Rabu, 19 Desember 2007

Century Hills Resort & Spa

Diklaim sebagai yang pertama dan terlengkap di dunia. Relasi pengembang turut mendongkrak penjualan
Oleh: HB Alexander
Satu lagi, pengembangan yang memanfaatkan keelokan panorama Kawasan Bandung Utara, berdiri. Adalah Century Hills Resort and Spa (selanjutnya Century Hills) yang dibangun PT Cahaya Adiputera Sentosa. Berada di atas ketinggian 900 m dari permukaan air laut dengan kemiringan 180 derajat, dan dikelilingi hijaunya lingkungan, proyek seluas 36 Ha ini dianggap memenuhi idealitas sebagai hunian berkonsep resor.
Menurut Direktur PT Cahaya Adiputera Sentosa Djoni To’at, Century Hills diproyeksikan bakal menjadi komplek perumahan dan wisata pertama di dunia. Mengintegrasikan hunian dan fasilitas-fasilitas wisata indoor dan outdoor bertaraf internasional dalam satu lokasi. Terdiri atas 150 unit kaveling siap bangun yang ditawarkan ke pasar secara opsional dan 91 unit townhouses serta restoran, spa, bowling alley, convention hall, waterboom, padang golf 9 holes, grass skating, lapangan tenis, shooting range, rocking bridge, dan jogging track sebagai pelengkap.
Disebut kaveling opsional karena Century Hills membebaskan pembeli untuk membangun sendiri. Tapi, tentunya sesuai dengan guidelines pengembang untuk konsep arsitekturalnya. “Agar tidak blang bonteng,” ujar Djoni. Bagi yang tak ingin direpotkan tetek bengek masalah konstruksi, Century Hills juga menawarkan jasa pembangunan dan desain arsitektur dengan harga negosiasi.
Sejatinya, Century Hills merupakan proyek lama yang mangkrak dan belum sempat dikembangkan. Sejak tahun lalu sudah beralih kepemilikan kepada PT Cahaya Adiputera Sentosa. Investor anyar ini, menurut Djoni, sama sekali tidak mempunyai core business properti. Dan menariknya, mereka terdiri atas orang-orang yang berkecimpung di bisnis hiburan malam. Gampang dimengerti kalau kemudian beberapa dari 20 venus yang diperuntukan bagi destinasi wisatanya secara konotatif bersinggungan dengan nite entertainment seperti karaoke and lounge, biliar, atau theatre dan live music yang hanya bisa diakses oleh penghuni dan para member.
Adapun harga kaveling yang ditawarkan ke pasar dipatok antara Rp800 ribu-Rp1,5 juta/m2 dengan ukuran minimal 1.000 m2. Sedangkan unit-unit rumah bandarnya yang berdimensi variatif dijual dengan harga Rp2,1 miliar hingga Rp2,4 miliar. Dimensi terkecil 300 m2, dan terdiri atas 2,5 lantai. Dengan tawaran nominal yang fantastis ini, Century Hills jelas menyasar pasar kelas high end. “Mereka biasanya entrepreneur dan pemuncak perusahaan besar,” tandas Djoni sambil menekankan locus incarannya adalah warga Bandung dan Jakarta.
Jika ditelisik, komunitas dengan karakter seperti itu sangat terbatas, seperti diakui Djoni. Apalagi untuk ukuran Kota dan Kabupaten Bandung. Walau bertebaran perusahaan-perusahaan skala nasional, dan terutama tekstil, bukanlah jaminan Century Hills bakal terserap pasar dan apalagi dihuni. Oleh karena itu, PT Cahaya Adiputera Sentosa melakukan segregasi pasar antara penjualan kaveling dan townhouses. Maksudnya lebih kurang, memetakan pasar antara captive market dan potential market.
Sebuah strategi yang disebut Member Broker ERA Maestro Tatang Nugraha sebagai penyempitan sasaran. Dan terbukti jitu, karena kaveling siap bangunnya tersisa 15 unit saja, sementara rumah bandarnya baru dirilis Februari ini. Namun begitu, prestasi penjualan spektakuler ini, imbuh Tatang, bukanlah didapat dari penetrasi pasar. Melainkan karena relasi dan pertemanan dari sang owner yang memang memiliki kolega segudang baik di Bandung maupun Jakarta. Kalau saja mereka menempuh jalur ‘normal’, merebut kuota kelas high end, bukanlah perkara gampang. Bahkan, merujuk pengalaman Tatang yang ikut menjajakan d’Bale Pakuan (Grup Istana) yang notabene serumpun sebagai rumah berkonsep vila, kurang peminat. Padahal sudah lebih dari setahun dipasarkan.
Kondisi lebih sulit bakal dialami unit-unit rumah bandar Century Hills yang justru diarahkan untuk merebut pasar khusus Bandung. Apalagi dalam satu kawasan yang sama terdapat tujuh proyek sekelas yang juga menjual rumah villa, tiga di antaranya masih dipasarkan hingga saat ini. Century Hills harus bersaing dengan Giri Indah (PT Tripatra Reka Mandala), Vila Triniti (PT Triniti Agung Permai) dan Graha Puspa (PT Antar Grya Sentosa/Grup Bandung Inti Graha). Belum lagi dengan mixed use development yang dibangun PT DAM Utama Sakti Prima dan lebih variatif fungsi propertinya.
Preferensi orang Bandung, menurut Tatang, lebih suka tinggal di perumahan dalam kota. Alasannya, distansinya lebih dekat dengan tempat kerja dan aktifitas sehari-hari. “Mereka ogah terhadang macet. Hanya membuang waktu dan tenaga,” lanjutnya.
Untuk mencapai KBU dari dalam kota atau arah sebaliknya, harus melewati banyak persimpangan yang sarat dengan volume kendaraan. Seperti di persimpangan Setiabudi, Sukajadi dan dekat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). “Fakta lalu lintas yang semrawut sangat dihindari orang Bandung yang memiliki karakter praktis, pragmatis dan tak mau ribet,” cetus Tatang.
Boks
Menuai Gugatan
Perkara marketing gimmick yang sanggup membuat konsumen pembeli vila dan kavling Century Hills terpincut, ternyata berdampak kontraproduktif. Pembangunan proyek ini ditentang warga dan aktivis pembela lingkungan hidup. Mereka menuding Pemerintah Kabupaten Bandung berkolusi dengan PT Cahaya Adiputera Sentosa, mengomersialisasi lahan di daerah Setiabudi yang notabene termasuk dalam Kawasan Bandung Utara (KBU). KBU sendiri telah ditetapkan sebagai catchment area Bandung dalam Perda No. 02/2003 tentang RTRW Provinsi Jabar, memperkuat ordonansi sebelumnya, SK Gubernur No. 181/1992 yang menyatakan KBU sebagai daerah status quo alias diharamkan dari segala bentuk aktifitas pembangunan fisik di atasnya.
Mengacu pada regulasi tersebut, Ketua Divisi Advokasi Walhi Jawa Barat Dadang Sudardja menekankan, seharusnya Pemkab Bandung melarang pengembangan perumahan di KBU, termasuk Century Hills. Karena, imbuhnya, dampak yang ditimbulkan akan semakin memperparah daya dukung lingkungan. Akibatnya, selain bisa menghilangkan kepentingan ruang publik, tumbuhnya berbagai kegiatan ikutan seperti beban lalu lintas, juga dipastikan meningkatkan frekuensi dan besarnya banjir di musim hujan serta defisit air di musim kemarau.
“Eksisting debet air saat ini tinggal sepertiga dari 107 juta meter kubik kapasitas debet air sebelum alihfungsi lahan terjadi. Kalau tidak dijaga, Bandung pada 2010 bakal krisis air. Ini siaga satu,” ujar Dadang.
Benar saja, korban penyelewengan tata ruang tersebut telah jatuh. Yakni matinya dua sumber mata air di sekitar Guha Lalae dan Binong. Padahal keduanya selama ini dimanfaatkan warga untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi dan mencuci. Terang saja, keringnya sumber mata air itu membuat warga kian meradang. Berkali-kali mereka berdemonstrasi hanya untuk mengembalikan haknya atas air dan tanah itu.
Memang, kondisi aktual KBU secara kasat mata boleh dikatakan sudah rusak. Konversi yang terjadi begitu sporadis dan simultan, berkontribusi besar terhadap gundulnya hutan KBU. Tidak hanya PT Cahaya Adiputera Sentosa, PT DAM Utama Sakti Prima (pengembang kawasan Punclut) beserta 115 pengembang lainnya yang mendapat obral ijin lokasi dari Pemkab Bandung, ikut digugat sebagai destruktor lingkungan.
Namun, seperti halnya PT DAM Utama Sakti Prima, PT Cahaya Adiputera Sentosa menolak dituduh seperti itu. Menurut Direktur PT Cahaya Adiputera Sentosa Djoni To’at, pihaknya telah mengantongi ijin lokasi, AMDAL, beserta persetujuan lainnya seperti IMB dan pengolahan air. Bahkan, kompensasi terhadap berkurangnya debet air warga akibat penebangan pohon untuk pembangunan jalan, telah dilakukan. Salah satunya dengan jalan merehabilitasi dan merevitalisasi kawasan di sekitarnya dengan penanaman pohon-pohon yang khusus diimpor dari Australia, “Agar cepat memulihkan daya dukung lingkungan kembali,” ujarnya.

Tidak ada komentar: