Prakarsa Rakyat,
Pertemuan tingkat tinggi negara-negara maju dan berkembang telah usai. Hasilnya adalah sebuah ketidakjelasan atas kesepakatan pengurangan emisi gas karbon yang sangat jelas merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Lain halnya dengan negara maju, seperti Amerika, yang sangat senang dengan hasil ini karena dapat terus menggunakan gas-gas pelubang ozon tanpa terkendali dalam menggerakkan industri-industrinya.
Dari tidak tercapainya kesepakatan pengurangan emisi gas karbon sebesar 25%-40%, maka jelas bahwa konferensi ini hanya dijadikan alat bagi pemerintah Amerika untuk memaksakan kepentingannya dalam memupuk modal, sekaligus merusak alam. Lebih parah lagi adalah terjadinya pemanasan global ini hanya dinilai dalam bentuk dólar. Negara-negara kapitalis akan memberikan dana bagi negara-negara yang telah gundul hutannya, untuk dihijaukan kembali. Padahal perusahaan-perusahaan multinasional lah yang selama ini merusak hutan. Lihat saja bagaimana Freeport membabat “paru-paru” hutan di Papua untuk kepentingan bisnisnya.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia pun hanya bisa menerima hasil keputusan tersebut, seakan berusaha menjadi tuan rumah yang baik. Tampak di sini tidak ada kemandirian pemerintah dalam menentang keputusan yang didominasi oleh negara-negara pemilik perusahaan multinasional tersebut. Ini semakin membuktikan bahwa pemerintah hanya meminta belas kasihan dari negara pemilik modal agar diberikan dana untuk menghijaukan hutannya kembali.
Namun tidak semua menjadi dominasi Amerika seperti halnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dijadikan alat dalam menggelar konferensi tersebut. Gerakan rakyat ternyata tidak tinggal diam dalam menentang kerakusan modal global. Setiap harinya aksi-aksi penolakan perdagangan karbon, yang juga melibatkan aktivis-aktivis dari berbagai negara, terus digelar dalam berbagai macam bentuknya seperti aksi Parade Budaya menolak perdagangan karbon. Selain itu juga digelar Civil Society Forum sebagai forum alternatif yang diprakarsai oleh organisasi-organisasi rakyat dalam menyuarakan penolakan terhadap skema penghancuran hutan dengan imbalan gelontoran dana bantuan. Gerakan alternatif ini menjadi sebuah ajang pembuktian bahwa perlawanan rakyat akan terus hidup dalam menentang globalisasi penindasan modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar