seimbang dengan harga sebenarnya, sehingga masyarakat tidak bisa membeli lahan lain diluar lokasi genangan.

D. METODOLOGI DAN METODE YANG DIGUNAKAN

Metode yang digunakan pada kajian analisa dampak sosial Pembangunan Waduk Jatigede mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang meliputi pelingkupan, pembuatan rona lingkungan, prakiraan dampak, evaluasi dampak, mitigasi dampak (pengelolaan), dan monitoring (pemantauan).

Dilihat dari jenis penelitian dan metode studi, kajian analisa dampak sosial Pembangunan Waduk Jatigede merupakan penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode etno-survai yaitu penggabungan antara pendekatan etnografi dan survai deskriptif. Penggambaran dilakukan dengan melakukan analisis terhadap parameter yang sedang diamati dengan menggunakan data rona lingkungan (baseline) dan prakiraan dampak. Analisis disajikan dalam bentuk analisis kualitatif dan kuantitatif yang dilengkapi dengan tabel frekuensi, tabulasi silang dan grafik.

1. Metode Pengumpulan Data Rona Lingkungan Sosial

Pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan berbagai informasi mengenai kondisi kependudukan, sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat sebagai bahan penyusunan Rona Lingkungan Sosial Awal.

a. Data Primer

Pengumpulan data primer bisa diperoleh melalui dua cara yaitu teknik non survei dan survei atau menggunakan pendekatan triangulasi (menggunakan lebih dari satu metode). Pengumpulan data primer untuk teknik non survei yang dapat digunakan dalam kajian ini antara lain:

§ Wawancara mendalam (depth interview)

§ Pengumpulan data dengan pengamatan langsung (observasi) terhadap aspek-aspek sosekbud di wilayah studi

Sedangkan teknik survei dilaksanakan untuk kegunaan perhitungan statistik yang lebih spesifik. Salah satu teknik survei yang digunakan adalah pengambilan data melalui daftar pertanyaan (kuesioner), yang berisi :

- Pertanyaan tentang fakta

Pertanyaan tentang pendapat (opini)

- Pertanyaan tentang Sikap/persepsi

b. Data Sekunder

Data sekunder antara lain diperoleh melalui instansi terkait dan kepustakaan di wilayah studi.

- Kabupaten Dalam Angka

- Monografi Kecamatan/Desa

- Profil Kecamatan/Desa

- Data proyek pembangunan waduk

- Kecamatan Dalam Angka mengenai jumlah penduduk, angkatan kerja produktif, tingkat pengangguran, dll

- Indikator sosial, ekonomi, dan budaya.

2. Metode Analisis Data

a. Kependudukan (Demografi)

Data kependudukan yang diperoleh dianalisis dengan rumus baku yang umum digunakan untuk menelaah peubah kependudukan. Aspek-aspek yang dianalisis digunakan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

- Kepadatan penduduk suatu wilayah adalah jumlah penduduk suatu wilayah dibagi dengan luas wilayahnya.

- Perkembangan penduduk suatu wilayah dapat dinyatakan dalam laju pertumbuhan penduduk (LPP) dengan satuan %/tahun.

- Struktur umur penduduk dihitung dengan Uji Fourty Percent Test, sedangkan sex ratio dihitung dengan membagi jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan dikali 100.

Jumlah penduduk laki-laki

Sex Ratio = ----------------------------------- x 100

Jumlah penduduk perempuan

- Angka Ketergantungan Penduduk, dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk tidak produktif terhadap jumlah penduduk produktif dikali 100.

- Penggusuran penduduk, jumlah kepala keluarga (KK) dan jiwa yang tergusur oleh proyek. Dihitung dengan menggunkan rumus y = Pf + Pe

- Tekanan penduduk dihitung dengan rumus menurut Otto Soemarwoto (1989) sebagai berikut :

fPo(r + 1)

TP = (1 - a ) z -----------------

b .L

b. Aspek Sosial Budaya

Analisis kualitatif

Data sub komponen sosial budaya dianalisis secara kualitatif. Data kualitatif disajikan dalam bentuk deskriptif dan diinterpretasikan untuk pemahamam sosial budaya yang ada. Hasil interpretasi data kualitatif dipadukan dengan hasil analisis data kuantitatif. Mekanisme analisis data kualitatif dilakukan dengan cara : Setelah dilakukan pengumpulan data, kemudian dilakukan analisis data. Adapun metode analisis yang digunakan yaitu identifikasi, kategorisasi, dan interpretasi.

Analisa Kuantitatif

Analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode statistik sosial atau model fungsi matematik. Aspek sosial budaya yang diprakirakan diukur diantaranya : Sistem nilai budaya atau cultural value system masyarakat yang terkena dampak pembangunan waduk Jatigede. Variabel nilai budaya yang diukur diantaranya pola hubungan sosial masyarakat yang terdiri dari tingkat kerjasama (cooperation), tingkat persaingan (competition), dan tingkat pertentangan (conflict). Ketiga variable tersebut diukur dengan menggunakan Skala Likert.

c. Sosial Ekonomi

Mengingat sebagian besar indikator-indikator ekonomi dapat dikuantifikasi, maka data-data ekonomi yang terkumpul sedapat mungkin diberi nilai moneter (valuation). Sehubungan dengan itu ada tiga (3) metode pemberian penilaian moneter yaitu:

1) Penggunaan secara langsung berdasarkan harga pasar atau produktifitas (market-based Methods)

2) Penggunaan pengganti harga pasar (surrogate market value)

3) Metode pasar buatan (constructed market) yang berdasar pada potensi pengeluaran atau kesediaan untuk membayar atau menerima (potential expenditures, willingness to pay or willingness to accept).

Teknik Valuasi yang digunakan :

1. Menghitung Surplus Produsen (Producer Surplus) tanpa mengestimasi supply. Teknik ini digunakan untuk menghitung nilai barang dan jasa yang memiliki harga pasar. Pada kasus pembangunan Waduk Jatigede, teknik ini berguna untuk menghitung produksi pertanian, perikanan dan kehutanan/perkebunan di lokasi proyek. Produser Surplus dari petani yang terkena dampak proyek dapat dihitung dengan menghitung selisih biaya dan pendapatan yang diterima oleh petani dalam kegiatan bertani.

Penghitungan surplus produsen ini dilakukan melalui pendekatan perubahan produktifitas (change of productivity) dan hilangnya mata pencahariaan/penghasilan (loss of earning approach)

2. Teknik langsung (Direct Techniques)

Teknik langsung yang digunakan adalah Contingen Valuation Method yaitu teknik yang digunakan untuk menghitung sumberdaya yang tidak memiliki nilai pasar (non-market value) dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada masing-masing individu tentang seberapa besar keinginan membayar (willingness to pay) untuk mendapatkan barang atau jasa tertentu, misalnya keinginan membayar untuk mempertahankan kondisi lahan seperti semula.

3. Teknik tidak langsung (Indirect Measurement Techniques)

Salah satu manfaat yang akan diperoleh dengan adanya Waduk Jatigede adalah berkembangnya pariwisata di Kabupaten Sumedang. Untuk menghitung manfaat dari kegiatan pariwisata ini maka digunakan metode biaya perjalanan (travel cost method). Teknik ini menghitung berapa besar keinginan seseorang untuk membayar (WTP) untuk mendapatkan akses rekreasi yang baru dan berapa biaya perjalan yang dikeluarkan oleh pengunjung untuk bisa dating ke lokasi wisata tersebut.

3. Metode Pemilihan Anggota Sampel Dari Populasi

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Purposive Sampling (pemilihan sampel secara bertujuan). Metode tersebut digunakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menggali dan menggambarkan perubahan yang terjadi di masyarakat yang terkena dampak langsung dari pembangunan Waduk Jatigede.

Pemilihan anggota sampel dilakukan terhadap penduduk yang diprakirakan terkena dampak langsung dari proyek. Namun karena wilayah permukiman penduduk tersebar di lima (5) kecamatan, maka penentuan jumlah sampel dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

§ Menentukan kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah genangan dan diluar genangan secara purposive.

§ Menentukan desa-desa yang terkena dampak langsung dari kegiatan.

§ Desa-desa yang dijadikan sampel ditentukan secara purposive yaitu desa-desa yang berada di wilayah genangan dan yang paling dekat dengan lokasi genangan. Begitu pula untuk penduduk yang telah pindah keluar lokasi genangan dipilih yang bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi genangan.

§ Membagi populasi menjadi beberapa kelompok berdasarkan area tempat tinggal, yaitu :

- Penduduk yang lahannya terkena kegiatan dan yang masih tinggal di wilayah genangan

- Penduduk yang lahannya terkena kegiatan dan telah pindah dari lokasi genangan

- Penduduk yang akan mendapatkan dampak langsung dari kegiatan Waduk Jatigede setelah beroperas, yaitu yang terdekat dengan lokasi proyek.

§ Menentukan jumlah kepala keluarga (KK) yang akan dijadikan anggota sampel yang terpilih secara purposive berdasarkan sample fraction yang telah ditentukan menurut jumlah penduduk yang terkena dampak paling besar dan yang terkena persebaran dampak.

4. Metoda Prakiraan Dampak Besar dan Penting

Prakiraan dampak penting pembangunan Waduk Jatigede terhadap lingkungan sosial ekonomi dan budaya dilakukan berdasarkan hasil pelingkupan (dalam dokumen Kerangka Acuan) yang tergolong dampak penting hipotetik. Metode yang digunakan dalam memprakirakan besar dampak termasuk yang memiliki nilai moneter diukur dengan metode formal dan informal. Metoda formal digunakan apabila cukup tersedia data kuantitatif, sedangkan bila data kuantitatif tidak terpenuhi prakiraan dampak dilakukan dengan menggunakan metode informal.

a. Metode Formal, antara lain :

1. Proyeksi penduduk (teknik ekstrapolasi)

2. Analisis kecenderungan (trend analysis)

3. Analisis deret waktu (time series analysis)

b. Metode Informal, antara lain :

1) Penilaian pakar (professional judgement)

2) Komparatif antar budaya (cross cultural)

3) Teknis analogi

4) Metode delphi

Kriteria penilaian sifat penting dampak sosial yang akan terjadi ditelaah dengan mengacu pada Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting (Keputusan Kepala BAPEDAL No. 56 Tahun 1994) dan pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yaitu :

(1). Jumlah manusia yang terkena dampak

(2). Luas wilayah persebaran dampak

(3). Intensitas dan lamanya dampak berlangsung

(4). Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak

(5). Sifat kumulatif dampak

(6). Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak

Analisis prakiraan dampak sosial kegiatan pembangunan Waduk Jaigede dilakukan dengan menganalisis perbedaan antara kondisi kualitas lingkungan sosial yang diprakirakan akan terjadi akibat adanya rencana usaha atau kegiatan, dengan kondisi kualitas lingkungan yang diprakirakan akan terjadi bila tidak ada rencana usaha atau kegiatan (pendekatan with and without project) :

a. Prakiraan kondisi lingkungan pada waktu t “tanpa proyek” yaitu garis dasar (baseline) atau Qtp),

b. Prakiraan kondisi lingkungan “dengan proyek” yaitu Qdp. Dampak yang ingin kita prakirakan adalah Qdp - Qtp. Prakiraan Qdp dan Qtp dilakukan dengan menggunakan data dasar kondisi sosial yang diprakirakan akan mengalami dampak penting. Untuk itu hasil dari pelingkupan dan pembuatan profil masyarakat dapat memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam tahap analisis.

5. Metoda Evaluasi

Evaluasi dampak merupakan sebuah proses untuk menganalisis prakiraan dampak untuk menentukan bobot dan pentingnya dampak. Evaluasi terhadap dampak penting yang diprakirakan timbul dilakukan secara holistik dalam konsteks ekosistem. Derajat penting dampak ditentukan berdasarkan 6 kriteria ukuran dampak penting. Hasil evaluasi dampak akan digunakan sebagai acuan untuk menentukan urutan prioritas pencegahan dan penanggulangan dampak. Berdasarkan evaluasi dampak penting tersebut maka rumusan mengenai upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan dapat disusun dan dituangkan dalam Program Rekayasa Sosial dan Rencana Pemantauan Lingkungan Sosial.

E. DAMPAK SOSIAL BESAR PENTING

I. Tahap Pra Konstruksi

1. Kegiatan Pembebasan Lahan

a) Aspek Kependudukan

Kegiatan pembebasan lahan diprakirakan menimbulkan dampak negatif berupa terjadinya penggusuran penduduk dari wilayah genangan keluar wilayah genangan. Akan tetapi yang terkena kegiatan pembebasan lahan tidak hanya para pemilik lahan yang tinggal di wilayah genangan, melainkan juga sejumlah keluarga diluar daerah tersebut yang yang tergusur i secara ekonomi.

Besarnya penduduk yang tergusur sebagai berikut :

Pf = Besarnya jumlah orang yang tergusur secara fisik dari daerah proyek 17.896 KK

Pe = Jumlah orang yang tergusur secara ekonomi 3.911 KK

y = (17.896 + 3.911) orang = 21.807 KK

b) Sosial Ekonomi

Tingkat Pendapatan Penduduk

Kegiatan pembebasan lahan diprakirakan menimbulkan dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat berupa hilangnya mata pencahaarian yang akan menimbulkan dampak lanjutan terhadap tingkat pendapatan penduduk. Bila dinilai dari mata pencaharian utama penduduk yaitu bertani sawah, maka rata-rata kehilangan produksi pertanian yang akan dialami oleh rumah tangga petani (RTP) yang terkena pembebasan lahan adalah senilai Rp 5.791.968,00 per tahun atau kehilangan pendapatan bersih dari pertanian sebesar Rp 3.930.081,00 per tahun.

c) Sosial Budaya

1. Interaksi Sosial/Konflik

Kegiatan pembebasan lahan diprakirakan menimbulkan dampak terhadap interaksi sosial yang bersifat disasosiatif, yaitu kemungkinan terjadinya konflik. Konflik sosial dengan adanya kegiatan pembebasan lahan diprakirakan terjadi antara pihak proyek/Pemda setempat dan masyarakat (konflik vertikal) dan konflik diantara masyarakat (konflik horisontal). Berbagai permasalahan sosial yang terjadi seputar kegiatan pembebasan lahan memicu terjadinya distrust di masyarakat yang mengarah kepada konflik vertikal yang disebabkan mekanisme pembeasan lahan tidak sesuai dengan harapan penduduk, sehingga dapat memicu terjadinya konflik yang dirasakan (latent conflict). Maka prakiraan konflik yang akan terjadi antara masyarakat dengan pihak proyek dan/atau Pemerintah Daerah (Pemda) setempat masih dalam fase disorganisasi yaitu adanya perbedaaan paham diantara tujuan kelompok sosial. Kelompok sosial disini adalah masyarakat di satu sisi dan pihak proyek dan/atau Pemerintah Daerah (Pemda) di sisi yang lain.

Nilai kerugian yang diterima penduduk dari kegiatan pembebasan lahan sehingga menimbulkan konflik di masyarakat adalah :

§ Total kerugian pembayaran yang ditanggung masyarakat tahun 1984 sebesar Rp 65.178.000.000,-

§ Nilai sekarang dari total kerugian yang ditanggung masyarakat Rp 628.726.000.000,-.

2. Sikap/Persepsi Masyarakat

Kegiatan pembebasan lahan diprakirakan dapat menimbulkan persepsi di masyarakat baik positif maupun negatif dengan terjadinya sikap pro dan kontra di masyarakat terhadap rencana kegiatan. Terjadinya sikap pro dan kontra disebabkan oleh berbagai permasalahan sosial yang terjadi selama kegiatan pembebasan lahan.

Hal-hal yang mengakibatkan terjadinya sikap pro dan kontra di masyarakat dari kegiatan pembebasan lahan adalah :

§ Proses pembayaran Proses pembebasan lahan hanya melibatkan kelompok tertentu di masyarakat

§ Proses pembebasan lahan tidak dikomunikasikan secara merata kepada masyarakat

§ Terjadi ketidakpuasan diantara kelompok masyarakat terhadap pembebasan lahan

§ Kegiatan terlalu lama dan berbelit-belit

§ Pemerintah tidak serius dan kurang mempersiapkan perencanaannya

§ Proses kompensasi lahan tidak transparan

2. Kegiatan Pemindahan Penduduk

a) Sosial Ekonomi

Tingkat Pendapatan Penduduk

Kegiatan pemindahan penduduk diprakirakan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pendapatan penduduk yang disebabkan oleh menurunnya hasil produktifitas pertanian di lokasi baru.

Rata-rata produksi padi setiap panen di lokasi baru hanya mencapai 2,897 ton per hektar, dan rata-rata siklus tanam hanya berlangsung sekali dalam setahun. Berdasarkan angka tersebut, maka rata-rata produksi rumah tangga petani (RTP) yaitu 1,506 ton per tahun atau setara dengan nilai Rp 1.958.372,00. sehingga rata-rata penerimaan bersih dari kegiatan tani sawah di lokasi baru Rp 980.978,00 dalam setahun. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan pendapatan yang diperoleh petani yang berada di lokasi genangan, dan kondisi ini menunjukkan bahwa perpindahan penduduk ke lokasi baru telah menyebabkan penurunan pendapatan penduduk, karena bertani merupakan satu-satunya pekerjaan utama sebagian besar penduduk.

b) Sosial Budaya

1. Sikap/Persepsi Masyarakat

Kegiatan pemindahan penduduk diprakirakan menimbulkan dampak negatif terhadap sikap/perspesi masyarakat. Dampak negatif terjadi disebabkan oleh proses pemindahan penduduk menurut pendapat masyarakat pada awalnya dilaksanakan dengan paksaan dan tanpa persiapan secara baik oleh Pemerintah. Selain itu penduduk yang melakukan pindahan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa memapankan ekonomi rumah tangga di lokasi pindahan.

Penurunan kesejahteraan di tahun awal perpindahan karena belum berjalannya roda ekonomi rumah tangga dengan baik merupakan biaya sosial yang ditimbulkan oleh kegiatan pemukiman kembali penduduk ke lokasi yang baru. Bila diasumsikan selama tahun pertama penduduk yang dipindahkan belum bisa memulai kegiatan usaha dengan optimal maka biaya sosial yang ditanggung oleh penduduk tersebut adalah Rp 7.908.000,00. yang diperoleh dari pendapatan rata-rata penduduk di lokasi studi Rp 659.000,00 per bulan. Kompensasi dari hilangnya pendapatan--selama kegiatan ekonomi belum berjalan dengan baik pada tahun pertama--yang mesti dibayarkan adalah Rp 56,645 milyar berdasarkan current value.

Diperkirakan pemindahan penduduk yang masih berada dilokasi genangan dapat dilakukan pada tahun 2007 (lebih kurang dua tahun dari sekarang), Dengan asumsi discount rate sebesar 12% per tahun, sehingga nilai yang akan dikeluarkan untuk kompensasi hilangnya pendapatan penduduk pada tahun 2007 (future value) adalah Rp 71,055 milyar.

II. Tahap Konstruksi

1. Mobilisasi dan Permukiman Tenaga Kerja

a) Sosial Ekonomi

1. Kesempatan Kerja dan Usaha

Kegiatan penerimaan tenaga kerja diprakirakan menimbulkkan dampak positif bagi masyarakat dengan terciptanya peluang kerja dan berusaha bagi masyarakat. Jumlah tenaga kerja lokal yang dibutuhkan sekitar 722 orang atau 70.37% dari kebutuhan tenaga kerja konstruksi sebesar 1.026 orang. Sedangkan peluang usaha bagi masyarakat sekitar akan terbuka di sektor informal, seperti warung-warung kecil untuk mencukupi kebutuhan para karyawan kontraktor, seperti kebutuhan makan dan minum selama bekerja pada tahap konstruksi. Usaha lain yang bisa terbuka adalah usaha jasa pondokan bagi para karyawan dari luar yang tidak memiliki tempat tinggal.

2. Tingkat Pendapatan Penduduk

Adanya kegiatan penerimaan tenaga kerja diprakirakan pendapatan rumah tangga penduduk akan bertambah. Peningkatan pendapatan akan berasal dari rekruitmen tenaga kerja, dimana tenaga kerja ini umumnya adalah tenaga kerja harian. Penambahan pendapatan akan diperoleh dari pendapatan harian besarnya sekitar Rp 20.000,- sampai Rp 30.000,- per hari.

Besarnya peningkatan pendapatan yang akan diperoleh merupakan manfaat dari kegiatan konstruksi Waduk Jatigede yang dapat dihitung dengan menggunakan metode produktifitas yaitu menghitung jumlah tenaga kerja yang dapat diserap serta upah minimum regional yang dapat diperoleh seorang tenaga kerja. Bila diasumsikan Upah Minimum Regional Kabupaten Sumedang adalah Rp 600.000,00 per bulan, maka seorang tenaga kerja (buruh bangunan) akan mendapatkan upah sebesar Rp 7.200.000,00 per tahun.

Diasumsikan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan adalah 1.026 orang, maka total nilai manfaat dari kegiatan konstruksi Waduk Jatigede yang diterima oleh masyarakat adalah 7,2 milyar per tahun. Bila lamanya waktu untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi selama 7 tahun, dan diasumsikan tingkat discount rate per tahun adalah 12%, maka nilai sekarang (present value) dari nilai manfaat yang diterima selama kegiatan konstruksi berlangsung adalah Rp 3.34 Milyar.

b) Sosial Budaya

1. Interaksi Sosial/Konflik

Kegiatan mobilisasi tenaga kerja diprakirakan dapat menimbulkan gangguan terhadap interaksi sosial di masyarakat berupa :

· Terjadinya kecemburuan sosial di masyarakat.

Prakiraan timbulnya kecemburuan sosial apabila dalam rekruitmen tenaga kerja pihak proyek Waduk Jatigede lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar diluar dari ketentuan yang telah diberlakukan, khususnya untuk tenaga kerja unskilled.

· Terjadinya interaksi sosial antara pendatang dengan penduduk lokal.

Proses interaksi yang terjadi diprakirakan negatif karena tenaga kerja pendatang harus melakukan proses adaptasi dengan tenaga kerja lokal dan penduduk setempat. Pada tahap proses adaptasi ini diprakirakan terjadi perselisihan antara pendatang dengan tenaga kerja lokal dan penduduk setempat.

Perselisihan dengan tenaga kerja lokal akan terjadi karena adanya konflik dalam bidang pekerjaan, dimana penduduk lokal diberi pekerjaan untuk kategori tenaga kerja kasar sedangkan tenaga kerja pendatang diberi pekerjaan untuk kategori tenaga kerja ahli.

2. Adat Istiadat dan Pola Kebiasaan Masyarakat

· Kegiatan mobilisasi dan pemukiman tenaga kerja diprakirakan berdampak pada adat istiadat/pola kebiasaaan masyarakat setempat dengan jumlah tenaga kerja pendatang yang akan bermukim di wilayah genangan seperti Kecamatan Darmaraja, Kecamatan Jatinunggal, Kecamatan Wado, dan Kecamatan Jatigede. Prakiraan dampak terhadap adat istiadat/pola kebiasaan masyarakat disebabkan oleh terjadinya proses sosialisasi budaya antara penduduk asli dan pendatang melalui proses interaksi yang merupakan hubungan timbal balik dan akan terjadi proses saling mempengaruhi.

· Selain itu kegiatan mobilisasi tenaga kerja konstruksi yang akan menyerap sekitar 1.026 orang tenaga kerja dimana sekitar 29.63% merupakan tenaga kerja pendatang diprakirakan menimbulkan dampak terhadap pola kebiasaan yang berlaku di masyarakat baik positif maupun negatif. Dampak positif diprakirakan terjadi apabila keberadaan tenaga kerja dapat memberikan pengaruh positif bagi adat istiadat dan pola kebiasaan yang berlaku di masyarakat, seperti terjadinya proses identifikasi masyarakat karena adanya pengaruh etos kerja yang tinggi dari tenaga kerja pendatang dan meningkatnya keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi karena tenaga kerja pendatang umumnya memiliki keahlian dan tingkat pendidikan yang tinggi. Dampak negatif terjadi apabila tenaga kerja membawa pola kebiasaan yang bertentangan dengan norma agama atau sistem nilai yang berlaku di masyarakat seperti kebiasaan mabuk-mabukan atau memakai narkoba yang akan ditiru oleh anak-anak muda yang melakukan interaksi dengan tenaga kerja.

III. Tahap Operasi

1. Produksi Pertanian

a. Sebelum Adanya Proyek (Without Project)

Produksi Pertanian Sawah

Dengan adanya pembangunan Waduk Jatigede akan terjadi penurunan produksi padi lokal untuk sebanyak 32.796 ton per tahun. Nilai penurunan produksi yang terjadi bisa mencapai Rp 42,635 milyar per tahun. Dengan direalisasikannya pembangunan Waduk Jatigede, maka net present value dari kehilangan produksi padi di wilayah genangan selama 10 tahun mencapai Rp 241,260 milyar.

Produksi Kacang Tanah

Luas lahan yang digunakan untuk menanam kacang tanah yang di Kecamatan Darmaraja adalah 753 ha. Produksi rata-rata kacang tanah di daerah genangan adalah 1,4 ton/ha, dengan siklus tanam sekali dalam setahun. Sedangkan harga jual kacang tanah dari petani adalah Rp 4.000,00 per kg. Dengan adanya kegiatan pembangunan Waduk Jatigede, maka akan terjadi penurunan produksi kacang tanah adalah sebesar 136,5 ton per tahun atau setara dengan nilai Rp 546.000.000,00. Dengan direalisasikannya pembangunan Waduk Jatigede, maka net present value dari kehilangan produksi kacang tanah di wilayah genangan selama 10 tahun mencapai Rp 3,085 milyar.

Dilihat dari dua komoditas pertanian utama yang terdapat di daerah genangan Waduk Jatigede, maka total kerugian yang akan diterima setiap tahun dari hilangnya produksi pertanian di lahan yang terkena genangan akibat pembangunan Waduk Jatigede akan mencapai Rp 43,245 milyar per tahun. Dalam sepuluh tahun net present value dari hilangnya produksi pertanian di wilayah genangan mencapai 244,348 milyar.

b. Dengan proyek (with project)

Dengan siklus tanam mencapai 3 kali dalam setahun, maka total produksi untuk keseluruhan lahan yang diairi adalah 2.281.370 ton per tahun dengan nilai produksi mencapai Rp 2,9658 trilyun. Sementara total produksi padi Jawa Barat untuk setiap musim tanam pada tahun 2003 mencapai 5.891.594,7 ton. Berdasarkan angka ini, maka dapat dilihat besarnya manfaat waduk Jatigede untuk kepentingan irigasi sawah yaitu dapat meningkatkan produksi padi Jawa Barat antara 11 % hingga 16 %. Diperkirakan setiap tahunnya rata-rata produksi pertanian setelah adanya waduk Jatigede akan mencapai angka yang disebutkan di atas. Bila diasumsikan dalam sepuluh tahun tidak terjadi perubahan harga gabah dan discount rate, maka total nilai sekarang (net present value) dari nilai produksi padi selama sepuluh tahun pertama adalah 16,757.trilyun.

Berdasarkan nilai yang diperoleh dari produksi pertanian di wilayah genangan (kondisi tanpa proyek) dan nilai produksi pertanian setelah beroperasinya Waduk Jatigede (kondisi dengan adanya proyek), dapat dihitung manfaat bersih dari Waduk Jatigede untuk sector pertanian. Manfaat bersih diperoleh dengan mengurangkan nilai manfaat pertanian dengan adanya proyek (with project) dengan nilai manfaat pertanian tanpa adanya proyek (without project). Manfaat bersih yang diterima setiap tahunnya mencapai Rp 2,922 trilyun sedangkan net present value dari manfaat bersih pertanian selama 10 tahun mencapai Rp 16,513 trilyun. Angka ini menunjukkan bahwa pembangunan Waduk Jatigede memberikan manfaat positif bagi perekonomian lokal dan regional karena meningkatkan produksi pertanian di beberapa kabupaten penerima manfaat.

2. Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Pembangunan waduk Jatigede akan semakin mengaktifkan kegiatan pertanian di beberapa daerah (Sumedang dan sekitarnya) sehingga dapat berlangsung sepanjang tahun. Diperkirakan setelah waduk beroperasi, siklus tanam akan meningkat dari sekali hingga dua kali dalam setahun menjadi tiga kali dalam setahun, selain itu luas sawah yang dapat diairi pun bertambah. Dengan demikian tentu saja aktivitas pertanian pun akan meningkat, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak di bidang pertanian.

Untuk mengolah sawah seluas 1.300.000 Ha, setiap masa tanam akan dibutuhkan tenaga laki-laki sebesar 15.210.000 hari kerja dan tenaga perempuan sebesar 12.870.000 hari kerja. Dengan upah rata-rata yang berlaku untuk tenaga kerja laki-laki, maka nilai penerimaan tenaga kerja laki-laki untuk sekali masa tanam adalah Rp 228,15 milyar, sedangkan nilai penerimaan tenaga kerja perempuan untuk sekali masa tanam adalah Rp 128,7 milyar. Sehingga total nilai penerimaan tenaga kerja di bidang pertanian untuk sekali masa tanam mencapai Rp 356,85 milyar. Dengan siklus tanam mencapai tiga kali dalam setahun, maka nilai penerimaan tenaga kerja di bidang pertanian mencapai 1,07 trilyun setiap tahunnya. Untuk melihat nilai yang diterima selama 10 tahun setelah Waduk Jatigede maka dapat digunakan tingkat discount rate sebesar 12% per tahun. Diasumsikan dalam kurun waktu 10 tahun tersebut tidak terjadi perubahan signifikan terhadap tingkat upah dan discount rate. Net present value selama 10 tahun mendatang adalah Rp 6,050 trilyun.

F. PENDEKATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN SOSIAL

Dampak penting yang teranalisis dalam studi ANDAS, baik yang terjadi pada saat tahap pra konstruksi, konstruksi, maupun operasi pada Proyek Pembangunan Waduk Jatigede akan didekati dengan beberapa pendekatan lingkungan seperti pendekatan perencanaan pembangunan sosial, ekonomi, maupun pendekatan institusi.

1. Strategi Pembangunan Sosial (Sosiological Insight) Pendekatan : Public Decision Making Process

Tejadinya berbagai dampak sosial dari kegiatan pembangunan Waduk Jatigede menuntut dilakukannya analisis lebih lanjut terhadap akar permasalahanya. Kegiatan pembangunan Waduk Jatigede yang diprakirakan tidak terintegrasi dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat merupakan dimensi kekuasaan distributif (distributive power) yang dijalankan selama ini tanpa mendapatkan kekuatan penyeimbang dari stakeholders lainnya yaitu Pemerintah Kabupaten Sumedang, Pemerintah Propinsi Jabar, dan civil society (masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan, dan LSM setempat baik yang pro maupun kontra).

Pada saat ini kekuatan penyeimbang belum berfungsi karena lemahnya fungsi kontrol stakeholeders dalam setiap kegiatan pembangunan Waduk Jatigede yang dilaksanakan. Artinya belum dicapai suatu pemahaman bersama diantara stakeholders terhadap fungsi sumber daya alami yang terbatas dan terganggunya lingkungan sosial oleh kegiatan pembangunan Waduk Jatigede serta belum terjadinya kesepakatan kolektif diantara stakeholders terhadap program pengelolaannya. Untuk itu perlu dilakukan public decision making process, yaitu suatu proses pengambilan keputusan dalam penanganan dampak sosial dengan melibatkan para stakeholders (lihat Gambar 1)

Gambar 1
Hubungan Pra Sinergis Para Stakehoders




Public decision making process dilaksanakan dengan tujuan utama pengelolaan terhadap sumber daya alami khususnya lahan dapat terkelola dengan baik dan lingkungan sosial tidak terganggu oleh kegiatan pembangunan Waduk Jatigede. Untuk itu perlu dirumuskan suatu strategi pembangunan Waduk Jatigede yang berbasis pada terbatasnya sumber daya alami dan budaya lokal secara berkelanjutan dengan melibatkan para stakeholders. Strategi pembangunan dapat dilaksanakan apabila para stakeholders dapat menjalankan status peran yang diembannya dalam sistem sosial (lihat Gambar 2) yaitu :

a. Berfungsinya kontrol Pemerintah (Propinsi dan Kabupaten) terhadap kegiatan Pembangunan Waduk Jatigede

b. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembangunan Waduk Jatigede.

c. Terintegrasinya setiap rencana pembangunan Waduk Jatigede oleh Pemerintah Pusat dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemda setempat dan kondisi sosial kultural masyarakat yang terkena dampak.

d. Terciptanya suatu kesepakatan kolektif diantara stakeholders terhadap tujuan bersama yang akan dilaksanakan.

Gambar 2
Hubungan Sinergi Para Stakehoders

Status peran yang harus dijalankan oleh stakeholders merupakan fungsi adaptasi dari persyaratan fungsional yang perlu dilaksanakan diawal kegiatan strategi pembangunan. Pada strategi pembangunan selanjutnya harus memuat empat macam persyaratan fungsional Pola AGIL Talcot Parsons-Smelser. Pendekatan AGIL Parsons-Smelser digunakan karena strategi pembangunan Waduk Jatigede yang dilaksanakan membutuhkan suatu pendekatan yang mampu menjembatani setiap permasalahan sosial baik makro maupun mikro.

Strategi pembangunan disusun untuk mengatasi permasalahan mendasar seputar kegiatan pembangunan Waduk Jatigede pada tahap perencanaan dan pra konstruksi (pembebasan lahan dan pemindahan penduduk) yang dilaksanakan, dan harus disusun berdasarkan pada hubungan sinergi diantara stakeholder yaitu institusi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten), dan Masyarakat baik yang terkena dampak maupun penerima manfaat agar tercipta kondisi equilibrium diantara ketiganya.

Menurut Parsons kondisi equilibrium dapat terlaksana sepanjang ketiga struktur institusional diatas mampu membentuk suatu sistem besar dalam suatu komunitas dan melahirkan interelasi pola institusional yang terintegrasi. Meskipun disatu sisi masing-masing aktor dapat dilihat sebagai suatu sistem yang menghadapi masalah adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan pola laten sendiri (lihat Tabel A). Pola tersebut dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi strategi pembangunan Waduk Jatigede, serta penanganan terhadap dampak negatif yang terjadi dari pembangunan Waduk Jatigede.

Tabel A
Strategi Pembangunan Waduk Jatigede
Berbasis Sumber Daya Alami dan Budaya Lokal Masing-Masing Struktur Institusional Dalam Public Decision Making Process

Struktur

Institusional

Persyaratan

Fungsional

Pemerintah Daerah

Pelaksana Proyek (SDA Air)

Masyarakat

Adaptation

a) Kebijakan pembangunan harus memperhatikan permasalahan dan kebutuhan masyarakat, lingkungan fisik, sistem budaya, dan organisme perilaku masyarakat

b) Menetapkan kebijakan pembangunan sosial dalam rencana pembangunan Waduk Jatigede

c) Menetapkan kebijakan pembangunan Waduk Jatigede yang disesuaikan dengan kondisi sumber daya lahan yang terbatas

d) Membuat kebijakan pembangunan yang terintegrasi dengan lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya setempat

a) Perencanaan bangunan (site plan) dan jenis kegiatan harus memperhatikan lingkungan fisik, sistem budaya, norma-norma yang berlaku di masyarakat

b) Menyesuaikan setiap rencana pembangunan Waduk Jatigede dengan kondisi sumber daya lahan yang terbatas

c) Mengintegrasikan setiap rencana pembangunan Waduk Jatigede dengan kebijakan Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten)

a) Kesiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan yang terjadi dengan dibangunnya pembangunan Waduk Jatigede, baik dari sistem budaya dan norma sosial yang dianut, lingkungan fisik, dan organisme perilaku masyarakat.

b) Kemampuan mencari alternatif solusi dari setiap perubahan yang terajdi

c) Memiliki kekuatan mengorganisasi diri (self organizing) agar tercapai bargaining power dengan kekuatan pelaku ekonomi lainnya

Goal Attainment

Orientasi pertumbuhan ekonomi dan PAD. Orientasi ini harus diselaraskan dengan tujuan bersama pada strategi pembangunan Waduk Jatigede

Maksimalisasi keuntungan dan pencapaian pembangunan fisik. Orientasi ini harus diselaraskan dengan tujuan bersama pada strategi pembangunan Waduk Jatigede

a) Kesejahteraan masyarakat meningkat (ekonomi)

b) Lingkungan yang terpelihara

c) Sistem budaya dan norma yang berlaku terpelihara

Ketiga tujuan diatas harus diselaraskan dengan tujuan bersama pada strategi pembangunan Waduk Jatigede

Integration

a) Melakukan pengawasan terhadap setiap kegiatan pembangunan Waduk Jatigede

b) Menjalin hubungan kerjasama sinergis dengan masyarakat dan pelaksana proyek dalam program pengelolaan lingkungan sosial

a) Melakukan pengawasan terhadap setiap beroperasinya kegiatan pembangunan Waduk Jatigede

b) Menjalin kerjasama sinergis dengan Pemda dan masyarakat yang terkena dampak dan penerima manfaat dalam program pengelolaan lingkungan sosial

a) Kemampuan melakukan kontrol sosial terhadap setiap kegiatan pembangunan Waduk Jatigede

b) Kemampuan untuk membentuk solidaritas sosial dan kesediaan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten) dan pelaksana proyek agar tujuan kolektif tercapai

Lattent Patern Maintenance

Mendorong, mendukung, dan memfasilitasi dipertahankannya pola interaksi dan kerjasama antara Pemerintah, pelaksana proyek, dan masyarakat dalam jangka panjang

a) Senantiasa melakukan koordinasi dan kerjasama baik dengan Pemerintah Daerah maupun masyarakat agar keberadaan pembangunan Waduk Jatigede dapat memberikan manfaat bagi lingkungan setempat

b) Ikut memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang mendukung dan memperkuat interaksi dan pola kerjasama antara Pemerintah, pelaksana proyek dan masyarakat

Senantiasa menciptakan kegiatan-kegiatan yang bisa mendukung dan memperkuat pola interaksi dan kerjasama baik diantara masyarakat sendiri maupun dengan Pemerintah Daerah dan pelaksana proyek.

G. MODEL YANG DISARANKAN

Pada uraian diatas sudah dikemukakan strategi pembangunan Waduk Jatigede yang berbasis pada sumber daya alami dan budaya lokal sebagai pendekatan dari public decision making process. Strategi tersebut perlu diimpelemtasikan dalam bentuk program kegiatan. Program yang disarankan harus menjembatani penanganan permasalahan perencanaan pembangunan yang tidak terintegrasi dan pengelolaan dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede.

Pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan program yaitu Pemerintah Daerah (Propinsi/ Kabupaten), Pelaksana Proyek, dan masyarakat baik yang terkena dampak maupun penerima manfaat dan unsur-unsur lembaga kemasyarakatan di desa seperti BPD, kelompok tani, KSM, Karang Taruna, dan PKK, maupun LSM setempat baik yang pro maupun kontra. Ketiga unsur ini membentuk suatu forum yang digunakan sebagai media komunikasi guna membahas setiap perencanaan pembangunan Waduk Jatigede yang akan dilaksanakan dan alternatif solusi pengelolaan lingkungan sosial (lihat Gambar 3).

Gambar : 3
Pembentukan Forum Pembangunan Waduk Jatigede

dan Pengelolaan Lingkungan Sosial




Media tersebut dibentuk untuk membahas berbagai persoalan seputar pembangunan Waduk Jatigede dan pengelolaan dampak negatifnya. Kegiatan yang dilaksanakan merupakan Social invention yang disusun berupa tahapan program berdasarkan suatu proses yang terintegrasi mulai dari perencanaan sampai pemantauan agar permasalahan yang dihadapi baik oleh pihak pemerintah daerah, pelaksana proyek dan masyarakat bisa teratasi secara berkelanjutan (suistainable).

Agar Forum bisa berjalan dan dapat dilaksanakan oleh para stakeholders membutuhkan sejumlah prasyarat yaitu :

a) Proses penyusunan program dilaksanakan secara musyawarah dengan melibatkan stakeholders secara sinergi. Sinergi berarti : pertama, adanya kreatifitas sehingga memiliki kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru; Kedua, kegiatan yang dilaksanakan memiliki perspektif jangka panjang (long term) sehingga bisa berkelanjutan (sustainable); Ketiga, stakeholders dalam berinteraksi harus mampu mendefinisikan sesuatu/situasi (defining the situation), dimana dalam mendefinisikan sesuatu sangat tergantung pada kemampuan sendiri sampai stakeholders bisa mendefinisikan apa yang menjadi perannya.

b) Penciptaan hubungan yang sinergi ditingkat implementasi dilakukan dengan menjadikan permasalahan dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede menjadi isu bersama oleh ketiga unsur pelaku pembangunan tersebut. Jadi masing-masing unsur harus memahami secara komprehensif setiap permasalahan dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya dan memahami tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh pihak lainnya. Dengan kata lain harus terjadi perubahan norma diantara para stakeholders.

c) Harus dibangun kesadaran diantara stakeholder terhadap kebutuhan terjadinya perubahan sebagai tanggapan terjadinya perubahan sosial (lingkungan) di wilayah masing-masing. Secara sistematis langkah-langkah mengadakan perubahan adalah sebagai berikut :

a. Mengakui perlunya perubahan diantara para stakeholders;

b. Menciptakan suasana merasa perlunya perubahan berupa tekanan adanya kebutuhan perubahan dari stakeholders;

c. Memutuskan apa yang diubah; dilakukan dengan studi diagnosa

d. Menyiapkan kondisi untuk memperkenalkan perubahan.




Gambar 4 : Langkah-Langkah Mengadakan Perubahan

H. PROSES PENYUSUNAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SOSIAL TINGKAT PROPINSI DAN KABUPATEN

Dampak negatif pada kegiatan pembangunan Waduk Jatigede yang telah diuraikan diatas membutuhkan penanganan pada tingkat kebijakan karena faktor penyebab utama adalah terjadinya kegiatan pembangunan Waduk Jatigede tidak terintegrasi yang dikonsepkan Pemerintah Pusat. Forum Pembangunan Waduk Jatigede dan Pengelolaan Lingkungan Sosial (Forum PWJPLS) dapat menyusun konsep kebijakan pembangunan sosial di dalam Peraturan Daerah (PERDA) Bidang Pengairan dan Permukiman. PERDA tersebut dibahas oleh Forum PWJPLS dengan prinsip-prinsip musyawarah dan kemitraan sehingga tercipta suatu sinergi, kemudian PERDA tersebut diusulkan kepada DPRD dan dilakukan pembahasan secara komprehensif dengan melibatkan Stakeholders. Materi kebijakan pembangunan sosial memuat pembahasan mengenai :

1. Site Plan Pembangunan Waduk Jatigede terintegrasi dengan Lingkungan dan Budaya Lokal

2. Aktifitas Pembangunan Waduk Jatigede Berorientasi pada Kesejahteraan Masyarakat (Kondisi Sosial Ekonomi, Nilai dan Norma Masyarakat)

3. Ketersediaan Lahan, Sumber Air dan Sarana dan Prasarana Bagi Masyarakat

PERDA tersebut merupakan kekuatan hukum yang bersifat mengikat bagi stakeholders dalam menyusun berbagai program maupun kegiatan pengelolaan lingkungan sosial terutama di lingkungan pedesaan, sehingga setiap pihak tidak ada yang dirugikan karena telah memberi berbagai usulan maupun ketentuan pada kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan. Secara lebih lengkap proses penyusunan PERDA Bidang Pengairan dan Permukiman dapat dilihat pada Gambar 5. dan Starategi Kebijakan Pembangunan Sosial dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5

Proses Penyusunan Peraturan Daerah
Kebijakan Pembangunan Sosial Bidang Pengairan dan Permukiman
Kabupaten Sumedang




Gambar 6

Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial
Bidang Pengairan dan Permukiman




Hasil analisis yang telah dilaksanakan terhadap kegiatan pembangunan Waduk Jatigede menunjukan kegiatan tersebut telah menimbulkan gangguan pada lingkungan sosial adalah terjadinya perubahan pada struktur sosial dan terganggunya hubungan sosial antara pihak proyek, Pemda dan penduduk yang disebabkan oleh berbagai kegiatan pembangunan Waduk Jatigede yang tidak terintegrasi dengan kondisi sosial ekonomi dan kultural masyarakat. Gambaran dampak negatif yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 8.

Flowchart: Process: DAMPAK PRIMERText Box: KEGIATANSumber dampak utama terjadinya berbagai dampak negatif diatas disebabkan oleh pembangunan Waduk Jatigede yang dicanangkan oleh pihak proyek tidak terintegrasi dengan kondisi lingkungan disekitarnya maupun dengan kebijakan Pemda. Kondisi tersebut telah menimbulkan ketidakseimbangan dalam sistem sosial, menurut gerakan dalam AGIL Talcot Parsons ketidakseimbangan terjadi karena adanya ketegangan diantara status peran organisme perilaku dalam sistem sosial terhadap keadaan yang diinginkan dari suatu sistem sosial. Organisme perilaku disini adalah para pelaku pembangunan (stakeholders) yaitu Pemerintah Propinsi/Kabupaten, pihak proyek dan masyarakat.

Ketegangan terjadi karena masing-masing stakeholders memiliki tujuan masing-masing dalam menempatkan posisinya (status-role) di dalam kegiatan pembangunan Waduk Jatigede. yaitu :

1. Pihak proyek sebagai pelaksana kegiatan pembangunan Waduk Jatigede dalam melaksanakan kegiatan pembangunan Waduk Jatigede masih berorientasi pada target penyelesaian fisik, namun kurang memperhatikan kebutuhan dasar (basic needs) dan kebutuhan sosial (social needs) masyarakat khususnya para petani.

Gambar 7

DAMPAK NEGATIF PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE



I.


2. Pemerintah Daerah dengan diberlakukannya UU No. 42 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menentukan kebijakan pembangunan Waduk Jatigede dengan tujuan untuk meningkatkan PDRB setempat yang diharapkan akan meningkatkan produksi pertanian, perikanan, dan PLTA bagi wilayah penerima manfaat. Namun dalam mekanisme pelaksanaannya Pemda belum menetapkan kebijakan pembangunan Waduk Jatigede yang ramah lingkungan sehingga telah menimbulkan dampak sosial terhadap kehidupan para petani setempat.

3. Aspek Kondisi Masyarakat :

- Masyarakat belum dilibatkan secara maksimal dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan rencana pembangunan Waduk Jatigede oleh Pemda setempat dan pihak proyek baik mulai dari awal rencana sampai pelaksanaan kegiatan pembebasan lahan.

- Selain itu pelibatan masyarakat terhadap penyusunan program pengelolaan lingkungan khususnya lingkungan sosial masih lemah; dengan prinsip partisipasi seharusnya masyarakat dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, implementasi, dan monitoring program.

- Dengan dilibatkannya masyarakat mulai dari proses perencanaan, maka masyarakat bisa memahami secara jelas hakekat dari tujuan dilaksanakannya rencana penambangan pembangunan Waduk Jatigede di wilayahnya.

Ketegangan yang terjadi menuntut terjadinya penyesuaian (adaptation) dari masing masing stakeholders ke arah pencapaian tujuan bersama (goal attainment) agar dampak negatif yang terjadi dapat diminimalkan. Tujuan bersama disini adalah menjadikan dampak negatif yang terjadi menjadi isu bersama. Jadi menuntut terciptanya suatu solidaritas minimal diantara para stakeholders agar sistem sosial dapat bergerak sebagai suatu kesatuan menuju tercapainya tujuan bersama tersebut. Namun pada prosesnya menurut Parsons akan terjadi gangguan pada solidaritas emosional pada masing-masing stakeholders, jadi tahap pencapaian tujuan harus diikuti oleh tekanan kearah integrasi dimana solidaritas stakeholders diperkuat. Pada gilirannya tahap ini diikuti oleh tahap mempertahankan pola oleh para stakeholders tanpa interaksi atau bersifat laten (latent pattern maintenance) yaitu sistem budaya yang menekankan pada nilai dan norma budaya yang telah dilembagakan dalam sistem sosial (bentuk nilai dan norma yang dilembagakan akan dibahas dalam penyusunan program dampak sosial).

Berdasarkan hasil kajian dampak sosial teridentifikasi berbagai permasalahan sosial seputar kegiatan pembangunan Waduk Jatigede. Hasil kajian dapat dianalisis oleh Forum Pembangunan Waduk Jatigede dan Pengelolaan Lingkungan Sosial (FPWJPLS) yang sudah dibentuk, kemudian masalah-masalah tersebut ditampilkan secara keseluruhan serta di-listing, kemudian dikaji ulang serta disepakati apakah masalah-masalah yang ditampilkan merupakan masalah yang betul-betul dihadapi oleh masyarakat.

Jika forum telah menyepakati masalah-masalah tersebut, maka masalah-masalah tadi dikelompokan dengan tujuan untuk menyederhanakan tampilan seluruh permasalahan. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengurutan prioritas masalah yang paling penting untuk dipecahkan sekaligus menentukan langkah-langkah kegiatannya.

Prioritas masalah yang berkaitan dengan rencana pembangunan Waduk Jatigede adalah :

1. Kegiatan pembangunan Waduk Jatigede tidak sesuai degan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta dengan kebijakan Pemda setempat.

2. Kontrol Pemerintah Daerah terhadap rencana pembangunan rendah

3. Partisipasi masyarakat rendah dalam setiap rencana pembangunan Waduk Jatigede yang dilaksanakan.

Sedangkan prioritas dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede adalah sebagai berikut :

a. Kurangnya lahan pertanian

b. Sumber air bersih terbatas

c. Pendapatan masyarakat rendah

d. Hubungan sosial terganggu sehingga terjadi konflik sosial baik vertikal maupun horisontal.

Sebab-sebab pokok terjadinya permasalahan diatas adalah sebagai berikut :

a. Kurangnya perhatian terhadap sumber daya alam yang terbatas

b. Kurangnya pengembangan sumber daya manusia

c. Kurangnya lapangan kerja

d. Adanya struktur masyarakat yang menghambat

Permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan pembangunan Waduk Jatigede diatas akan dilakukan pengelolaannya di dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan Sosial (RKLS) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Sosial (RPLS). Sedangkan di tingkat kebijakan dan perencanaan kegiatan pembangunan Waduk Jatigede perlu dilakukan langkah-langkah atau program pembangunan sosial sebagai berikut :

1. Tujuan Program

Terintegrasinya Pembangunan Waduk Jatigede dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal

Sasaran

Kegiatan pembangunan Waduk Jatigede tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat

Perumusan site plan Waduk Jatigede yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat

Kegiatan (Langkah-langkah) :

a) Proyek melakukan program sosialisasi kegiatan pembangunan Waduk Jatigede secara transparan kepada masyarakat yang akan terkena dampak dengan berkoordinasi dengan aparat desa/RT/RW setempat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan LSM setempat.

b) Melakukan analisis kondisi sosial budaya masyarakat yang terkena dampak bersama-sama dengan masyarakat agar diperoleh gambaran mengenai perkembangan sosial budaya yang sedang berlangsung beserta latar belakang permasalahannya.

c) Menggali kebutuhan dan keinginan masyarakat mengenai rencana pembangunan Waduk Jatigede yang seharusnya dirancang.

d) Melakukan musyawarah dengan masyarakat mengenai site plan pembangunan Waduk Jatigede yang akan dibangun dan menampung masukan dari masyarakat

2. Tujuan Program

Meningkatnya Fungsi Kontrol Pemerintah Daerah Terhadap Kegiatan Pembangunan Waduk Jatigede

Sasaran

Perumusan kebijakan pembangunan sosial dalam rencana pembangunan Waduk Jatigede di Propinsi dan Kabupaten Sumedang

Kegiatan (Langkah-Langkah) :

a) Melakukan analisis terhadap berbagai permasalahan sosial yang terjadi seputar kegiatan pembangunan Waduk Jatigede sebagai bahan masukan bagi kebijakan pembangunan sosial

b) Melakukan koordinasi dan pembahasan dengan pelaksana proyek seputar permasalahan sosial pada kegiatan pembangunan Waduk Jatigede

c) Melakukan analisis kebijakan sosial yang sudah dilaksanakan pada kegiatan pembangunan Waduk Jatigede di lingkungan Pemda Jawa Barat dan Kabupaten Sumedang

d) Meminta berbagai masukan dari kecamatan dan desa-desa di Kabupaten Sumedang seputar permasalahan sosial pada kegiatan pembangunan Waduk Jatigede

e) Menampung berbagai aspirasi masyarakat melalui media sosialisasi yang dilaksanakan oleh pelaksana proyek

f) Mendukung dan merintis pembentukan Forum Pembangunan Waduk Jatigede dan Pengelolaan Lingkungan Sosial bersama-sama dengan masyarakat dan pelaksana proyek

3. Tujuan Program

Meningkatnya Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembangunan Waduk Jatigede

Sasaran

Penumbuhan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan Waduk Jatigede

Kegiatan (Langkah-Langkah) :

Masyarakat yang terkena dampak memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap setiap perencanaan pembangunan (self mobilization) yang dilaksanakan oleh Pemda Jawa Barat dan Kabupaten sebagai bentuk partisipasi masyarakat yang tertinggi. Untuk itu diupayakan penyusunan penguatan kelembagaan (self organizing) masyarakat. Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan guna menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan Waduk Jatigede adalah sebagai berikut :

a) Guna menumbuhkan partisipasi fungsional, masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok/kelembagaan untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan permasalahan dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede

b) Guna menumbuhkan partisipasi interaktif, masyarakat (dengan kelompok/lembaga yang sudah terbentuk di Kec/desa berpartisipasi dalam analisis lingkungan bersama yang dilaksanakan bersama-sama dengan Pemda Jawa Barat dan Kabupaten dan sekaligus terlibat pada penyusunan perencanaan penanganan dampak sosial yang terjadi. Kelompok-kelompok masyarakat yang sudah terbentuk mempunyai peran kontrol atas keputusan-keputusan mereka, sehingga mereka mempunyai andil dalam seluruh penyelenggaraan kegiatan.

c) Guna menumbuhkan self mobilization, masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisitatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk menentukan sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki khususnya bagi pengelolaan lahan pertanian yang ada di wilayahnya masing-masing. Kemudian masyarakat bisa melakukan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan. Terpenting adalah masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya.

Tidak ada komentar: