Rabu, 19 Desember 2007

Pembangunan PLTSa Berkah atau Bencana?

Oleh : Dadang Sudardja
Pembangunan PLTSa yang akan dibangun oleh Pemkot Bandung menuai pro dan kontra di masyarakat. Penolakan datang dari Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan lokasi yang akan dijadikan tempat pembangunan PLTSa. ( Masyarakat yang tinggal di Komplek Perumahan Griya Cempaka Arum dan sekitarnya dan Juga dari para aktivis lingkungan serta para pakar lingkungan.Termasuk pakarnya pakar lingkungan Prof Otto Soemarwoto juga menolak PLTSa dijadikan sebagai alternatif akhir penanganan masalah sampah di Bandung. Sementara yang pro, tentu saja datang dari pihak pemerintah dan jajarannya serta “kelompok masyarakat” tertentu. Perdebatan ini membuat walikota Bandung berniat membuat referendum sebagai model pengambilan keputusan.Tentunya sebuah pengambilan keputusan yang tak lazim.
Incenarator Teknologi Yang Mematikan.
Pembangunan PLTSa sepertinya sudah final dan merupakan pilihan terakhir pemerintah kota Bandung dalam menganangi permasalahan sampah kota. Sebagaimana diketahui, sejak terjadinya peristiwa longsornya TPA Leuwi Gajah di Kabupaten Bandung yang menelan korban mencapai 153 orang dan kerugian harta miliaran rupiah, pemkot Bandung sampai dengan saat ini belum mampu menangani sampah. Alhasil kota Bandung pernah mendapat julukan kota terkotor dan sempat diberlakukan Darurat Sampah.Dan kemudian PLTSa merupakan pilihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Teknologi yang dipergunakan PLTSa akan mempergunakan incenerator sebagai alat untuk membakar sampah yang kemudian akan menghasilkan energi/listrik. Pembakaran sampah dengan Incenerator merupakan cara yang paling mudah dan cepat untuk memusnahkan sampah. Tentu saja proses pembakaran sangat tergantung dari fisik dan kimia sampah. Meningat sumber sampah dari sumber yang berbeda. Penggunaan incenerator sebenarnya sudah pernah dicoba diterapkan di Kota Jakarta dan Surabaya dan gagal. Tentu saja bukan hanya gagal, tetapi juga menimbulkan kerugian material yang sangat besar. Seperti kasus Incenerator di TPA Keputih Surabaya Mesin menjadi onggokan besi tua dan yang pasti meninggalkan hutang bekas pembelian mesin.

Pembakaran Sampah Dengan Incenerator Menimbulkan Polutan.
Beberapa kerugian pembakaran sampah dengan incenerator yaitu adanya polutan yang dilepaskan, baik ke udara maupun ke media lainnya; biaya-biaya ekonomis dan tenaga kerja; kehilangan energi; ketidaksinambungan; dan ketidaksesuaian dengan sistem pengolahan limbah yang lain. Dioxin adalah polutan yang paling terkenal berbahaya yang dihasilkan dari proses insinerator. Dioxin dapat menyebabkan gangguan kesehatan secara luas, termasuk kanker, kerusakan sistem kekebalan, reproduksi, dan permasalahan-permasalahan dalam pertumbuhan. Dioxin terakumulasi dalam tubuh, melalui rantai makanan dari pemangsa ke predator, terkonsentrasi dalam daging dan susu-mentega, dan, pada akhirnya, terakumulasi dalam tubuh manusia. Dioxin memerlukan perhatian khusus, karena dioxin dapat berada dimana-mana di lingkungan (dalam tubuh manusia) pada tingkatan yang sudah dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan, yang secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa populasi yang ada sedang menderita akibat efek yang ditimbulkannya. Secara umum, insinerator merupakan sumber dioxin yang utama. Insinerator juga merupakan sumber utama pencemaran Merkuri. Merkuri merupakan racun saraf yang sangat kuat, mengganggu sistem pergerakan, sistem panca indera dan kerja sistem kesadaran; pencemaran akibat Merkuri tersebar luas. Selain itu, insinerator juga merupakan sumber utama polutan-polutan logam berat, seperti timah (Pb), kadmium (Cd), arsen (As) dan kromium (Cr).
Selain menghasilkan aneka residu yang berbahaya incenerator merupakan teknologi yang sangat mahal dan rumit. Dibutuhkan skill yang tinggi untuk mengoperasikannya, belum lagi biaya perawatannya yang juga mahal. Tak urung masyarakat juga yang akan dirugikan dengan tingginya pajak layanan kebersihan. Tenaga kerja yang terlibat dalam proses incenerator sangatlah sedikit karena semua pengerjaannya dilakukan secara otomatis sehingga menghasilkan sedikit kesempatan lapangan pekerjaan.
Di Negara-negara lain penolakan terhadap penggunaan incenerator semakin besar. Di Amerika Serikat, pelaku bisnis dan dampak dari krisis landfill yang sangat jelas, mendorong pembangunan insinerator secara besar-besaran pada 1980-an. Tetapi booming insinerasi ini menjadi awal gerakan di tingkat akar rumput yang kemudian menutup/membatalkan lebih dari 300 proposal insinerator sampah kota. Para aktivis menuntut standar-standar emisi yang lebih tinggi dan pengurangan subsidi-subsidi, yang sebenarnya secara maya menutup industri insinerasi pada akhir tahun 1990-an.
Di Jepang, negara yang paling intensif menggunakan insinerator di dunia, penolakan terhadap insinerator juga terjadi hampir secara universal, dengan ratusan kelompok anti-dioxin yang beroperasi di skala nasional. Tekanan publik telah membuat lebih dari 500 insinerator ditutup pada beberapa tahun terakhir ini, tetapi perusahaan-perusahaan dan pemerintah Jepang masih tetap menanamkan investasi besar di industri insinerator.
Beberapa data pendukung lain yang bisa dijadikan pertimbangan penggunaan incenerator antara lain :
1. Peraturan perundangan di 15 negara telah memuat pelarangan penggunaan insinerator, dan satu negara, Philipina, telah melarang penggunaan semua insinerator.
2. Hukum internasional juga mulai memuat permasalahan insinerator. Tiga prinsip­-prinsip dalam hukum internasional – kehati-hatian dini (precaution), pencegahan (prevention) dan pembatasan efek-efek antar kawasan- menjadi konflik insinerasi.
3. Pencegahan dan minimisasi secara luas dijadikan referensi dalam hukum internasional, terutama pada Konvensi Bamako, yang secara terangterangan menjelaskan bahwa incenerator merupakan pilihan yang tidak sesuai dengan praktek-praktek pencegahan dan Produksi Bersih.
4. Konvensi London, OSPAR dan Konvensi Bamako juga memberlakukan larangan atas penggunaan insinerator di laut dan di perairan domestik.
5. Konvensi Stockholm, meski tidak mencantumkan pelarangan terhadap penggunaan insinerator, menegaskan pembatasan yang jelas dalam penggunaannya. Empat dari 12 senyawa kimia yang tercantum dalam Konvensi Stockholm merupakan produk sampingan incenerator, dan Konvensi menyerukan terus menerus untuk pengurangan dan penghapusannya.(Cristianto, Incenerator Teknologi Yg Mematikan.)
PLTSa Harus Ditolak
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh incenarator sangat luar biasa dan mematikan bagi keberlangsungan kehidupan manusia dan ekosistem lainnya. Akankah tetap menjadi pilihan dalam menyelesaian permasalahan sampah?. Tentunya sebuah tindakan yang konyol.Sebenarnya bukan sesuatu yang sulit. Banyak cara yang ditawarkan oleh para pakar lingkungan yang lebih ramah lingkungan dalam pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah 4 R dan berbasis komunitas harus menjadi pilihan prioritas dalam menangani sampah. Persoalannya hari ini harus ada kemauan politik

2 komentar:

Hafiq mengatakan...

Alangkah lebih baiknya jika anda tidak hanya memaparkan kekurangan teknologi insenerator, tapi juga kelebihannya. dioxin yang dihasilkan dari pembakaran sampah tidak akan muncul ketika suhu pembakaran diatur cukup tinggi, yakni sekitar 850 derajat celcius, dan masih banyak teknologi canggih yang mampu mereduksi semua pollutan yang dihasilkan dari teknologi insenerator.

jika anda tidak setuju dengan PLTSa sebagai solusi permasalahn sampah di Bandung? lalu solusi apa yang anda tawarkan? jangan hanya cuma bisa mengkritik tanpa bisa menawarkan solusi yang lebih baik.

Unknown mengatakan...

Memang suhu pembakaran diatur agar di atas 850 derajat celsius. Agar pembakaran berlangsung kontinyu tanpa tambahan bahan bakar Itu membutuhkan prasarat kalori sampah cukup tinggi. FS ITB menyatakan bahwa nilai kalor sampah kota bdg rata2 1200 kcal/kg. Mereka bilang dng s/w simulasi yg dipunyai itu sudah cukup untuk mempertahankan suhu diatas 800 derajat celcius.
Okelah kalau kita percaya itu cukup, walaupun masih jauh dari prasyarat nilai kalori dari World Bank yang minta diatas 1700 Kcal/kg :D.

Dalam proses pembakaran sampah ini, disiapkan bahan bakar untuk proses start up dan shut down. Sehingga suhu dapat terus dipertahankan diatas 850 derajat celsius walaupun sampah yang dibakarnya masih sedikit/berkurang.

Ada hal yang bisa terjadi, yaitu Break Down (mesin mati tiba2), sehingga proses mempertahankan suhu secara terus menerus menjadi gagal. Dioxin terbentuk, dan kekhawatiran yang menolak bisa terjadi.

Yang mengkhawatirkannya lagi. Dalam Amdal PLTSa, di rona awal tidak pernah di cek ttg keberadaan dioxin ini. Sehingga kalau dimasa mendatang dioxin ingin diukur, kita tidak punya pembandingnya.
Untuk diketahui saja, memeriksa dioxin itu mahal, sekitar 5000 dolar. Dan didalam Rencana pemantaun Lingkungan (RPL),Dioxin tidak akan dimonitor (apalagi kontinyu). Yang dimonitor adalah suhunya saja. Apakah aman (diatas 850 derajat celcius) atau tidak.

Solusi ????
3R lah.....