PENDAHULUAN Strategi Pengelolaan Lingkungan Propinsi Jawa Barat disusun dengan mengacu pada kebijakan nasional, dikaitkan dengan kepedulian wilayah (propinsi) setempat, dimaksudkan untuk memberi arahan kebijakan umum kepada pemerintah daerah agar dapat menindak lanjutinya kedalam kerangka program pengelolaan lingkungan. Tujuan penyusunan Strategi Lingkungan Propinsi Jawa Barat adalah untuk menunjang perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan dengan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengendalikan tingkat pencemaran melalui pengkajian kembali penyiapan instrumen kebijakan, strategi dan upaya-upaya yang akan dilaksanakan oleh masing-masing daerah dalam mengatasi masalah lingkungannya. Adapun proses penyusunannya adalah dengan melakukan identifikasi dan pengkajian ulang kondisi lingkungan regional dan lingkungan perkotaan terhadap permasalahan (issues I concerns) yang terjadi dalam konteks regional - lokal yang dilakukan bersama dengan stakeholders untuk kemudian merumuskan strategi penanganan lingkungan dan perolehan kesepakatan terhadap rencana tindak yang akan dilakukan mendatang. Isue lingkungan global, regional, dan nasional dijadikan titik tolak untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan yang telah muncul di Jawa Barat. Berdasarkan permasalahan (issue) lingkungan tersebut yang kemudian disebandingkan dengan kebijakan-kebijakan yang ada, baik pada tingkat nasional (Propenas, RTRW, Renstranas, Sarlita) maupun propinsi (Pola Dasar, Rencana Strategi Pembangunan, RTRWP, Propeda) sebagai rujukan, sehingga strategi yang disusun dapat berkesinambungan tanpa kesenjangan dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Strategi Pengelolaan Lingkungan ini diharapkan menjadi arahan kebijakan umum atau untuk dijadikan acuan umum (guidance) rencana kegiatan berbagai sektor, sehingga memungkinkan partisipasi berbagai pihak terkait baik di tingkat propinsi, maupun kabupaten/kota di Jawa Barat. Strategi Pengelolaan Lingkungan Propinsi Jawa Barat dapat dijadikan payung bagi penyusunan strategi lingkungan di tingkat kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat serta dapat dijadikan acuan bagi para pihak berkepentingan (stakeholders) dalam menyusun rencana tidak Ian jut dan program aksi. 2. PERMASALAHAN LINGKUNGAN JAWA BARAT 2.1 POKOK-POKOK PERMASALAHAN LINGKUNGAN Pokok-pokok permasalahan lingkungan di Propinsi Jawa Barat yang telah teridentifikasi hingga saat ini, dapat dikelompokkan sebagai berikut : -
Degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan, yang ditandai dengan deplesi sumber air (permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya), semakin meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan produktifitas lahan, semakin meluasnya kerusakan hutan (terutama karena perambahan) baik hutan pegunungan maupun hutan pantai (mangrove). -
Permasalahan pencemaran, baik pencemaran air, udara maupun tanah yang penyebarannya sudah cukup meluas dan terkait dengan industri, rumah tangga dengan segala jenis limbahnya, terutama sampah. -
Permasalahan kebencanaan alam, yaitu Jawa Barat terutama bagian tengah dan selatan termasuk wilayah rawan gempa dan volkanisme. Wilayah ini termasuk daerah yang paling sering tertimpa musibah tanah longsor dibanding wilayah lainnya di Indonesia, yang terkait dengan "irrational land use" dan juga kegiatan pertambangan. -
Inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting penggunaan lahan/pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan. -
Permasalahan kawasan pesisir dan pantai, yaitu kerusakan hutan mangrove, abrasi dan akresi pantai, perubahan tataguna lahan di wilayah pesisir, intrusi air laut, dan pencemaran air laut. -
Permasalahan sosial kependudukan, ditandai dengan tingginya urbanisasi, munculnya permukiman kumuh pada hampir seluruh kota di Jabar, pedagang kaki lima - PKL dan kesemrawutan lalu lintas. -
Tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terhadap lingkungan, baik dari interpretasi materi maupun implementasinya di lapangan. Terbatasnya sarana dan prasarana pemantauan lingkungan (termasuk laboratorium lingkungan) serta sistem informasi lingkungan. Lemahnya fungsi pengendalian, sebagai akibat kurang efektifnya kegiatan pemantauan, dan juga akibat rendahnya penegakan hukum (law enforcement), dan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. 2.2 GAMBARAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN JAWA BARAT 2.2.1 Degradasi Sumberdaya Alam 2.2.1.1 Sumberdaya Lahan Pokok permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya lahan adalah karena inkonsistensi atau ketidak sesuaian antara penggunaan lahan dan ruang yang ada dengan arahan yang diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sekitar 33% lahan tidak digunakan sesuai dengan arahan tata guna tanah dalam Rencana Tata Ruang bahkan selama lima tahun terakhir telah terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan kawasan lindung sekitar 12,9% . Kondisi terbesar dari penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan dan kawasan resapan air. Dari tahun 1994 sampai 2000, hutan lindung berkurang sekitar 106.851 ha (24%), sementara hutan produksi berkurang sekitar 130.589 ha (31 %). Pesawahan dalam periode ini telah diubah menjadi lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih 165.903 ha (17%). Gejala ini bisa menurunkan daya dukung lingkungan wilayah Jawa Barat (Perda No. 2/2000: Pola Dasar Pembangunan Jawa Barat 2001-2007). Dalam periode 1994 hingga 2001 telah terjadi perubahan tata guna tanah yang cukup besar, yaitu berkurangnya hutan primer sebanyak 24%, hutan sekunder dan semak belukar 17%. Pemukiman, kawasan industri, perkebunan dan kebun campuran meluas masing-masing sebanyak 33%, 21%, 22% dan 29% hingga tingkat erosi di wilayah Jawa Barat telah mencapai 32.931.061 ton per tahun. Wilayah hutan yang sebelumnya 791.571 ha (22% daratan Jawa Barat) ternyata penutupan vegetasi hutannya hanyalah 9% atau sekitar 323.802 ha pada tahun 2000. Kerusakan keseluruhan wilayah hutan Jawa Barat diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat apabila tidak dilakukan tindakan-tindakan yang memadai (BPLHD Jawa Barat, 2002). Konversi lahan dari hutan alarm menjadi area yang rendah penutupan vegetasinya telah terjadi beberapa dekade di kawasan Bopuncur dan Depok. Pembangunan villa dan perumahan di kawasan Puncak yang selama ini terjadi sudah melebihi aturan yang ditentukan yaitu 19.500 Ha untuk lahan permukiman perkotaan dan untuk hutan lindung 19.475 Ha (Keppres No.114 Tahun 1999). Pada kenyataannya kawasan kota dan pemukiman menjadi 20.500 Ha. Selain itu terjadi perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung yang mengalami peningkatan luasan lahan budidaya dari 3.761 Ha (tahun 1990) menjadi 13.760 Ha (tahun 2000). Sementara itu volume banjir periodik 25 tahunan pun mengalami peningkatan dari 330 m3/detik pada tahun 1973 menjadi 740 m3/detik pada tahun 2000. Balai RLKT Wilayah IV melaporkan bahwa luas lahan kritis di Jawa Barat cenderung meningkat, terutama yang berada di luar kawasan hutan. Sampai tahun 1999 ada tiga kabupaten yang memiliki luas lahan kritis terbesar, yaitu : Kabupaten Bandung seluas 36.698 ha, Cianjur seluas 44.084 ha, dan Garut seluas 33.945 ha. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat (2004) melaporkan bahwa luas lahan kritis di DAS Citarum Hulu sudah mencapai 150.000 ha, Cimanuk Hulu seluas 24.000 ha, Citanduy sekitar 64.000 ha dan lebih dari 9000 ha lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu. Adanya lahan-lahan kritis umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung tanah/lahan antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan kemampuan peruntukannya, untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal permukiman. Pembangunan infrastruktur di Jawa Barat belum bisa mengikuti secara penuh pedoman yang diberikan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah termasuk transportasi, irigasi, dan konservasi lingkungan. RTRW tidak mampu mengendalikan perencanaan regional yang menciptakan kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Rencana Strategis Jawa Barat 2001-2004). Permasalahan tersebut dapat ditelaah lebih lanjut dengan melihat masalah-masalah yang berkaitan dengan sektor dan komponen lingkungan atau sumberdaya lainnya. Misalnya, dampak dari adanya lahan kritis yaitu munculnya masalah banjir dan tanah longsor. Di Jawa Barat daerah yang rawan banjir, yaitu Bandung (1.750 ha), Majalengka ( 530 ha ), Indramayu (16.600 ha), daerah pantai utara Subang ( 12.000 ha), Cirebon (450 ha), Ciamis (16.000 ha). Selain dampak adanya lahan kritis terhadap banjir, permasalahan lain yang sering muncul di Jawa Barat yaitu semakin sering terjadi bencana alam longsor. Bahaya longsor di Jawa Barat dapat dikategorikan ke dalam dua areal, yaitu di daerah jalan/prasarana transportasi dan di daerah permukiman penduduk. 2.2.1.2 Sumberdaya Air Wilayah Propinsi Jawa Barat banyak diberkahi dengan sumber-sumber air tapi dengan cepatnya kenaikan permintaan akan air telah mengakibatkan sistem penyediaan yang dibangun tidak lagi seimbang. Curah hujan yang besar (terutama di wilayah bagian tengah) memberikan aliran air permukaan berlimpah, tapi keragaman aliran menurut musim dan keterbatasan fasilitas penyimpanannya sumber-sumber air permukaan tidak lagi memadai untuk satu tahun penuh. Air tanah juga merupakan sumber penting tapi pengembangannya dibatasi oleh jumlah pengisian kembali sumber air tersebut. Permintaan air sekarang untuk kebutuhan domestik, konsumsi industri, dan irigasi pertanian diperkirakan 17,5 milyar m3 pertahun, dan diperkirakan akan terus naik sekitar satu persen per tahun. Permintaan air irigasi sekitar 80% dari total permintaan air, meskipun angka ini diperkirakan berkurang dalam jangka panjang, mengingat kebutuhan domestik, perkotaan dan industri tumbuh lebih cepat. Kebutuhan ini dipenuhi dari sumber-sumber seperti: air permukaan dari sungai di wilayah Propinsi Jawa Barat dan air tanah. Propinsi Jawa Barat memiliki lima satuan wilayah sungai (SWS) utama. Tiga SWS berperan penting dalam hubungannya dengan perkembangan sosial-ekonomi: SWS Cisadane-Ciliwung yang dibagi dengan propinsi OKI Jakarta dan Banten, SWS Citarum, dan SWS Cimanuk-Cisanggarung. Dua SWS lainnya yaitu SWS Cisadea-Cimandiri, dan SWS Citanduy-Ciwulan. Keseluruhan wilayah Jawa Barat memiliki 40 daerah aliran sungai (DAS) ukuran besar dan kecil: 22 sungai mengalir ke utara dan 18 ke selatan. Ketersediaan air sepanjang musim hujan mencapai kira-kira 81,4 milyar m3 / tahun dan turun menjadi 8,1 milyar m3 pada musim kering, sedangkan permintaan air untuk kebutuhan domestik, pertanian, dan industri tetap sama pada 17 milyar m3 / tahun. Sebagai konsekuensinya, adanya pasokan air yang tinggi pada musim basah dan kurang pada musim kering. Disamping itu, kualitas air pada musim kering umumnya kurang baik karena terkontaminasi berat oleh baik sumber-sumber domestik maupun industri. Semua sungai di Jawa Barat dan wilayah-wilayah perkotaan Bogor, Depok, Bekasi, Bandung dan Cirebon tidak cocok untuk pemakaian langsung. Sungai-sungainya sangat kotor terutama di bagian hilir sehingga tidak bisa digunakan untuk berbagai kehidupan. Di wilayah-wilayah pedesaan Jawa Barat banyak aliran dan sungai yang tidak cocok untuk pemakaian langsung oleh manusia dan air dari sumber-sumber lainnya perlu dimasak dulu sebelum digunakan. Kebanyakan kontaminasi sungai tersebut berasal dari limbah domestik yang langsung masuk ke sungai. Aliran air dari sungai Citarum yang masuk ke waduk Saguling dengan tingkat pencemaran berat menyebabkan bencana kematian ikan besar-besaran di danau tersebut. Kebanyakan airtanah dangkal telah tercemar sehingga melewati standar air minum dan perlu dimasak terlebih dahulu. Airtanah dalam juga telah dieksploitasi secara berlebihan, dan telah mengalami deplesi sehingga muka air tanah (water table) dari tahun ke tahun terus menurun. Potensi airtanah secara kuantitatif untuk seluruh Jawa Barat belum terinformasikan secara jelas, namun dari segi pemanfaatan yang ada saat ini menunjukkan sekitar 60% industri mengandalkan sumber airtanah sebagai satu-satunya sumber air alternatif, terutama pada daerah cekungan Bandung (95%), Bogor dan Cirebon. Dari beberapa hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, ternyata untuk Cekungan Bandung dan Botabek sudah tidak dimungkinkan lagi adanya pemanfaatan airtanah untuk industri, kecuali untuk rumah tangga. Pemanfaatan airtanah untuk keperluan irigasi di Jawa Barat diarahkan hanya pada daerah yang tidak mempunyai potensi sumberdaya air permukaan dan potensial untuk dikembangkan usaha pertanian terutama pertanian yang tidak banyak memerlukan air. Intrusi air laut telah cukup jauh ke arah daratan, terutama di wilayah pesisir Pantai Utara Jawa Barat. Intrusi air laut mencapai lebih dari 1000 m ke daratan ada di Kabupaten Indramayu, Subang, Karawang, Bekasi dan Cirebon. 2.2.1.3 Sumberdaya Hutan Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, luas kawasan hutan di Jawa Barat adalah sekitar 791.519 ha atau 22% dari total areal Jawa Barat. Seperti dilaporkan oleh kantor ini, areal hutan merupakan kawasan hutan, sedangkan areal hutan yang nyata (cadangan hutan yang ada) kurang dari 9% total wilayah Jawa Barat. Areal hutan produksi sekitar 472.303 ha, hutan lindung 203.106 ha, dan hutan konservasi adalah sekitar 116.110 ha. Menurut Perum Perhutani, areal hutan produksi sekitar 437.665 ha, hutan lindung 271.972 ha, dan hutan konservasi sekitar 208.267 ha dengan total areal hutan sekitar 917.904 ha (Perum Perhutani, 1999). Menurut Bagian Kehutanan (2001), areal hutan produksi adalah sekitar 465.907, hutan lindung 210.138 ha, dan hutan konservasi 108.074 ha. Sedangkan menurut Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Jawa Barat (2001), total areal hutan negara adalah 791.748 ha yang jauh lebih kecil dari total areal hutan menurut BPLHD Jawa Barat (2000), 1.024.098 ha. Data yang tersedia tentang areal hutan Jawa Barat bermacam-macam bergantung dari mana data itu didapat. Salah satu masalah lingkungan paling serius di Jawa Barat adalah penurunan luas hutan. Penurunan hutan yang sebagian besar terletak di bagian hulu DAS, memiliki konsekuensi lingkungan yang luas dan sangat besar. Banjir dalam periode musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau cenderung meningkat pada lima tahun terakhir. Masalah-masalah lingkungan terkait lainnya yaitu tingginya sedimentasi sungai dan waduk telah mengakibatkan berkurangnya produktifitas pertanian dan gangguan terhadap infrastruktur lainnya secara signifikan bagi pembangunan daerah dan nasional. Angka sedimentasi yang tinggi ini ditambah dengan erosi tanah yang hebat di daerah-daerah tangkapan air, yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh penurunan luas hutan. Angka penurunan hutan yang tinggi di Jawa Barat sangat serius. Penyebab penurunan hutan bermacam-macam mulai dari perambahan hutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi, tingginya kebutuhan akan lahan pertanian, masalah-masalah kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan, hingga inkonsistensi antara rencana tata ruang dan implementasinya di tingkat lapangan. Masalah terakhir ini sebagian besar disebabkan karena lemahnya penegakan hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, skala penurunan hutan di Jawa Barat meningkat. Sebagai contoh, pada skala lokal di KPH Bandung Selatan, perambahan hutan dilaporkan hingga 15.500 ha. Ini berarti 28% dari keseluruhan areal hutan yang melibatkan sekitar 41.500 keluarga (Anonymous, 1999). Hasil-hasil pertanian perkebunan pada lahan hutan disatu sisi memberikan keuntungan ekonomi buat petani dalam jangka pendek. Tapi pada sisi lain, hal ini akan mengurangi produksi hutan dan merusak layanan-layanan lingkungan lainnya termasuk stabilisasi tanah dan air, iklim mikro, dan merosotnya karbon. Konflik antara kepentingan-kepentingan ekonomi dan ekologi ini perlu ditangani secara tepat sehingga keberadaan sumberdaya hutan yang tersisa dapat tetap terpelihara. Disamping masalah perambahan hutan, penurunan luas hutan juga dapat diamati dari fakta bahwa dari sekitar 22% areal hutan milik negara, tutupan hutan aktual kurang dari 9%. Ini merupakan indikasi yang jelas dari suatu kombinasi tekanan jumlah penduduk, inkonsistensi dalam rencana tata ruang dan rendahnya penegakan hukum. Dari perspektif yang lebih luas, status buruk kondisi lingkungan Jawa Barat ini ditopang oleh meningkatnya jumlah DAS kritis di Jawa Barat. Dari sekitar 40 sub-DAS yang dikenal, 15 sub-DAS (38%) ditemukan dalam kondisi super kritis, dan karenanya perlu diberikan prioritas tinggi untuk perbaikannya. Penurunan hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan, perambahan hutan, penambangan liar, dan permukiman liar di areal hutan dipercaya sebagai penyebab utama menurunnya areal hutan (cadangan tetap) dari sekitar 22% dari keseluruhan Jawa Barat) menjadi kurang dari 9%. Penyebab lain yang ditengarai pada penurunan hutan di Jawa Barat adalah penebangan ilegal yang dipicu oleh pertumbuhan industri kayu lokal yang tidak terkendali. Statistik menunjukkan bahwa industri-industri kayu di Jawa Barat memerlukan sekitar 2,5 juta m3 per tahun untuk bahan bakunya. Akan tetapi, produksi kayu legal dari Perum Perhutani hanya antara 300.000 - 500.000 m3 per tahun. Ketidak-seimbangan antara permintaan dan pemenuhan kayu membuat penebangan-penebangan liar menjadi lebih kentara. Oleh karena itu, sekitar lebih dari satu juta m3 kayu per tahun dicurigai berasal dari penebangan liar baik di dalam dan di luar Jawa Barat. Ini merupakan tantangan besar bagi pengelolaan hutan berkelanjutan di Jawa Barat. 2.2.1.4 Masalah pertanian Selama lima tahun terakhir telah terjadi pengurangan atau alih fungsi lahan sawah di Jawa Barat sebesar 62.834 Ha, yaitu dari luas sawah 976.869 Ha pada tahun 1997 berkurang menjadi 881.637 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Bandung sebesar 38.159 Ha, yaitu dari luas sawah 64.147 Ha pada tahun 1997 berkurang menjadi 25.988 Ha pada tahun 2002. Sebaliknya pertanian lahan kering selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penambahan luasan lahan kering atau alih fungsi ke lahan kering di Jawa Barat sebesar 804.409 Ha, dari luas lahan kering 1.781.909 Ha pada tahun 1992 bertambah menjadi 2.586.318 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Garut sebesar 90.347 Ha, dari luas lahan kering 154.514 Ha pada tahun 1992 bertambah menjadi 244.861 Ha pada tahun 2002. Pembangunan pertanian pada saat ini khususnya tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada penyediaan bahan pangan beras. Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Barat tahun 1999 sebesar 1,59 % (NKLD, 2000). Produksi padi mencapai 10.340.686 ton GKG, atau mencapai 99,71 % dari sasaran sebesar 10.370.436 ton, dan meningkat 5.57 % dari tahun 1998 yang mencapai 9.795.638 ton GKG (NKLD, 2000). Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penurunan luasan panen padi di propinsi Jawa Barat sebesar 2.190.478 Ha dengan total penurunan produksi sebesar 9.112.427 Ton padi dari luas panen padi sebesar 4.102.640 Ha dengan total produksi sebesar 18.574.790 Ton padi pada tahun 1992 berkurang menjadi luas panen padi sebesar 1.912.162 Ha dengan total produksi sebesar 9.462.363 Ton padi pada tahun 2002. Pengurangan luasan panen padi tertinggi terjadi di Kabupaten Cirebon sebesar 489.103 Ha dari luas panen padi sebesar 571.204 Ha pada tahun 1992 berkurang menjadi 82.101 Ha pada tahun 2002. Penurunan luas panen padi terkecil terjadi di Kabupaten Purwakarta sebesar 17.795 Ha dari luas panen padi sebesar 60.476 Ha pada tahun 1992 menjadi 42.681 Ha pada tahun 2002. Penurunan total produksi padi terbesar terjadi di kabupaten Indramayu sebesar 1.037.469 Ton padi dari total produksi padi sebesar 2.114.184 Ton GKG pada tahun 1992 berkurang menjadi 1.076.715 Ton GKG pada tahun 2002. Sedangkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir juga terjadi penurunan rata-rata produktivitas lahan sawah di Propinsi Jawa Barat sebesar 0,755 Ton/Ha, dari produktivitas sebesar 4,135 Ton/Ha pada tahun 1992 menurun menjadi 3,380 Ton/Ha pada tahun 2002. Penurunan produktivitas terbesar terjadi di Kabupaten Karawang sebesar 1,12 Ton/Ha dari produktivitas 4,638 Ton/Ha pada tahun 1992 turun menjadi 3,518 Ton/Ha pada tahun 2002. Penurunan produktivitas lahan terkecil terjadi di Kabupaten Cirebon sebesar 0,455 Ton/Ha. Penurunan luas areal panen padi, total produksi maupun produktivitas tersebut disebabkan karena adanya kekeringan pada lahan sawah sehingga banyak areal yang puso. Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap gizi berimplikasi terhadap meningkatnya permintaan akan produk hortikultura baik segar maupun olahan sehingga meningkatkan keinginan petani untuk meningkatkan usaha dalam bidang hortikurtura. Produksi sayur-sayuran mencapai 3.987.846 ton. atau mencapai 128.33 % dari sasaran 2.406.126 ton, dan meningkat 28,10 % dari produksi 1998 sebesar 2.410.568 ton. Produksi buah-buahan mencapai 2.304.126 ton dan meningkat 40.77 % dari produksi tahun 1998 sebesar 1.636.772 ton (NKLD, 2000). Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penurunan luasan panen sayur-sayuran di Propinsi Jawa Barat sebesar 10.069 Ha, dari luas panen sayur-sayuran sebesar 173.257 Ha pada tahun 1992 berkurang menjadi 163.188 Ha pada tahun 2002. Pengurangan luasan panen sayur-sayuran tertinggi terjadi di Kabupaten Cianjur sebesar 6.473 Ha dari luas panen sayur-sayuran sebesar 21.251 Ha pada tahun 1992 berkurang menjadi 14.778 Ha pada tahun 2002. Tetapi di kabupaten lainnya justru terjadi kenaikan luas panen sayuran tertinggi terjadi di Kabupaten Bandung sebesar 7.835 Ha dari luas panen sayuran sebesar 35.629 Ha pada tahun 1992 menjadi 43.464 Ha pada tahun 2002. Seperti pada kasus sumberdaya hutan, kondisi pertanian lahan basah (sawah) di Jawa Barat juga menunjukkan indikasi penurunan. Umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanian tersebut menyangkut penurunan secara signifikan kapasitas air irigasi yang disebabkan meningkatnya sedimentasi pada saluran-saluran irigasi dan kerusakan yang tinggi pada infrastruktur irigasi (54% dari keseluruhan infrastruktur irigasi). Tingginya erosi tanah pada DAS dan tingginya pengangkutan sedimen mengakibatkan pendangkalan pada saluran dan waduk. Disamping itu juga terjadinya inefisiensi penggunaan sumber air karena kebocoran dan salah-pilih tanaman pertanian (kebutuhan tinggi terhadap air). Terbatasnya sumber air permukaan maupun sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan pertanian juga mengakibatkan penurunan produktivitas lahan pertanian tersebut. Ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim global dan regional serta permintaan yang tinggi terhadap air untuk kebutuhan non-pertanian. 2.2.1.5 Masalah kegiatan pertambangan Penambangan bahan galian 'C' mencakup pengerukan, penggalian atau penambangan material yang tidak termasuk material strategis. Bahan galian 'C' termasuk pasir, kerikil, tanah liat, tanah, batu kapur dan batu yang digunakan sebagai bahan mentah untuk kebutuhan industri dan konstruksi. Endapan tanah liat, pasir dan kerikil ditemukan di dataran-dataran rendah dan sungai; batu keras (basal, andesit, dasit) untuk agregat ditemukan di wilayah-wilayah berbukit dan pegunungan. Pengadaan bahan galian 'C' sangat penting untuk mendukung pembangunan fisik wilayah di Jawa Barat dan Jakarta. Tingkat kecepatan eksploitasi dan penggunaan material ini telah mengakibatkan beberapa permasalahan lingkungan dimana belum ada ketaatan akan praktek-praktek pengelolaan yang bijak dan kurangnya rehabilitasi pasca penambangan. Kerusakan lingkungan karena penambangan, pengedukan dan pengerukan bahan galian 'C' sebagian besar diakibatkan dari kurang mempertimbangkan masalah-masalah lingkungan dalam perencanaan, pengoperasian dan perbaikan pasca penambangan. Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan oleh operasi kecil, besar dan mekanisasi atau oleh dampak kumulatif dari operasi-operasi kecil. Dampak-dampak lingkungannya meliputi: (i) destabilisasi lereng dengan penggalian dinding-dinding tinggi, yang sering meluas sampai batas wilayah perumahan, (ii) meningkatnya bahaya tanah longsor atau runtuhnya batuan akibat terpotongnya lereng curam yang terdiri dari batuan lepas dan batuan lapuk, karena cuaca dan tidak terkonsolidasi, (iii) meningkatnya erosi tanah karena hilangnya vegetasi penutup, (iv) meningkatnya kekeruhan dan pendangkalan selokan dan sungai karena penggalian tanpa penyediaan penampung sedimen, (v) kerusakan daerah resapan air tanah, (vi) semakin menurunnya permukaan air bawah tanah atau hilangnya air tanah karena terpotongnya akuifer, (vii) polusi debu dan suara dari jalan-jalan pengangkutan serta kerusakan vegetasi dan tanaman. Tanpa perbaikan yang tepat pada pasca penambangan, tataguna tanah menjadi tidak serasi lagi dengan areal sekitarnya. Pada dataran rendah di Bogor dan Bekasi sebagai contoh, banyak lubang-lubang dalam yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan. penggalian, perusakan bentang lahan, timbulnya daerah-daerah genangan yang dengan limpahan air yang mandek dan meninggalkan lereng curam yang berbahaya. Di daerah perbukitan dan pegunungan topografi bisa lebih rendah dan lereng yang landai menjadi lebih curam, yang mengancam stabilitas sisi-sisi bukit, yang pada gilirannya mengancam pemukiman manusia dan pertanian. Gangguan kelebihan beban dan tanah atas dapat mengakibatkan hilangnya struktur tanah, stabilitas dan resistensi erosi yang membuat areal yang 'diperbaiki' menjadi lebih tidak produktif dari sebelumnya. 2.2.1.6 Permasalahan lingkungan pantai dan wilayah pesisir Masalah-masalah umum yang dihadapi wilayah pesisir dan pantai Jawa Barat adalah degradasi hutan bakau, gerusan (abrasi) dan sedimentasi, pencemaran pantai karena kegiatan-kegiatan industri dan domestik serta intrusi air laut. Dilaporkan oleh BPLHD (Jawa Barat ASER, 2002) bahwa di pantai utara Jawa Barat abrasi sejauh 400-500 m terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 2 mil / tahun di Karawang, sedangkan sedimentasi/penambahan (akresi) sejauh 5-7 km sepanjang garis pantai terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 300 m di Karawang. Penurunan hutan bakau sejauh 1 km panjang pantai terjadi di Indramayu, 6000 tanaman di Subang, sekitar 1000 ha di Karawang, dan sekitar 64% dari total hutan bakau di Bekasi. Di wilayah pantai Subang, pengendapan (sedimentasi) telah menutup sekitar 6000 ha daratan. Di pantai selatan, abrasi sejauh 1 km terjadi di Ciamis, 22 km di Tasikmalaya, sedangkan kerusakan hutan bakau seluas 15 ha terjadi di Ciamis, sekitar 100 ha di Tasikmalaya, dan 1500 ha di Garut. Kerusakan pantai karena penambangan pasir laut (sekitar 450 ha) juga terjadi di daerah pantai selatan Cianjur. 2.2.1.7 Permasalahan bencana alam Jawa Barat memiliki potensi tinggi dalam bahaya-bahaya alam atau geologis, terutama tanah longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Direktorat Geologi Tata Lingkungan (GTL) melaporkan bahwa selama dekade terakhir terdapat 481 tanah longsor yang terjadi di wilayah Jawa Barat. Bencana ini lebih dari 50% tanah longsor yang terjadi di Indonesia pada periode yang sama (811 kejadian). Penyebab utama tanah longsor tersebut dengan korban jiwa yang besar adalah karena alam dan fakta bahwa banyak terdapat masyarakat yang membangun di tanah-tanah yang rentan longsor, terutama setelah hujan. Keberadaan gunung berapi aktif yang tersebar di wilayah Jawa Barat dapat menyebabkan bahaya potensial terhadap kehidupan manusia di wilayah-wilayah sekitarnya. Dampak-dampak dari letusan gunung berapi tidak hanya kehilangan jiwa dan kerusakan dan harta benda, tapi juga dapat menjadi sumber polusi alami. Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa kegiatan gunung berapi memberikan keuntungan yang sangat besar seperti tanah-tanah subur, bahan baku yang berlimpah, bijih besi, energi geothermal, dan pemandangan yang indah (pariwisata). Dengan kata lain, kegiatan gunung berapi selain menimbulkan dampak-dampak negatif, tapi juga memberikan kontribusi aspek-aspek positif untuk kemakmuran manusia. Jawa Barat terletak di suatu wilayah kegiatan gempa bumi yang tinggi. Dalam dekade terakhir beberapa gempa bumi berat terjadi di Jawa Barat, misalnya di selatan Kabupaten Sukabumi dan Tasikmalaya. Kemungkinan kejadian gempa bumi di Jawa Barat, terutama di wilayah bagian selatan relatif tinggi, sedangkan getaran gempa bumi tersebut berkisar antara 4.7 - 5.6 skala Reichter. 2.2.2 Pencemaran 2.2.2. 1 Limbah Cair (Sewage) Khusus untuk Kota Bandung saat ini telah tersedia instalasi pengolahan tinja secara terpusat dengan sistem perpipaan, namun sampai dengan tahun 2002 berdasarkan data dari Divisi Air Kotor PDAM Kota Bandung menyebutkan bahwa konsumen yang mendapat pelayanan sistem perpipaan baru mencapai 20% dari penduduk kota, sedangkan sisanya melalui penyedotan septic tanks oleh Dinas Kebersihan Kota. Hampir seluruh kota/kabupaten telah memiliki fasilitas Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) namun tidak beroperasi secara optimum dan tinja yang diolah rata-rata baru mencapai 5% dari laju timbulan tinja yang ada. Bahkan, meskipun lumpur tinja dari tangki septik telah dikumpulkan/disedot, sebagian besar lumpur tinja tersebut dibuang langsung ke sungai dan kanal-kanal tanpa mengindahkan prosedur pembuangan limbah yang semestinya. Perlu dikemukakan, bahwa sangat sedikit tangki septik yang dirancang dan dibangun menurut persyaratan yang ditentukan oleh dinas kesehatan, atau kebanyakan tidak dipelihara dengan baik. Sebagai akibatnya, telah banyak yang menimbulkan kontaminasi terhadap airtanah. Pada kebanyakan rumah tangga yang kebutuhan airnya tergantung dari sumur-sumur dangkal, bahaya kontaminasi tersebut cukup besar dan menjadi sumber timbulnya berbagai penyakit dengan perantara air. Di daerah perkotaan yang berkembang dengan semakin meluasnya kawasan kumuh, limbah cair dari rumahtangga khususnya yang tinggal di daerah bantaran sungai dibuang langsung ke sungai atau selokan-selokan, ke dalam balong-balong atau langsung dibuang begitu saja ke lahan-lahan kosong. 2.2.2.2 Kontaminasi Pasokan Air Sistem pemasokan air dengan pipa tidak lagi memadai karena tingkat kerusakan perpipaannya yang kurang terpelihara. Tekanan air yang rendah berisiko terkontaminasi oleh rembesan airtanah, akibatnya baik pasokan air dari perusahaan air bersih maupun dari penyadapan airtanah dangkal belumlah aman terhadap kesehatan manusia, selagi air tersebut tidak dimasak dengan sempurna. Kondisi yang demikian telah mendorong masyarakat untuk lebih banyak memakai air botol-galonan, dan mungkin inilah sebagai alasan menurut catatan medis di Jawa Barat yang menyatakan bahwa jumlah penduduk yang terkena diare semakin menurun. Meskipun pasokan air baru pada tingkat air bersih dan bukan air minum, pemasokannya pun hingga tahun 2002 baru dapat mencapai 43 % konsumen di perkotaan dan sekitar 22 % konsumen di pedesaan Jawa Barat. 2.2.2.3 Limbah padat dan persampahan Timbulan sampah di Jawa Barat dari tahun ke tahun terus meningkat, dengan paradigma pengelolaan kumpul-angkut-buang, menyebabkan pengalihan permasalahan dari sumber aktifitas perkotaan menjadi permasalahan di lokasi penimbunan akhir. Sampai saat ini hampir seluruh lokasi penimbunan sampah akhir di Jawa Barat berada pada kondisi tidak memadai. Bahkan sistem pengelolaan yang dijalankan oleh lembaga formal pengelola kota, belum menunjukkan efektifitas yang tinggi. Kebersihan kota umumnya di Jawa Barat masih sangat buruk. Lokasi kritis dimana banyak ditemukan timbunan sampah yang dibuang secara ilegal oleh masyarakat adalah salah satunya di bantaran sungai, akibatnya terjadi penyumbatan alur sungai dan berisiko terjadinya banjir. Dari data statistik tahun 2002, rata-rata hanya sekitar 54 % seluruh limbah domestik yang terkumpul dan terangkut ke tempat pembuangan akhir. Sisanya, sekitar 23 % dikubur atau dibakar ditempat yang berpotensi mencemari udara dan air, 3 % dibuang langsung ke sungai dan 21 % dibuang ke lahan-lahan kosong, atau dibuang ke selokan, kanal-kanal dan sungai-sungai kecil lainnya. Komposisi limbah padat sebagian besar berasal dari rumah tangga. Data dari Kota Bandung menunjukkan 64 % rata-rata total limbah padat berasal dari rumah tangga, sementara 27 % dari industri. Sembilan persen berasal dari pasar, daerah komersial, dan dari sumber-sumber yang lain, sehingga setiap hari keseluruhannya mencapai 7.500m3/hari. Sementara itu yang tertimbun di TPA baru mencapai 60%. Kecenderungan pola timbulan sampah di Jawa Barat adalah sejalan dengan tingkat aktifitas kota tersebut. Umumnya kota-kota pusat kegiatan dalam suatu wilayah andalan, menunjukkan angka timbulan tertinggi. Di Wilayah Bandung Raya timbulan terbesar berasal dari Kota dan Kabupaten Bandung, yaitu lebih dari 5.000 m3/hari. Di Wilayah Bodebek, Kota Bogor dan Kab. Bekasi sebagai penimbul sampah terbesar, yaitu lebih dari 2.000 m3/hari. Di Wilayah Ciayumajakuning, timbulan terbesar berasal dari Kab. Cirebon dan Majalengka, yaitu lebih dari 1.000 m3/hari. Faktor penduduk pada dasarnya sebagai penentu besarnya timbulan disamping faktor aktifitas di dalam kota itu sendiri. Sebagai contoh Kota Bandung dan Kota Bogor menimbulkan sampah lebih besar dibandingkan Kabupaten Bandung dan Bogor yang berpenduduk lebih tinggi. Hal ini dapat dipastikan bahwa kontribusi sampah dari aktifitas kota sangat menentukan besar kecilnya timbulan sampah. Adapun kota-kota yang memiliki timbulan terkecil yaitu kurang dari 300 m3/hari, adalah Kabupaten Subang, Purwakarta dan Indramayu. Di seluruh Jawa barat hampir 90 % lebih TPA di Jawa Barat menerapkan metoda penimbunan open dumping. Walaupun sudah diketahui bahwa metoda ini telah menimbulkan pencemaran lindi terhadap air tanah, namun nampaknya metode ini masih menjadi pilihan para pengelola kota. Alasan utama diselenggarakannya metode open dumping adalah rendahnya biaya operasi yang harus dikeluarkan, mengingat metode ini tidak memerlukan perlakuan khusus yang berdampak pada penambahan biaya operasi. Namun demikian, satu hal yang luput adalah pencemaran yang terjadi tidak pernah diperhitungkan sebagai biaya yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah. Disebutnya operasi controlled landfill dan sanitary landfill sebagai metode yang diterapkan pada sebuah TPA, sesungguhnya perlu dicermati. Banyak kota yang telah merencanakan pelaksanaan metoda tersebut, namun dalam pelaksanaannya banyak ditemui TPA yang hanya dioperasikan oleh seorang sopir buldozer, atau hanya mengandalkan sopir truk sampah untuk menuang sampahnya. Jarang ditemukan adanya perencanaan penimbunan yang sistematis agar TPA dapat berfungsi dengan baik dan tidak mengganggu lingkungan. Kontrol terhadap operasi penimbunan sampah di TPA seluruh Jawa Barat masih sangat lemah. Tidak jarang dijumpai bahwa suatu TPA sampah kota juga menerima buangan industri atau bahkan tergolong limbah B3 misalnya limbah infectiuous dari aktifitas rumah sakit. Hal ini tentunya akan mendatangkan dampak yang tidak diinginkan. Umumnya terjadi di Jawa Barat bahwa TPA yang telah dipersiapkan untuk dioperasikan dengan metode sanitary landfill akhirnya berubah menjadi open dumping. Faktor penyebab utama adalah kurangnya konsistensi pihak pengelola mengetrapkan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. TPA tersebut akhirnya akan menjadi semrawut, bau, berasap dan lindinya menyebar ke segala arah. Pencemaran air tanah dan air pemukaan sekitar TPA oleh lindi, merupakan masalah yang paling serius, disamping masalah lain yang ditimbulkan dari pelaksanaan open dumping di TPA, seperti masalah bau, masalah gas bio yaitu gas methana yang disebabkan karena tidak adanya upaya penangkapan gas tersebut, masalah pencemaran udara karena kebakaran dan asap yang terjadi secara alarm di dalam timbunan sampah yang tidak ditutup, serta masalah sanitasi lingkungan yang menurun akibat kehadiran vektor penyakit berupa lalat di atas timbunan sampah terbuka. 2.2.2.4 Permasalahan kualitas udara Data pemantauan kualitas udara dari pengamatan secara berkala yang dapat digunakan untuk melihat kecenderungan peningkatan atau penurunannya di kota-kota di Jawa Barat masih sangat terbatas. Data-data dari stasiun pemantau otomatis digunakan untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Berdasarkan nilai ISPU yang diperoleh, parameter PMi0 dan 03 sering ditemukan menjadi parameter kritis. Parameter kritis adalah parameter yang menyebabkan dampak buruk terbesar terhadap kualitas udara. Pada tahun 2003, data ISPU menunjukan di Kota Bandung hanya terdapat 55 hari yang tergolong sehat (Pikiran Rakyat, 12 Maret 2004). Berdasarkan data sejak akhir tahun 2000, jumlah hari tidak sehat mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun-ke tahun. Dengan adanya peralatan mobile monitoring pemantauan kampanye mulai dilakukan di kota-kota lain di Jawa Barat, seperti Bogor, Cianjur, Depok, Karawang dan Cirebon. Hasil pemantauan secara kampanye tersebut juga menunjukan kecenderungan yang sama dengan yang diperoleh di Kota Bandung, yaitu pola fluktuasi pencemar yang dipengaruhi oleh intensitas kendaraan bermotor. Di samping pengukuran udara ambien, sejak tahun 2001 di Kota Bandung juga dilakukan uji emisi kendaraan bermotor dan kualitas udara ambien di jalan-jalan raya. Hasil pemantauan emisi kendaraan bermotor terkini yang dilakukan oleh BPLH Kodya Bandung (2004) menunjukan terdapat lebih dari 40% kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin dan diesel yang tidak memenuhi persyaratan Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak (Kepmen LH 13/1995). Walaupun emisi kendaraan bermotor umumnya merupakan kontributor yang dominan terhadap pencemaran udara, di kota-kota tertentu terdapat sumber-sumber pencemar lain yang juga patut mendapat perhatian. Di TPA Bantargebang pencemar bau seluruhnya menunjukan nilai H2S berkisar antara 1.5 sampai 2 kali lipat dari nilai ambang batas Baku Mutu udara ambien. Tingginya konsentrasi H2S ini dengan jelas mengindikasikan pencemaran bau yang berasal dari proses pembusukan sampah. Di wilayah lain seperti Kabupaten Bekasi dengan PDRB lebih dari 82% didominasi oleh sektor industri, di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Bandung, sektor industri diperkirakan juga mempunyai kontribusi yang cukup berarti dalam pencemaran udara. Pencemaran udara di daerah perkotaan dan kawasan industri dapat menyebabkan dampak negatif di daerah yang jauh dari sumbernya. Fenomena hujan asam tergolong ke dalam pencemaran yang disebabkan oleh transport pencemar jarak jauh. Pengamatan terhadap fenomena hujan asam masih sangat terbatas, salah satu pengamatan terhadap pH air hujan sejan tahun 1980-an dilakukan oleh LAPAN di Kota Bandung.Data pH rata-rata tahunan air hujan menunjukkan trend menurun, mengindikasikan adanya proses perubahan kualitas air hujan yang kemungkinan disebabkan oleh aktifitas manusia yang semakin meningkat di daerah perkotaan. Selain hujan asam, terdapat pula indikasi terjadinya pencemaran dari smog fotokimia, berasal dari konversi NOX, HC dan CO menjadi ozon dan senyawa fotokimia lainnya. Indikasi tersebut ditunjukan oleh konsentrasi ozon yang sering menjadi parameter kritis, konsentrasinya yang tinggi di daerah pedesaan, dan menurunnya visibilitas di daerah perkotaan, terutama dapat diamati di daerah Cekungan Bandung pada siang hari. 2.2.3 Permasalahan sosial ekonomi dan kependudukan Jumlah penduduk propinsi Jawa Barat tahun 2000 adalah 35,72 juta jiwa yang terdiri dari 18,08 juta laki-laki dan 17,64 juta perempuan dengan rata-rata pertumbuhan 2,03 per tahun dan kepadatan penduduk 1.033 / km2. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan penduduk 1,7% jumlah penduduk propinsi ini akan mencapai 43,8 juta orang di tahun 2010.Sekitar 45% kelompok penduduk berada di tiga wilayah kota: Bandung, Bogor-Bekasi dan Cirebon. Kepadatan penduduk Bandung adalah 12.711 per km2, sedangkan kepadatan penduduk Jawa Barat adalah 1.033 per km2. Tahun 2000 sekitar 48,86% penduduk tinggal di perkotaan sedangkan di tahun 1990 hanya 35,03%, yang mengindikasikan tingginya angka migrasi ke kota (urbanisasi). Berdasarkan usia, penduduk Jawa Barat terdiri dari 30,71% usia muda (kurang dari 14 tahun), 64,73% berumur antara 15-64 tahun, dan 4,56% berumur lebih dari 65 tahun. Meskipun Propinsi Jawa Barat berkembang menuju daerah industri tapi sektor pertanian menyerap lebih banyak tenaga kerja (28,9%). Sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja di daerah perkotaan adalah perindustrian, perdagangan dan jasa. Angka pengangguran mencapai 8,01% dari keseluruhan 14,39 juta angkatan kerja. Pada tahun 2000 terdapat 39,30 persen penduduk yang lulus Sekolah Dasar (SD), 11,8% lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), 12,94% lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), 2,45% lulus Sarjana muda dan 1,50% lulus 51, 52 dan S3. Dalam hal kesehatan masyarakat, kematian bayi di Jawa Barat mencapai 42,3% per 1000 kelahiran. Indeks pembangunan manusia Jawa Barat tahun 1999 mencapai 65,3%, urutan ke-13 di Indonesia sedangkan 26,59% dari jumlah penduduk berada pada garis kemiskinan. Pola penyakit di Jawa Barat didominasi oleh penyakit yang disebabkan oleh buruknya sanitasi lingkungan yakni infeksi saluran pernapasan atas (49% pada tahun 2002), diare dan busung lapar (14% pada tahun 2000). Angka kepadatan penduduk yang tinggi di Jawa Barat disebabkan oleh beberapa faktor, sebagian besar karena kelahiran dan migrasi. Menurut sensus nasional tahun 1997, rata-rata angka kelahiran di Jawa Barat adalah 10,74%. Rata-rata ini mengalami penurunan daripada rata-rata pada tahun 1990 yaitu 27,66%. Jumlah imigrasi ke Jawa Barat pada tahun 1995 sebesar 4.221.877 dan pada tahun 2000 sebesar 3.911.585 orang. Angka ini termasuk tinggi, yang artinya lebih dari 10% dari penduduk yang ada sekarang adalah pendatang. Tingginya angka rata-rata perpindahan penduduk ke Jawa Barat sebagian besar dikarenakan lajunya pembangunan di bidang industri. Menurut Pusat Data dari Departemen Perdagangan dan Industri, pada tahun 2002 Jawa Barat memiliki 4.900 unit industri. Pembangunan industri ini membuat para imigran mencari kesempatan kerja di wilayah Jawa Barat. Jumlah penduduk yang sangat besar dengan tingginya rata-rata pertumbuhan dan distribusi yang tidak seimbang di setiap wilayah membuat masalah baru, yaitu meningkatnya terhadap kebutuhan lahan untuk permukiman. Tercatat sekitar 136,621 ha lahan sawah yang dijadikan daerah permukiman, meskipun ada juga melimpahnya penduduk tetap berada di beberapa kota besar, sehingga kepadatan penduduknya dapat mencapai 2000 orang per km2. Sensus Nasional pada tahun 1997 mencatat bahwa kepadatan penduduk di kabupaten Bekasi adalah 2.176 jiwa per km2, 14.108 jiwa di Kota Bandung, 2.541 jiwa di Kota Bogor, 2.581 juta jiwa di Sukabumi, sementara di Cirebon sebesar 7.024 jiwa per km2. Kepadatan penduduk yang tinggi pada daerah perkotaan selalu membuat masalah baru, seperti pertumbuhan daerah kumuh. Dilaporkan oleh Gubernur (2002) ada sekitar 2.171 lokasi daerah kumuh yang mencakup 4.762 ha tanah, yang dimana telah ditempati oleh 96.457 keluarga atau 353.941 warga. Permukiman yang terluas kawasan kumuhnya adalah Kota Bandung, Indramayu, Karawang dan Kabupaten Bandung. Permukiman kumuh menimbulkan banyak sekali masalah, yang identik dengan kemiskinan, lingkungan permukiman yang kotor, dan prasarana yang terbatas, yaitu air bersih, pembuangan air, listrik, sarana bermain dll. Karena keterbatasan tersebut , banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai untuk mandi, mencuci, mengambil air dan juga membuang sampah. Dengan terbatasnya ketersediaan lahan, beberapa penduduk menetap dan membangun rumah mereka pada bantaran/tepi sungai. Pada tahun 2000, Badan Peneliti Statistik (BPS) mencatat bahwa sejumlah 67.059 bangunan rumah yang berlokasi di bantaran/tepi sungai dengan 69.988 keluarga yang menetap disana. Permukiman di bantaran/tepi sungai tersebut menyebar luas di Kota Bandung, Ciamis, Cianjur, Bekasi dan kabupaten Bandung. Di wilayah pedesaan, tekanan penduduk terhadap lahan sudah sangat tinggi. Kecuali di wilayah pantai utara, hampir seluruh kabupaten lainnya mempunyai tekanan penduduk di atas angka 4. 2.2.4 Masalah hukum dan kelembagaan Dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, belum digunakan pendekatan secara sistemik. Peraturan perundang-undangan masih ditinjau bidang per bidang atau sektor per sektor, walaupun pada umumnya aparatur pemerintah maupun masyarakat memahami bahwa unsur-unsur lingkungan hidup membentuk suatu sistem yang disebut ekosistem. Dalam penaatan dan penegakan hukum lingkungan, karena metode penafsiran hukum yang didasarkan pada kepentingan sektornya masing-masing, dan hanya melihat ketentuan-ketentuan pada batang tubuhnya saja, maka peraturan perundang-undangan seolah-olah tumpang tindih. Sementara itu, proses penyelenggaraan dekonsentrasi dan desentralisasi masih berjalan secara tersendat-sendat, yang berakibat kepada upaya memperoleh pendapatan asli daerah secara berlebihan. Proses desentralisasi belum tuntas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga struktur organisasi dan tata kerja institusi pengelola lingkungan hidup di daerah masih belum mantap sebagai upaya untuk mendukung profesionalisme aparatur pemerintah. Belum adanya institusi penegak hukum Peraturan Daerah yang dapat bertugas secara langsung dan seketika mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Peranserta masyarakat masih bersifat formalitas. Pemerintah maupun Pemerintah Daerah masih belum terbuka dalam memberikan informasi yang lengkap dan tepat waktu, sehingga peranserta masyarakat belum terlaksana sebagaimana mestinya. Bahkan masyarakat sering dicurigai sebagai penghambat proses pembangunan. Dana Lingkungan masih menjadi kendala. Di beberapa Daerah Kabupaten/ Kota, institusi pengelola dan atau pengendali lingkungan hidup dibebani sebagai instansi penghasil pendapatan asli daerah. Mengingat target perolehan pendapatan asli daerah, menyebabkan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan sering terabaikan. Upaya menghimpun Dana Lingkungan melalui ditegakkannya prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability), sehingga pembentukan lembaga pertanggungan keuangan atas kerugian yang timbul akibat kegiatan yang mempunyai risiko terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan belum diminati oleh sektor swasta. |