(Catatan Akhir Tahun WALHI JABAR)
Oleh : Dadang Sudardja
Ka. Divisi Kampanye Dan POR WALHI JABAR
DAN KETUA KP SAREKAT HIJAU INDONESIA JAWA BARAT
Pendahuluan
Bandung Abad ini
Dalam usianya yang menginjak 197 tahun, Kota Bandung mengalami perubahan yang luar biasa dari berbagai aspek. Kota yang pada waktu jaman penjajahan Belanda dirancang untuk menjadi kota tempat peristirahatan, kini menjelma menjadi sebuah kota metropolitan yang sarat dengan berbagai persoalan.Model pembangunan kapitalistik yang dikembangkan oleh walikota ke walikota lainnya telah menjadikan Bandung sebuah kota yang penuh dengan bangunan bangunan tinggi seperti Hotel,Mall-mal yang menggusur pasar tradisional serta ruang-ruang publik seperti Ruang Terbuka Hijau dll.Meminjam istilah tulisan di Kompas, Bandung menjelma menjadi kota yang tanpa muka dan makna.
Akibat pertumbuhan yang tidak terkendali, Bandung kini harus menanggung beban yang berat dari berbagai hal yang muncul dan kemudian menjadikan masalah sosial baru. Akselerasi laju kerusakan lingkungan tidak dapat dibendung lagi. Hal ini dampak dari kegiatan pembangunan diberbagai sektor yang tidak mengacu kepada sustainibility. Kalau kita bertanya terutama kepada para orang tua tentang Bandung abadi ini, pasti jawabnya wah.....BANDUNG Kacau, lieur, jeung riweuh.
Isu Pokok Regional Lingkungan Hidup.
Masalah air
Saat ini kota Bandung mengalami permasalahan serius mengenai menurunnya kualitas air tanah. Penelitian yang dilakukan Syamsul Hadi, yang dipublikasikan dalam buletin Geologi Tata Lingkungan Juni 2004, menyebutkan, wilayah yang rawan terkontaminasi itu ada di bagian utara, selatan, dan barat laut Kota Bandung. Dalam beberapa tahun ke depan, kualitas air tanah di Kota Bandung dipastikan akan semakin buruk. Kualitas air yang buruk itu sekarang sudah tampak jelas di sungai sungai yang melintas di Kota Bandung.Kepala SubDinas Operasi dan Pemeliharaan Dinas Pengairan Kota Bandung Mulyono Heryanto mengakui, pemerintah terlambat dalam menata penduduk di bantaran sungai. Karena itu, kualitas dan kuantitas air menurun akibat limbah rumah tangga dan sampah industri dibuang ke sungai.
Sampah di sungai adalah masalah lama yang tak pernah dituntaskan. Berdasarkan data Dinas Pengairan, saat penjaringan sampah di depan PLN Cikapundung, pada bulan April lalu, sampah menumpuk sampai dengan 50 meter kubik dalam sehari. Berdasarkan data Perusahaan Daerah Kebersihan, sebelum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah longsor, timbunan sampah di Kota Bandung mencapai 6.586 meter kubik per hari. Namun, setiap hari ada sekitar 1.942 meter kubik yang tidak terangkut dari tempat pembuangan sementara. Sampai dengan saat ini Pemerintah Kota Bandung masih belum menemukan konsep dalam menjawab persoalan sampah. Yang terakhir pembuatan Pembangkit Listrik Bertenaga Sampah (Waste To Energi) yang akan dibangun di wilayah Gede Bage, juga mengalami penolakan oleh masyarakat yang berada disekitar wilayah lokasi pembangunan.
Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian diperkirakan pada tahun 2010 warga kota Bandung akan sangat kesulitan mendapatkan air tanah. Bahkan dibeberapa kawasan seperti Dayeuh kolot, Leuwi Gajah, dan Ranca Ekek, serta Bojong Loa sudah mengalami krisis air. Dan hal ini sudah berlangsung lama. Hal ini disebabkan oleh ”industriindustri besar” yang mengambil air melebihi debitnya, sebagaimana dikatakan oleh Kepala Seksi Kawasan Konservasi Air Tanah, Geologi Tata Lingkungan Bandung Satrio Hadipurwosaat. Metro Bandung, Jumat 23 September 2005. pendapat lain disampaikan juga oleh Lita Endang BPLH Kota Bandung yang dimuat diharian Metro, 23 September 2006, tambahnya setiap tahunnya permukaan air tanah mengalami penurunan 0,42 meter.Sumber data lain dari Badan Pengendali Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung, tahun 1999 menunjukan daerah Cibeunying Kaler dan Kidul, muka air tanah berada pada kedudukan 14,35 meter 22,99 meter. Bahkan di Andir dan Bandung Kulon hanya mencapai 39,37 – 65,17 meter. Kecepatan penurunannya berkisar 0,5 hingga 7,35 meter. Fakta lain sampai dengan saat ini cakupan air bersih baru mencapai 63 persen dari total jumlah penduduk Bandung yang jumlahnya sekarang sekitar 2,7 juta jiwa. Secara geologis, air tanah dangkal untuk domestik 0 sampai 40 m. Kedalaman 40 100 meter untuk menengah dan 100 meter diperuntukan bagi industri atau komersil.
Hal tersebut merupakan dampak dari ; pertama. Pengambilan air bawah tanah yang melebihi debitnya oleh industri – industri besar di kawasan Industri. Ijin Artesis melanggar aturan yang ada yaitu masing masing industri tidak boleh memiliki lebih dari 2, serta jarak antara satu industri dengan yang lain lebih dari 3 kilometer. Kedua. Kerusakan hutan di wilayah/kawasan Bandung Utara yang semakin mengalami kerusakan,sehingga diperkirakan kuantitas dan kualitasnya semakin menurun. Padahal daerah tersebut memiliki fungsi sebagai wilayah tangkapan di daerah hulu, dan menjadi daerah yang dapat menghasilkan air tanah, dimana 60 % cadangan air tanah dihasilkan oleh daerah tersebut. Ketiga. Berubahnya fungsi lahan konservasi menjadi peruntukan lain. Seperti perumahan, resort, cafe, dll, yang tidak mendukung fungsi konservasi. Hal tersebut mengakibatkan kelangkaan air Baku, menurunnya permukaan air tanah, menurunnya kualitas air tanah, banjir, erosi dan sedimentasi.
Hal lain adalah banyak berbagai pembangunan, seperti, kampus, sekolah, pemukiman, perumahan, pusat niaga dll yang tidak ramah lingkungan. Menurut para pakar lingkungan, untuk memulihkan kembali kondisi air kota Bandung butuh waktu 25 tahun. Dengan catatan, apabila masyarakat mendukungnya dengan cara menghemat air, rehabilitasi hutan, pengelolaan kualitas air tanah dan sungai secara benar. Hal yang sama dikatakan pakar Geologi ITB Dr. Ir. A. Djumarna Wirakusuma bahwa kawasan Bandung Raya yang terletak di cekungan Bandung (Bandung basin) terancam krisis air akibat pesatnya perubahan fungsi lahan konservasi menjadi kawasan permukiman maupun industri. Pada saat bersamaan, eksploitasi (penyedotan) air tanah jauh lebih besar dibanding produksi air dari sejumlah daerah konservasi. Djumarna mengatakan, ”krisis air paling parah setidaknya akan terjadi di kawasan Bandung Barat Leuwigajah, Cibeureum, dan Dayeuhkolot) dan Bandung Timur Ujung Berung dan Ranca Ekek). Di kedua wilayah itu air tanah tersedot habishabisan oleh industri yang berdiri disana. Di sisi lain, akibat berubahnya fungsi daerah konservasi produksi air tanah tidak sebanyak jumlah air yang disedot. “Industri industri menyedot air secara berlebihan. Selain industri, rusaknya daerah konservasi akibat dibangun permukiman oleh pengembang, berperan sangat besar atas terjadinya krisis air,”.
Berdasarkan perhitungan Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, kawasan Bandung Utara (KBU) menyumbang resapan air sebesar 107 juta m3/tahun. Lembang mempunyai potensi air tanah bebas 164 juta m3/tahun dan potensi air tanah tertekan 16 juta m3/tahun. Namun apa yang terjadi dengan kondisi Bandung Utara saat ini ?. Pembangunan perumahan mewah dan vilavila, cafe, restaurant di kawasan Bandung utara semakin merajalela. Akibatnya, KBU sebagai daerah resapan air tanah telah mengalami alih fungsi yang tidak terkendali. Dampaknya, Cekungan Bandung bakal mengalami krisis air sangat parah. Berdasarkan aspek geologi lingkungan, daerah yang seharusnya paling dilindungi untuk menjaga suplai air tanah ke Cekungan Bandung adalah KBU. Sebab, KBU merupakan daerah resapan air tanah utama yang terbentang dari jalan. Manglayang, Cisarua, Setiabudi Lembang ke arah barat hingga Padalarang. Selain itu, menurut Djumarna, kualitas air tanah di KBU juga harus dilindungi karena rawan pencemaran, karena muka air tanahnya tergolong dangkal – disebagian tempat kurang dari 10 m dan permeabilitas tanahnya tergolong tinggi, yaitu 0,0001\ cm/detik. Hal yang sama juga dikatakan oleh Jhoni Patta staf Pengajar Departemen Planologi ITB, fakta dilapangan menunjukan bahwa pembangunan di derah KBU paling berkembang pesat dibanding kawasan tengah dan timur. Ini yang menjadi penyebab utama krisis air di Cekungan Bandung. Adanya Perubahan lahan di KBU, jelas menyulitkan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai tempat resapan air tanah dan tangkapan air secara alami, baik dibarat, tengah, dan timur KBU. Jhoni Patta menambahkan, salah satu persoalan yang dihadapi kota Bandung adalah manajemen air tanah. Hal ini, ditandai dengan berkurangnya cadangan air tanah serta menurunnya permukaan air tanah 0,42 m/tahun.
Menimbulkan sengketa
Krisis ini dibeberapa tempat, seperti di Ranca Ekek telah menimbulkan sengketa antara masyarakat dan perusahaan yang ada disekitar pemukiman. Seperti yang terjadi di desa Linggar, Kecamatan Ranca Ekek dan tiga desa lainnya dimana disana berdiri perusahaan textil besar. Masyarakat empat desa yang sebagian besar hidup dari sawah dan kolam saat ini terus mengalami kerugian. Bahkan ada rencana masyarakat empat desa terebut untuk menggugat perusahaan tersebut. Hal lain, yang mengakibatkan ini terjadi adalah lemahnya pengawasan oleh instansi terkait terhadap aktifitas perusahaan yang melakukan pelanggaran. Seperti pengambilan air tanah. Masyarakat menduga perusahaan perusahaan
yang ada disekitar Ranca Ekek telah melakukan pelanggaran pengambilan air tanah dari yang diijinkan.
Masalah udara
Laju tingkat kendaraan bermotor yang semakin tahun terus naik, dan buruknya manajemen transportasi, serta masih diberlakukannya bensin bertimbal dan kondisi tofografi Cekungan Bandung, menjadikan udara di Bandung semakin buruk. Masalah udara perlu penanganan serius. Transportasi udara yang terhambat di utara dan selatan
oleh gunung gunung mengakibatkan akumulasi polutan. Masalah penduduk yang menyebabkan meluasnya kota membawa konsekuensi kepada kondisi udara. Pencemaran udara sudah harus memperoleh perhatian bukan hanya Kota Bandung sebagai kontributor terbesar, tetapi kotakota penyangga yang juga akan menjadi kontributor dan penerima beban pencemaran. Sektor transportasi yang merupakan kontributor utama perlu memperoleh perhatian lebih ini terkait dengan penduduk di Metro Bandung.
Dari hasil penelitian berbagai sumber ( BPLH Kota Bandung, Laboratorium Teknik Lingkungan ITB) menunjukan kondisi kualitas udara dari tahun ketahun semakin memburuk. Puji Lestari dari Depatemen Teknik Lingkungan ITB, mengatakan sejak tahun 1999 disejumlah kawasan keramaian, partikulat polutannya di udara sudah melampaui baku mutu minimum. Kekhawatiran ini semakin beralasan ketika Puji Lestari melakukan pengujian dengan mengambil darah dari sejumlah anak anak sekolah dasar (SD) dan SLTP, pedagang kaki lima, polisi, dan tukang parkir. Hasilnya di luar dugaan sipapun.
Dari 10 sampel darah anak SD di Kebon Kelapa, ditemukan delapan sampel yang kadar timbalnya jauh melebihi mutu, yaitu 10mikrogram per desiliter. Hal tersebut diakibatkan, pertama.Manajemen transportasi yang buruk, karena penyumbang terbesar terjadinya pencemaran udara diakibatkan oleh penggunaan bensin bertimbal oleh kendaraan. Kedua. Minimnya Ruang Terbuka Hijau yang memiliki fungsi untuk mereduksi udara. Bandung yang memiliki luas wilayah 16.777.99 ha, dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 3 juta jiwa pada siang hari, dibutuhkan ruang terbuka hijau 30% dari luas wilayah, dengan jumlah tegakan pohon 1.500.000 pohon. Saat ini hanya ada 1,6% dengan jumlah tegakan pohon kurang dari satu juta. (Berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Bandung, RTH 10 % dari luas wilayah) Menurut Mubiar, Ketua Dewan Pakar DPKLTS, oksigen di Bandung pun sudah berkurang bagi penduduknya karena kota ini kekurangan 650.000 pohon. Saat ini Kota Bandung berpenduduk 2,5 juta jiwa. Karena kurangnya pepohonan untuk peresapan dan penyimpanan air serta pengikat
tanah, tak heran jika air hujan yang turun tidak dapat meresap dan menimbulkan banjir saat musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Air hujan yang tidak terserap ke tanah pada tahun 1960 hanya 45 persen, tetapi sekarang menjadi 85 persen.
Bagaimana dengan Kondisi Tata ruang Bandung saat ini.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung, merupakan dokumen penting yang menjadi arah kebijakan pelaksanaan pembangunan dan rujukan bagi penyusunan rencana yang lebih operasional di Kota Bandung. Dokumen ini merupakan produk dari kegiatan perencanaan tata ruang yang merupakan bagian dari penataan ruang. Meskipun demikian, didalamnya tidak hanya berisi tata ruang, tetapi juga mencakup pemanfaatan (rencana tata) ruang, pengendalian tata ruang, serta hak, kewajiban dan peranserta masyarakat. Dokumen ini menjadi pedoman untuk penyusunan kebijakan pokok pembangunan dan pemanfaatan ruang, arahan lokasi investasi, penyusunan RDTRK/RTRK/RTBL dan rencana teknis lainnya, penerbitan perijinan, pelaksanaan pembangunan, dan penyusunan indikasi program pembangunan. ( Deny Zulkaedi) Sebagaimana kita ketahui bahwa kondisi tata ruang kota Bandung semakin hari semakin tidak jelas dan menjurus kepada hilangnya ruangruang publik. Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota telah mengabaikan hak hak publik dan lingkungan, sehingga dapat mengakibatkan lingkungan yang ada saat ini tidak memiliki daya dukung sosial, dan ekologi. Tentu saja dampak yang dirasakan adalah kesemrawutan yang akan berakibat terdegradasinya lingkungan yang berdampak pada munculnya persoalan sosial.
Kurangnya kesepakatan antar pelaku.
Dari hasil dikusi publik yang dilaksanakan di Walhi pada tanggal 25 Okotober 2005, bersama Deny Zulkaidi seorang planer dari ITB yang juga merupakan konsultan dikatakan bahwa, yang menjadi persoalan utama dalam pelaksanaan RTRW di Kota Bandung, adalah kurangnya pemahaman dan kurangnya kesepakatan seluruh pelaku pembangunan atas subtansi rencana tata ruang tersebut. Kurangnya pemahaman ini disebabkan memang rencana tata ruang ini masih berupa kebijakan (policy statement) yang belum dirinci kedalam peraturan pelaksanaan yang operasional (antara lain peraturan pembangunan atau zoning regulation, RDTRK/RTRK/RTBL. Meskipun secara politik kesepakatan ini telah ditunjukan dengan terbitnya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Akan tetapi masih ada pihakpihak yang berusaha mencari peluang untuk tidak mengikuti aturan/arahan penataan ruang didalamnya. Salah satu penyebab adalah kurangnya partisipatifnya proses penyusunan rencana tersebut, adanya konflik kepentingan yang tidak terselesaikan, atau adanya perubahan nilai dan kepentingan dari kesepakatan sebelumnya. Persoalan utama ini potensial menjadi penyebab terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tata ruang. Hal lain yang menjadi penyebab utama dari persoalan tersebut diatas adalah inkonsistensi pemerintah terhadap peraturan yang ada. Contoh kasus adalah dengan telah direvisinya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang yang baru berumur satu tahun. Ada inidikasi bahwa hal ini terjadi disebabkan oleh dorongan kepentingan pihak tertentu, yang memiliki motif ekonomi jangka pendek, sehingga mengabaikan kepentingan publik yang dalam hal ini masyarakat Bandung secara keseluruhan. Perubahan ini akan membawa dampak yang sangat besar bagi ekologi Kota Bandung.
Perubahan pada peraturan, mengakibatkan adanya perubahan pada peta tata guna lahan. Dimana sebelumnya kawasan Punclut termasuk kawasan Lindung dan konservasi, dengan telah direvisinya RTRW, kawasan ini berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman berkepadatan rendah. Perubahan yag diusulkan oleh Pemerintah Kota menunjukan inkonsistensi terhadap peraturan yag ada.
Masalah Transportasi
Pertambahan penduduk dan infra struktur perkonomian yang semakin terus meningkat menyebabkan pergerakan lalu lintas semakin membesar. Kondisi ini tidak diantisipasi dengan prasarana yang ada terutama jaringan jalan. Indikasi seriusnya masalah ini adalah:
1. Kapasitas jalan menurun (perbandingan panjang jalan dan jumlah kendaraan sudah tidak proposional.)
2. Pelayanan angkutan umum belum memadai, seharusnya angkutan umum terpadu sudah berjalan, serta lebih banyak menggunakan bus.
3. Pengaturan lalu lintas yang tidak berjalan dengan baik.
4. Sarana parkir yang kurang dan trotoar yang menjadi tempat PKL.
Menurut Endang Sobirin, dari bagian Humas Dinas Perhubungan Jawa Barat, dalam setahun pertumbuhan kendaraan di Bandung mencapai 30 persen, sementara pertumbuhan jalan kurang dari 5 persen.Kalau melintas di Jalan Kiara Condong, Buah Batu, Pasteur, Surapati, atau Setiabudi pada hari SabtuMinggu, kita akan melihat tingkat stres pengguna jalan yang meningkat karena macet dan polusi asap.
Penduduk
Permasalahan utama dari segi kualitas dan kuantitas akan langsung menyangkut pada perkembangan kota yang diindikasi dengan :
1. Meluasnya kawasan perkotaan yang mengarah pada koridor BaratTimur.
2. Meluasnya kawasan perkotaan yang mengancam daerah konservasi UtaraSelatan.
3. Berkembangnya kawasan perkotaan di kotakota tertentu seperti Cimahi, Batu Jajar, Cicalengka, Cikeruh, Cimanggung dll.
4. Meningkatnya pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di bagian timur Bandung dan sebaliknya terjadi penurunan di kota lama.
5. Meningkatnya kepadatan penduduk di perbatasan kota inti dan pinggiran.
Dengan bertambahnya penduduk dan kegiatan kota lainnya menimbulkan masalah perkotaan dan sudah menjadi masalah regional seperti ; Pengelolaan Limbah padat,Udara serta Penduduk Komuter
Pembaharuan Kelembagaan Sebagai Solusi
Kelembagaan pemerintah pengelola lingkungan hidup yang ada saat ini tidak mampu berfungsi secara efektif karena sifat kewenangan yang terbatas mengkoordinasikan kebijakan sektor dalam bidang lingkungan hidup selalu dimarjinalkan di bawah kepentingan sektor yang berorientasi eksploitasi dan skala besar. Selain itu kepengurusan lembaga lingkungan hidup yang sentralistis, menambah kompleksitas penanganan masalah penurunan kualitas lingkungan hidup tidak memiliki fungsi perencanaan, pelaksanaan dan monitoring kebijakan dalam rangka menjamin daya dukung lingkungan, menjamin keadilan dan keberlanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Selain itu, efektivitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam di dukung oleh keberadaan peran masyarakat. Peran masyarakat adalah sumber dari tiga hak dasar masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to acces to information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (publik right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan ( publik right to justice). Dalam Konteks pengelolaan sumber daya alam ketiga hak dasar masyarakat tersebut mutlak harus dijamin pelaksanaannya.
Dengan demikian, dalam hal penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup, reformasi kelembagaan yang harus dilakukan:
(1) Kelembagaan yang terkait dengan kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup harus dijadikan landasan bagi penyangga dan penjamin keberlanjutan kehidupan dimasa yang akan datang dan tidak lagi sebagai penyangga ekonomi. (2) Menetapkan kelembagaan yang memiliki fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan, yang kewenangannya meliputi perencanaan, penetapan baku mutu dan standar pengelolaan lingkungan hidup, mitigasi dampak penurunan kualitas lingkungan dan rehabilitasi akibat pencemaran. Lembaga ini juga harus mengintegrasikan fungsi pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dan memiliki kewenangan penundaan ijin operasi sementara jika diduga terjadi pelanggaran hukum di bidang lingkungan.
(3) Mengintegrasikan kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap pemanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan kaji ulang dan perampingan kelembagaan sektoral yang ada saat ini. Idealnya seluruh kelembagaan sektoral berada pada satu atap dari mulai\ perijinan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring. Lembaga ini harus berkoordinasi dan bersinergi secara erat dengan lembaga di point (2)
Di tingkat daerah kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup hendaknya menganut prinsip desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, yang diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan dari pengambil keputusan kepada kelompok penerima dampak. Bentuk kelembagaan yang diusulkan adalah kepemerintahan rakyat (community govermance), dimana kelembagaan ini sifatnya adhoc, informal, multistakeholder, pendekatan berdasarkan isu dan kepentingan dan dikelola dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan menjadi bagian dari kepemerintahan rakyat ini. (sumber Kp. 02/WALHI/09/04Reformasi Pengelolaan Lingkungan Hidup)
PENUTUP
Bumi bukan warisan dari nenek moyang, tapi pinjaman dari anak cucu kita. Kewajiban kita adalah menjaga kelestariannya untuk kelangsungan kehidupan generasi yang akan datang. Seharusnya pemerintah kota Bandung memiliki sebuah konsep yang terintegrasi dan konprehensif dalam membangun kotanya dengan tidak mengabaikan fungsi sosial, ekonomi dan ekologi. Rencana ini harus menjadi Blue print yang merupakan rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dan tentu saja harus terencana dan terukur. Mengingat tingkat dan akselerasi kerusakan lingkungan saat ini telah lebih jauh berubah menjadi masalah sosial yang pelik. Aktifitas pembangunan saat ini telah menimbulkan masalahmasalah sosial seperti seperti mengabaikan hakhak rakyat atas kekayaan alam, marjinalisasi dan pemikisnan. Permasalahan lingkungan hidup juga bukan masalah yang berdiri sendiri dan harus dipandang sebagai masalah sosial kolektif. Oleh karenanya, masalah lingkungan hidup saat ini mau tidak mau juga harus mentraformasikan dirinya menjadi sebuah gerakan sosial. Artinya seluruh komponen masyarakat seperti buruh, petani, nelayan guru, kaum profesional, pemuda, mahasiswa, remaja, anakanak dan kaum perempuan harus bersatu melawan ketidakadilan lingkungan hidup.
Oleh : Dadang Sudardja
Ka. Divisi Kampanye Dan POR WALHI JABAR
DAN KETUA KP SAREKAT HIJAU INDONESIA JAWA BARAT
Pendahuluan
Bandung Abad ini
Dalam usianya yang menginjak 197 tahun, Kota Bandung mengalami perubahan yang luar biasa dari berbagai aspek. Kota yang pada waktu jaman penjajahan Belanda dirancang untuk menjadi kota tempat peristirahatan, kini menjelma menjadi sebuah kota metropolitan yang sarat dengan berbagai persoalan.Model pembangunan kapitalistik yang dikembangkan oleh walikota ke walikota lainnya telah menjadikan Bandung sebuah kota yang penuh dengan bangunan bangunan tinggi seperti Hotel,Mall-mal yang menggusur pasar tradisional serta ruang-ruang publik seperti Ruang Terbuka Hijau dll.Meminjam istilah tulisan di Kompas, Bandung menjelma menjadi kota yang tanpa muka dan makna.
Akibat pertumbuhan yang tidak terkendali, Bandung kini harus menanggung beban yang berat dari berbagai hal yang muncul dan kemudian menjadikan masalah sosial baru. Akselerasi laju kerusakan lingkungan tidak dapat dibendung lagi. Hal ini dampak dari kegiatan pembangunan diberbagai sektor yang tidak mengacu kepada sustainibility. Kalau kita bertanya terutama kepada para orang tua tentang Bandung abadi ini, pasti jawabnya wah.....BANDUNG Kacau, lieur, jeung riweuh.
Isu Pokok Regional Lingkungan Hidup.
Masalah air
Saat ini kota Bandung mengalami permasalahan serius mengenai menurunnya kualitas air tanah. Penelitian yang dilakukan Syamsul Hadi, yang dipublikasikan dalam buletin Geologi Tata Lingkungan Juni 2004, menyebutkan, wilayah yang rawan terkontaminasi itu ada di bagian utara, selatan, dan barat laut Kota Bandung. Dalam beberapa tahun ke depan, kualitas air tanah di Kota Bandung dipastikan akan semakin buruk. Kualitas air yang buruk itu sekarang sudah tampak jelas di sungai sungai yang melintas di Kota Bandung.Kepala SubDinas Operasi dan Pemeliharaan Dinas Pengairan Kota Bandung Mulyono Heryanto mengakui, pemerintah terlambat dalam menata penduduk di bantaran sungai. Karena itu, kualitas dan kuantitas air menurun akibat limbah rumah tangga dan sampah industri dibuang ke sungai.
Sampah di sungai adalah masalah lama yang tak pernah dituntaskan. Berdasarkan data Dinas Pengairan, saat penjaringan sampah di depan PLN Cikapundung, pada bulan April lalu, sampah menumpuk sampai dengan 50 meter kubik dalam sehari. Berdasarkan data Perusahaan Daerah Kebersihan, sebelum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah longsor, timbunan sampah di Kota Bandung mencapai 6.586 meter kubik per hari. Namun, setiap hari ada sekitar 1.942 meter kubik yang tidak terangkut dari tempat pembuangan sementara. Sampai dengan saat ini Pemerintah Kota Bandung masih belum menemukan konsep dalam menjawab persoalan sampah. Yang terakhir pembuatan Pembangkit Listrik Bertenaga Sampah (Waste To Energi) yang akan dibangun di wilayah Gede Bage, juga mengalami penolakan oleh masyarakat yang berada disekitar wilayah lokasi pembangunan.
Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian diperkirakan pada tahun 2010 warga kota Bandung akan sangat kesulitan mendapatkan air tanah. Bahkan dibeberapa kawasan seperti Dayeuh kolot, Leuwi Gajah, dan Ranca Ekek, serta Bojong Loa sudah mengalami krisis air. Dan hal ini sudah berlangsung lama. Hal ini disebabkan oleh ”industriindustri besar” yang mengambil air melebihi debitnya, sebagaimana dikatakan oleh Kepala Seksi Kawasan Konservasi Air Tanah, Geologi Tata Lingkungan Bandung Satrio Hadipurwosaat. Metro Bandung, Jumat 23 September 2005. pendapat lain disampaikan juga oleh Lita Endang BPLH Kota Bandung yang dimuat diharian Metro, 23 September 2006, tambahnya setiap tahunnya permukaan air tanah mengalami penurunan 0,42 meter.Sumber data lain dari Badan Pengendali Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung, tahun 1999 menunjukan daerah Cibeunying Kaler dan Kidul, muka air tanah berada pada kedudukan 14,35 meter 22,99 meter. Bahkan di Andir dan Bandung Kulon hanya mencapai 39,37 – 65,17 meter. Kecepatan penurunannya berkisar 0,5 hingga 7,35 meter. Fakta lain sampai dengan saat ini cakupan air bersih baru mencapai 63 persen dari total jumlah penduduk Bandung yang jumlahnya sekarang sekitar 2,7 juta jiwa. Secara geologis, air tanah dangkal untuk domestik 0 sampai 40 m. Kedalaman 40 100 meter untuk menengah dan 100 meter diperuntukan bagi industri atau komersil.
Hal tersebut merupakan dampak dari ; pertama. Pengambilan air bawah tanah yang melebihi debitnya oleh industri – industri besar di kawasan Industri. Ijin Artesis melanggar aturan yang ada yaitu masing masing industri tidak boleh memiliki lebih dari 2, serta jarak antara satu industri dengan yang lain lebih dari 3 kilometer. Kedua. Kerusakan hutan di wilayah/kawasan Bandung Utara yang semakin mengalami kerusakan,sehingga diperkirakan kuantitas dan kualitasnya semakin menurun. Padahal daerah tersebut memiliki fungsi sebagai wilayah tangkapan di daerah hulu, dan menjadi daerah yang dapat menghasilkan air tanah, dimana 60 % cadangan air tanah dihasilkan oleh daerah tersebut. Ketiga. Berubahnya fungsi lahan konservasi menjadi peruntukan lain. Seperti perumahan, resort, cafe, dll, yang tidak mendukung fungsi konservasi. Hal tersebut mengakibatkan kelangkaan air Baku, menurunnya permukaan air tanah, menurunnya kualitas air tanah, banjir, erosi dan sedimentasi.
Hal lain adalah banyak berbagai pembangunan, seperti, kampus, sekolah, pemukiman, perumahan, pusat niaga dll yang tidak ramah lingkungan. Menurut para pakar lingkungan, untuk memulihkan kembali kondisi air kota Bandung butuh waktu 25 tahun. Dengan catatan, apabila masyarakat mendukungnya dengan cara menghemat air, rehabilitasi hutan, pengelolaan kualitas air tanah dan sungai secara benar. Hal yang sama dikatakan pakar Geologi ITB Dr. Ir. A. Djumarna Wirakusuma bahwa kawasan Bandung Raya yang terletak di cekungan Bandung (Bandung basin) terancam krisis air akibat pesatnya perubahan fungsi lahan konservasi menjadi kawasan permukiman maupun industri. Pada saat bersamaan, eksploitasi (penyedotan) air tanah jauh lebih besar dibanding produksi air dari sejumlah daerah konservasi. Djumarna mengatakan, ”krisis air paling parah setidaknya akan terjadi di kawasan Bandung Barat Leuwigajah, Cibeureum, dan Dayeuhkolot) dan Bandung Timur Ujung Berung dan Ranca Ekek). Di kedua wilayah itu air tanah tersedot habishabisan oleh industri yang berdiri disana. Di sisi lain, akibat berubahnya fungsi daerah konservasi produksi air tanah tidak sebanyak jumlah air yang disedot. “Industri industri menyedot air secara berlebihan. Selain industri, rusaknya daerah konservasi akibat dibangun permukiman oleh pengembang, berperan sangat besar atas terjadinya krisis air,”.
Berdasarkan perhitungan Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, kawasan Bandung Utara (KBU) menyumbang resapan air sebesar 107 juta m3/tahun. Lembang mempunyai potensi air tanah bebas 164 juta m3/tahun dan potensi air tanah tertekan 16 juta m3/tahun. Namun apa yang terjadi dengan kondisi Bandung Utara saat ini ?. Pembangunan perumahan mewah dan vilavila, cafe, restaurant di kawasan Bandung utara semakin merajalela. Akibatnya, KBU sebagai daerah resapan air tanah telah mengalami alih fungsi yang tidak terkendali. Dampaknya, Cekungan Bandung bakal mengalami krisis air sangat parah. Berdasarkan aspek geologi lingkungan, daerah yang seharusnya paling dilindungi untuk menjaga suplai air tanah ke Cekungan Bandung adalah KBU. Sebab, KBU merupakan daerah resapan air tanah utama yang terbentang dari jalan. Manglayang, Cisarua, Setiabudi Lembang ke arah barat hingga Padalarang. Selain itu, menurut Djumarna, kualitas air tanah di KBU juga harus dilindungi karena rawan pencemaran, karena muka air tanahnya tergolong dangkal – disebagian tempat kurang dari 10 m dan permeabilitas tanahnya tergolong tinggi, yaitu 0,0001\ cm/detik. Hal yang sama juga dikatakan oleh Jhoni Patta staf Pengajar Departemen Planologi ITB, fakta dilapangan menunjukan bahwa pembangunan di derah KBU paling berkembang pesat dibanding kawasan tengah dan timur. Ini yang menjadi penyebab utama krisis air di Cekungan Bandung. Adanya Perubahan lahan di KBU, jelas menyulitkan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai tempat resapan air tanah dan tangkapan air secara alami, baik dibarat, tengah, dan timur KBU. Jhoni Patta menambahkan, salah satu persoalan yang dihadapi kota Bandung adalah manajemen air tanah. Hal ini, ditandai dengan berkurangnya cadangan air tanah serta menurunnya permukaan air tanah 0,42 m/tahun.
Menimbulkan sengketa
Krisis ini dibeberapa tempat, seperti di Ranca Ekek telah menimbulkan sengketa antara masyarakat dan perusahaan yang ada disekitar pemukiman. Seperti yang terjadi di desa Linggar, Kecamatan Ranca Ekek dan tiga desa lainnya dimana disana berdiri perusahaan textil besar. Masyarakat empat desa yang sebagian besar hidup dari sawah dan kolam saat ini terus mengalami kerugian. Bahkan ada rencana masyarakat empat desa terebut untuk menggugat perusahaan tersebut. Hal lain, yang mengakibatkan ini terjadi adalah lemahnya pengawasan oleh instansi terkait terhadap aktifitas perusahaan yang melakukan pelanggaran. Seperti pengambilan air tanah. Masyarakat menduga perusahaan perusahaan
yang ada disekitar Ranca Ekek telah melakukan pelanggaran pengambilan air tanah dari yang diijinkan.
Masalah udara
Laju tingkat kendaraan bermotor yang semakin tahun terus naik, dan buruknya manajemen transportasi, serta masih diberlakukannya bensin bertimbal dan kondisi tofografi Cekungan Bandung, menjadikan udara di Bandung semakin buruk. Masalah udara perlu penanganan serius. Transportasi udara yang terhambat di utara dan selatan
oleh gunung gunung mengakibatkan akumulasi polutan. Masalah penduduk yang menyebabkan meluasnya kota membawa konsekuensi kepada kondisi udara. Pencemaran udara sudah harus memperoleh perhatian bukan hanya Kota Bandung sebagai kontributor terbesar, tetapi kotakota penyangga yang juga akan menjadi kontributor dan penerima beban pencemaran. Sektor transportasi yang merupakan kontributor utama perlu memperoleh perhatian lebih ini terkait dengan penduduk di Metro Bandung.
Dari hasil penelitian berbagai sumber ( BPLH Kota Bandung, Laboratorium Teknik Lingkungan ITB) menunjukan kondisi kualitas udara dari tahun ketahun semakin memburuk. Puji Lestari dari Depatemen Teknik Lingkungan ITB, mengatakan sejak tahun 1999 disejumlah kawasan keramaian, partikulat polutannya di udara sudah melampaui baku mutu minimum. Kekhawatiran ini semakin beralasan ketika Puji Lestari melakukan pengujian dengan mengambil darah dari sejumlah anak anak sekolah dasar (SD) dan SLTP, pedagang kaki lima, polisi, dan tukang parkir. Hasilnya di luar dugaan sipapun.
Dari 10 sampel darah anak SD di Kebon Kelapa, ditemukan delapan sampel yang kadar timbalnya jauh melebihi mutu, yaitu 10mikrogram per desiliter. Hal tersebut diakibatkan, pertama.Manajemen transportasi yang buruk, karena penyumbang terbesar terjadinya pencemaran udara diakibatkan oleh penggunaan bensin bertimbal oleh kendaraan. Kedua. Minimnya Ruang Terbuka Hijau yang memiliki fungsi untuk mereduksi udara. Bandung yang memiliki luas wilayah 16.777.99 ha, dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 3 juta jiwa pada siang hari, dibutuhkan ruang terbuka hijau 30% dari luas wilayah, dengan jumlah tegakan pohon 1.500.000 pohon. Saat ini hanya ada 1,6% dengan jumlah tegakan pohon kurang dari satu juta. (Berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Bandung, RTH 10 % dari luas wilayah) Menurut Mubiar, Ketua Dewan Pakar DPKLTS, oksigen di Bandung pun sudah berkurang bagi penduduknya karena kota ini kekurangan 650.000 pohon. Saat ini Kota Bandung berpenduduk 2,5 juta jiwa. Karena kurangnya pepohonan untuk peresapan dan penyimpanan air serta pengikat
tanah, tak heran jika air hujan yang turun tidak dapat meresap dan menimbulkan banjir saat musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Air hujan yang tidak terserap ke tanah pada tahun 1960 hanya 45 persen, tetapi sekarang menjadi 85 persen.
Bagaimana dengan Kondisi Tata ruang Bandung saat ini.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung, merupakan dokumen penting yang menjadi arah kebijakan pelaksanaan pembangunan dan rujukan bagi penyusunan rencana yang lebih operasional di Kota Bandung. Dokumen ini merupakan produk dari kegiatan perencanaan tata ruang yang merupakan bagian dari penataan ruang. Meskipun demikian, didalamnya tidak hanya berisi tata ruang, tetapi juga mencakup pemanfaatan (rencana tata) ruang, pengendalian tata ruang, serta hak, kewajiban dan peranserta masyarakat. Dokumen ini menjadi pedoman untuk penyusunan kebijakan pokok pembangunan dan pemanfaatan ruang, arahan lokasi investasi, penyusunan RDTRK/RTRK/RTBL dan rencana teknis lainnya, penerbitan perijinan, pelaksanaan pembangunan, dan penyusunan indikasi program pembangunan. ( Deny Zulkaedi) Sebagaimana kita ketahui bahwa kondisi tata ruang kota Bandung semakin hari semakin tidak jelas dan menjurus kepada hilangnya ruangruang publik. Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota telah mengabaikan hak hak publik dan lingkungan, sehingga dapat mengakibatkan lingkungan yang ada saat ini tidak memiliki daya dukung sosial, dan ekologi. Tentu saja dampak yang dirasakan adalah kesemrawutan yang akan berakibat terdegradasinya lingkungan yang berdampak pada munculnya persoalan sosial.
Kurangnya kesepakatan antar pelaku.
Dari hasil dikusi publik yang dilaksanakan di Walhi pada tanggal 25 Okotober 2005, bersama Deny Zulkaidi seorang planer dari ITB yang juga merupakan konsultan dikatakan bahwa, yang menjadi persoalan utama dalam pelaksanaan RTRW di Kota Bandung, adalah kurangnya pemahaman dan kurangnya kesepakatan seluruh pelaku pembangunan atas subtansi rencana tata ruang tersebut. Kurangnya pemahaman ini disebabkan memang rencana tata ruang ini masih berupa kebijakan (policy statement) yang belum dirinci kedalam peraturan pelaksanaan yang operasional (antara lain peraturan pembangunan atau zoning regulation, RDTRK/RTRK/RTBL. Meskipun secara politik kesepakatan ini telah ditunjukan dengan terbitnya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung. Akan tetapi masih ada pihakpihak yang berusaha mencari peluang untuk tidak mengikuti aturan/arahan penataan ruang didalamnya. Salah satu penyebab adalah kurangnya partisipatifnya proses penyusunan rencana tersebut, adanya konflik kepentingan yang tidak terselesaikan, atau adanya perubahan nilai dan kepentingan dari kesepakatan sebelumnya. Persoalan utama ini potensial menjadi penyebab terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tata ruang. Hal lain yang menjadi penyebab utama dari persoalan tersebut diatas adalah inkonsistensi pemerintah terhadap peraturan yang ada. Contoh kasus adalah dengan telah direvisinya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang yang baru berumur satu tahun. Ada inidikasi bahwa hal ini terjadi disebabkan oleh dorongan kepentingan pihak tertentu, yang memiliki motif ekonomi jangka pendek, sehingga mengabaikan kepentingan publik yang dalam hal ini masyarakat Bandung secara keseluruhan. Perubahan ini akan membawa dampak yang sangat besar bagi ekologi Kota Bandung.
Perubahan pada peraturan, mengakibatkan adanya perubahan pada peta tata guna lahan. Dimana sebelumnya kawasan Punclut termasuk kawasan Lindung dan konservasi, dengan telah direvisinya RTRW, kawasan ini berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman berkepadatan rendah. Perubahan yag diusulkan oleh Pemerintah Kota menunjukan inkonsistensi terhadap peraturan yag ada.
Masalah Transportasi
Pertambahan penduduk dan infra struktur perkonomian yang semakin terus meningkat menyebabkan pergerakan lalu lintas semakin membesar. Kondisi ini tidak diantisipasi dengan prasarana yang ada terutama jaringan jalan. Indikasi seriusnya masalah ini adalah:
1. Kapasitas jalan menurun (perbandingan panjang jalan dan jumlah kendaraan sudah tidak proposional.)
2. Pelayanan angkutan umum belum memadai, seharusnya angkutan umum terpadu sudah berjalan, serta lebih banyak menggunakan bus.
3. Pengaturan lalu lintas yang tidak berjalan dengan baik.
4. Sarana parkir yang kurang dan trotoar yang menjadi tempat PKL.
Menurut Endang Sobirin, dari bagian Humas Dinas Perhubungan Jawa Barat, dalam setahun pertumbuhan kendaraan di Bandung mencapai 30 persen, sementara pertumbuhan jalan kurang dari 5 persen.Kalau melintas di Jalan Kiara Condong, Buah Batu, Pasteur, Surapati, atau Setiabudi pada hari SabtuMinggu, kita akan melihat tingkat stres pengguna jalan yang meningkat karena macet dan polusi asap.
Penduduk
Permasalahan utama dari segi kualitas dan kuantitas akan langsung menyangkut pada perkembangan kota yang diindikasi dengan :
1. Meluasnya kawasan perkotaan yang mengarah pada koridor BaratTimur.
2. Meluasnya kawasan perkotaan yang mengancam daerah konservasi UtaraSelatan.
3. Berkembangnya kawasan perkotaan di kotakota tertentu seperti Cimahi, Batu Jajar, Cicalengka, Cikeruh, Cimanggung dll.
4. Meningkatnya pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di bagian timur Bandung dan sebaliknya terjadi penurunan di kota lama.
5. Meningkatnya kepadatan penduduk di perbatasan kota inti dan pinggiran.
Dengan bertambahnya penduduk dan kegiatan kota lainnya menimbulkan masalah perkotaan dan sudah menjadi masalah regional seperti ; Pengelolaan Limbah padat,Udara serta Penduduk Komuter
Pembaharuan Kelembagaan Sebagai Solusi
Kelembagaan pemerintah pengelola lingkungan hidup yang ada saat ini tidak mampu berfungsi secara efektif karena sifat kewenangan yang terbatas mengkoordinasikan kebijakan sektor dalam bidang lingkungan hidup selalu dimarjinalkan di bawah kepentingan sektor yang berorientasi eksploitasi dan skala besar. Selain itu kepengurusan lembaga lingkungan hidup yang sentralistis, menambah kompleksitas penanganan masalah penurunan kualitas lingkungan hidup tidak memiliki fungsi perencanaan, pelaksanaan dan monitoring kebijakan dalam rangka menjamin daya dukung lingkungan, menjamin keadilan dan keberlanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang.
Selain itu, efektivitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam di dukung oleh keberadaan peran masyarakat. Peran masyarakat adalah sumber dari tiga hak dasar masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to acces to information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (publik right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan ( publik right to justice). Dalam Konteks pengelolaan sumber daya alam ketiga hak dasar masyarakat tersebut mutlak harus dijamin pelaksanaannya.
Dengan demikian, dalam hal penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup, reformasi kelembagaan yang harus dilakukan:
(1) Kelembagaan yang terkait dengan kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup harus dijadikan landasan bagi penyangga dan penjamin keberlanjutan kehidupan dimasa yang akan datang dan tidak lagi sebagai penyangga ekonomi. (2) Menetapkan kelembagaan yang memiliki fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan, yang kewenangannya meliputi perencanaan, penetapan baku mutu dan standar pengelolaan lingkungan hidup, mitigasi dampak penurunan kualitas lingkungan dan rehabilitasi akibat pencemaran. Lembaga ini juga harus mengintegrasikan fungsi pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dan memiliki kewenangan penundaan ijin operasi sementara jika diduga terjadi pelanggaran hukum di bidang lingkungan.
(3) Mengintegrasikan kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap pemanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan kaji ulang dan perampingan kelembagaan sektoral yang ada saat ini. Idealnya seluruh kelembagaan sektoral berada pada satu atap dari mulai\ perijinan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring. Lembaga ini harus berkoordinasi dan bersinergi secara erat dengan lembaga di point (2)
Di tingkat daerah kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup hendaknya menganut prinsip desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, yang diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan dari pengambil keputusan kepada kelompok penerima dampak. Bentuk kelembagaan yang diusulkan adalah kepemerintahan rakyat (community govermance), dimana kelembagaan ini sifatnya adhoc, informal, multistakeholder, pendekatan berdasarkan isu dan kepentingan dan dikelola dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan menjadi bagian dari kepemerintahan rakyat ini. (sumber Kp. 02/WALHI/09/04Reformasi Pengelolaan Lingkungan Hidup)
PENUTUP
Bumi bukan warisan dari nenek moyang, tapi pinjaman dari anak cucu kita. Kewajiban kita adalah menjaga kelestariannya untuk kelangsungan kehidupan generasi yang akan datang. Seharusnya pemerintah kota Bandung memiliki sebuah konsep yang terintegrasi dan konprehensif dalam membangun kotanya dengan tidak mengabaikan fungsi sosial, ekonomi dan ekologi. Rencana ini harus menjadi Blue print yang merupakan rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dan tentu saja harus terencana dan terukur. Mengingat tingkat dan akselerasi kerusakan lingkungan saat ini telah lebih jauh berubah menjadi masalah sosial yang pelik. Aktifitas pembangunan saat ini telah menimbulkan masalahmasalah sosial seperti seperti mengabaikan hakhak rakyat atas kekayaan alam, marjinalisasi dan pemikisnan. Permasalahan lingkungan hidup juga bukan masalah yang berdiri sendiri dan harus dipandang sebagai masalah sosial kolektif. Oleh karenanya, masalah lingkungan hidup saat ini mau tidak mau juga harus mentraformasikan dirinya menjadi sebuah gerakan sosial. Artinya seluruh komponen masyarakat seperti buruh, petani, nelayan guru, kaum profesional, pemuda, mahasiswa, remaja, anakanak dan kaum perempuan harus bersatu melawan ketidakadilan lingkungan hidup.
1 komentar:
thanx atas info dan artkelnya
Posting Komentar