Kamis, 20 Desember 2007

Manisnya Sawit, Pahitnya Beras

Tanggal :

19 Dec 2007

Sumber :

Kompas

Prakarsa Rakyat,

Syahnan Rangkuti

Bawah minyak atas minyak adalah julukan Provinsi Riau. Julukan tersebut memang benar adanya karena provinsi dengan luas 87.844 kilometer persegi itu memiliki kandungan minyak dengan produksi mencapai 500.000 barrel per hari. Riau juga memiliki hamparan kebun kelapa sawit terluas di Indonesia dengan luas hampir 1,5 juta hektar yang mampu menghasilkan minyak sawit mentah.

Bedanya, minyak dari dasar bumi merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui. Sementara minyak dari atas bumi merupakan sumber daya yang dapat diperbarui dan saat ini sedang memasuki fase terpenting dalam kelanjutan siklus energi masa depan.

Secara nasional, luas areal tanaman kelapa sawit yang tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 6,074 juta ha. Riau menduduki posisi pertama dengan luas 1,409 juta ha disusul Sumatera Utara dengan 1,044 juta ha dan Sumatera Selatan 606.600 ha.

Total produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia saat ini 14,5 juta ton dan menempati posisi kedua di dunia setelah Malaysia. Produksi CPO Malaysia dan Indonesia adalah yang utama di dunia yang mendominasi sekitar 85 persen dari produksi CPO dunia.

Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit maupun CPO sekarang ini relatif terjaga. TBS bertahan pada level Rp 1.300-an dan CPO pada posisi Rp 6.000-an per kilogram. Petani yang memiliki lahan kelapa sawit satu hektar dapat memiliki penghasilan Rp 2 juta/bulan, atau pendapatan sekitar Rp 25 juta/tahun.

Bertahannya harga TBS di tingkat petani telah membawa dampak yang sangat signifikan buat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walau belum ada penelitian khusus terhadap pendapatan petani sawit, fakta di lapangan telah menunjukkan perubahan besar dari daya beli.

Berdasarkan pengamatan Kompas di Kecamatan Lubuk Dalam, Kabupaten Siak, 80 kilometer arah timur Pekanbaru, yang merupakan bekas petani plasma PT Perkebunan Nusantara V—dengan luas lahan rata- rata 2 ha per kepala keluarga— sudah tidak lagi menunjukkan wajah-wajah sedih. Nyaris setiap rumah sudah memiliki motor baru atau bahkan tidak jarang memiliki kendaraan roda empat. Misalnya Borkat S yang memiliki lahan 10 ha. Ia sudah memiliki sebuah mobil Toyota Kijang keluaran 2004 akhir yang dibelinya tiga tahun lalu dengan cara tunai.

Di Desa Pemaran, Kecamatan Sei Tapung, Kabupaten Kampar, 90 km barat Pekanbaru, kondisinya juga nyaris sama. Menurut HW Adha, Asisten Kepala PTPN V Kebun Sei Tapung, petani lahan plasma di tempatnya kini sudah berkembang menjadi orang-orang kaya baru. Dari penampilan luar saja, kehidupan warga sudah lebih sejahtera bila dibandingkan dengan kondisi lima tahun lalu.

"Sekarang ini lihat saja. Uang sawit itu digunakan warga untuk bermacam-macam kebutuhan. Ada yang dipakai untuk membangun rumah, ada yang untuk membeli motor dan mobil. Namun, ada pula yang menyimpan uangnya di bank," ujar Adha, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, itu.

Kondisi sama sebenarnya juga terjadi di seluruh areal pertanaman kelapa sawit di Sumsel, Jambi, Sumut, atau seluruh daratan Sumatera. Booming harga CPO di dalam dan luar negeri telah membuat petani menikmati manisnya harga kelapa sawit.

Hardi (42), mantan peneliti di PT Tania Selatan, Palembang, memilih pensiun dini dari perusahaannya untuk bekerja di lahan milik keluarga karena penghasilan yang diperolehnya sekarang justru lebih besar. Begitu pula Haji Fahmi Sidik di Kota Pinang, Labuhan Batu, Sumut, yang sudah melaksanakan ibadah haji untuk kedua kalinya dari hasil panen sawitnya seluas 10 ha. Kini, Fahmi tengah mengembangkan usahanya untuk menjadi lebih luas lagi.

Derry Nasution (34), seorang manajer perusahaan ekspedisi di Pekanbaru, saat ini juga tengah merintis kebun sawit kecil di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Menurut ayah berputra dua ini, kalaupun kariernya mentok, dia sudah memiliki kreativitas lain yang dapat menghasilkan tambahan dana.

Melihat manisnya buah sawit, tidak pelak lagi bila kenaikan harga lahan sawit menjadi tidak terkendali. Lima tahun lalu, harga satu hektar lahan yang sudah ditanami kelapa sawit yang sudah produksi masih ada yang dihargai Rp 10 juta. Namun, saat ini, harga itu melonjak sampai Rp 80 juta/ha. Walaupun begitu, sangat jarang petani yang berniat menjual kebunnya.

"Kemarin ada tetangga saya yang mau menjual lahan sawitnya seluas 8 ha dengan harga Rp 500 juta," ujar Borkat.

Cerita manis

Cerita manis petani sawit jelas telah menjadi perbincangan paling hangat di kalangan petani non-sawit. Akhirnya, alih fungsi lahan menjadi tidak tertahankan. Lahan tanaman padi sawah atau ladang adalah areal yang paling banyak beralih fungsi.

Berdasarkan data Departemen Pertanian, secara nasional, laju pertambahan areal kelapa sawit berbanding terbalik dengan pertambahan areal pertanaman padi. Di tengah tren meningkatnya luasan areal pertanaman sawit, terjadi tren penurunan areal pertanaman padi.

Di Provinsi Sumut, misalnya, pada tahun 2004 luas areal pertanaman padi mencapai 826.091 ha. Tahun 2005, angka itu turun sampai 822.073 ha dan menjadi 705.023 ha pada 2006. Sebaliknya, areal perkebunan kelapa sawit dari semula 844.882 ha (2004) bertambah menjadi 894.911 ha (2005) dan pada tahun 2006 menjadi 1.044.230 ha. Angka statistik penurunan areal padi itu nyaris terjadi di seluruh provinsi di Indonesia yang memiliki perkebunan kelapa sawit.

Untuk mencari alasan alih fungsi lahan itu sangat gampang. Petani padi Riau yang memiliki produktivitas panen rata-rata 3,2 ton/ha (di Karawang, Jawa Barat, produktivitas rata-rata 5-6 ton/ha) mendapat penghasilan kotor Rp 8,32 juta (dengan asumsi harga gabah kering panen Rp 2.600/kg.

Pendapatan sebesar itu tentu harus dipotong biaya produksi. Untuk satu hektar sawah biasanya petani menggunakan pupuk 500 kg. Dengan harga pupuk di pasaran Rp 1.550, biaya pupuk mencapai Rp 775.000. Biaya penggunaan traktor untuk membajak sawah Rp 500.000/ ha, tenaga kerja Rp 2 juta, dan benih 100 kg sekitar Rp 250.000. Artinya, pendapatan bersih mencapai Rp 4,745 juta. Bila padi ditanam selama empat bulan, penghasilan petani per bulan Rp 1.186.250.

Bukan hanya rendah dalam produktivitas panen per hektar, dalam satu tahun, petani Riau belum mampu melakukan penanaman tiga kali dalam setahun. Untuk dapat menanam dua kali dalam setahun pun hanya sebagian kecil petani yang mampu melakukannya. Bandingkan dengan petani kelapa sawit yang sudah memanen pada usia tiga tahun dan kemudian mendapat hasil rata-rata Rp 2 juta sebulan sepanjang 20 tahun.

Dari hitung-hitungan ekonomis itu, wajar bila akhirnya petani padi mengalihfungsikan lahannya menjadi kebun kelapa sawit. Di Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, misalnya, seluas 700 ha dari total lahan padi transmigrasi 3.500 hektar sudah beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit. Di Kecamatan Bauh, Siak, juga dikabarkan seluas 600 ha dari total 1.600 ha tanaman padi sudah beralih fungsi menjadi kebun sawit. Padahal, wilayah itu sudah dipagari dengan Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 1 Tahun 2002 yang berisi ketentuan bahwa wilayah itu hanya dapat dipergunakan sebagai lahan tanaman pangan.

Berpegang ketentuan perda itu, Camat Bunga Raya Hadi Sandjojo mencabuti kelapa sawit dari lahan padi sawah dimaksud. Namun, pemilik sawit tidak terima dan mengadukan camat ke DPRD Siak. Saat ini, DPRD Siak mulai goyah karena sudah muncul wacana untuk mengubah peruntukan wilayah Kecamatan Bunga Raya.

Direktur Eksekutif Sustainable Social Development Partnership (Scale-Up) Riau Ahmad Sazali mengatakan, Pemerintah Provinsi Riau sangat sulit untuk dapat memenuhi target swasembada pangan tahun 2012. Bila alih fungsi lahan tidak dapat ditekan, pada tahun 2012 masyarakat Riau akan sangat bergantung pada padi dari Sumbar, Sumut, dan Lampung.

Namun, penurunan produksi padi di Sumbar, Sumut, dan Lampung pasti akan memukul daerah-daerah penghasil beras itu sendiri nantinya. Secara nasional, pertumbuhan lahan perkebunan kelapa sawit diyakini sudah menekan produksi beras. Buktinya, luas areal panen padi nasional pada 2004 mencapai 11.922.974 ha. Namun, pada 2005 menurun menjadi 11.839.060 ha dan menjadi 11.786.430 ha pada 2006. Produksi padi nasional berdasarkan data Bappenas tahun 2004 juga mengalami tren menurun dari 54.088.468 ton pada tahun 2004 menjadi 53.984.590 pada 2005.

Dari fakta-fakta itu, tentunya muncul pertanyaan, apakah Indonesia mampu swasembada beras?

Tidak ada komentar: