Kamis, 20 Desember 2007

Tak Ada Lagi Berkah Sungai Citarum

BERKAH Sungai Citarum kian menyusut.Sejumlah warga Solokanjeruk, Bojongemas, dan Sapan selama puluhan tahun mengandalkan lumpur untuk bata bantingnya, mulai bingung bahkan merasa ketakutan. Akankah Sungai Citarum masih memberikan berkah kepada mereka? Akankah tradisi mencari nafkah dari kakek ayah mereka membuat bata banting dapat terus dilestarikan? Akankah dapur mereka masih mengepul di saat Sungai Citarum tidak lagi mengirimkan lumpur untuk bahan membuat bata merah?


DUA warga Kp. Citokek Desa Rancakasumba Kec. Solokanjeruk Kab. Bandung tidak akan menghentikan profesi yang diturunkan dari orang tua mereka meskipun Sungai Citarum sudah mulai tidak memberikan lumpur karena sudah disodet.*RETNO HY/”PR”

Sejumlah pertanyaan terus menghinggapi ratusan warga di tiga kecamatan Kabupaten Bandung yang dilintasi aliran Sungai Citarum dari arah hulu sungai di Gunung Wayang tersebut.

Kekhawatiran akan tidak mendapat berkah Sungai Citarum tersebut sangat jelas terlihat dari wajah Aki Sardi (75) warga Kamp. Cipalabuay, Desa Rancakasumba, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Dirinya merasa khawatir, kalau keahliannya membuat bata merah yang selama ini dikenal sebagai sebutan bata merah sapan dan bata merah banting, tidak dapat lagi diteruskan anak, cucu serta kerabatnya.

"Ti ngawitan susukan Citarum dialihkeun ka lebak susukan Citarum nu heubeul tos paeh, tos teu aya nanaona. Ayeuna mah tinggal caritana wungkul Citarum nu ngagulidag caina ngirimkeun berkah lauk sareng leutak kanggo gadamel bata beureum. (Sejak aliran Sungai Citarum di sodet/diluruskan sungai yang dulu sudah mati, sudah tidak ada apa-apanya. Sekarang hanya tinggal ceritanya saja Citarum dengan arus airnya yang besar mengirimkan berkah ikan dan lumpur untuk membuat bata merah.)," ujar Aki Sardi.

Memang, sejak dilakukan penyodetan Sungai Citarum yang melintasi Kecamatan Solokanjeruk, Bojongemas, Majalaya dan Sapan hingga Balendah dan Dayeuhkolot, Citarum lama benar-benar mati. Secara perlahan, air yang mengalir di sungai lama berangsur surut berwarna hijau karena tidak mengalir dan semakin menyempit karena di kedua sisinya mulai ditumbuhi ilalang. "Bahkan, banyak warga yang berebut untuk menanaminya dengan palawija," ujar Ceu Epon (37) warga Kamp. Citokek, Ds. Rancakasumba, Kec. Solokanjeruk.

Yang lebih menyakitkan, untuk mendapatkan lumpur Sungai Citarum yang dulu siapa kuat dia yang akan menikmati berkah Sungai Citarum, kini siapa yang punya modal maka dia akan terus mampu menafkahi keluarganya dan membuat dapur tetap ngebul.

"Iya ! Karena sekarang untuk mendapatkan lumpur tidak begitu saja, tetapi harus dibeli," ujarnya.

Untuk mendapatkan lumpur, mereka harus membeli dari orang projek yang tengah mengeruk Sungai Citarum antara Rp 10.000,00 hingga Rp 100.000,00. Kemudian, setelah mendapatkan tanah lumpur, mereka kembali harus mengeluarkan uang sebesar Rp 10.000,00 untuk ngaluluh (mengaduk tanah dengan bahan lainnya).

Setelah mendapatkan bahan dasar berupa tanah lumpur yang sudah dicampur sedikit sekam dan bata merah yang ditumbuk atau pasir, mereka baru bisa memulai mencetak. "Kalau mau, kita tidak perlu mengeluarkan uang banyak, karena kalau melibatkan orang lain setengah hari kita harus membayar ongkos sebesar Rp 10.000,00 atau Rp 15,00 untuk satu bata," tambahnya.

Setelah selesai cetak, para perajin harus memiliki tenaga ekstra karena harus menyusun bata menjadi sebuah benteng. Untuk pekerjaan ini, dibutuhkan keterampilan agar susunan bata mentah dapat kering dalam waktu singkat. Kalau menggunakan jasa pekerja Rp 15,00. per bata atau Rp 10.000,00 untuk waktu setengah hari. Proses pengeringan ini untuk musim panas membutuhkan waktu 2 bulan, sementara untuk musim hujan seperti sekarang ini dibutuhkan waktu 4 bulan agar bata siap bakar.

Setelah bata mengering, proses selanjutnya bata disusun kembali untuk dibakar. Dalam proses yang dikenal dengan istilah ngahawukeun juga dibutuhkan keahlian. "Karena kalau tidak, salah-salah hanya sebagian bata yang masak dan sebagian hancur," ujarnya.

Untuk proses ini, per bata dihargai Rp 20,00, atau Rp 30.000,00 untuk susunan 10 ribu bata siap bakar.

Usai dibakar dan sudah menjadi bata merah, seterusnya susunan benteng bata merah dipindahkan ke tepi jalan, ongkosnya dihitung per bata dan ditentukan kondisi cuaca. "Dulu untuk memindahkannya kita menggunakan rakit, istilah sekarang ngojegkeun. Kalau lagi musim kering ongkos murah, kalau lagi musim hujan ongkos bisa mencapai Rp 40,00 per bata," ujar Ua (23).

Setelah proses panjang tersebut, apakah lantas mereka mengeruk keuntungan? Tidak, untuk setiap satuan bata, mereka hanya mendapatkan keuntungan paling banter Rp 10,00. Setiap bata mereka hargai Rp 80,00 hingga Rp 150,00.

Jadi, sangatlah wajar kalau saat ini setelah Sungai Citarum di luruskan dengan maksud agar tidak banjir, mereka mengaku kebingungan. Akankah Sungai Citarum masih memberikan berkah bagi mereka? (Retno HY/"PR")***

Tidak ada komentar: