Pemanfaatan lahan di kawasan Bandung utara atau KBU menjadi debat publik karena kesemrawutannya. Tulisan singkat ini diharapkan dapat mengungkap masalah dan jalan keluar atas persoalan itu. Mengapa terjadi kekacauan pemanfaatan lahan di KBU? Siapa yang seharusnya berperan dalam mengatasi permasalahan tersebut? Bagaimana kaitannya dengan upaya pembangunan yang berwawasan lingkungan?
Terjadinya pro-kontra pembangunan Punclut, dan rencana pembangunan jalan tembus Dago-Lembang, serta kawasan wisata terpadu, selain akibat konsistensi dan penegakan hukum yang lemah, juga karena orientasi perencana pembangunan tidak dapat membedakan pelaksanaan pembangunan di kawasan budidaya dan kawasan konservasi, terutama terkait kesepakatan internasional pengelolaan kawasan konservasi untuk tujuan komersial, misalnya Quebec Declaration on Ecotourism (2002).
Dengan ditetapkannya sebagian besar KBU sebagai kawasan konservasi terbatas seharusnya ditindaklanjuti dengan rencana rinci tata ruang, seperti pemetaan terinci geohidrologi. Sehingga, diketahui lokasi mana yang dapat dibangun, dan yang harus "dibiarkan" untuk fungsi penjaga tata air dan tata iklim mikro. Hal prinsip ini tidak dilakukan sehingga menimbulkan persoalan berkepanjangan "pembangunan" melawan "lingkungan". Jaminan bahwa pembangunan Punclut tidak akan menimbulkan persoalan lingkungan tidak realistis.
Sebab, dari sekitar 260 hektar, sekitar 153 hektar atau 59 persen telah dikuasai dan dimanfaatkan pengembang dan masyarakat. Tanah negara yang tersisa-41 persen-tidak berfungsi optimal sebagai kawasan konservasi karena tidak memperoleh prioritas sesuai fungsinya. Ilustrasi itu mencerminkan persoalan umum KBU, yaitu orientasi pembangunan ekonomi yang tidak kompatibel dengan kepentingan lingkungan. Apabila ini berlanjut-dibarengi meningkatnya penyimpangan pemanfaatan lahan, dan persoalan konsistensi kebijakan serta longgar- nya penegakan hukum-pemanfaatan lahan yang tidak sesuai fungsi konservasi KBU akan semakin besar.
Implikasi Pola rencana pembangunan di KBU umumnya memanfaatkan alam sebagai kekuatan daya tarik komersial, misalnya dalam bentuk rumah kebun, agrowisata, arena permainan dan olahraga, country club, cottages, hotel atau restoran. Pola pembangunan ini-meskipun dibarengi program penghijauan dan perolehan pendapatan asli daerah yang menggiurkan- dapat berimplikasi pada: berkurangnya ruang publik, dan tergusurnya penduduk lokal oleh kepentingan komersial; mendorong kegiatan ikutan yang memperburuk kondisi lingkungan KBU, yaitu tidak terkendalinya lalu lintas dan permukiman; meningkatkan frekuensi dan besaran banjir di Kota Bandung pada musim hujan, dan kekurangan air di musim kemarau.
Selain menimbulkan persoalan-di atas, apabila rencana pembangunan yang memperoleh resistensi masyarakat dipaksakan untuk dilaksanakan, akan menjatuhkan wibawa pemegang otoritas dalam melaksanakan kebijakan penataan ruang, terutama peningkatan luas ruang terbuka hijau. Di sisi lain, bertentangan dengan kebijakan pengendalian kemacetan lalu lintas Kota Bandung. Salah satu upaya menangani kemacetan adalah membangun jalan layang Pasupati.
Dengan kebijakan pembangunan di KBU yang cenderung mendorong pemanfaatan kendaraan bermotor, akan kontra-produktif terhadap upaya pengendalian kemacetan di Kota Bandung. Pengorbanan masyarakat yang tergusur proyek Pasupati menjadi sia-sia. Belum lagi bila dikaitkan dengan pemerataan pembangunan Kota Bandung. Sebelumnya Pemkot Bandung menetapkan kebijakan pengembangan wilayah Bandung timur. Pengembangan pembangunan ke arah KBU in- konsisten dengan kebijakan tersebut. Daya dukung Tidak dapat disangkal, keberhasilan pembangunan ekonomi melahirkan banyak tuntutan, termasuk kebutuhan kenyamanan.
Tuntutan tersebut wajar dan sah sepanjang dilaksanakan sesuai aturan dan daya dukung alam. Namun demikian, tampak kesan kuat, fenomena kesemrawutan pemanfaatan lahan di KBU merupakan konsekuensi dari orientasi pembangunan yang materialistis. Pembangunan ekonomi tidak harus mengorbankan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilaksanakan apabila, pertama, kaidah pembangunan berkelanjutan dipahami untuk kemudian dilaksanakan.
Kedua, instrumen perizinan difungsikan sebagai instrumen pengendali. Pemegang otoritas lebih tegas dan konsisten dalam upaya penertiban penyimpangan pemanfaatan lahan di kawasan itu. Ketiga, meningkatkan partisipasi kolektif dalam pemanfaatan KBU dengan mendorong eksekutif, legislatif, masyarakat/ LSM ikut aktif dalam proses perencanaan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan di KBU. Keempat, membangun mekanisme yang dapat mencegah terjadinya penyimpangan RTRW termasuk sanksi terhadap terjadinya pelanggaran.
Dengan kata lain, meningkatnya pertanggungjawaban publik, transparansi, dan proses partisipatif dalam perencanaan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dapat memberikan jaminan lebih besar untuk tercapainya kebijakan pembangunan ramah lingkungan. Sudah saatnya pemberian izin bagi pembangunan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak pada masyarakat luas seharusnya melalui proses dengar pendapat publik. Ini cara yang baik sebagai pendidikan sadar lingkungan bagi seluruh stakeholders. Dengan proses mekanisme pengambilan keputusan ini, selain lebih demokratis, kecenderungan saling menyalahkan saat terjadi kasus-kasus kerusakan lingkungan juga dapat dihindari. Jika serius, kita dapat bertindak banyak. Tidak hanya sibuk retorika saja.
Dadang Sudardja Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Jawa Barat
Rabu, 19 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar