NUSA DUA – Gelombang aksi mengecam perhelatan konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) kemarin (5/12) meledak. Aksi tidak hanya berlangsung dikawasan ring II namun juga kawasan steril, ring I.
Berlangsung dari pagi pukul 08.00 hingga sore hari. Para aktivis lokal baik yang tergabung dalam Civil Society Forum (CSF) maupun asing sama-sama memprotes penerapan standar ganda negara-negara utara dengan cara memelihara lingkungan demi mempertahankan pasokan bahan mentah murah namun menghancurkan wilayah sosio ekologis penting di negara-negara selatan.
Dalam aksinya ini para aktivis yang ditaksir mencapai 200 orang nekat membentangkan 8 spanduk warna kuning di depan bundaran arah Hotel The Westin, Nusa Dua. Diantaranya berbunyi, Forest for Live, Stop Biofueling Deforestation, Stop Cheating Climate, Rich Countries at Your Own C02 40 Persen by 2020 dan Goverment Must Say No to Agrofuel.
Namun belum sempat aksi tersebut diketahui secara luas oleh para delegasi negara asing. Aparat bertindak sigap. 8 spanduk tersebut langsung diserobot. Mereka yang rata-rata mengenakan ikat kepala bertuliskan Climate Justice kemudian digiring di taman depan Hotel The Westin. Sementara sebagian digiring ke kampung CSF yang berjarak kurang lebih 250 meter dari lokasi konferensi. Tiga orang aktivitas diantaranya dibawa ke Posko Candi Agung 2007 untuk dimintai keterangan.
Kabar terakhir yang dimintai keterangan adalah Muhamad Teguh Surya dan Andi, keduanya bertindak selaku negoisator. Satu lagi adalah Anwar Sadan yang bertindak sebagai koordinator aksi. ”Aksi kita hanya aksi damai. Kita ingin negara-negara maju ikut sama-sama menjaga lingkungan,” ujar Dadang Sudardja, Kepala Divisi Advokasi Walhi Jawa Barat kemarin.
Dadang menambahkan, CSF dan kelompok pecinta lingkungan tidak setuju dengan skema yang ditawarkan negara-negara yang tergabung dalam annex 1. Karena itu dia minta negara annex 1 yang ikut memberikan kontribusi gas buang, ikut menurunkan reduksi emisinya minimal 40 persen jika tidak ingin negara berkembang hancur terkena dampak perubahan iklim. ”Masalah perubahan iklim adalah masalah kesenjangan antara utara dan selatan. Yang tidak siap adalah negara-negara berkembang seperti Indonesia,”katanya.
Ditambahkan, negara selatan tidak akan pernah mampu mencapai tingkat konsumsi masyarakat di utara akibat jerat utang yang memerangkap mereka dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sementara piutang bagi utara dalah alat pemaksa yang legitimate kepada negara berkembang untuk terus mengeskpor bahan mentah dengan harga murah. Ironisnya, negara selatan tidak memiliki kesempatan yang sama dalam hal bernegoisasi.
Utang luar negeri menjadi beban tak terkira yang menciptakan sikap mengekor dalam skenario pola lama pembangunan. ”Intinya emisi harus ditargetkan turun drastis tidak hanya oleh negera berkembang tapi oleh juga negara maju jika kita ingin bumi ini selamat,” paparnya. Parahnya, menurut dia, Indonesia tidak menunjukkan sikap yang cukup untuk menyelamatkan warganya.
Perundingan perubahan iklim hanya dianggap sebagai pemasukan baru oleh pemerintah. Seharusnya menurut dia, pemimpin negeri ini beserta juru runding berpikir bagaimana menyelematkan warga dan kepulauan Indonesia dimasa mendatang melalui reformasi politik, ekonomi dan fiscal dalam negeri yang memprioritaskan keselamatan dan produktivitas warga dalam memenuhi standar kehidupannya.
Apakah kompensasi yang diberikan annex 1 bukan sebagai bentuk keadilan? Menurut Dadang, tidak. ”Ini bukan semata masalah uang,” jawabnya pendek. Menurut dia, seharusnya negara-negara maju penyumbang emisi terbesar, punya itikad sama untuk menurunkan emisi karena dunia ini bukan hanya milik dunia utara saja. ”Negara penyumbang emisi juga harus mau menurunkan reduksi emisinya bukan hanya dibebankan ke negara berkembang, yang kemudian dihitung dengan uang. Lantas mereka dengan bebas membuang emisi, itukan tidak adil,”paparnya.
Puas dengan aksinya yang terus diawasi aparat keamanan. mereka kemudian digiring ke kampung CSF. Ditempat ini mereka melakukan aksi happening art dengan tema pemanasan global. Ditempat berbeda didepan Bali Internasional Convention Centre (BICC) siang kemarin, aksi serupa dilakukan Pemuda Pecinta Lingkungan Asia. Datang dari berbagai warna kulit, mereka menuntut negara maju mempercepat pengurangan emisi. Berbeda dengan aksi sebelumnya, tak satupun aparat yang berani mengagalkan aksi mereka. Tak terkecuali UN Police.(mus)
Berlangsung dari pagi pukul 08.00 hingga sore hari. Para aktivis lokal baik yang tergabung dalam Civil Society Forum (CSF) maupun asing sama-sama memprotes penerapan standar ganda negara-negara utara dengan cara memelihara lingkungan demi mempertahankan pasokan bahan mentah murah namun menghancurkan wilayah sosio ekologis penting di negara-negara selatan.
Dalam aksinya ini para aktivis yang ditaksir mencapai 200 orang nekat membentangkan 8 spanduk warna kuning di depan bundaran arah Hotel The Westin, Nusa Dua. Diantaranya berbunyi, Forest for Live, Stop Biofueling Deforestation, Stop Cheating Climate, Rich Countries at Your Own C02 40 Persen by 2020 dan Goverment Must Say No to Agrofuel.
Namun belum sempat aksi tersebut diketahui secara luas oleh para delegasi negara asing. Aparat bertindak sigap. 8 spanduk tersebut langsung diserobot. Mereka yang rata-rata mengenakan ikat kepala bertuliskan Climate Justice kemudian digiring di taman depan Hotel The Westin. Sementara sebagian digiring ke kampung CSF yang berjarak kurang lebih 250 meter dari lokasi konferensi. Tiga orang aktivitas diantaranya dibawa ke Posko Candi Agung 2007 untuk dimintai keterangan.
Kabar terakhir yang dimintai keterangan adalah Muhamad Teguh Surya dan Andi, keduanya bertindak selaku negoisator. Satu lagi adalah Anwar Sadan yang bertindak sebagai koordinator aksi. ”Aksi kita hanya aksi damai. Kita ingin negara-negara maju ikut sama-sama menjaga lingkungan,” ujar Dadang Sudardja, Kepala Divisi Advokasi Walhi Jawa Barat kemarin.
Dadang menambahkan, CSF dan kelompok pecinta lingkungan tidak setuju dengan skema yang ditawarkan negara-negara yang tergabung dalam annex 1. Karena itu dia minta negara annex 1 yang ikut memberikan kontribusi gas buang, ikut menurunkan reduksi emisinya minimal 40 persen jika tidak ingin negara berkembang hancur terkena dampak perubahan iklim. ”Masalah perubahan iklim adalah masalah kesenjangan antara utara dan selatan. Yang tidak siap adalah negara-negara berkembang seperti Indonesia,”katanya.
Ditambahkan, negara selatan tidak akan pernah mampu mencapai tingkat konsumsi masyarakat di utara akibat jerat utang yang memerangkap mereka dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sementara piutang bagi utara dalah alat pemaksa yang legitimate kepada negara berkembang untuk terus mengeskpor bahan mentah dengan harga murah. Ironisnya, negara selatan tidak memiliki kesempatan yang sama dalam hal bernegoisasi.
Utang luar negeri menjadi beban tak terkira yang menciptakan sikap mengekor dalam skenario pola lama pembangunan. ”Intinya emisi harus ditargetkan turun drastis tidak hanya oleh negera berkembang tapi oleh juga negara maju jika kita ingin bumi ini selamat,” paparnya. Parahnya, menurut dia, Indonesia tidak menunjukkan sikap yang cukup untuk menyelamatkan warganya.
Perundingan perubahan iklim hanya dianggap sebagai pemasukan baru oleh pemerintah. Seharusnya menurut dia, pemimpin negeri ini beserta juru runding berpikir bagaimana menyelematkan warga dan kepulauan Indonesia dimasa mendatang melalui reformasi politik, ekonomi dan fiscal dalam negeri yang memprioritaskan keselamatan dan produktivitas warga dalam memenuhi standar kehidupannya.
Apakah kompensasi yang diberikan annex 1 bukan sebagai bentuk keadilan? Menurut Dadang, tidak. ”Ini bukan semata masalah uang,” jawabnya pendek. Menurut dia, seharusnya negara-negara maju penyumbang emisi terbesar, punya itikad sama untuk menurunkan emisi karena dunia ini bukan hanya milik dunia utara saja. ”Negara penyumbang emisi juga harus mau menurunkan reduksi emisinya bukan hanya dibebankan ke negara berkembang, yang kemudian dihitung dengan uang. Lantas mereka dengan bebas membuang emisi, itukan tidak adil,”paparnya.
Puas dengan aksinya yang terus diawasi aparat keamanan. mereka kemudian digiring ke kampung CSF. Ditempat ini mereka melakukan aksi happening art dengan tema pemanasan global. Ditempat berbeda didepan Bali Internasional Convention Centre (BICC) siang kemarin, aksi serupa dilakukan Pemuda Pecinta Lingkungan Asia. Datang dari berbagai warna kulit, mereka menuntut negara maju mempercepat pengurangan emisi. Berbeda dengan aksi sebelumnya, tak satupun aparat yang berani mengagalkan aksi mereka. Tak terkecuali UN Police.(mus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar