Jumat, 21 Desember 2007

KONSEP-KONSEP DASAR DALAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

KONSEP-KONSEP DASAR DALAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS


PENDAHULUAN

Ketika seseorang dihadapkan pada suatu persoalan, maka ada berbagai kemungkinan reaksi yang dapat ditampilkan. Kemungkinan pertama adalah memutuskan untuk tidak memikirkan, apalagi menindaki persoalan tersebut. Biasanya dengan harapan bahwa persoalan pergi dengan sendirinya atau orang yang bersangkutan menjadi terbiasa dengan adanya persoalan tadi. Kemungkinan kedua adalah menampilkan reaksi emosional, misalnya menangis, marah, atau merusak. Kemungkinan ketiga adalah segera melakukan tindakan yang dirasakan akan menghilangkan permasalahan. Untuk yang terakhir, dapatlah dicontohkan demikian: selagi kita menulis, pinsil kita patah, maka kita akan segera menyerut pinsil tersebut. Namun demikian, adakalanya bahwa penyelesaian suatu masalah, ternyata, bersifat sementara, karena sebetulnya kita hanya bereaksi terhadap ujung persoalan. Seringkali kita dihadapkan pada masalah yang hanya dapat diatasi bila kita memahami dan melakukan sesuatu terhadap akar atau sumber dari masalah tersebut. Dengan demikian, jenis masalah tersebut menuntut upaya pemecahan yang lebih mendasar.

Berbicara tentang pemecahan masalah yang mendasar, maka kita harus juga berbicara tentang kesenjangan antara kondisi-kondisi aktual yang telah memberikan sumbangan bagi terciptanya masalah, dan kondisi-kondisi ideal. Pemecahan masalah yang mendasar berarti menghilangkan kesenjangan antara kedua jenis kondisi tersebut. Artinya, melakukan perubahan-perubahan dalam sektor-sektor kehidupan tertentu, supaya tercipta kondisi-kondisi ideal.

Selanjutnya, kompleksitas masyarakat terus meningkat, sementara itu interdependensi antara manusia, antara manusia dan kelompok, serta antara manusia dan berbagai sektor kehidupan, membuat semakin sulit bagi seorang individu untuk bekerja sendiri untuk mendorong perubahan. Dengan berkelompok atau berhimpun, kemudian membangun kerjasama, peluang untuk menyebabkan atau merangsang perubahan akan lebih besar. Gerakan perubahan dalam masyarakat, yang diupayakan oleh masyarakat sendiri dan diarahkan pada tercapainya kondisi ideal bagi masyarakat bersangkutan -apakah itu dalam sektor sosial, ekonomi, kesehatan, permukiman atau lainnya- dikenal dengan istilah Community Development. Dalam bahasa Indonesia, dapatlah kiranya kita sebut Pengembangan Komunitas.

PENGEMBANGAN KOMUNITAS

Untuk dapat memahami hakekat dari pengembangan komunitas, baiklah kita coba selami makna di belakang kata-kata yang terlibat dalam istilah tersebut.

Komunitas

Community berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti perkawanan (fellowship). Banyak definisi tentang komunitas. Dalam bahasa Indonesia sering pula diterjemahkan sebagai masyarakat, walaupun terjemahan tersebut tidak tepat. Namun, secara operasional komunitas dapat dipahami melalui pemahaman akan komponen-komponennya:

  1. people, maksudnya sejumlah atau sekumpulan orang
  2. place yang dapat diterjemahkan sebagai tempat atau lokasi
  3. interaksi sosial di antara orang-orang di tempat/lokasi tersebut
  4. komunitas menjadi bagian dari jati diri anggota
  5. anggota merasa menjadi bagian atau milik dari komunitas.
    Pengembangan

Dalam bahasa Indonesia kata development ini diterjemahkan menjadi pembangunan atau pengembangan. Development mengandung unsur perbaikan, pertumbuhan, dan perubahan. Development sebagai perbaikan adalah terjadinya transformasi sosial ke arah distribusi sumber daya dan social goods yang lebih egalitarian, Di sisi lain, development dalam arti pertumbuhan, lebih terfokus pada transformasi teknologi dan/atau ekonomi. Selanjutnya, development sebagai perubahan memiliki dampak yang lebih mendasar, karena berarti meletakkan orientasi ideologis dalam aksi untuk merestrukturisasikan norma sosial dan tatanan ekonomi untuk mencapai kondisi ideal yang diinginkan. Kata development dari istilah community development lazim diterjemahkan sebagai pengembangan.

Pengembangan Komunitas

Berdasarkan pemahaman akan kata-kata pengembangan dan komunitas, maka secara sederhana pengembangan masyarakat dapat dimengerti sebagai:

sekumpulan orang yang mendiami suatu lokalitas, berinisiatif untuk bersama-sama melakukan suatu proses aksi sosial untuk merubah situasi ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan mereka.

Arah utama dari pengembangan komunitas adalah membantu masyarakat untuk mampu berperan sebagai subyek dalam memperbaiki kondisi hidupnya sendiri.

Pengembangan komunitas memiliki tiga dimensi, yaitu: nilai, proses, dan stakeholders. Adapun dimensi nilai meliputi tiga komponen, yaitu:

  • Partisipasi dan kolaborasi yang demokratis.

Pengembangan komunitas mempersyaratkan partisipasi semua pihak, yang berkepentingan, dan antara pihak-pihak tersebut dibangun kerjasama yang demokratis.

  • Keadilan yang merata.

Setiap pihak yang terlibat, tentunya, memiliki kepentingan-kepentingan maupun kebutuhan yang khas. Pengembangan komunitas harus dapat mengangkat kebutuhan maupun kepentingan tersebut. Tidak ada pihak yang dimenangkan maupun dikalahkan.

  • Self-determination

Setiap individu maupun kelompok yang terlibat dalam proses pengembangan komunitas hendaknya memiliki kepastian diri mengenai apa yang sedang dijalankannya. Kepastian diri ini juga menentukan kualitas keterlibatan dan kesediaan untuk memberikan andil pada proses yang sedang berlangsung.

Dimensi kedua adalah proses, yaitu perjalanan pembangunan atau pengembangan masyarakat tersebut. Proses tersebut bisa berupa penelitian, aksi sosial, aksi pembangunan atau intervensi. Dimensi terakhir adalah stakeholders; yakni individu dan komunitas serta semua pihak yang memiliki saham atau secara langsung berkepentingan dengan keluaran dari pengembangan komunitas tersebut. Dinamika antara ketiga dimensi inilah yang diharapkan akan mengarahkan pengembangan komunitas pada pemberdayaan (empowerment) komunitas.

Tema-tema Pengembangan Komunitas

Banyak jurnal Community Development mengulas tiga tema besar, yaitu self-help, technical assistance, dan konflik. Inti dari self-help adalah merangsang kesadaran komunitas akan kemampuannya sendiri untuk menolong diri sendiri. Tema dasar relasi antara fasilitator dan komunitas adalah mitra yang setara. Technical assistance lebih menekankan proses pembimbingan teknis dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tema dasar relasi antara konsultan dan komunitas adalah kepakaran dan klien, jadi mengacu pada keahlian konsultan. Tema konflik bermaksud untuk menajamkan perbedaan antara kelompok dalam suatu isu tertentu. Pihak yang berada pada posisi "merugi" akan memperjuangkan hak-haknya melalui proses yang terentang antara negosiasi sampai benturan.

Secara sederhana, perbedaan antara ketiga tema dapat diturunkan kedalam

tabel berikut:

Tema

Asumsi

Peran Agen Perubahan

Orientasi

Kecepatan Proses

Kesinam-bungan

Self help

Bekerja bersama masyarakat untuk dapat memperbaiki keadaan

Fasilitator, edukator

Proses

lamban

Sangat baik

Technical assistance

Struktur menentukan perilaku. Biasanya pendamping bekerja untuk masyarakat, bukan bersama masyarakat

Penasehat, konsultan

Tugas

sedang

baik

Konflik

Penekanan yang normatif pada keadilan. Menekankan pada polarisasi kelompok berdasarkan isu dan menstimulasi antar kelompok.

Organisator, advokat

Proses dan tugas

cepat

lemah

SELF-HELP: PERKEMBANGAN DALAM VERSUS DARI KOMUNITAS

Tema ini adalah tema pengembangan komunitas yang paling mendasar dan menjamin pemberdayaan yang berkesinambungan. Self-help merepresentasikan dua

hal yang saling lekat berkait:

1. diharapkan dapat memperbaiki kondisi kehidupan, fasilitas, dan/atau jasa bagi masyarakat

2. menekankan bahwa proses perbaikan adalah esensial bagi pembangunan komunitas. Hasil akhir yang diharapkan adalah bahwa komunitas yang berkembang (developed community) mengalami, baik perbaikan maupun perasaan berkemampuan atau berdaya.

Dengan demikian, segi proses menjadi sangat penting, karena proses tersebut membawa masyarakat pada kondisi mandiri. Self-help menyebabkan perkembangan dari, dan bukan di dalam, komunitas. Jadi, yang berkembang adalah komunitas secara keseluruhan, bukan sekedar infrastrukturnya dan tidak berhenti pada persoalan pembangunan fisik.

Pendekatan self-help bermaksud mendorong perkembangan komunitas, maka jelas dituntut partisipasi stakeholders, yaitu anggota komunitas serta pihak-pihak yang secara langsung berkepentingan. Karena itu, menjadi penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan partisipasi, sejauh mana partisipasi yang diharapkan muncul, mengapa tingkat partisipasi orang-orang dalam suatu komunitas bervariasi, apa saja kualitas individual maupun kelompok yang mempengaruhi partisipasi, bagaimana memahami anggota komunitas untuk mendudukkan mereka dalam organisasi, dan strategi mengundang serta mengorganisir partisipasi. Penjelasan berikut tentang empowerment akan mengantar pembahasan lebih lanjut tentang partisipasi.

EMPOWERMENT

Julian Rappaport (1981) adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah empowerment (pemberdayaan) dalam konteks kesehatan mental masyarakat. Rappaport mengatakan bahwa cara yang mudah untuk memahami pemberdayaan adalah dengan membayangkan kondisi dimana tidak ada pemberdayaan, yaitu pada kondisi alienasi, powerlessness (baik keadaan aktual atau sekedar perasaan), tidak berdaya, tidak mampu menolong diri sendiri, kehilangan kemampuan untuk mengatur atau mengendalikan kehidupan sendiri. Dari penelitiannya Kieffer (1984) menyimpulkan bahwa pemberdayaan memiliki tiga dimensi yang saling berpotongan dan berhubungan: a) perkembangan konsep diri yang lebih positif, b) konstruksi pemahaman yang lebih kritis dan analitis mengenai lingkungan sosial dan politis, dan c) panen sumber daya individu dan kelompok untuk aksi sosial maupun kelompok. Namun demikian, keadaan berdaya tidak dicirikan oleh pemilikan kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar, tapi dicirikan oleh anggapan bahwa dirinya adalah partisipan yang efektif dalam proses pengambilan keputusan.

Istilah empowerment atau pemberdayaan, akhir-akhir ini telah menjadi jargon pembangunan yang maknanya semakin bias. Pemberdayaan seringkali digunakan dalam konteks membangun masyarakat, dimana masyarakat diletakkan pada posisi pasif, menerima, dan sebagai obyek. Sementara itu, subyek aktifnya tak lain adalah fasilitator atau konsultan. Pada situasi demikian, nilai-nilai dasar dari pembangunan komunitas, yaitu kolaborasi, keadilan yang merata dan self-determination, tidak lagi dapat dijamin keberadaannya. Perasaan berdaya hanya dialami oleh fasilitator, bukan oleh masyarakat, karena tema relasi yang terjadi antara fasilitator dan masyarakat mengembangkan ketergantungan masyarakat pada fasilitator. Jelas, ini bukan pemberdayaan yang sesungguhnya.

PARTISIPASI

Pada dasarnya partisipasi berarti ikut serta atau ikut, ambil bagian. Dalam kegiatan pembangunan permukiman, partisipasi masyarakat dapat dibagi ke dalam empat jenis

  1. partisipasi di tingkat pekerjaan fisik pembangunan,
  2. partisipasi di tingkat pembiayaan pembangunan
  3. partisipasi di tingkat infrastruktur lokal
  4. partisipasi penuh sejak tahap perencanaan sampai pembangunan fisik.

Dalam konteks Pengembangan Komunitas dengan model self-help, maka partisipasi yang diharapkan dari masyarakat adalah partisipasi jenis ke empat. Uraian berikut akan lebih memperjelas perbedaan antara keempat jenis partisipasi. Dilanjutkan dengan bagian mengenai proses partisipasi. Hingga timbul kesediaan untuk berpartisipasi, seseorang atau suatu kelompok akan melalui proses yang khas. Pada bagian terakhir akan dipaparkan proses pengembangan kemampuan berpartisipasi (participatory competence) pada tingkat individu maupun kelompok.

Empat Tipe Partisipasi

Partisipasi Tenaga Kerja Murah

Masyarakat dianggap sudah berpartisipasi jika mereka bersedia memberikan tenaga kerja gratis, misalnya sebagai pekerja kasar atau menyumbang bahan bangunan dengan semangat "swasembada" untuk membangun jalan desa. Peran yang diberikan pada penduduk adalah sebagai tenaga kuli -mengangkut, menggotong, menggali dan sebagainya. Sementara tugas-tugas pintar yang melibatkan pemikiran -melakukan survey, merencanakan, merancang- dikerjakan sepenuhnya oleh para insinyur atau tenaga ahli.

Pola kerja ini berbiaya murah. Sayangnya, biaya murah merupakan keuntungan satu-satunya. Sebagian orang beranggapan bahwa masyarakat tentu merasa ikut memiliki Proyek yang tengah dibangun. Bukankah mereka telah menyumbangkan banyak tenaga untuk pembangunan jalan? Masyarakat tentu merasa bangga dan akan berupaya memelihara proyek tersebut. Sanggahan terhadap pendapat ini menyatakan bahwa kebanggaan lebih banyak tergantung pada apa yang menjadi prioritas mereka. Bila proyek tersebut tidak bersentuhan dengan prioritas mereka, maka tenaga tersebut diberikan secara sukapaksa -bukan sukarela. Jika demikian halnya, rasa turut memiliki tersebut akan segera padam dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.

  • Partisipasi Berbagi Biaya (Cost-sharing)

Bagi sebagian orang, persoalannya bukan sekadar bagaimana menekan biaya. Kesediaan masyarakat untuk menanggung biaya pemeliharaan hasil proyek (misalnya dengan membayar upah tukang batu setempat) mungkin dapat dianggap sebagai salah satu indikasi bahwa mereka menghargai dan bersedia memeliharanya. Pendapat lain mengatakan bahwa kesediaan untuk memelihara

belum tentu merupakan indikator yang andal. Contohnya proyek pengadaan kebutuhan air bersih di permukiman komunitas miskin. Ternyata keputusan yang diambil tidak melibatkan kaum perempuan. Pada saat terjadi kerusakan mereka cenderung kembali menggunakan sumber air lama, bukannya melakukan perbaikan.

Partisipasi Berdasarkan Kontrak (Contractual Obligation)

Pandangan lain, yang tidak puas dengan kedua konsep diatas. Daripada memberikan penekanan pada masalah biaya, lebih baik melakukan berbagai usaha untuk memantapkan paling tidak satu infrastruktur setempat, untuk mengelola dan memelihara proyek. Menurut titik pandang ini, infrastruktur tersebut akan mampu menggerakkan dan mempertahankan dukungan setempat. Perancang proyek dapat berkonsentrasi pada tiga elemen: kepemimpinan setempat, panitia setempat dan sukarelawan yang direkrut dari penduduk. Asumsinya:

§ keterlibatan pimpinan lokal (kepala desa) akan memudahkan legitimasi proyek

§ panitia sete ' mpat mampu mempromosikan, mengelola, dan memantau kontribusi dan penggunaan hasil proyek

§ melalui pelatihan bagi sukarelawan, dapat dilakukan alih teknologi pada masyarakat.

Agar lebih formal dan mengikat, dibuatlah sebuah kontrak. Dalam kontrak dijabarkan secara rinci peran dan tanggung jawab yang dituntut dari masing-masing pihak (misalnya pemerintah dan masyarakat). Masyarakat mempunyai pilihan untuk menerima atau menolak butir-butir yang tercantum dalam kontrak atau merundingkan beberapa perubahan. Diasumsikan dengan memberikan peran pengelolaan pada masyarakat, maka butir-butir yang tertulis di kontrak dapat dipenuhi. Pertanyaannya, apakah pendekatan ini cukup melibatkan penduduk pada umumnya? Selalu ada kemungkinan bahwa kontrak yang telah dirundingkan dengan pemimpin lokal dan diumumkan dalam pertemuan dengan penduduk desa, belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat secara keseluruhan. Karena itu tidak mengherankan bila setelah beberapa lama sumbangan dari masyarakat akan menurun. Membentuk panitia langsung setelah rembug komunitas juga mengandung risiko, orang yang paling tepat atau paling mewakili desa mungkin tidak dilibatkan. Atau orang yang terlanjur ditunjuk kemudian mengundurkan diri.

Partisipasi Pengambilan Keputusan oleh Masyarakat

Melihat banyak masalah yang timbul seperti dikemukakan di atas, terlihat adanya

kebutuhan untuk membangun rasa tanggung jawab di kalangan masyarakat untuk

menggunakan dan memelihara sistem dan bangunan yang sudah didirikan.

Memang benar bahwa pengadaan biaya, keberadaan serta dukungan lembaga lokal adalah penting. Namun sungguh jelas bahwa ukuran-ukuran yang dikemukakan di atas belum cukup untuk memperoleh komitmen yang sungguh-sungguh dan dukungan dari segenap masyarakat. Syarat lain yang perlu dipenuhi adalah proses pendidikan partisipatif untuk masyarakat serta pelibatan masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan keputusan sejak awal proyek.

Sebagian orang meragukan pendekatan ini dapat digunakan dalam skala besar. Alasannya, staf lapangan tidak mempunyai bekal (keahlian, sumberdaya) untuk melibatkan orang dengan cara ini. Lagipula pelatihan partisipatif yang dilakukan akan memakan waktu sangat lama, sulit, dan mahal. Namun para pendukung konsep partisipasi masyarakat menyatakan bahwa jika mengingat keuntungan jangka panjangnya, pelatihan partisipatif merupakan investasi yang tidak terlalu mahal atau sulit dilaksanakan.

Penyadaran Partisipasi Pada Individu

Proses dari merasa sendirian dalam keadaan tidak berdaya, tidak tahu apa yang harus dilakukan (powerless), menjadi merasa mampu untuk ambil bagian dalam kelompok (kompetensi partisipasi tak lain adalah proses menjadi berdaya. Pada level individu, proses pemberdayaan mengikuti tahap-tahap berikut:

  • Tahap penjajakan.

Pada tahap ini individu belum merasa pasti tentang partisipasinya dalam kelompok. Namun demikian, individu menyadari pentingnya kelompok dalam upaya mengatasi permasalahan atau isu yang sedang dihadapi. Keterlibatan dalam kelompok masih didasari oleh keinginan coba-coba. Sepanjang tahap ini, individu dituntut untuk merubah perasaan segan pada sistem dan otoritas menjadi perasaan setara. Dengan demikian individu belajar bahwa sistem dan otoritas seharusnya berfungsi sebagai penunjang terciptanya kesejahteraan masyarakat.

  • Tahap lanjut.

Terdapat tiga aspek utama yang terjadi pada tahap ini, yaitu pemahaman relasi belajar dengan fasilitator, internalisasi efek pemberdayaan seiring dengan relasi yang intensif dengan kelompok, dan bertambahnya wawasan tentang relasi politis dan sosial dengan pihak atau,kelompok lainnya, Pada tahap ini, fasilitator menjadi cermin bagi individu-individu. sehingga mereka bisa melihat dan menggali kemampuan-kemampuannya sendiri. Dengan demikian, individu berani mengambil tanggung jawab dalam kelompok. Selain itu, fasilitator pun diharapkan untuk dapat mengangkat fungsi kelompok sebagai tempat berbagi, menemukan dukungan, dan wadah untuk mempelajari keterampilan organisasi dan politik.

  • Tahap inkorporasi.

Pada perioda ini, konsep diri, kemampuan strategik, dan pemahaman kritis terhadap situasi, berada dalam proses pematangan. Keterampilan berorganisasi, kepemimpinan, dan keterampilan bertahan (survival skills), semakin terlihat bentuknya. Melalui perjuangan yang terus berlangsung, individu-individu belajar menghadapi batas-batas struktural dan institusional yang menindas atau menghambat tercapainya self-determination. Tahap ini sangat memerlukan kesabaran maupun ketahanan, baik bagi fasilitator maupun bagi individu-individu bersangkutan. Frustrasi adalah gejala yang lumrah, dan karena itu kemungkinan drop-out juga menjadi besar. Bila individu-individu berhasil mengatasi berbagai hambatan dalam tahap ini, kompetensi partisipasi secara perlahan menjadi bagian dalann keberadaan individu.

  • Tahap komitmen.

Pada tahap ini individu berusaha untuk mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam realita dan struktur kesehariannya. Mereka yang berhasil mengembangkan kesadaran akan kompetensi partisipasi adalah mereka yang berhasil merekonstruksi kesadarannya akan dirinya dalam relasi dengan dunia politik. Dengan demikian, sifat partisipasinya tidak lagi hanya terbatas pada kelompok kecil, tapi pada kelompok komunitas yang lebih besar. Yang lebih menarik adalah bahwa keberhasilan pada tahap ini menumbuhkan rasa tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Proses Pembentukan Kompetensi Partisipatif Pada Kelompok

Pada level kelompok. maka terbentuknya kesediaan untuk berpartisipasi akan melalui tahap-tahap:

1. Denunciation

Adalah tak lain dari penyadaran. Pada tahap ini, dilakukan upaya untuk mencerminkan kondisi aktual kelompok. Untuk mendapatkan fakta akurat, biasanya digunakan community and need assessment. Tidak jarang, kelompok menyangkal adanya masalah. Biasanya terjadi karena kelompok mempersepsinya sebagai sesuatu yang mustahil untuk diatasi. Kelompok merasa tidak berdaya.

2. Tahap Pertukaran Informasi

Suatu tahap di mana kelompok menggali lebih jauh kondisi aktual mereka dengan menghimpun informasi dari kelompok-kelompok lain yang dianggap berpengalaman maupun kelompok yang dianggap relevan dengan masalah yang dihadapi.

3. Tahap pemanasan.

Yaitu tahap dimana kelompok melakukan tindakan-tindakan yang memicu keinginan untuk bersama-sanna mengatasi permasalahan yang telah diketahui duduk persoalannya. Misalnya dengan aktivitas saling mempengaruhi, sama-sama mempelajari informasi yang telah diterima, merumuskan permasalahan, mendaftarkan kekuatan dan kelemahan kelompok, dan lain-lain.

4. Annunciation,

Kelompok mulai duduk bersama membuat rencana aksi (action plan).

Empat tahap ini baru merupakan langkah kanan menuju partisipasi, berikutnya adalah

aksi nyata untuk mendorong terjadinya perubahan.

1 komentar:

Romli mengatakan...

mantap jasa Makasih ya infonya

Bagi yang memiliki online shop dan ingin membuat website toko online lengkap, desain menarik, gratis penyebaran, SEO, Backlink, agar usaha nya mudah ditemukan banyak pembeli di internet, sehingga bisa meningkatkan penjualan, klik ya.. Jasa Pembuatan Website Toko Online Murah

Pusat Penjualan Hijab Jilbab Kerudung Terbaru harga termurah di Indonsia : Grosir Jilbab Murah di Indonesia.