Bali, 10 Desember 2007
Ketimpangan sosial ekonomi global
Kami memandang bahwa krisis energi global adalah persoalan ekonomi politik yang merupakan soal penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Ini adalah soal siapa yang memperoleh manfaat (keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biaya kerusakan/pencemaran lingkungan. Krisis lingkungan global adalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.
Secara umum sebagian besar penduduk negara –negara kaya dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi mereka bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibat eksploitasi yang membabi buta di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan.
Penjajahan Baru
Kami memandang bahwa negara-negara industri maju/utara terutama Amerika Serikat yang hingga hari ini menolak meratifikasi Kyoto Protokol adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas pemanasan global.Sikap keras kepala untuk mempertahankan sistem ekonomi pasar bebas dan pengagungan gaya hidup yang konsumtif adalah sebuah tindakan pengingkaran terhadap tanggung jawab tersebut. Sesungguhnya merekalah yang berhutang kepada negara-negara korban penghisapan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam.
Alih-alih mengakui hutang sosial dan ekologis ini mereka menggunakan instrumen bantuan dan hutang luar negeri serta investasi untuk melakukan kontrol, penaklukan terhadap kedaulatan ekonomi negara-negara selatan. Pengingkaran tersebut diperkuat dengan memberikan keleluasan dan perlindungan kepada korporasi-korporasi trans/multi-nasional untuk menjalankan bisnis dan akumulasi keuntungan yang tak terbatas. Kini kekuasaan korporasi global telah menyaingi kekuasan ekonomi-ekonomi negara-negara. Kedaulatan suatu negara atas kuasa politik dan ekonomi nasional semakin melemah. Negara yang bersifat kesatuan sosial menjadi kesatuan ekonomi belaka.
Kami memandang ketidakadilan sosial-ekonomi di tingkat global adalah akar masalah dan masalah pokok yang harus diselesaikan di tingkat Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai representasi negara-negara yang berdaulat. Pemanasan global sesungguhnya hanyalah salah satu gejala sekaligus peringatan akan mendesaknya perombakan tatanan sosial dan ekonomi.
Memulai titik balik
Kami menegaskan bahwa negara-negara selatan harus menyatukan kekuatan untuk menggugat tanggung jawab negara-negara utara untuk membayar hutang sosial ekologis mereka.Negara-negara selatan harus pula membangun inisiatif-inisiatif perombakan tatanan sosial ekonomi global yang tidak adil.
Negara-negara selatan harus berhenti berebut 'proyek pemanasan global' atau keuntungan ekonomi jangka pendek dari perdagangan karbon. Sudah saatnya kita meninggalkan investasi yang tidak etis dan anti-ekologi, yang saat ini didominasi oleh korporasi dengan dukungan negara-negara utara dan negara-negara kaya baru. Kita harus berhenti merampas akses rakyat atas sumber-sumber agraria, tidak melanggengkan komoditi buruh murah dan menolak transfer teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Begerak Bersama
Kami menegaskan bahwa rakyat di berbagai belahan dunia harus terus menerus menguatkan perlawanan untuk merebut kembali ruang-ruang politik dan kuasa politik dari cengkeraman kepentingan korporasi. Kedaulatan rakyat atas ruang hidup harus dipulihkan. Demokrasi demi tegaknya keadilan lingkungan dan sosial adalah cita-cita luhur gerakan politik hijau.
Sarekat Hijau Indonesia sebagai cikal bakal partai hijau di Indonesia menegaskan perlu adanya solidaritas, penguatan kekuatan-kekuatan hijau di dunia untuk memperbaiki kulitas hidup warga dunia.
Andreas Iswinarto
Sekjen Pimpjnan Pusat
Sarekat Hijau Indonesia
sekjen@sarekathijauindonesia.org
(*United Nation Framework Convention on Climate Change = Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Konvensi Perubahan Iklim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar